44 | kaos couple

"Sebenarnya lo mau bawa gue kemana sih?"

"Tempat yang pasti mengingatkan lo sama masa kecil." Jaka menjawab seraya sesekali menatap bergantian pada jalan tol yang membentang di depannya, lalu pada perempuan yang duduk di sampingnya.

Rossa tahu, Jaka nggak bilang jam berapa persisnya dia akan menjemput ke apartemen, tapi ternyata Jaka datang pagi-pagi sekali, menjelang jam lima subuh. Rossa yang belum benar-benar bangun sempat dibikin kaget ketika Jaka meneleponnya, mengabari kalau lelaki itu telah menunggu di lobi.

"Di lobi?!" Rossa kontan memekik terkejut.

"Iya. Apartemen lo."

"Jaka, ini jam berapa?!"

"Jam lima pagi, Shan."

"Katanya perginya besok?!"

"Ini kan udah besok..."

Benar juga sih.

"Gue belum sempat siap-siap nih—"

"Nggak usah bawa apa-apa—I mean, pake baju yang nyaman aja, sama mungkin lo mau bawa sunblock atau parfum? Atau topi sekalian. Anything yang bakal kepake di tempat yang ada sinar matahari langsungnya. Tapi santai aja, jangan buru-buru. Gue tungguin kok."

"Emang kita mau kemana sih?"

"Rahasia. Eh ya, sebelum kesana, kita sarapan dulu di warung soto depan Bourbonate, mau nggak? Soto di sana enak."

Rossa tahu di seberang Bourbonate ada warung soto yang meskipun bangunannya terlihat sederhana—kontras dengan desain bangunan Bourbonate yang terkesan ekslusif dan mewah—tapi selalu ramai sejak pagi-pagi sekali.

"Oke."

Maka, Rossa bersiap-siap secepat yang dia bisa. Mandi, membasuh wajah, menyikat gigi. Mengeringkan rambut selekasnya menggunakan hairdryer tanpa dicatok dan langsung saja diikat bentuk ekor kuda. Kemeja sifon putih yang masih terlihat sopan, tapi nggak akan bikin kegerahan. Topi dalam tas, parfum, dompet, tabir surya, air mineral ukuran mini, kumpulan kunci-kunci. Jaka bilang, dia bisa berpakaian dengan nyaman, jadi Rossa memutuskan mengenakan sepatu sandal.

Gaya berbusana Jaka terlihat sama santainya ketika Rossa mendatanginya di lobi—dan secara kebetulan, warna atasan yang mereka pakai juga senada.

"Mungkin tandanya kita sehati?" Jaka nyengir, jelas saja bercanda.

"Atau kita sama-sama mikir, kalau untuk di tempat panas dan gerah, lebih baik pakai baju putih. Warna terang kan mantulin panas, beda sama warna gelap yang menyerap."

"Well, alasan yang itu juga masuk akal."

Tanpa membuang waktu lebih lama, mereka bertolak dari apartemen Rossa ke warung soto yang dimaksud untuk sarapan dulu. Rossa nggak menyesal mengiakan ajakan Jaka. Sotonya enak. Pantas saja tempatnya sering ramai. Dari sana, baru mereka meneruskan perjalanan menuju tempat yang kata Jaka ingin dia tunjukkan ke Rossa.

Dan di sinilah mereka berada sekarang, dalam sebuah mobil yang meluncur melintasi jalan tol menuju luar kota Jakarta.

"Kita mau kemana sih?" Rossa bertanya lagi, kali ini lebih mendesak.

"Rahasia."

"Kalau kayak ini, gue beneran serasa kayak lagi diculik."

"Emang lagi diculik."

Rossa mengerang. "Oh, please."

"Kalau dibongkar sekarang, nanti lo nggak kaget."

"Clue aja, tempatnya di mana?"

"..."

"Bukan Puncak, kan?"

"Bukan."

"Bogor?"

"Bukan."

"Lo nggak ada niatan terus nyetir sampai kita mentok di ujung Pulau Jawa, kan? Inget, gue ada flight besok."

"Nggak sampai mentok Pulau Jawa. Kalau emang niat gue gitu, gue pasti suruh lo bawa koper."

"Oke, terserah lo aja." Rossa mengembuskan napas, menyerah membujuk Jaka untuk membocorkan destinasi mereka. "Tapi bisa nggak, di rest area berikutnya kita berhenti dulu? Gue pengen ke toilet."

"Setoran alam?"

"Em-hm."

"Oke."

Mobil melaju lancar selama setidaknya setengah jam berikutnya, ketika mereka menemukan rest area yang dicari. Jaka membelokkan mobilnya kesana, menyetir dengan lambat dan baru benar-benar berhenti saat mereka menemukan toilet. Dengan agak terburu-buru, Rossa turun lebih dulu. Jaka mengikuti setelahnya, namun dia nggak melangkah menuju toilet, melainkan ke warung pedagang makanan yang berada di dekat sana.

Dia sudah sarapan sih, tapi mampir di rest area tanpa makan Pop Mie terasa kurang lengkap.

Jaka kembali lagi ke mobil bersama Pop Mie dan sekotak susu Milo dingin. Dia sengaja membiarkan pintu mobilnya terbuka, terus mulai makan sambil menunggu Rossa. Perempuan itu menghabiskan waktu cukup lama di toilet, yang sempat bikin Jaka khawatir dan berniat menyusulnya. Tapi sebelum Jaka benar-benar bergerak menuju toilet, Rossa muncul dari satu arah dengan wajah cemas serta bagian depan kemeja sifon yang terkotori noda cokelat besar.

"Baju lo kenapa?"

"Tadi nggak sengaja tabrakan sama anak kecil yang lagi pegang es susu cokelat. Es-nya tumpah ke baju gue. Udah coba gue cuci tapi malah kayak gini..." Rossa mengembuskan napas. "Justru tambah kotor."

"You can't wear that anymore."

"Dengan kata lain, lo menyarankan gue lepas kemeja gue dan pakai beha aja kemana-mana?"

Jaka terbatuk. "Nggak gitu, Shan."

"Terus?"

"Kita mampir di Bogor aja. Cari toko oleh-oleh dekat tol. Biasanya mereka suka jualan kaos."

"Kaos yang tulisannya I Love Bogor?"

Jaka nyengir. "Gue bisa temenin lo pake kaos yang sama."

"Biar couple-an?"

"Biar lo nggak jadi turis sendirian."

"Solutif banget." Rossa mencibir.

"I know right?" Jaka nyengir. "Mau Pop Mie juga?"

"Nggak, deh."

"Oke, kalau gitu mau terusin jalan?"

"Em-hm."

Jaka segera menghabiskan sisa susu kotaknya sebelum membuang bekas Pop Mie dan kotak tersebut ke tempat sampah paling dekat yang bisa dia temukan.

Habis itu, mobil kembali bergerak menuju pintu keluar rest area untuk kemudian bergabung bersama kendaraan lainnya di jalan tol.

*

Perjalanan mereka tak selesai hanya dengan mobil.

Rossa agak heran ketika Jaka memarkirkan mobilnya di halaman rumah seorang warga setempat dan sempat bertanya.

"Lo mau ngajak gue kesini?"

"Belum sampai. Kalau mau kesana, kita harus jalan kaki lagi sebentar."

"Terus kenapa parkir di sini?"

"Aksesnya nggak memungkinkan untuk kendaraan roda empat."

"Sebenarnya kita mau kemana sih?" Rossa bertanya lagi, tapi kali ini nadanya terkesan setengah merajuk.

"Sebentar lagi juga lo tau." Jaka terkekeh, lantas melepas seatbeltnya dan turun.

Mau nggak mau, Rossa pun melakukan tindakan yang sama.

Sepertinya, ini bukan kali pertama Jaka datang kesana, sebab warga pemilik rumah yang halamannya mereka gunakan sebagai lahan parkir sementara mobil mereka terlihat mengenali Jaka. Jaka sempat menyapa beberapa warga yang lagi duduk di teras, kemudian memimpin jalan.

Anyway, seperti yang dikatakan Jaka sebelumnya, mereka sempat mampir sebentar di Bogor dan membeli kaos buat Rossa.

Jaka juga ikutan beli sih, jadi mereka terlihat seperti sengaja pakai kaos couple.

"Lo udah pernah kesini ya?"

"Satu kali."

"Sendirian aja?"

"Sama teman-teman waktu kuliah dulu."

"Tempatnya sebagus itu sampai-sampai lo mau ajak gue kesana?"

Jaka mengangguk. "Bukan cuma bagus, sih. Alasan lainnya adalah karena gue ngerasa, gue mau ngomong sesuatu sama lo."

Rossa terkekeh. "Jaka, lo tau kan kalau sekarang gue lagi sama Wirya?"

"Tau, kok."

"Oh, oke. Cuma mau make sure, lo nggak bermaksud bawa gue ke tempat yang kata lo bagus itu untuk nyatain perasaan lo."

"Nggak perlu dinyatain pun lo udah tau perasaan gue gimana."

"Gue tau perasaan lo yang dulu gimana." Rossa mengoreksi sembari terus berjalan. "Gue nggak tau perasaan lo yang sekarang."

Jaka hanya menarik senyum tipis.

"Maksud gue ya... namanya hati manusia tuh bisa berubah. Hari ini, lo bisa aja sayang banget sama seseorang. Besok-besok belum tentu, kan."

"Dulu lo sayang banget sama Wirya. Sekarang pun masih, kan?"

Pertanyaan Jaka mencipta jeda hening sejenak diantara mereka. Rossa berdeham, lalu ujarnya. "Of course. Kalau gue nggak sayang Wirya, gue nggak akan bareng-bareng sama dia."

"Sama dengan perasaan gue."

"..."

"Gue selalu sayang sama lo, Shan."

"... Jaka—"

"No worries." Jaka memotong sambil menyunggingkan senyum lebih lebar. "Gue nggak ajak lo kesini untuk nyatain perasaan gue. Gue juga nggak sedang mencoba merebut hati lo atau apalah. Gue kesini karena memang tempatnya bagus dan nggak tau kenapa... mengingatkan gue sama sesuatu yang mau gue omongin ke lo sejak lama."

"..."

"Gue sayang sama lo, itu jelas. Tapi gue juga menghargai keinginan pribadi lo. Orang yang tau di mana hati lo berada, yang tahu lo bakal bahagia sama siapa kan lo sendiri. Gue nggak akan memaksa. Gue pernah coba memaksa, coba ngotot, nggak menganggap jawaban "nggak" sebagai jawaban "nggak", dan itu jadi sesuatu yang gue sesali sampai sekarang." Jaka menjelaskan, lantas menyambung ucapannya. "Rasa sayang gue ke lo udah sampai di tahap di mana ngelihat lo bahagia aja, gue udah senang banget, Shan."

"Makasih banyak ya."

"Anytime."

Mereka meneruskan berjalan kaki, hingga keduanya tiba di tempat yang Jaka maksud.

Selama sejenak, Rossa tercengang di tempatnya berdiri. Tentu saja, dia pernah mengunjungi tempat yang mirip-mirip dengan tempat ini sebelumnya, namun setiap tempat selalu punya vibes dan pembawaan yang berbeda. Termasuk tempat ini.

Beberapa meter di depannya, terhampar savana luas yang berbukit-bukit, berlapis rumput hijau dengan naungan langit biru berhias gumpalan awan putih, bermuara pada pantai yang tampak seperti berujung pada garis batas cakrawala. Matahari siang ini tergolong hangat, tapi teriknya tak menggigit hingga menyakiti kulit. Saran Jaka untuk membawa topi ternyata sangat tepat. Topi yang kini sedang Rossa pakai membantu melindungi pandangannya dari silau cahaya.

"We're lucky, hari ini awannya lumayan banyak, jadi sinar mataharinya nggak terik banget." Jaka nyengir, kemudian mengulurkan tangan. "Come on, I know prettier spot."

Rossa menyambut uluran tangan Jaka, membiarkan tangan lelaki itu menggenggam jari-jarinya. Mereka melangkah menyusuri kontur perbukitan rendah yang naik-turun menuju tempat yang Jaka maksud, yang ternyata berada di tepi air.

"Kayak bukit tempat tinggalnya Teletubbies." Rossa berujar setelah mereka berdua akhirnya duduk bersebelahan beralaskan rumput di sana.

"Benar kan? Gue bilang tadi, gue bakal membawa lo ke tempat yang mengingatkan lo ke masa kecil lo."

Rossa terkekeh. "This place is beautiful."

"Lebih bagus lagi waktu sunset atau sunrise."

Rossa mengangguk. "Sayangnya, gue nggak punya waktu selama itu buat nungguin sunset di sini."

"Kita bisa kesini lagi lain kali, kalau lo mau."

"Lo mau nyupirin gue?"

"Itu bakal jadi sebuah kehormatan."

Rossa tergelak. "Alright, wait for my call."

"Pasti."

"Tapi kenapa lo mau ajak gue kesini?"

"Soalnya waktu pertama kali gue kesini, gue ngerasa, langit di sini lebih dekat dengan gue dibanding langit di tempat lain. Kayak... batas antara tanah dan langit ya cuma lekuk-lekuk bukit hijau aja. Dan walau gue bukan orang yang religius banget, gue percaya, orang-orang baik yang udah nggak ada, yang gue sayang, mereka punya tempat tersendiri di langit."

"..."

"Hari ini..." Jaka menghela napas, menatap sejenak pada langit yang biru, diikuti senyum samar yang menghiasi wajahnya sebelum dia berpaling untuk menatap Rossa lagi. "... sepuluh tahun yang lalu, lo ngasih tau gue kalau... lo hamil."

Rossa tercekat, sontak saja kehilangan kata-kata untuk menjawab.

"Gue nggak bermaksud untuk membuka luka lama, atau mengingatkan lo pada sesuatu yang nggak menyenangkan."

Jaka tertunduk, menatap pada jari-jarinya yang tengah memainkan sebatang ilalang.

"Tapi waktu kita ketemu di acara ulang tahun anaknya Jenar saat itu, gue jadi terpikir... gimana ya kalau anak gue beneran lahir? Dia udah umur berapa sekarang? Teman-teman gue yang udah pada punya anak selalu nge-treat ulang tahun anak-anak mereka sebagai hari yang spesial banget, jauh lebih spesial dari hari ulang tahun mereka sendiri. Sedangkan anak gue, bahkan nggak sempat punya hari ulang tahun. Gue tau, dia nggak pernah benar-benar lahir. Tapi bukan berarti dia nggak pernah ada. Dia pernah ada, walau nggak pernah melihat dunia. Dan gue kepengen mengenang dia sebagai anak gue, yang gue sayang. Maka, setiap tahun setelah itu, gue selalu mikir... oh... mungkin gue bisa menganggap hari ini hari ulang tahun anak gue. Sebab di hari ini, gue tau dia ada."

Rossa terdiam, namun terlihat, dia mendengarkan.

"Selama ini, setiap ngelihat teman-teman gue berinteraksi sama anak-anak mereka, gue selalu mikir... seandainya... seandainya... seandainya. Seandainya anak gue sempat lahir. Seandainya gue sempat berperan jadi ayah buat dia. Seandainya dia masih ada, gimana kira-kira dia sekarang. Gue tau, apa yang gue lakukan ke lo dulu itu kesalahan. Meski begitu, anak itu nggak pernah salah. Dia nggak tau apa-apa."

Rossa mengangguk. "Iya, gue paham, kok."

"Dari semua seandainya itu, gue sering merasa... nggak nyaman. Padahal apa sih yang harmless dari interaksi Jenar sama anaknya? Atau gimana Tigra bilang dia habis beli buku cerita baru buat Cherry? Nggak ada. Tapi gue sering ngerasa nggak nyaman, dan Yugi bilang, gue ngerasa nggak nyaman karena ada duka yang nggak selesai."

"I am projecting my hurt and my insecurities onto someone else. Gue nggak pernah benar-benar selesai berduka buat apa yang terjadi ke anak gue, makanya gue ngerasa nggak nyaman melihat interaksi teman-teman gue sama anak mereka. Terus gue jadi mikir, gue nggak bisa gini terus. Cuma orang yang punya penyakit hati yang kesal dan marah saat dia ngelihat orang lain bahagia dengan cara yang nggak ngerugiin siapa-siapa."

"..."

"Gue harus menyelesaikan duka gue, berdamai sama diri gue sendiri. Hal pertama yang mesti gue lakukan adalah dengan mengakui kalau gue pernah hampir punya anak, mengakui kalau anak gue pernah ada, tapi sekarang udah nggak ada. Gue perlu nyadarin diri gue sendiri, dia ada di tempat yang lebih baik sekarang dan ada beberapa hal yang nggak bisa gue kontrol, termasuk soal hidup-mati seseorang. Hal terbaik yang bisa gue lakukan buat dia sekarang adalah dengan hidup sebaik-baiknya, dan terus ingat dia."

"..."

"Sejak saat itu, gue selalu merayakan 'hari ulang tahun'nya setiap tahun. Sendirian. Setiap tahun juga, gue berjanji gue akan terus hidup buat mengingat dia meski dia nggak sempat lahir ke dunia, hidup yang baik, jadi orang baik yang sebisa mungkin nggak menyakiti siapapun, jadi orang yang nggak mengulangi kesalahan yang sama."

"..."

"Gue tahu gue nggak berhak menghakimi perasaan lo, tapi nggak tau kenapa, gue ngerasa lo nggak pernah bisa benar-benar menerima, Shan. Sure, ada kemajuan. Lo bisa berinteraksi sama Arga dengan baik. Itu udah bagus banget. Tapi di saat yang sama, lo kayak masih nyalahin diri lo sendiri. Lo berpikir, mungkin semuanya jadi kayak gitu karena lo emang nggak ditakdirin jadi ibu yang baik. Gue nggak mau lo hidup dengan mikir begitu."

"..."

"Sepuluh tahun itu nggak sebentar, Shan. Lo juga berhak bahagia. Lo berhak punya chapter baru dalam hidup lo. Lo berhak hidup dengan lebih baik. Lo berhak get over rasa duka dan rasa sedih lo. Berhenti berduka bukan berarti berhenti ingat sama dia, kan?"

Rossa menghela napas panjang, merenungi kata demi kata yang Jaka ucapkan dan dia tahu... apa yang Jaka bilang itu benar.

Tapi rasa takutnya masih tetap nyata...

"Berhenti berduka nggak makan waktu yang sebentar. Nggak apa-apa. Take your time. Tapi gue harap, lo mulai coba ya?"

Rossa mengangkat wajah, menatap Jaka lekat-lekat selama sejenak, sebelum begitu saja, dia bergeser lebih dekat dan memeluk lelaki itu erat-erat.

*

Rossa baru sadar, nggak ada yang lebih melegakan selain membicarakan duka yang lagi dirasakan dengan seseorang yang mengerti duka itu sebaik dirinya.

Dulu, di awal-awal memulai kuliah lagi setelah pulang dari Singapura, Rossa merasa begitu kacau. Kosan yang sudah sepi nggak membantu sekali, membuatnya malah merasa makin sendirian. Hingga suatu malam dia bertemu Jaka di Dignity, terus mereka saling bercerita, sama-sama berbagi duka, lalu perlahan namun pasti, segalanya jadi terasa lebih tertahankan.

Bukan berarti Wirya nggak bisa mengerti perasaannya, tapi dari awal, posisinya Jaka memang berbeda.

Laki-laki itu merasakan duka yang sama sepertinya. Perasaan mereka terkoneksi karena mereka berbagi luka yang sama. Bisa jadi gara-gara itu, bercerita atau mengeluh sama Jaka selalu bisa membuat Rossa merasa lebih lega.

Hari ini pun begitu.

Justru, kayaknya hari ini lebih emosional daripada hari yang sudah-sudah. Mereka saling memeluk, terus tanpa Rossa rencanakan, perasaannya jadi sangat mellow. Air matanya mengalir dalam tangis, dan Jaka memeluknya kian erat. Sehabis itu, di bawah sinar matahari jam tiga sore, mereka menatap langit, mulai saling bercerita dan jujur tentang duka satu sama lain.

Beban di pundak Rossa serasa berkurang lebih dari setengahnya.

Dia lelah, apalagi jika menilik perlu waktu seenggaknya lima jam untuk tiba di Jakarta lagi, tapi di saat yang sama, Rossa nggak menyesal sudah bersedia ikut Jaka hari ini.

"Tired?"

"Harusnya gue yang nanya gitu ke lo." Rossa menyahut. "Lo nyetir pulang-pergi."

"Udah biasa. Di Kalimantan malah lebih sering."

"Dipikir lagi, kayaknya kerjaan lo udah oke banget di Kalimantan. Kenapa malah balik ke Jakarta?"

"Di Kalimantan nggak ada bunga mawar."

"Masa iya?"

Jaka tergelak. "Kalau bunga mawar biasa sih ada. Tapi kalau bunga mawar yang bentuknya orang dan rambutnya blonde, bisa dipastikan nggak ada."

"YAILAH, GUE UDAH SERIUS!"

"Nggak apa-apa. Gue ngerasa asing aja di sana, nggak ada orang yang gue kenal." Jaka terkekeh. "But seriously, capek?"

"Capek tapi lega. Kayak abis nangis semalaman sampai ketiduran."

"..."

"Makasih ya, Jaka." Rossa berujar setulus mungkin. "Kalau dipikir gimana kita dulu, kayaknya susah dipercaya kita bisa akur. Tapi gue sadar, manusia emang begitu. Nggak selalu punya sebatas sisi buruk doang, atau sisi baik doang. Kadang kita bikin salah. Walau gitu, kesalahan kita nggak nentuin kita siapa. Apa yang nentuin kita siapa itu ya gimana cara kita nanggung konsekuensi dari kesalahan itu. Apa kita bakal akui kalau kita salah dan coba koreksi diri, atau kita justru defensif dan berpikir kalau kita nggak pernah salah."

"Gue juga makasih banget ya, Shan."

"Em-hm."

"Ini mau langsung balik aja ke apartemen lo?"

"Emang mau kemana lagi?"

"I don't know. Bourbonate?" Jaka bergurau.

"Jangan ngaco!" tawa Rossa pecah. "Gue nggak boleh drunk malam ini. Besok ada flight."

"Ah ya, safe flight juga buat besok."

"Thanks."

Jaka meneruskan mengemudikan mobil yang mereka tumpangi menuju apartemen Rossa. Langit sudah gelap. Perkiraan waktu mereka agak meleset, jadi mereka baru tiba di apartemen Rossa sekitar pukul sembilan lewat. Jaka menghentikan mobilnya di depan lobi. Tadinya dia berniat untuk segera pulang setelah menurunkan Rossa, namun niatnya urung saat dia melihat Wirya melangkah menuju pintu kaca dari arah dalam lobi.

"Wirya di sini?"

Rossa mengerjap. "Mana—oh, dear."

"Something wrong?"

"Wirya kelihatan bete."

"Jangan khawatir. Gue bakal ngomong sama dia biar nggak ada salah paham."

Rossa tetap terlihat nggak yakin, tapi dia nggak mencegah Jaka turun bersamanya. Wirya mendorong pintu kaca dan melangkah ke luar lobi. Ekspresi wajahnya tampak datar. Sorot matanya dingin. Alisnya berkerut sedikit ketika dia sadar, Rossa dan Jaka mengenakan kaos yang sama.

"Jam segini baru sampai?"

"Tadi di jalan macet—"

"Bukan salahnya Roshan. Ini salah gue—"

Jaka tidak sempat menyelesaikan ucapannya karena Wirya telah lebih dulu melayangkan kepalan tinju, menghadiahinya satu bogem mentah di wajah.

*

Jenar tiba di Bandara Soekarno-Hatta menjelang tengah malam, dalam keadaan penat dan mata yang kentara sekali terlihat lelah. Dia mengantuk, tapi kepalanya dipenuhi oleh terlalu banyak kekhawatiran. Bandara terlihat sangat lengang pada jam-jam segini, jadi nggak butuh waktu lama bagi Jenar untuk disembark dan melangkah menuju pelataran depan gedung terminal kedatangan.

Ponselnya bergetar tak lama setelah Jenar menonaktifkan flight mode.

kak hyena:
jadi pulang malem ini?

jenar:
jadi.
baru landing.

kak hyena:
soetta?

jenar:
ya masa changi.

kak hyena:
YA KALI AJA HALIM.

jenar:
hadeh.

kak hyena:
mau dijemput?

jenar:
gak, naik taksi aja.

kak hyena:
pulang ke rumah dulu.
mandi, ganti baju.
kalo bisa tidur, tidur dulu bentar.

jenar:
mana gue kepikiran kayak gitu.

Jenar mengambil jeda sejenak untuk memesan taksi yang akan mengantarnya dari bandara. Dia agak ogah, tapi menuruti saran Hyena, Jenar akhirnya memilih pulang dulu. Hyena benar. Dia perlu ganti baju dan menyimpan kopernya sebelum ke rumah sakit. Tak butuh waktu lama bagi petugas yang berkepentingan untuk menunjukkan jalan menuju taksi yang Jenar pesan. Lelaki itu masuk, baru duduk ketika balasan dari Hyena sampai.

kak hyena:
kesian istri lo.
sawan ntar, bangun-bangun ngeliat yang kucel dan jelek.

jenar:
dia tidur?

kak hyena:
iya kali.
kemungkinan besar iya.

jenar:
kok pake kali?

kak hyena:
gue gak di rumah sakit.

jenar:
LAH TERUS YANG JAGAIN BINI GUE SIAPA?

kak hyena:
arga.

jenar:
kak, jangan ngaco.

kak hyena:
gak ngaco.

jenar:
lo ninggalin regina sama bocil doang?

kak hyena:
he did well today.

jenar:
dia masih kecil.

kak hyena:
kemarin, rei drop di parkiran bakery.
di mobil, cuma ada dia sama arga.
yang nelepon jella? arga.
yang minta tolong orang buat bawa rei ke rumah sakit? arga juga.

jenar:
really?

kak hyena:
beneran.
gue tau anak lo masih kecil.
but he's very mature and wise, for his age.
sepanjang hari ini, dia gak kemana-mana.
ngotot jagain mamanya.

jenar:
gue masih rada gak percaya.
tapi yah, kalau gitu, baguslah.

kak hyena:
idk, kayaknya gue gak pernah bilang kayak gini sebelumnya.
but you and regina raised him well.

jenar:
hehe.

kak hyena:
kabarin gue kalo udah di rumah sakit ya.

jenar:
ok.

Hyena nggak membalas lagi, jadi Jenar menghabiskan sisa perjalanan dengan menyandarkan kepala ke sandaran jok kursi, memandang ke luar jendela. Langit kelam, terlihat dipenuhi awan yang cukup untuk menghalangi sorot cahaya bulan. Lampu-lampu tepi jalan tol menyala temaram. Perlahan, lelaki itu mengembuskan napas lega. Entah apa alasannya. Mungkin karena dia merasa, besar kemungkinan, dengan caranya sendiri Wuje tahu bagaimana menghibur ibunya yang lagi sedih ketika Jenar sedang tak di sana.

Rumah sepi sewaktu Jenar tiba. Lelaki itu melangkah melewati pagar depan ditemani sunyi, sempat berhenti sejenak ketika dia melihat Camry hitam milik istrinya berada di luar garasi. Mudah baginya buat menyimpulkan, kalau Rei pasti mengemudi sendiri ke bakery yang tadi Hyena sebut hari ini.

Saat ini, Jenar nggak bisa menebak, seperti apa perasaan Rei.

Waktu awal-awal mereka saling kenal, Rei kerap menunjukkan beragam emosi di depan Jenar, tergantung dari apa yang lelaki itu lakukan. Mulai dari kesal, malu, bingung, sendu, bete hingga marah. Tapi nggak dengan tangis. Kalau Jenar pikir lagi, kayaknya dia lebih sering melihat Rei menangis saat lagi drunk ketimbang melihat Rei menangis ketika tengah sadar.

And it's worse, Jenar berpikir, soalnya sering kali, waktu lagi drunk, orang itu nunjukkin gimana dia yang sebenarnya.

Seperti apa yang disarankan Hyena, dia menyempatkan diri mandi, berganti baju, makan semangkuk koko krunch berikut kuah susunya dan tidur seenggaknya dua jam untuk meredakan lelahnya sedikit sebelum bersiap pergi ke rumah sakit.

*

Angka jam pada jam digital yang tersemat di tembok tengah menunjukkan angka empat ketika Jenar tiba di kamar tempat Rei dirawat.

Dia disambut kamar yang sepi, dengan Rei yang terbaring di atas hospital bed. Wuje tertidur di sebelahnya, menggenggam salah satu tangan Rei erat-erat. Dikarenakan secara fisik, di luar rasa sakit pasca kuretase yang bisa diredakan dengan bantuan painkiller, Rei sudah baik-baik saja, maka dia juga tidak perlu menggunakan infus. Jenar menghela napas lega. Dia meletakkan tas yang dibawanya ke atas sofa, tepat di samping tasnya Wuje, sebelum melangkah mendekati ranjang.

Tangan lelaki itu kemudian terulur, menyentuh pelan helai rambut Wuje dengan penuh rasa sayang, sembari menggumamkan terimakasih dalam hati, yang tentu saja untuk saat ini, nggak bisa Wuje dengar.

Setelahnya, Jenar berniat memperbaiki selimut di bagian lengan Rei yang agak tersingkap. Tetapi sepertinya, sentuhannya yang tak sengaja justru membuat Rei terbangun. Ada kerut muncul diantara kedua alis perempuan itu, lalu perlahan matanya membuka.

"It's okay. Sori, aku cuma mau benerin selimut kamu." Jenar berbisik dengan suara rendah yang terdengar sopan dan teduh di telinga. "Baru jam empat. Tidur lagi aja."

Namun Rei malah menggeleng, mengerjapkan matanya beberapa kali dan sempat berniat bangun dari posisi berbaringnya ke posisi setengah duduk.

"Regina." Jenar menyebut namanya dalam nada penuh peringatan. "Nggak usah bangun."

Rei menelan saliva, menatap ragu pada Jenar. "... bukannya kamu di Bali tiga hari?"

"Menurut kamu, aku bisa stay di Bali tiga hari ketika kamu kayak gini?"

Rei tergugu. "... maaf."

"Aku nggak ngomong gitu biar kamu minta maaf." Jenar tetap merapikan tepi selimut Rei hingga menutupi kulitnya dari embus udara pendingin ruangan yang termostatnya sengaja disetel dalam suhu tertinggi—yang jelas, nggak cukup sejuk untuk Jenar tapi nyaman buat Rei. "How are you feeling? Ada yang sakit?"

Rei menggeleng. "... nggak."

"Kata Kak Hyena, hari ini si bocil yang banyak jagain dan bantuin kamu."

Untuk pertama kalinya sejak perempuan itu terbangun, Jenar melihat ada sedikit senyum yang menyelinap ke bibir Rei.

"Iya. Wuje yang jaga aku."

"I doubted it at first, but it seems, you are in super good hands." Jenar akhirnya tersenyum, sebelum bertanya lagi dengan nada hati-hati. "Waktu tadi sore Jella telepon aku, dia bilang kamu nggak mau ngomong sama aku. Kenapa?"

Rei menggigit bibirnya, sebelum bertanya lirih. "... kamu... nggak marah sama aku?"

"Kamu nggak mau ngomong sama aku karena kamu kira aku bakal marah?"

"..."

"Damn it, Regina." Jenar melontarkan rutukan, yang berbanding terbalik dengan gestur tubuh yang dia tunjukkan. Jemarinya menyapu tepi wajah Rei, menyentuh helai rambut di dekat telinganya dengan lembut. "Kenapa mikirnya gitu?"

"Because the baby—" Rei tercekat, bersamaan dengan tangisnya yang kembali pecah. Air mata lagi-lagi turun berkejaran di pipinya "—because the baby—"

"Sssttt... Sayang, nggak apa-apa." Jenar berusaha menenangkan istrinya. Dalam waktu singkat, kedua ibu jarinya telah berada di pipi Rei untuk menghapus air mata yang mengalir. "It's okay. Nggak apa-apa. Aku nggak marah. Aku justru khawatir banget. Sekarang, setelah tau kamu udah baik-baik aja, aku juga ikut ngerasa baik-baik aja. Regina, look at me—nggak apa-apa. Aku nggak marah, oke?"

"Tapi—"

"Regina, nggak apa-apa." Jenar mengulangi ucapannya. "Aku malah lebih sedih kalau kamu nyalahin diri kamu sendiri kayak gini. Nggak apa-apa. Kamu nggak salah. Nggak ada yang salah di sini. We lost something precious, yes, tapi ini bukan salah kamu."

"But you want it." Rei masih tersedu. "And I failed to keep it. Maaf ya... maafin aku..."

"Udahan ya minta maafnya? Nggak apa-apa sedih. Wajar, nggak ada kehilangan yang nggak bikin sedih. Kita lewatin ini bareng-bareng ya? Tapi udahan nyalahin diri kamu sendirinya, ya? Regina, Sayang, dengar kan aku barusan ngomong apa?" Jenar kembali menghapus air mata Rei.

Rei mengangguk. "... dengar."

"Bagus. Sekarang tidur lagi, oke? Aku udah di sini, udah bisa bantuin Wuje jagain kamu."

Rei tersedu, namun dia mengikuti kata-kata Jenar. Air matanya tak lagi lanjut mengalir deras. Dalam tidurnya, Wuje bergerak sedikit, sebelum bergeser lebih dekat pada Rei yang masih berbaring. Perlahan, perempuan itu kembali memejamkan matanya. Jenar menatapnya sejenak, merasakan ada yang pecah dalam dadanya.

Namun seperti yang barusan dijanjikannya pada Rei, seperti masalah-masalah yang sudah-sudah, mereka akan kembali melewati masa duka ini bersama-sama.

"Sweet dream, Regina." Jenar berbisik, lalu dia merunduk untuk mendaratkan sebuah kecupan di dahi istrinya.

*

pejantan tangguh (8)

dhaka: rei dirawat di mana? @jenar

yuta: rumah sakit

dhaka: GUE JUGA TAU NYED @yuta

dhaka: maksudnya, kamar mana, area mana, gitu loh

dhaka: rencananya sore ini gue sama juno mau besuk

jenar: gak usah @dhaka

dhaka: gue tau lo tuh punya dendam pribadi ama gue

dhaka: tapi jangan gini dong caranya

dhaka: gue juga mau jadi bagian support system temen gue

dhaka: >:O

yuta: parah nih emang @jenar

yuta: eh, kalau besuk bini lo boleh gak bawa apa-apa gak?

yuta: kemaren udah beli buah dikeranjangin

yuta: tapi udah digerogotin ama si queensha

lanang: niat hati dikasih nama kwinsa biar jadi ratu

lanang: eh malah jadi codot

yuta: *QUEENSHA

yuta: HEH MAKSUD LO APA CADAT-CODOT

lanang: yang makan buah kan codot, bang

milan: monyet juga makan buah

yuta: ANAK GUE BUKAN MONYET

tigra: kasian itu, dhaka mau jenguk temennya @jenar

yuta: tau nih

yuta: dendam masa kuliah gak usah dipiara sampe segitunya, coy @jenar

jenar: DENDAM APAAN AJG

jenar: gak usah jenguk ke rumah sakit

jenar: regina udah boleh pulang siang ini

dhaka: alhamdulillah...

lanang: thanks @ Gusti Allah

milan: Gusti Allah gak ada di grup @lanang

lanang: gak apa-apa, yang penting maha melihat

yuta: DIH MENDADAK ALIM????

dhaka: akhir-akhir ini si lelakijawa emang lagi alim

dhaka: soalnya mau open pre-order baju koko kekinian

yuta: tanda-tanda pemuda akhir jaman

lanang: wkwkwkw eh gak juga kali, bang

lanang: gue kan akhir-akhir ini suka futsalan sama si zayn

milan: zayn malik?

lanang: zainul malik

lanang: tapi bukan suaminya gigi hadid yah

lanang: ini zainul kelahiran gegerkalong

yuta: emang udah nikah si zayn ama gigi?

lanang: oiya belom

lanang: ah, kaga taulah, bang

lanang: gue kan kaga diundang

milan: ZAYN DARI MANANYA AJGGGGGG

yuta: nur amalina aja bisa jadi anya geraldine

yuta: apalagi zainul malik

lanang: itu tuh namanya stage name, bang @milan

milan: ye terserah dah

milan: itu siapa?

dhaka: ustadz muda yang baru nikah ama bule muallaf itu ya?

yuta: masih se-circle gak sie sama seno bininya jinny?

lanang: yoi

jenar: sebagai oknum kafir di grup ini, gue nyimak aja

tigra: sebagai oknum kafir di grup ini, gue nyimak aja (2)

yuta: eiya, istri lo gimana? @lanang

lanang: tinggal pemulihan aja, untungnya gak telat dioperasi

lanang: bang, soal yang kemaren, makasih dan maaf ya @milan

tigra: kenapa lagi?

milan: gue gak masuk kantor tiga hari

dhaka: udah bosen gajian? @milan

milan: tangan gue luka, kudu dijahit

tigra: KOK BISA

milan: tanya aja ama lanang

lanang: hehe

lanang: ada kecelakaan kecil waktu monas main ama bang milan

yuta: WKWKWKWK LO DIAPAIN SAMA ANAKNYA LANANG

milan: saran gue, anak lo dirukyah dah @lanang

lanang: hehe

jenar: btw, bukannya mau ge-er apa gmn ya

jenar: hari ini, gue gak open house

jenar: kalau mau nengok bini gue, besok-besok aja

dhaka: GAK SOPAN BGT @jenar

jenar: demi kebaikan regina

dhaka: gak usah ngeles

jenar: serius

jenar: regina masih suka overthinking

jenar: gue rasa dia masih butuh waktu buat dirinya sendiri

tigra: bisa dipahami

tigra: semoga cepet baik-baik ya...

yuta: yaudah, kalau gitu hari ini nengok chester aja kali ya?

yuta: lo perlu ditengok gak? @lanang

lanang: gak, kan gue gak sakit

yuta: MAKSUDNYA ISTRI LO

lanang: ohhhhh

lanang: kalo mau nengok di rumah sakit, kayanya susah, bang

lanang: udah full-slot

lanang: ntar kalo udah di rumah, gue kabarin

kun: gaes ada yang pernah nyopotin gelas dari microwave gak

tigra: sumpah gue gak paham

tigra: kenapa temen-temen gue tuh

tigra: kalo gak masalahnya berat banget

tigra: ya absurd banget

tigra: 

dhaka: STICKER LO KENAPA MUKA GUE 

tigra: lucu 

yuta: chef ah 

lanang: *save

yuta: sama aja

kun: serius ini

yuta: gelas nempel tuh gimana ceritanya

kun: sheza mau bikin cokelat panas tapi males bikin air panas

kun: alhasil dia masukkin cokelat, air, gula ke gelas

kun: terus dimasukkin ke microwave

lanang: TERUS?

kun:

jenar: gue jadi lo sih gue beli baru

kun: ampun, sultan

lanang: asik gue jadiin konten igstory ah

yuta: udah coba dicopot?

kun: udah

kun: nempelnya keras banget

kun: kaya permen karet di bawah meja sekolahan

tigra: najis jorok banget @kun

kun: masa lalu~ biarlah masa lalu~

kun: ini gimana yaaaa?

kun: ayo dong bapak-bapak, mohon bantuannya :(

yuta: gak tau, gue pahamnya mejikom buat mikrowep

lanang: gak tau juga, soalnya segoblok-gobloknya gue, gak pernah bikin gelas nempel kaya gitu.

kun: huf :(

tigra: bener kata jenar

tigra: buang beli baru

yuta: gak, jangan dibuang

yuta: kasih atuy, beli baru

kun: 

*

Persis seperti apa yang dikatakan Jenar, selepas waktu makan siang, mereka meninggalkan rumah sakit.

Hyena berinisiatif datang buat jadi supir pribadi, soalnya dia tau, adiknya pasti kurang tidur karena sudah berada di rumah sakit sejak pagi-pagi buta.

"Kak, nanti mampir di bakery langganan dulu ya."

Jenar yang duduk di depan sontak menoleh ke belakang, di mana anak dan istrinya berada. Seperti biasa, Wuje lagi asyik rebahan berbantalkan paha ibunya. "Mau ngapain?"

"Dari kemarin, Wuje pengen macaroon. Mampir bentar aja buat beli macaroon." Rei menjawab.

"Oh... oke."

Mobil yang sempat berhenti karena lampu lalu lintas yang merah pun melaju kembali, diiringi oleh tanya dari si bocil.

"Mama, besok tuh hari apa sih?"

"Hari Sabtu."

"Berarti libur ya? Aku nggak ke sekolah ya?"

"Iya."

"Yah... nggak bisa pamer macaroon ke Kwinsa, dong..." Wuje manyun. "Sama ngasih macaroon ke Lila."

"Cherry nggak dikasih?" Jenar nyeletuk.

"Dikasih juga, Papa."

"Kok yang disebut Cherry doang?"

"Aku tuh belum selesai ngomongnya, Papa. Jadi Cherry-nya ketinggalan. Tapi Cherry juga dikasih kok." Wuje berkilah. "Padahal aku mau pamer ke Kwinsa. Biarin, soalnya kemarin-kemarin dia nggak kasih aku macaroon."

"Waduh, jadi ceritanya ribut nih sama Kwinsa?" Jenar berujar sambil diam-diam nyengir.

"Nggak sih, cuma Kwinsa-nya aja suka bikin aku sebal!"

"Buat Kwinsa, bisa jadi kamu juga nyebelin, Je." Rei menanggapi.

"Nggak, Mama. Kwinsa duluan yang nakal! Pas ngasih macaroon buat Lila sama Cherry, Kwinsa kasih aja tuh. Waktu aku yang pengen, Kwinsa nyuruh aku yang aneh-aneh gitu..."

"Aneh-aneh gimana?" Jenar jadi kepingin tahu.

"Aku disuruh bilang, 'Yang Mulia Kwinsa yang cantik banget, mau macaroonnya satuuuuu ajaaaa... pleaseeeeeee...' gitu, Pa." Wuje menjelaskan.

Sembari masih membagi perhatian dengan jalan, Hyena nyeletuk. "Kalau Kwinsa kayak gitu, biasanya bukan karena nakal, Je."

"Terus kenapa, Tante?"

"Mungkin Kwinsa suka sama kamu."

"HAH?!!!" Wuje refleks beranjak dari posisi berbaringnya. Matanya menatap kaget, melotot hingga ke bukaan maksimal. "MASA IYA, TANTE?!!"

"Dia begitu ke kamu doang, kan?"

"... iya sih, kalau sama Lila sama Cherry, Kwinsa nggak gitu..."

"Gitu deh. Dia suka sama kamu. Makanya suka jahilin kamu."

"Tapi aku juga suka jahilin Kwinsa, Tante."

"..."

"Dan aku nggak suka sama Kwinsa."

"... terus kamu sukanya sama siapa?"

Wuje justru nyengir malu-malu, bukannya menjawab pertanyaan Hyena. "Hehe."

"Kamu sukanya sama siapa, Je?"

"Hehe."

"Je, Tante barusan nanya tau..."

"Hehe—yey! Udah sampe!" Wuje yang masih belum menjawab kata-kata Hyena mendadak bersorak ketika tersadar kalau mobil yang mereka tumpangi telah berbelok ke parkiran bakery. Kemudian, dia menoleh pada Rei yang berada di sampingnya. "Mama ikut turun nggak?"

"Sama Papa aja ya? Mama sama Tante Hyena nunggu di mobil aja."

"Mama mau kue apa? Mau kue cokelat kayak yang dibawain Oma waktu itu? Apa mau yang lain?"

"Apa aja, terserah Wuje."

"Oke, Mama."

Jenar menunggu hingga mobil benar-benar berhenti untuk melepas seatbeltnya, lalu turun lebih dulu sebelum membuka pintu penumpang bagian belakang.

"Aku bisa turun sendiri, Papa." Wuje menolak uluran tangan ayahnya, memilih buat melompat turun tanpa bantuan. Jenar membiarkan, tapi ketika mereka sudah melangkah melintasi parkiran, dia meraih salah satu tangan anaknya untuk digandeng.

"Je,"

"Iya, Papa?"

"Kata Tante Hyena, kemarin kamu yang jagain Mama ya?"

"Iya. Hehe."

"Makasih ya, Je, udah jagain Mama waktu Papa lagi nggak ada."

Jenar jarang banget bicara dengan nada seserius itu pada Wuje, jadi wajar kalau anak itu mendadak terdiam.

"Kalau suatu hari nanti Papa benar-benar nggak bisa lagi jagain Mama, kamu jaga Mama ya?"

"... emang Papa mau kemana?"

"Kan 'kalau', Je. Jadi maksudnya tuh misalnya."

"... oh."

"Ngerti nggak maksud Papa?"

"Nggak."

"Yaudah, intinya Papa makasih banget ya. Papa bangga banget sama kamu."

"Hehe."

"Kok malah haha-hehe aja?"

"Aku bingung tau, Pa, harus bilang apa." Wuje mengaku jujur.

Jenar nggak menyahut, hanya tertawa sembari mengacak pelan rambut di puncak kepala anak laki-lakinya. 



to be continued.

***

bukit teletabiez

marah beneran

masih tetap bapak anak satu

reaksi habis ditonjok

endgame gk nieeee

***

a/n: 

hm berarti makin deket ke bagian wuje ikut reunian kampus bapaknya ya 

apakah teman-teman bapaknya akan banyak membongkar aib wkwk 

eh tapi di reunian ini sih isu cere johnny makin santer 

yaudah kita saksikan aja ntar ya 

sabar, tar masih ada bahas-bahas si dhaka 

sama gak seru dong kalo tigra gak ada masalah 

wkwkwkwwkwk 

dah sekian 

met malem

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top