42 | macaroon
Sewaktu Wuje keluar dari kamar dengan kondisi sudah menggendong tas ayam kuningnya, dia justru dibikin melongo karena ayahnya kelihatan lagi bicara serius dengan seseorang di telepon.
"Papa, aku udah—"
"Ssttt..." Rei mendekati si bocil. "Papa lagi telepon."
"Tapi katanya tadi kita udah telat..."
"Nggak apa-apa, nanti kalau Papa nggak bisa anter kamu ke sekolah, Mama yang anter. Atau kamu mau hari ini izin sekolah lagi kayak kemarin?"
Wuje menggeleng. "Nggak mau. Aku mau ke sekolah."
Rei menatap anaknya diikuti tarikan senyum. "Kayaknya kamu hari ini pengen banget ke sekolah ya? Emang sekarang lagi sering belajar apa di sekolah?"
"Biasa aja sih, Ma."
"Hm, terus?"
"Aku emang seneng belajar, rajin gitu kan."
"Em-hm."
"Terus Lila udah janji mau lihatin aku buku barunya! Dia punya buku baru tentang serangga gitu, Ma, gambarnya warna-warni terus bisa dipegang, kayak buku cerita aku itu loh—apa sih namanya? Tiga dimensi yah?! Kata Lila, bukunya mahal, kalau di toko buku biasa nggak ada yang jual. Akunya udah penasaran, pengen lihat. Nanti keduluan sama Kwinsa." Wuje mulai berceloteh.
"Oh..." Rei manggut-manggut. "Oke, nanti kalau Papa emang nggak bisa anter, Mama bisa anter kamu ke sekolah kok."
"Nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa, dong!"
"Takutnya Mama sakit kayak kemarin."
Rei tergelak. "Nggak, Wuje."
Obrolan mereka terputus ketika Jenar yang sudah selesai bicara di telepon mendekat. Ada keraguan membayangi ekspresi wajahnya. Rei yang langsung paham pun berinisiatif bertanya.
"Kenapa sama Papa?"
"Besok ada workshop di Bali. Harusnya yang handling bukan timku, tapi team leader yang harusnya ke Bali hari ini mendadak kena musibah. Salah satu orang tuanya meninggal, dan Papa ngerasa, nggak semestinya maksa orang yang lagi berduka buat tetap kerja. Jadi Papa mau aku yang gantiin team leader yang bersangkutan ke Bali. Kalau bisa, Papa bisa arrange buat flight nanti sore."
"For how long?"
"Tiga hari."
"Kalau cuma tiga hari, kayaknya nggak akan ada masalah deh? I think the rest of your team will do well without you, kalau cuma tiga hari."
"Aku tau, tapi—"
"Tapi?"
"We'll talk about this later, okay?" Jenar berpaling pada Wuje yang sekarang lagi berdiri seraya menengadah untuk menatap kedua orang tuanya. Mulutnya ternganga. Kedua tangannya masih memegang tali tasnya yang berwarna kuning. "Udah siap? Ayo Papa anter ke sekolah!"
"Papa nggak ke kantor?"
"Masih nggak tau. Tapi sekarang Papa anter kamu ke sekolah dulu. Yuk!"
Jenar berjalan duluan menuju pintu, diikuti oleh Wuje yang berlari mengekori langkah-langkah panjang ayahnya.
"Papa! Tungguin!!"
*
Pagi ini, Wirya terbangun menjelang pukul setengah enam.
Lebih siang dari biasanya, mungkin karena seharian kemarin, kegiatannya cukup padat. Lelaki itu memulai hari ini dengan rutinitas tak jauh berbeda dari kemarin, meski kali ini, dia merasa terlalu malas untuk bikin kopi atau menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri. Makanya, menjelang jam setengah tujuh, setelah mandi, dia berniat jalan kaki ke sebuah warung nasi uduk yang berada nggak jauh dari apartemen yang dia tinggali.
Di lift, Wirya menyempatkan diri mengirim chat ke Rossa.
wirya:
rosie, you awake?
ok, kamu gak bales, berarti belum.
have a nice day, babe.
miss you.
Langit hari ini agak redup. Ada banyak awan menggantung di setiap sudutnya, menjadi perisai bagi terpa sinar matahari pagi yang belum terik. Trotoar masih sepi, meski jalan mulai ramai. Kota ini adalah kota yang sibuk. Dia hidup dua puluh empat jam, tanpa henti, seperti tak kenal istirahat, tapi puncak keramaian selalu dimulai pada pagi hari dan berulang kembali di sore hari.
Warung nasi uduk langganan Wirya adalah warung nasi uduk kecil yang berada di pinggir jalan, tapi karena makanannya enak, meski tempatnya sederhana, Wirya tahu ada banyak penghuni apartemen lain yang sering sarapan di sana. Beberapa kali, dia mengajak koleganya untuk makan di sana dan mereka selalu kembali lain hari, sendirian.
Oleh karenanya, Wirya nggak terkejut ketika dia mengenali satu dari beberapa pelanggan pertama yang sedang mengantre.
"Juna?"
Juna menoleh, terus nyengir. "Oit, mau sarapan juga?"
"Didn't expect to see you here." Wirya ikut mengantre di belakang Juna. Setahunya, rumah Juna agak jauh dari sini, walau beberapa kali, Wirya sempat melihat update media sosial Juna yang menunjukkan kalau cowok itu sedang dekat dengan seseorang yang tinggal di lingkungan apartemen yang sama dengan Wirya. "Bukannya rumah lo jauh dari sini."
Juna nyengir. "Semalam abis nginep."
"Di tempatnya Cica?"
"Iya. Hehe."
"Oh." Wirya mengangguk paham. "Cica nggak ikut?"
"Masih tidur. Semalem kita sempat minum bareng."
"Dan lo udah bangun?"
"Gue selalu bisa berkorban lebih untuk makanan yang enak." Juna nyengir, walau sejenak kemudian, dia tampak mengawali ucapannya dengan hati-hati. "Wir, gue mau tanya deh. Kalau menurut lo ini sensitif dan berhubungan sama privasi lo, nggak usah dijawab nggak apa-apa. Just a plain curiosity here."
Wirya yang tengah mengisi plastik es bening dengan beberapa potong gorengan mengangkat alis. "Hm, mau nanya apa?"
"Lo masih pacaran sama cewek lo yang waktu itu? Yang pernah liburan bareng sama lo ke Bali. That one with rose blonde hair?"
"Rossa?"
"Iya."
"Masih, kok. Kenapa?"
"Oh..." Juna terlihat ragu-ragu.
"It's okay." Wirya menenangkan. "Just say it."
"Sori banget, sebenarnya gue rada nggak enak ngomongnya." Juna menghela napas sembari melangkah maju, soalnya antreannya kan terus berjalan. "Tapi semalam, gue sama Cica nggak sengaja lihat cewek lo lagi nongkrong Bourbonate sama cowok. Berdua aja."
"Oh..." Wirya mengerjap.
"Sori—"
"Itu sepupunya. Dia udah bilang kok ke gue." Wirya menyambar kata-kata Juna, membuat Juna terperangah sejenak.
"Really? I am so sorry, then."
"Nggak apa-apa. It's okay."
"Gue kira lo nggak tau. You're a good friend so I think I have to... you know... let you know."
"No worries. Thanks, Jun."
*
Jenar kembali lagi ke rumah setelah mengantar Wuje ke sekolah.
Rei sedang duduk di depan tv dengan secangkir teh mint di tangannya, dan sebuah stoples berisi biskuit cokelat di atas meja ketika Jenar masuk dalam langkah-langkah cepat.
"Udah nggak mual?"
Rei menggeleng. "Kalau minum teh atau makan biskuit aja, nggak ada masalah sih. Selama bukan makanan amis."
Jenar mengembuskan napas, kemudian duduk di sebelah Rei yang kini meletakkan cangkir tehnya di atas meja.
"Mau lanjut ngomong soal Bali?"
Jenar mengangguk. "Papa expects me to be there. Katanya, kalau dia bisa, dia bakal minta tolong Kak Hyena. Tapi berhubung apa yang bakal jadi pembahasan utama di workshop benar-benar jauh dari specialitynya Kak Hyena, ya nggak bisa."
"Then just go."
Jenar terlihat ragu.
Rei memiringkan wajah. "Kamu takut tim kamu kenapa-napa selama kamu nggak di Jakarta? Menurutku sih nggak, soalnya cuma tiga hari. Dino atau Ibob pasti bisa handle—ditambah lagi ada anak magang itu, kan? In spite of her behaviour—" Rei berdeham. "Ibob bilang, dia itu pintar dan bisa kerja kok. Things will be alright, Je."
"Kayaknya sekarang aku tau deh, siapa informan kamu soal Karol."
Rei terbatuk. "Kenapa malah jadi bahas soal yang kemarin lagi sih?!"
"... Ibob ya?"
"Bukan."
"Kalau gitu Dino."
"Priority, Je. Omongin yang urgent buat diomongin sekarang, dong..."
"Aku nggak ragu karena aku khawatir sama tim aku."
"Terus?"
Jenar menghela napas panjang, menatap Rei sejenak. "Aku khawatir sama kamu."
Rei mengerjap, terus tawa kecilnya meledak, membuat Jenar langsung manyun hingga mulutnya mengerucut—dan itu sama sekali nggak membantu, sebab tawa Rei justru makin keras.
"Regina, aku serius!"
"Je, ini bukan pertama kalinya kamu ada kerjaan ke luar kota, atau bahkan ke luar negeri! Dan ini cuma tiga hari! Bali itu dekat, cuma satu penerbangan dari Jakarta dan masuknya juga penerbangan pendek."
"I don't know, it just doesn't feel right."
"..."
"Kalau kamu kenapa-napa saat aku lagi nggak di Jakarta, gimana?"
"Apa ini gara-gara yang kemarin? Ya ampun, aku tau aku emang jarang sakit—"
"Kamu jarang sakit, tapi sekalinya sakit, kamu selalu bikin aku panik." Jenar memotong.
"Jenar," suara Rei melembut. "Sori, oke? Tapi apa yang terjadi kemarin itu sangat common. Dhaka pernah cerita, waktu Juno hamil anak kedua mereka, dia juga nggak bisa ngelakuin kegiatan yang berat-berat dan jadi gampang capek. Nah, sekarang aku baik-baik aja. Cuma morning sicknessnya yang agak ganggu, tapi balik lagi, itu kan wajar."
Jenar masih terlihat ragu.
"Jenar, it's okay, really. Just go. Kalau Papa kamu sampai se-desperate itu, berarti beliau benar-benar butuh bantuan kamu, kan?"
"Oke, aku bakal pergi." Jenar akhirnya mengalah. "Tapi just in case, kira-kira bisa nggak ya aku minta tolong Jella nginep di sini selama aku di Bali?"
"Jangan ngaco, ah! Jella juga punya kehidupan, kali! Dia mesti ngurusin Tigra, ngurusin Cherry juga. Masa kamu mau repotin dia terus dari dulu sampai sekarang?"
"Regina—"
"Nggak apa-apa. Sebelum-sebelumnya kan aku sama Wuje juga seringnya berdua aja tiap kamu ada urusan ke luar kota."
Jenar tetap terlihat gamang.
"Je, it's okay." Rei masih terlihat berusaha menenangkan. "It's okay. Sekarang mending kamu telepon Papa biar flightnya bisa buru-buru diatur untuk nanti sore, ya?"
Dengan agak tidak rela, Jenar mengeluarkan ponselnya dan menelepon ayahnya, seperti apa yang baru saja Rei bilang.
*
jenar:
I heard what happened.
sori banget, gue belum bisa kesana.
but my prayers are with you.
"Who's that?"
Pertanyaan yang baru saja Tigra lontarkan refleks membuat Johnny mengangkat wajah, mengalihkan tatap dari layar ponsel untuk menatap lelaki yang sekarang sedang duduk di depannya.
Johnny baru terpikir memberitahu orang selain orang tuanya dan orang tua Gia semalam, dan nomor ponsel Tigra adalah yang pertama dia hubungi. Johnny tahu, mungkin dia akan terdengar cengeng, but men do cry too. Situasi yang tengah Johnny alami adalah sesuatu yang tidak pernah dia duga akan terjadi padanya, dan buat setiap orang tua, melihat anak sendiri terbaring sakit tak berdaya adalah sesuatu yang nggak tertahankan. Jika saja bisa, Johnny pasti bersedia bertukar tempat dengan Chester. Tidak apa-apa dia yang sakit, asalkan anaknya baik-baik saja.
Hari ini, Tigra mendatanginya di rumah sakit. Sendirian saja, tanpa Jella. Kayaknya, Tigra bisa merasakan atmosfer tak nyaman yang berada diantara Gia dan Johnny, makanya dia menurut saja ketika Johnny mengajaknya duduk bareng di sebuah restoran dekat rumah sakit, tempat di mana mereka berada sekarang.
Hingga saat ini, belum ada perkembangan berarti dari kondisi Chester. Dokter mengatakan, mereka masih mengupayakan yang terbaik, berusaha memastikan tidak terjadi pendarahan lanjutan, atau infeksi berat maupun pembengkakan. Namun segalanya baru bisa lebih jelas kalau Chester sudah terbangun dan kini, mereka semua masih berharap untuk itu.
Johnny tidak tahu, apa dia masih punya alasan untuk tetap waras jika kemungkinan terburuk itu terjadi; kalau Chester tidak akan pernah bangun.
"Gue nggak bermaksud kepo berlebihan, cuma ekspresi muka lo jadi rada gimana gitu abis lo buka handphone." Tigra menyambung ucapannya, kali ini sembari menyedot es kopi yang dia pesan.
"Jenar."
"Ah ya, berarti Jella udah cerita ke Rei. Apa kata Jenar?"
"Dia minta maaf karena belum sempat kesini."
"Kalau lo ngerasa upset karena itu, just for your information, kemarin Rei sempat ke rumah sakit juga."
Johnny mengernyit. "Kenapa?"
"Pingsan, tapi ternyata itu karena Jenar mau punya anak kedua, sih."
"Oh."
Sebelum menutup aplikasi WhatsAppnya, Johnny tersadar kalau ada banyak sekali chat yang belum dia buka sejak kemarin, termasuk notifikasi dari grupnya bareng teman-temannya. Tentu saja, siapa yang punya waktu mengecek hal-hal seperti itu ketika anaknya sedang bertarung dengan maut?
"John,"
"Apa?"
"Just spit it out."
Johnny mengerjap, menatap Tigra lurus. "Apanya?"
"Lo kelihatan stress banget dan ngelihat gimana interaksi lo sama istri lo tadi, gue ngerasa ada yang lagi nggak baik-baik aja."
"Kayaknya lo emang nggak pernah capek nyoba jadi therapist dan pemecah masalah teman-teman lo ya?"
"Kalau gue bisa bantu, kenapa nggak? Terutama ketika masalah-masalah yang teman-teman gue punya adalah masalah yang sederhana, yang bisa diselesaikan dengan mudah kalau aja dua-duanya nggak sama-sama emosi. Not saying masalah Chester termasuk ke dalam masalah-masalah yang sederhana seperti yang gue sebut barusan, tapi lo paham lah apa maksud gue."
Johnny menarik senyum tipis yang terkesan sedih. "You're helping everyone, but who's helping you?"
"Gue sama Jella baik-baik aja. At least, sampai hari ini, nggak ada masalah diantara kita yang nggak bisa kita selesaikan."
"You're lucky, then." Johnny menjawab sendu, kemudian menyambung ucapannya. "Kemarin, gue sama Gia berantem."
Tigra menghela napas. "Kenapa?"
"It's just..." Johnny menghela napas berat. "Ada yang bilang, emosi yang dipendam lama-lama itu nggak baik. Selain bisa jadi penyakit, dia bisa jadi bom waktu. Kemarin, bom waktunya meledak."
"Go on, gue mendengarkan."
"Lo tau kan, kalau selama ini Gia sibuk banget? Dia sering ke luar Jakarta, entah itu ke luar kota atau ke luar negeri. Dia jarang banget menghabiskan waktunya sama Chester. Kalaupun iya, biasanya singkat dan masih diganggu sama kerjaan. Selama berbulan-bulan belakangan, gue makin ngerasa bersalah sama Chester. Mungkin karena dia udah cukup ngerti, dan udah cukup pintar buat ngomong. He often asked me, kenapa Mami nggak pernah stay? Kenapa Mami pergi terus? Especially kalau dia lihat Aidan dan Nadia yang sedekat itu sama ibunya, atau Arga sama mamanya. Tiap dia nanya, gue selalu bingung mau jawab apa. It crushed me. Gue merasa hancur banget sebagai orang tua. Bisa-bisanya, anak gue yang masih kecil udah bisa nanya kayak gitu."
Tigra tetap diam, membiarkan Johnny melanjutkan ceritanya dalam suara yang amat emosional.
"Beberapa hari yang lalu, sebelum Gia pergi ke bandara, Chester kebangun pagi-pagi. He begged her to stay, bilang kalau dia mau dimandiin ibunya. Gia, as usual, nggak ada waktu untuk itu. Dia langsung pergi. Dia baru sampai di Jakarta lagi kemarin, setelah Chester kecelakaan. Gue tau, apa yang terjadi pasti menghancurkan dia juga. She loves him, after all. Tapi dia mulai menyalahkan gue—and—" Johnny menelan saliva, berdeham untuk melegakan dadanya yang kini terasa sesak. "Gue tau, di awal ada Chester, gue sempat bilang kalau gue nggak akan membuatnya memilih antara keluarga dan karirnya. Tapi dia nggak bisa membagi waktu."
"And then?"
"She slapped me. Dia marah banget. Gue pun begitu. Jujur, gue capek. Semalam, kita sempat ngomong lagi. Dan gue bilang ke dia, kalau kita sampai kehilangan Chester di sini, gue nggak yakin kalau hubungan gue dan dia bisa sama lagi. Tapi kalau Tuhan mau kasih kita kesempatan, dan Chester bisa sembuh, gue mau Gia 'ada' buat Chester sebagai ibunya. Kalau nggak—"
"Kalau nggak?"
"I don't see the point of us to stay together."
"Johnny—"
"Gue nggak tau harus gimana lagi, Tigra." Johnny menyisir rambutnya ke belakang, terlihat frustrasi. "She doesn't want to listen."
"Sebelum ini, apa lo udah coba ngajak Gia ngomong, coba bilang ke dia kalau lo ngerasa dia nggak adil membagi waktu antara karir dan perannya dalam keluarga?"
Johnny terdiam.
"I assume, you didn't try?"
"Apa bedanya? Dia bakal menganggap gue egois, nggak menepati janji gue soal gue yang nggak akan memaksa dia untuk—"
"Johnny, lo tau nggak kalau salah satu sifat manusia yang paling buruk itu adalah mereka mudah lupa?"
"..."
"Sebagai manusia, kita semua mudah lupa. Lupa sama apa yang kita janjikan. Lupa sama sesuatu yang penting. Karena itu, setiap orang selalu perlu diingatkan, dan boleh mengingatkan. Lo boleh banget mengingatkan istri lo. Dan istri lo, ada kalanya perlu diingatkan."
Johnny menghela napas, tiba-tiba saja kehilangan kata-kata untuk dilontarkan sebagai jawaban.
"Lo bilang kalau dia bakal menganggap lo egois dan nggak menepati janji lo, tapi itu bukan kenyataannya, John. Itu cuma asumsi lo, tebakan lo, dan tebakan lo belum tentu selalu sama persis dengan kenyataannya." Tigra berujar dengan nada hati-hati. "Gue rasa, kalian berdua sama-sama salah di sini. Gia salah, karena dia kurang bisa meluangkan waktunya buat ada untuk Chester. Lo salah, karena sebagai suaminya, lo nggak pernah mencoba mengingatkan dia. Tapi soal siapa yang lebih salah, bukannya untuk sekarang, itu nggak penting lagi? Apa yang penting adalah gimana Chester bisa baik-baik aja, kan?"
"... yes." Suara Johnny keluar dengan amat lirih.
"Untuk sekarang, coba pikirin Chester. Utamain dia. Menurut lo, dia bakal senang kalau dia tau kedua orang tuanya berantem kayak gini karena dia? Kayaknya nggak. Nggak ada anak yang suka lihat orang tuanya bertengkar, apalagi sampai mau pisah. Dan seringnya, dalam perpisahan kedua orang tua, yang jadi korban justru anaknya."
Johnny membisu, kentara sekali tengah merenungi kata-kata Tigra.
"Jangan pikirin apa pun yang nggak penting, untuk saat ini. Fokus aja sama anak lo. Try to do that, okay?"
"... okay."
*
Rossa tiba di rumah Rei menjelang sore hari, tak lama setelah Jenar berangkat ke bandara.
Wuje yang baru bangun dari tidur siang singkat rutinnya—yang selalu Rei biasakan setelah memastikan anak itu sudah makan siang dan cuci tangan-muka-kaki setelah pulang sekolah—sempat dibikin linglung oleh kehadiran Rossa. Soalnya ketika dia keluar dari kamar, dia langsung disambut oleh Rossa yang duduk sendirian memunggungi arah pintu kamarnya, sementara Rei tak kelihatan karena lagi bikin teh di dapur.
"Mama, kok rambutnya jadi pirang sih?"
Rossa menoleh, menarik senyum lebar yang membuat Wuje berseru girang. "Tante Ocha?!"
Detik berikutnya, Wuje sudah melangkah cepat dengan penuh rasa antusias untuk menghampiri Rossa. Dia memanjat sofa dan duduk di samping Rossa bertepatan dengan Rei muncul dari dapur bersama nampan dengan poci, cangkir dan piring camilan di atasnya.
"Loh, udah bangun?"
"Udah." Wuje nyengir, melanjutkannya dengan berceloteh. "Tadi waktu baru bangun, aku kaget, loh kok Mama tiba-tiba rambutnya pirang!? Tapi ternyata Tante Ocha. Habisnya, Mama sama Tante Ocha mirip sih kalau dari belakang..."
Rossa tertawa, terus mencubit pelan pipi Wuje. "Gemes banget, Argan, makin cerewet aja deh..."
"Nggak cerewet, Tante. Barusan aku tuh cerita." Wuje menggelengkan kepalanya beberapa kali, terus melihat ke nampan. "Mama, aku juga mau cokelat panas!"
"Kalau panas nanti mulutnya kebakar dong, Je."
"Oiya ya? Nggak jadi deh, jadinya mau cokelat anget aja!"
"Tante Ocha yang bikinin, mau?"
Wuje membelalakkan matanya. "Emangnya Tante Ocha bisa?"
"Khusus untuk Argan, Tante Ocha udah belajar bikin cokelat anget sesuai yang Argan suka."
"Mau, deh! Sebenarnya aku juga rada gimanaaaa gitu minta tolong Mama yang bikinin, soalnya kemarin Mama sakit, Tante."
"Oh ya?"
"Iya!" Rei hanya menonton sembari menahan senyum saat Wuje mengekori langkah Rossa menuju dapur. Anak bicara dengan suara keras, jadi ceritanya masih bisa terdengar jelas. "Aku kaget banget, Tante. Mama tiba-tiba pingsan gitu, kayak di film yang di tv-tv. Aku kira, yang kayak gitu cuma ada di film doang, eh ternyata beneran..."
"Terus?" Rossa balik bertanya diikuti suara pantat cangkir yang beradu dengan meja, lalu bunyi air yang mengalir dari dispenser.
"Terus waktu di rumah sakit, Mama bangun. Diperiksa sama Pak Dokter tuh... dibantu sama suster juga. Susternya cantik deh, kayak Tante Ocha."
Rossa tergelak. "Kok kamu bisa ingat susternya cantik?"
"Iya, aku tuh emang gampang inget sama yang cantik, Tante."
Rossa berdecak geli, mengambil sendok dari salah satu laci dan menggunakannya untuk mengaduk rata cokelat hangat yang tengah dia buatkan untuk Wuje. "Kayak Papa kamu banget deh."
"Papa kenapa, Tante?"
"Gampang inget sama yang cantik-cantik." Rossa membalas lugas. "Terus, mamanya sakit apa?"
Rossa sudah tahu, tapi entah kenapa, dia senang mendengar Wuje bercerita. Anak itu selalu bicara dengan penuh semangat, terkadang amat cepat, menunjukkan kalau dia betul-betul antusias. Rossa suka melihat ekspresi Wuje yang lagi seperti itu dan bertanya-tanya, seperti apa rasanya jadi Rei yang bisa berada di dekat Wuje setiap hari.
"Kata Papa, mau ada adik bayi."
"Em-hm. Terus?" Rossa melangkah keluar dari dapur, kembali ke ruangan di mana Rei berada.
"Tapi adik bayinya belum bisa diambil. Nanti, adik bayinya jadi adik aku."
"Seneng nggak?"
"Seneng sih, Tante."
"Kok pake 'sih'?" Rei bertanya, sementara Rossa kembali duduk di tempatnya. Jawaban Wuje agak bikin Rei khawatir.
"Takut adik bayinya nakal kayak Kwinsa."
"Nggak dong, nanti kan adiknya diajarin buat jadi adik bayi yang baik. Nanti kamu jadi abang."
"Aku nggak mau jadi abang, Mama."
"Hah?" Rei mengerjap. "Kenapa nggak mau jadi abang, Nak?"
"Aku mau jadi Wuje aja. Selama ini aku Wuje, bukan abang."
"Maksudnya, nanti adik bayi panggil kamu 'abang'."
"Oh..." Wuje manggut-manggut, lalu tak berkata-kata lagi sebab sudah sibuk menyesap cokelat hangatnya.
Si bocil sempat bermanja-manja sejenak sama Rossa, hingga perhatiannya tersita oleh mainan baru yang Rossa bawakan. Wuje jadi kelewat senang dan merasa action figure Godzilla yang Rossa berikan bakal sangat cocok jika dijadikan rekan bertarung action figure Ultraman kesayangannya. Dalam hitungan menit, dia sudah sibuk bermain sendiri sambil duduk di atas karpet, sementara Rei dan Rossa mengawasinya dari atas sofa.
"Katanya anaknya Johnny kecelakaan ya?" Rossa membuka percakapan.
Rei mengangguk. "Gue baru tau dari Jella kemarin. Katanya kecelakaannya kemarin pagi, cuma Johnny baru bisa cerita ke Tigra pas udah malam."
"Kayaknya parah dan serius deh."
"Iya."
"Lo ada rencana nengok?"
"Tadinya mau ke rumah sakit sore ini sama Jenar. Cuma Jenar ada urusan mendadak ke Bali. Waktu lo dateng, baru aja dia pergi ke bandara."
"Urusan mendadak?"
"A workshop, I think? Something like that. Team leader yang harusnya hadir ke workshopnya baru tertimpa kemalangan, jadi mertua gue ngerasa nggak etis aja kalau mengharapkan dia tetap berangkat. Jenar yang jadi penggantinya."
"Oh..." Rossa manggut-manggut paham. "Anyway, congrats for baby number two!"
Rei nyengir. "Thankyou."
"Jujur, sampai sekarang gue tuh masih suka amaze sama lo, atau sama Jella. Kalau Yumna sih, gue nggak kaget-kaget amat. Meskipun rada nyolot dan bar-bar gitu, she has motherly insticnt in her. Apalagi dulu di kosan, dia yang emang paling rajin taking care anak-anak kosan kan? Inget banget, kayaknya nggak ada anak lantai dua kosan yang belum pernah disuapin bubur sambil diomelin sama Yumna ketika lagi sakit." Rossa tergelak.
Rei terkekeh. "Ah, good old times."
"Indeed." Rossa sependapat. "But, did you really expect it, though?"
"Apanya?"
"Jadi ibu... ngurusin Argan... dan sekarang, yang baru lagi on the way."
"Expect jadi istri orang aja nggak pernah." Rei mengedikkan bahu. "Tapi kayak kata Forrest Gump, life is like a box of chocolates. You never know what you're gonna get."
"Um... chocolate?"
"Ada banyak varian dan rasa cokelat. Kita nggak akan pernah tau apa yang kita dapat." Rei tersenyum, matanya menatap lembut pada Rossa.
Jenis tatapan yang Rossa kenali sebagai sesuatu yang jauh lebih dewasa. Dia ingat pertama kali dia ketemu Rei di kosan, ketika mereka masih sama-sama mahasiswa baru. Rei yang terlihat suka menyendiri, pendiam dan irit menjawab ketika diajak ngobrol. Butuh waktu lama bagi perempuan itu 'mencair' ke penghuni lantai dua kosan yang lain. Di awal mengenal Rei, Rossa sempat agak merasa terintimidasi, sebab tatapannya terlihat kelewat dingin. Tipikal orang yang biasanya diam-diam psikopat, kalau dalam film-film horor.
Namun sekarang, setelah lebih dari satu dekade berlalu sejak perjumpaan pertama mereka, saat duduk berhadapan seperti ini, Rossa tersadar, tatapan dingin itu nggak lagi ada di sana. Sorot mata temannya telah menghangat, tapi di saat yang sama menawarkan keteduhan. Jenis tatapan yang sama yang Rossa pernah lihat pada Jella, atau pada Yumna. Rossa mulai bertanya-tanya, seandainya dia pun diberi kesempatan jadi seorang ibu, apakah dia akan punya tatapan seperti itu?
"Ros?" suara Rei membuat Rossa tersentak sedikit. "Kok malah melamun?"
"Cuma spacing out sebentar."
"Mikirin apa?"
"Masih suka nggak percaya aja, apalagi kalau diingat-ingat obrolan kita-kita dulu waktu makan seblak bareng di lantai dua. Banyak dari anak kosan nebak kalau gue yang bakal nikah duluan, jadi ibu, stuffs like that. Kebalikannya, lo justru termasuk yang skeptis dan nggak mikir kalau lo bakal nikah. Tapi sekarang, well, you're going to be a mother of two."
"..."
"Ditambah lagi, lo memilih untuk benar-benar sepenuhnya jadi ibu. Kayak... Regina Arunika yang memilih di rumah aja buat ngurus anaknya? I really didn't expect that."
"Me too."
"Tapi susah nggak sih begitu, buat lo pribadi?"
"Untuk jadi ibu yang di rumah aja?"
"Em-hm. Kalau nggak salah, lo resign beberapa bulan setelah lo nikah, kan?"
"Iya." Rei membenarkan. "Sejujurnya, sebelum resign, gue sempat mikir lamaaaaaaa banget. Saat gue kuliah, gue udah menentukan, kalau kayaknya gue bakal lebih enjoy berkarir, bukan jadi perempuan yang di rumah aja. Kayak... ego gue menginginkan gue punya pencapaian sendiri, punya sesuatu yang bisa dibanggakan. Bukan berarti jadi ibu itu bukan sesuatu yang bisa dibanggakan, tapi buat sebagian orang, jadi ibu itu dianggap kodrat. Sesuatu yang semestinya emang dilakukan setiap perempuan, dan bukan prestasi apalagi pilihan. Malah lebih dianggap aneh, kalau ada perempuan yang nggak mau jadi ibu."
"Tapi pada akhirnya, lo memilih resign."
"Iya. Waktu mikir, gue sengaja nggak nanya pendapat Jenar, soalnya dia pasti ngerasa bersalah kalau gue ngerasa 'dipaksa' untuk stay di rumah buat ngurusin anak dia. Tapi pada akhirnya, gue memilih buat resign aja. I didn't grow up in a loving home. Itu faktor pendorong utamanya. Kalau dulu gue nggak happy di rumah, gue nggak mau anak gue ikut ngerasain itu. Gue mau anak gue happy dan ngerasa aman di rumahnya sendiri. Gue mau dia dekat sama gue, to the point, dia nggak perlu ngerasa takut jujur tentang apa pun ke gue, atau ke Jenar."
Rossa diam saja, memilih mendengarkan.
"Awalnya, udah pasti nggak gampang. Apalagi kalau lihat teman-teman gue yang masih ngantor, yang punya kegiatan lain di luar rumah, yang naik jabatan inilah-itulah. Hidup mereka seakan moving forward, maju terus. Mereka punya pencapaian yang bisa dibanggakan, jabatan inilah atau itulah, punya koneksi di mana-mana. Pergi kesana-kesini karena pekerjaan mereka."
Rei meneruskan kata-katanya. "Sedangkan buat gue? Kebanyakan orang selain teman-teman terdekat gue cuma kenal gue sebagai istrinya Jenar, ibunya Arga. Udah. Nggak munafik, kadang gue kangen suasana kantor, kangen ketemu orang yang berbeda tiap harinya, kangen dikenal sebagai Regina dari divisi ini, Regina dari perusahaan ini, bukan cuma sebatas Regina istrinya si ini atau ibunya si ini. Tapi gue sadar, dalam hidup gue nggak bisa memiliki semuanya. Gue sudah memilih ini, all for the sake of my child, and my husband. Asalkan Arga sama Jenar happy, gue juga happy. Kalau mikirnya gitu, gue nggak ngerasa nyesel-nyesel amat resign dari kantor. Dan jadi ibu yang di rumah aja nggak seburuk itu juga."
Rossa menghela napas. "Jujur, menurut gue, lo hebat banget. Gue sendiri nggak yakin, apa gue bisa begitu juga."
"Begitu gimana?"
"Jadi ibu yang baik." Rossa tergelak, seperti sedang menertawakan dirinya sendiri. "Gue bahkan nggak tau apa gue cukup pantas buat jadi ibu."
"Segala sesuatu selalu kelihatan jauh lebih menakutkan sebelum kita mencoba. Tapi kalau udah dicoba, lo akan menyadari sendiri, kalau ketakutan lo seringkali nggak beralasan." Rei menyahut. "Dulu, gue takut nikah. Gue takut Jenar bakal berubah or worse, dia bakal selingkuhin gue kayak gimana bokap gue selingkuhin nyokap gue. Gue takut gue nggak bisa bikin anak gue ngerasa disayang, kayak gimana nyokap gue nggak bikin gue ngerasa disayang. Tapi pada akhirnya, gue memberanikan diri ambil resikonya buat anak gue dan... well, I don't think my life can be any happier."
"I am happy for you, really."
"And I want you to be happy too, Cha." Rei berujar tulus. "Kejadian yang dulu itu traumatik banget dan sori banget, saat lo benar-benar butuh support, gue nggak ada di sana. Tapi sejujurnya, gue rasa lo punya semua yang lo butuhkan untuk jadi ibu yang baik."
"Gue nggak tau. It sounds scary."
"Kalau lo masih mikirnya gitu, gue rasa yang sekarang lo butuhkan hanya satu."
"Apa?"
"Seseorang yang mau bikin lo ambil resiko. Seseorang yang bisa bikin lo maksa diri lo sendiri jadi berani."
*
Esok harinya, Rei yang menjemput Wuje di sekolahnya.
Nggak ada tujuan penting, sebetulnya. Cuma semalam, waktu Rei menidurkan Wuje, anak itu berceloteh soal Queensha yang memamerkan macaroon yang kemarin dibawanya ke sekolah sebagai bekal snack. Kata Queensha, Yuta yang membelikan macaroon itu tanpa Queensha minta. Wuje ngiler banget, karena menurut si bocil, warna macaroonnya lucu.
"Aku pengen banget tau, Ma, makan macaroonnya. Soalnya warna-warni gitu, terus kata Cherry sama Lila, rasanya enak banget." Wuje curhat menjelang tidur sambil menggulung-gulung helai rambut panjang Rei ke salah satu jari telunjuknya.
"Terus?"
"Aku bilang ke Kwinsa, 'Kwinsa, aku mau nyicip juga dong, satuuuuuuu aja' gitu. Eh, Mama tau nggak Kwinsa bilang apa?"
"Kwinsa bilang apa, Nak?"
"Kata Kwinsa, 'kalau mau dikasih macaroon, kamu harus bilang baik-baik'. Terus aku jawab, 'Kwinsa, aku kan udah minta baik-baik. Aku mau satuuuuuu aja macaroonnya.' Kata Kwinsa, itu belum baik-baik. Jadi aku tanya lagi, 'emang yang baik-baik tuh yang gimana?'."
"Terus?"
"Kwinsa bilang, 'bilang, Yang Mulia Queensha yang cantik banget, aku mau dong macaroonnya satu'." Wuje meneruskan ceritanya sambil manyun hingga bibirnya mengerucut ke depan, persis kayak bapaknya.
Rei tertawa geli. "Terus?"
"Aku nggak mau dong, Ma! Itu sih lebay. Males banget, udah harus manggil Kwinsa cantik, harus manggil dia 'Yang Mulia' juga! Kalau disuruh manggil 'Yang Terjelek', baru aku mau."
"Abis itu?"
Wuje menutup ceritanya dengan kalimat memelas, jadi bisa dibilang curhatannya diakhiri oleh sad ending. "Aku nggak dikasih macaroonnya, Ma, sama Kwinsa. Mana pas tinggal satu macaroon terakhir, dia nunjukkin macaroonnya depan muka aku, terus bilang 'Je, kamu mau?'. Langsung aku jawab, 'Iya, mau. Tapi aku nggak mau panggil kamu cantik atau panggil kamu 'Yang Mulia'. Eh... si Kwinsa jahat banget, Ma, macaroon terakhirnya dia masukkin ke mulut. Aku nggak dikasih sama sekali."
"Ya kamunya nggak mau nurutin apa kata Queensha."
"Harga diri aku lebih penting, Ma." Wuje berujar dramatis.
"Dramatis banget deh, Je. Siapa yang ngajarin?"
"Papa."
Kalau jawabannya begitu, Rei sudah nggak heran.
Rei jadi agak kasihan, soalnya kelihatannya Wuje memang betulan kepingin macaroon. Makanya, esoknya, dia yang menjemput Wuje di sekolah, biar sebelum pulang, mereka bisa mampir dulu di bakery langganan keluarganya Jenar yang Rei tau, menjual macaroon cantik nan enak.
Wuje yang bisa mengenali Camry mamanya begitu tiba di parkiran sekolah TK-nya jelas langsung kaget. Walau anak itu masih kurang yakin kalau Rei yang betulan menjemput. Dia mendekat pelan-pelan dengan wajah penasaran, yang dengan segera dihiasi senyum lebar begitu Rei menurunkan kaca jendela di samping kursi pengemudi.
"MAMA?!"
"Iya."
"Kok Mama jemput aku?!"
"Katanya kamu mau macaroon. Mama mau ajak kamu beli macaroon."
"BENERAN?!"
"Iya." Rei nyengir.
"ASYIKKKK!!!" Wuje mengepalkan kedua tangannya untuk meninju udara, terus dia membalikkan badan dan menjulurkan lidah pada Queensha yang berjalan beriringan bareng Lila dan Cherry. "Kwinsa, aku mau dibeliin Mama aku macaroon! Lihat aja ya, besok aku bawa macaroon! Kalau kamu mau, kamu harus panggil aku 'Yang Mulia' dan 'Si Ganteng'!"
Queensha memasang ekspresi wajah sengit, sementara Cherry dan Lila yang sadar kalau mereka bakal kebagian jatah macaroon besok langsung tampak girang.
Dengan segera, Wuje masuk ke seat belakang mobil, sudah paham kalau Rei nggak akan membiarkannya duduk di depan karena menurut Rei, passenger seat bagian depan itu nggak aman buat anak-anak.
Usai memastikan si bocil sudah duduk dengan nyaman, Rei pun melajukan mobilnya. Sepanjang jalan nggak mereka lalui dengan hening, soalnya Wuje lancar banget memutar lagu-lagu keluaran Pinkfong favoritnya dan sesekali, Rei yang sudah hapal lagu-lagu tersebut saking seringnya Wuje menyetelnya ikut bernyanyi.
Mobil yang mereka tumpangi baru berhenti ketika sudah tiba di depan bakery.
"Hm, kayaknya hari ini bakerynya agak sepi." Rei melepas safety beltnya, bersiap untuk turun, tapi sejenak kemudian, mendadak dia tersentak karena rasa sakit yang tiba-tiba menyengat perutnya.
"Mama, kenapa?" Wuje yang tersadar langsung beranjak dan mencondongkan badannya ke arah Rei dari belakang.
"Nggak apa-apa—" kata-kata Rei terpotong oleh erangannya sendiri.
Rasa sakit yang awalnya tiba-tiba kini mulai menetap dengan intesitas yang terasa makin meningkat. Rei menghela napas panjang dengan wajah yang mulai memerah karena menahan sakit. Dia nggak mau bikin Wuje khawatir, tapi sepertinya, anak itu sudah bisa membaca situasi yang tengah terjadi. Maka, Rei mengeluarkan ponselnya, berniat menelepon Hyena atau Jella.
Namun, sebelum dia sempat melakukannya, rasa nyeri yang lebih hebat kembali mencengkeram, hingga napasnya mulai tidak teratur.
"Mama, Mama kenapa?! Mama sakit lagi?!"
Diantara dera rasa sakit yang berhasil bikin lututnya gemetar, Rei menyerahkan ponselnya pada Wuje. "Buka speed dial terus—"
"—terus apa, Mama?!" Wuje mulai panik setelah dia menerima ponsel.
Rei menarik napas panjang, berusaha menahan sakit. "Tekan nomor satu yang lama—" nomor yang tersimpan pada speed dial angka satu adalah nomor Jenar, tapi dengan segera, Rei meralat ucapannya. "—nomor tiga—" dia menarik napas lagi, berusaha tetap terdengar baik-baik saja. "—tekan nomor tiga yang lama."
"Iya, Mama." Walau jelas sekali cemas, Wuje menurut.
Rei tetap duduk di driver seat dengan satu tangan memegang bagian perutnya dan satu tangan yang lain mencengkeram roda kemudi, hingga dia merasakan sesuatu yang basah dan merah mengaliri betisnya.
to be continued.
***
pokoknya ini tas ayam bukan tas bebek!!!! --wuje
Wirya versi dewasa (cailah) udah pernah marah belom sie? belom yha? wkwkwkwkwk
pemilik tas ayam
asik bgt yang lagi di Bali
***
a/n:
pada bilang kasian johnny, kemalangannya dibagi-bagi aja gitu katanya
yaudah nie kemalangannya dibagi-bagi wkwkwk
tapi sebenernya bukan berarti harus ada kemalangan sih
namanya hidup shay, dalam berumah tangga pun gak selamanya mulus-mulus happy-happy aja kan
apalagi soal anak tuh yah...
gitu deh
sampai ketemu di chapter selanjutnya
met subuhan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top