40 | kitten

Waktu masih remaja, Johnny pernah nggak sengaja menonton sebuah video tentang Musibah Challenger yang lewat di beranda Youtubenya.

Sesuai judulnya, video tersebut menunjukkan detik-detik terjadinya kecelakaan pesawat ulang-alik Challenger milik Amerika Serikat di tahun 1986. Peluncuran pesawat tersebut disertai oleh program yang untuk pertama kalinya, akan membawa seorang guru ke luar angkasa untuk melakukan percobaan-percobaan sains sederhana dan menjawab pertanyaan para murid melalui orbit. Karena itu, wajar kalau peluncuran pesawat tersebut jadi salah satu peristiwa yang menarik perhatian publik, membuatnya diliput banyak media dan disiarkan secara live.

Di pagi hari sebelum pesawat diluncurkan, guru tersebut beserta enam astronot lainnya melakukan wawancara, sarapan bersama, dilanjut berfoto sebelum mulai boarding. Dalam siaran live, terlihat sekali wajah mereka dipenuhi rasa bangga dan kegembiraan. Lalu pesawat benar-benar diluncurkan dan semua orang bersorak, menganggapnya sebagai lompatan besar dalam kemajuan ilmu pengetahuan manusia terutama yang berhubungan sama penjelajahan luar angkasa.

Tapi dalam hitungan detik, sorak-sorai itu berubah jadi kengerian ketika 73 detik setelah mengudara, pesawat tersebut terbakar dan meledak di udara—tersiarkan dalam tayangan live dan disaksikan oleh nyaris seluruh penduduk di seantero negara.

Tayangan itu membuat Johnny sempat terpikir, bahwa meski dianggap sangat singkat, ada banyak yang bisa berubah dalam hitungan detik.

Apa yang tadinya ada, bisa tiba-tiba jadi tiada.

Apa yang sebelumnya menyenangkan, dapat mendadak berganti jadi sesuatu yang menyesakkan.

Dan apa yang terjadi hari ini membuat Johnny, entah kenapa, jadi teringat pada tayangan video tentang kecelakaan Challenger itu.

Mungkin karena 'rasa' yang terbawa serupa, walau situasinya jauh berbeda.

Pagi ini, Johnny bangun kayak biasanya, lebih dulu dari Chester. Tidur anak itu memang sempat terganggu semalam, tapi setelah Johnny berhasil membuatnya terlelap kembali, Chester tak terjaga hingga pagi. Untuk ukuran anak kecil, Chester tidur dengan rapi. Posisi berbaringnya nggak banyak berubah sejak dia tertidur lagi dinihari tadi.

Perlahan, Johnny menarik tangannya. Lelaki itu menguap, kemudian melakukan sedikit peregangan sebelum kepalanya tertoleh ke arah anaknya. Matanya menatap pada Chester sejenak.

Dulu, waktu Chester baru lahir, Gia sempat menyampaikan kecemasannya ke Johnny. Dia agak khawatir, kehadiran Chester berarti karirnya mesti tersudahi secara dini. Johnny ingat, ketika itu dia mencoba menenangkan Gia, berkata kalau ketakutan Gia itu nggak beralasan. Johnny juga berjanji, sebagai partner yang baik, dia akan melakukan apa pun yang dia bisa agar Gia dapat menjadi ibu yang baik tanpa harus mengorbankan pekerjaan di bidang yang dia sukai.

Kini Johnny tersadar, ada beberapa hal yang lebih gampang dikatakan daripada dijalankan.

Johnny menghela napas panjang dan ketika ciuman lembutnya jatuh di bagian samping dahi Chester, dia menegaskan kalau dia akan mengajak Gia bicara lagi soal kesibukan perempuan itu, yang akhir-akhir tampak sangat menyita waktu.

Johnny turun dari kasur lebih dulu. Dia pergi mandi, membasuh wajah, menyikat gigi, kemudian pergi ke dapur setelah berganti pakaian. Dalam waktu singkat, aroma kopi yang baru diguyur air panas telah memenuhi dapur. Nggak hanya sampai di sana, Johnny juga membuat sarapan. Akhir-akhir ini, Chester lagi suka banget makan nasi goreng pakai telur mata sapi yang kuningnya beleberan kemana-mana.

Johnny bukan orang yang suka masak. Apalagi di jaman kuliah, dia lebih sering makan di luar atau delivery sekalian daripada memasak. Tapi gara-gara Chester, Johnny jadi bela-belain scrolling Youtube buat mencari video tutorial membuat nasi goreng yang enak dan telur mata sapi dengan bagian kuning yang masih bleberan kemana-mana.

The perks of being a parent, Johnny pernah berpikir begitu suatu kali.

Kalau bisa dan memungkinkan, jangankan nasi goreng atau telur mata sapi, seisi dunia pun bisa coba diberikan orang tua kepada anaknya.

Saat Johnny kembali lagi ke kamar, Chester sudah terbangun. Anak itu terduduk di atas ranjang, tengah menguap sebelum mengucek salah satu matanya. Melihatnya begitu, ada yang meleleh dalam dada Johnny. Otomatis, lelaki itu tertawa kecil seraya melangkah mendekat.

"Did you sleep well?"

Chester mengangguk.

"Lapar nggak?"

Chester mengangguk lagi, terus katanya. "Papi,"

"Iya?"

"Mami dah pulang?"

Johnny menarik seulas senyum tipis. "Harusnya hari ini. Sekarang, mandi dulu ya?"

Chester menggeleng.

"Nggak mau mandi?"

Chester mengangguk.

"Kenapa?"

Dia menunjuk lututnya yang kemarin sempat terluka dan belum benar-benar sembuh. "Nanti sakit."

"Tapi tetap harus mandi dong, Chester."

"Mandinya nanti aja..."

"Kapan?"

"Kalau udah sembuh."

"Masih lama dong." Johnny geleng-geleng kepala. "Atau gini aja, biar nggak kena air, lututnya diplastikin. Gimana?"

"Hah?" Chester melongo.

"Diplastikin." Johnny mengulang diiringi tawa geli, teringat pada ide aneh yang dulu sering dilakukannya ketika dia masih anak-anak.

Nggak sampai sepuluh menit kemudian, keduanya telah duduk berhadapan di atas karpet yang melapisi lantai ruang keluarga. Johnny menggunakan plastic wrapper bening untuk menutupi luka di lutut Chester yang sudah mulai mengering. Dia sengaja menyisakan jarak dari luka ke tepi plastik, biar tepinya bisa direkatkan pakai selotip bening.

Chester memandang pada ayahnya dengan serius, seakan-akan ayahnya adalah dokter bedah paling jenius sedunia yang lagi melakukan operasi.

Konyol sih, tapi seenggaknya dengan begini, Chester merasa lukanya cukup "aman" dan mau mandi.

Usai mandi, Johnny sarapan bersama anaknya. Mereka bahkan sempat melakukan toast. Chester dengan botol berisi susu hangat, dan Johnny dengan cangkir berisi kopi hitamnya. Begitu selesai sarapan, mendadak Johnny punya ide iseng mengajak Chester jalan-jalan sejenak mengelilingi cluster rumah mereka. Lagipula, cuaca hari ini cukup bagus. Nggak terlalu panas, juga nggak mendung. Agak sayang kalau dilewatkan begitu saja.

Segalanya baik-baik saja—atau setidaknya, kelihatannya begitu—hingga tanpa sengaja, Chester melihat seekor anak kucing yang berjalan terpincang beberapa meter dari tempatnya berada.

"Papi!"

"Iya?"

"It's a cat!"

"Ow, that's a kitten."

"Kitten?" Chester menoleh, menengadah dengan alis terangkat heran.

"Kitten itu anak kucing."

"It's cat..." Chester terlihat bingung.

"It's just like Papi and Chester. Cat is big, like Papi. Kitten is small, like Chester."

"... I am kitten?"

"No, but you're small like a kitten." Johnny terkekeh. "Mau lihat kucingnya?"

"Boleh?"

"Boleh, tapi habis itu harus cuci tangan ya?"

"Iya, Papi." Chester mengiakan, sebelum tanpa aba-aba, berlari menuju anak kucing yang kini bergerak makin ke tengah jalan.

Johnny nggak berekspektasi Chester bakal bergerak secepat itu tanpa menunggunya. Dia berusaha memanggil, tapi seruannya tertahan ketika dari salah rumah yang masih berada di ruas jalan tersebut, meluncur keluar sebuah mobil dengan kecepatan sedang.

Seharusnya gampang bagi siapapun pengemudinya untuk melihat anak kecil yang berlari mendadak agak ke tengah jalan, tetapi besar kemungkinan, pengemudinya sedang sibuk dengan hal lain dan nggak benar-benar memperhatikan jalan, karena Johnny tersadar, mobil tersebut tak melambat sama sekali.

Kepanikan mengaliri sekujur tubuhnya, memicunya untuk berlari secepat yang dia bisa guna mendekati Chester, tapi jarak mereka terlalu jauh.

Pengemudi mobilnya tersadar saat sudah terlalu terlambat baginya untuk menginjak rem. Dia sudah mencoba berhenti, tapi tetap saja, tabrakan tak bisa dihindari, meninggalkan Johnny yang bertanya-tanya, berapa detik yang semesta butuhkan untuk menjungkir-balikkan dunianya, yang semula tampaknya baik-baik saja.

Lima... sepuluh... lima belas?

Tidak, sepuluh detik terlalu panjang.

Lalu layaknya apa yang terekam setelah pesawat ulang-alik Challenger meledak di atas langit Florida dalam video yang pernah Johnny saksikan sekian tahun lalu itu, selama sejenak, yang ada hanya hening hampa yang menyesakkan dada.

*

Dalam perjalanan pulang dari rumah sakit, seperti sebelumnya, Hyena yang menyetir.

Hanya saja bedanya, kini bukan Wuje yang duduk di samping kursi supir, melainkan Jenar. Wuje duduk di belakang bersama mamanya. Sepertinya, insiden yang terjadi pagi ini cukup mengangetkan buat bocah itu. Ditambah, dia tengah kenyang sehabis melahap satu porsi chicken katsu lengkap dengan salad dan nasi hingga tidak bersisa. Maka wajar, kalau sekarang anaknya tepar. Wuje sudah berbaring berbantalkan paha Rei, terlelap sambil memegang salah satu jari Rei dalam genggamannya.

"Perasaan yang habis nyaris jantungan tuh aku, kenapa malah si bocil yang tidur?" Jenar bergumam sambil melirik ke belakang lewat rear-view mirror.

"Jangan gitu, Wuje juga pasti shock. Dia kan hampir nggak pernah lihat aku sakit."

"Tapi kalian berdua tuh ya," Hyena menyela sambil membagi perhatiannya dengan jalan. "—edan banget! Tau nggak, selain ngasih tau gue soal bini lo bunting, dokternya ngasih tau apa lagi?"

"Apa?"

"Katanya, karena masa-masa trimester awal tuh biasanya masa yang rentan, calon ibu disarankan jangan melakukan aktivitas yang berat-berat dulu dan calon ayah dimohon untuk menahan diri."

"Menahan diri apaan?" Jenar pura-pura nggak paham.

"Menahan diri untuk nggak slebew-slebew!" Hyena berseru, bikin Rei berdeham sembari membuang pandang ke luar jendela mobil dengan wajah yang merah. "Sumpah, gue yakin sih Rei, lo pasti jadi bahan ghibah tuh dokter bersama rekan-rekan sejawatnya hari ini."

Rei terbatuk lagi.

"Biarin ajalah."

"Iya, biarin aja." Rei mendukung kata-kata Jenar, walau ujung-ujungnya dia menyambung. "Tapi kalau bisa, kita nggak usah berobat ke rumah sakit itu lagi."

"Kenapa sih? There's nothing wrong with it, you know."

"Iya, emang nggak ada yang salah." Hyena berdecak. "Tapi kan tetap aja malu. Gue paham sebagai laki, you have a thing perkara tanda-menandai, tapi ya nggak usah sebanyak itu juga dong, gelo!"

"Biasanya juga Regina nggak keberatan." Jenar membela diri sambil manyun. "Lagian, kita kan nggak expect bakal mesti ke rumah sakit pagi ini."

"Mau ngapain lo?" Hyena bertanya ketika dilihatnya Jenar mengeluarkan ponsel.

"Ngabarin orang kantor."

"Ngabarin kalau lo bentar lagi jadi bapak dua anak?"

"Kagak. Itu mah ntar aja. Kalau kata orang mah pamali kalau dibilang-bilang sekarang, takutnya malah kenapa-napa." Jenar berkata lagi. "Cuma ngasih tau aja, gue nggak ke kantor hari ini karena Regina sakit."

"Ow, suami goals jaman sekarang nih ceritanya?"

"Hehe."

"Ceritanya."

"Nggak apa-apa, yang penting barusan lo bilang gue suami goals."

Rei hanya membuang napas, sementara Jenar cengar-cengir seraya mengetikkan pesan WhatsApp ke Surya.

Tahu-tahu, ponselnya bergetar.

Ternyata notifikasi dari grup teh tumpah cabang VVIP.

Teh Tumpah VVIP 🍵

jella: heh

jella: nyet @rei

yumna: salah lo manggil monyet kaya gitu

yumna: kasih ini nih

yumna:

jella: WOH, COCOK

rei: kenapa?

rossa: barbar amat lo @jella

rossa: masih pagi

jella: lo sakit apa?

jella: jenar sempet kalang kabut banget telponin gue

jella: tapi gak keangkat

jella: tigra juga gak ngangkat

jella: terus pas gue tanya, jenar jawabnya lagi di rumah sakit

rossa: omg, are you okay? @rei

jinny: ternyata teteh bisa sakit juga

rei: bisa lah, gue manusia

jinny: hehehehe

jinny: sakit apa, teh?

rei: udah mendingan kok

jella: gak nanya udah mendingan apa kaga

jella: lo sakit apa?

juno: eh tapi delta juga katanya masuk rumah sakit yah?

jella: oiya, katanya usus buntu

jella: kata lanang sih mau di-operasi

yumna: lo gak usus buntu juga kan? @rei

rei: gak

jella: terus sakit apa?

rei: wuje mau punya adek

yumna: WHAT

rossa: ow

rossa: congrats, babe @rei

jinny: anjir pisanlah lancar amat aa jenar bikinnya

juno: oh, suami lo udah kagak trauma lagi?

rossa: trauma gimana? @juno

juno: dhaka cerita, katanya jenar trauma waktu nemenin istrinya lahiran arga

juno: lemes gitu, soalnya ya gimana sih orang lahiran

juno: mana darah banyak di mana-mana

yumna: ah laki mah emang gitu

yumna: gede bacot doang, kalo liat cewe lahiran, langsung jadi chicken

jinny: kayak a yuta gak, teh?

yumna: kalo yuta sih, bukan cuma bacotnya yang gede

juno: apanya tuwh yang gede

yumna: torpedonya

rossa: ...

jella: BAEK-BAEK KELAKUAN LO @yumna

jella: di sini ada rossa

yumna: udah lama kita se-grup

yumna: masa rossa gak biasa juga sih

rossa: gue mikir dulu, torpedo tuh apa

yumna: kontrol gak pake r

rossa: kontol?

jella: CHA @rosssa

rossa: wkwkwk maap

jinny: gak nyangka teh ocha bisa ngetik kontol

rossa: yang ngetik jaka, bukan gue

yumna: HAH KOK JAKA

rossa: iya, hari ini kebetulan nge-gym bareng

jella: ... oh

rei: ini udah kelar kan pembahasan soal gue?

jella: OIYA SAMPE LUPA, SI ANJINK

jella: belom!

jella: JADI LO BENERAN BUNTING LAGI?

rei: ... emang ada bunting boongan?

yumna: ada tuh, si muhammad fattah

rei: ... dia siapa?

jinny: kayanya teh rei tuh bukan warga lamtur, teh @yumna

rei: ... iya, beneran.

rei: dokternya bilang gitu

rei: udah cek darah segala macam sih

jella: WHY

juno: kaget bener kayaknya @jella

jella: WHY DID YOU LET HIM KNOCKED YOU OUT AGAIN?

jella: JENARDIGS JUGA NIH

jella: KATANYA TRAUMA

yumna: sabar, sayang @jella

rei: ini gak direncanakan sebenernya

jella: KEBOBOLAN?

rei: hng... iya kali ya?

rei: gue sempet kelupaan minum pil

rei: tapi semalem gue sama jenar sempat ngomongin soal anak kedua

rei: terus ya gitu

jella: duh

juno: bentar, ini kenapa jadinya jella yang panik?

yumna: dulu pas arga lahir, rei sama jenar berantem

yumna: yang pusing jella ama tigra

rei: hehe

jella: AWAS KALO LO BERDUA BERANTEM LAGI

rei: hehe

juno: capek banget kayaknya ya? @jella

jella: emang

jella: jadi orang waras diantara orang gila tuh capek

yumna: makanya

jella: MAKANYA APA?

yumna: jangan waras

yumna: jadi gila aja

*

Tadinya, waktu mau nelepon Sakura untuk mengabari kalau kayaknya mereka nggak jadi dating hari ini, Milan sudah lemas banget. Lunglai, letih, nggak bertenaga gitu deh. Sakura tanya kenapa, jadi otomatis Milan mesti jujur dong.

"Ini soal Lanang."

"Ada apa nih dengan Youtuber terganteng yang katanya badannya paling bagus dari semua Youtuber yang ada di Indonesia itu?" Sakura sengaja menjawab secara lebay.

Milan jadi sewot. "BADANKU JUGA BAGUS DAN MUKAKU JUGA GANTENG!"

Sakura jadi kaget. "Loh, kok marah?"

"Nggak apa-apa." Milan manyun, walau Sakura nggak bisa melihatnya.

"Iya, Lanang kenapa deh?" Sakura tahu, Milan pasti lagi cemberut di seberang sana. Bukan karena dia cenayang, tapi karena tercermin dari suaranya. Makanya, Sakura sengaja bertanya pakai suara adem ala-ala suaranya Dewi Kwan Im di serial Kera Sakti.

"Istrinya sakit."

"Terus?"

"Anaknya ada dua."

"Terus?"

"Nah, mertuanya Lanang sama ibunya Lanang lagi sama-sama liburan para Mama ke Labuan Bajo. Suster anaknya Lanang baru ganti. Dia masih kurang percaya gitu ninggalin anaknya berdua aja sama suster."

"Terus?"

"Nyemplung empang."

"Lan, aku tuh nanya loh..."

Milan mendengus. "Aku diminta tolong jagain, soalnya yang lainnya pada nggak bisa. Salahku juga sih, bisa-bisanya update igstory pencitraan sarapan ala bule. Jadi si Lanang lihat. Mau bilang aku kerja, ya udah jelas-jelas aku tulis caption aku libur."

"Makanya, Sayang. Kurangin tuh updatenya kalau nggak penting-penting amat."

"Kalau nggak pernah update, nanti aku disangka nggak punya kehidupan, Ra."

"Nggak apa-apa dong nggak punya kehidupan."

"..."

"Kan yang penting punya aku."

Amboy, kalau dunianya Milan itu dunia komik, dia pasti sudah mimisan muncrat setinggi Burj Khalifa gara-gara kata-katanya Sakura.

"Terus kamu bete gara-gara ini doang?"

"Ini tuh bukan doang ya, Ra. Niatnya hari ini kan mau pacaran sama kamu."

"Yaudah, kita pacaran aja di rumahnya Lanang."

"... gimana mau pacaran? Kan kudu jagain bocil dua biji."

"Pacaran sambil jagain bocil dong, Lan. Sekalian juga kan."

"Sekalian apa?"

"Aku mau lihat, kamu pinter nggak handle anak kecil."

Milan hampir keselek. "Emang kenapa gitu kalau aku pinter handle anak kecil?"

"Kan jadi yakin untuk menjadikan kamu sebagai ayah dari anak-anakku di masa depan. Cailah, dangdut banget."

"... kalau nggak pinter?"

"Ya jadi pertimbangan juga."

"..."

"Buat tidak menjadikan kamu sebagai ayah dari anak-anakku di masa depan."

Niatnya Sakura tuh cuma bercanda, tapi gurauannya ditanggapi serius sama Milan yang jadi kehilangan kemampuan berkata-kata.

Maka jadilah, mereka berdua bertolak ke rumahnya Lanang bareng. Sebelumnya, Milan menjemput Sakura dulu. Untungnya, rumahnya Lanang berada di lokasi mahal ibukota yang gampang dijangkau, juga gampang ditemukan.

Lanang sudah nggak ada di rumah ketika Milan dan Sakura tiba. Mereka disambut oleh dua anak kembar Lanang yang lagi lincah-lincahnya, juga seorang suster yang dari wajahnya, sudah lelah sama yang namanya kehidupan. Suster tersebut mesti ikhlas rambutnya terbagi ke dalam sejumlah kunciran berantakan, bando berbentuk kuping kucing yang pasti punya anak perempuannya Lanang, kuku-kuku yang penuh kutek beraneka warna dan jepitan baju warna-warni di seragam khusus babysitternya.

Si Kembar lagi mewarnai ketika Milan dan Sakura tiba.

"Halooooo!!"

Milan sengaja menyapa dengan wajah ceria, sambil dalam hatinya berharap kalau anak kembarnya Lanang ini sekalem Lila. Atau kalau pun nggak sekalem Lila, seenggaknya cukup soft dan pengertian kayak Wuje deh. Jangan sampai kelakuannya kayak Queensha.

Tapi harapan Milan sepertinya dibikin langsung pecah berantakan ketika kedua bocah kembar itu beringsut menjauh dari Milan dan Sakura, bergerak ke tenda camping di pojok ruangan, masuk ke dalamnya dan menutup risletingnya dari dalam.

"Mereka lagi ngapain—"

Sumpah, Milan bingung banget.

"Lagi diskusi, Mas." Susternya menjawab. "Biasanya mereka suka gitu, kalau perlu diskusi antara mereka doang. Ditunggu aja, nanti juga keluar lagi."

"Lucu banget..." Sakura memuji dengan mata melebar gemas kayak emoji.

Lucu sih... tapi nggak tau kenapa... perasaan Milan nggak enak...

Nggak berapa lama, Monas dan MPR sama-sama keluar dari tenda. Mereka berjalan dengan lagak penuh wibawa. Sementara yang cewek tersenyum sok gemas nan polos—memang gemas dan polos sih, namun firasat Milan mengatakan, di balik tampang malaikat mereka, terdapat petinggi setan yang sudah meronta-ronta minta dikeluarkan.

"Siapa ya?" Monas bertanya.

"Ini Bang Milan, kalau ini... Kak Sakura."

"Kak Sakura cantik." Monas memuji.

"Makasih, Idan."

"Loh, Kak Sakura tau nama aku?"

"Tau, dong!"

"Kak Sakura cantik." MPR manggut-manggut. "Tapi Bang Milan..."

"Bang Milan kenapa?"

Alih-alih menjawab pertanyaan Milan, Monas dan MPR justru saling pandang, terus cekikikan dengan cara paling meledek yang pernah Milan lihat.

Milan terbatuk, sementara tawa Sakura justru meledak.

"Lucu banget sih kalian!"

"Bapak sama Ibu lagi pergi." Monas memberitahu. "Nggak tau kapan pulangnya, tapi kata Bapak, Ibu lagi sakit."

"Iya, Kak Sakura tau kok. Makanya Kak Sakura sama Bang Milan kesini."

Monas sama MPR manggut-manggut.

"Kalian udah makan?" Sakura bertanya.

"Udah, tapi kalau Kak Sakura mau masakkin, aku sama Nadi kepingin puding." Monas berujar pada MPR.

"Puding?"

"Iya, puding cokelat. Kayak yang suka Ibu bikinin."

"Hm, Kak Sakura nggak tau, puding yang suka ibu kalian bikinin tuh gimana."

"Puding cokelat gitu, Mbak." Susternya si Kembar menyela. "Biasa pakai agar-agar bubuk rasa cokelat, terus dikasih sedikit bubuk dark chocolate lagi, terus dibikinin vla rasa vanilla."

"Oh..." Sakura manggut-manggut. "Kak Sakura bisa coba sih."

"Tapi kalau nggak bisa, nggak apa-apa kok, Kak." MPR berujar.

Monas mengangguk. "Iya, kan nggak semua orang jago masak kayak Ibu."

Sakura bertanya-tanya, gimana bisa bocil-bocil ini mengeluarkan kata-kata bernada polos, tapi cukup bisa menohok sampai ke ulu hati.

"Kak Sakura bisa kok!"

"Oke deh, boleh dicoba."

"Jadi sekarang kita ke dapur?"

"Iya."

Mereka pun bertolak ke dapur. Susternya juga ikut, walau perempuan itu lebih banyak mengamati saja, masih dengan dandanan yang gampang membuatnya dikira orang gila. Milan sempat berbisik, bertanya kenapa gayanya si Suster begitu banget, yang dijawab oleh suster tersebut dengan nada pasrah.

"Maunya Idan sama Nadi, Kak. Kalau saya copot, nanti mereka nangis."

Milan menarik kesimpulan, dua bocil kembar ini memang betul-betul jelmaan setan.

"Kak Sakura,"

"... ya?" Sakura menjawab sambil membuka lemari es dan mengeluarkan bahan-bahan yang kiranya bakal dibutuhkan untuk bikin puding cokelat lengkap dengan vla-nya.

"Masaknya diwaktu bisa nggak?"

"..."

"Kayak chef-chef di tv."

"..."

"Nggak bisa ya?"

"Idan, jangan gitu." MPR menyikut saudara kembarnya. "Kan kamu tau, nggak semua orang jago masak kayak Ibu."

Sakura hampir tersedak. "Bisa sih."

"Bisa, Kak?"

"Bisa, kalau dicoba."

"Kalau gitu..." Monas tampak berpikir. "Kayak kata chef Arnol di tv aja kali ya? Waktunya tiga puluh menit yah? Tiga puluh menit itu seberapa sih, Nadi?"

"Nggak tau. Aku taunya ngitung sampai dua puluh."

"..."

"Aku itung sampai dua puluh, terus selesai. Bisa nggak, Kak?"

Yeu, lo kira jaga petak umpet, dua puluh detik kelar?! Milan membatin refleks, tapi dalam hati saja.

"... tiga puluh menit itu setengah jam, Nadi." Sakura menjawab dengan sabar.

"Setengah jam itu seberapa lagi?"

"Tiga puluh menit." Monas menyela sambil nyengir.

"Nih... sekarang kan jam..." Sakura menunjuk jam digital di dinding dapur. "8.30 tuh ya. Kalau angkanya udah jadi 9.00, berarti udah tiga puluh menit."

"Ohhhh..." MPR manggut-manggut.

"Kak Sakura bisa nggak masaknya 30 menit aja?"

"..."

"Kalau nggak bisa, nggak apa-apa kok."

"Iya, kan nggak semua orang jago masak kayak Ibu."

"Bisa." Sakura akhirnya menjawab.

Milan melongo, apalagi ketika kedua bocil tersebut saling pandang, terus saling melempar senyum jahat ketika Sakura mulai menurunkan peralatan.

"Kak Sakura—"

"... ya?"

"Waktunya dimulai dari... sekarang!"

Habis itu, tuh dua bocah kembar sibuk duduk di dekat jam, memperhatikan tiap bergantinya angka menit di belakang angka jam.

"Sakura,"

"... ya?"

"Kamu sadar nggak sih kalau kamu tuh dikerjain."

"Nggak lah, Lan. Namanya juga anak kecil."

"Mereka terlalu cerdas untuk ukuran anak kecil, Sakura."

"Anak jaman sekarang kan emang pinter-pinter, Lan." Sakura menyahut sekenanya sambil menyalakan kompor.

Milan membuang napas, hingga tahu-tahu, Monas beranjak dan menghampirinya.

"Bang Milan, Bang Milan, Bang Milan..."

Milan rada deg-deg-an sih. "Iya, kenapa, Idan?"

"Mau pipis."

"Yaudah, pipis."

"Temenin dong, Bang Milan."

"Kenapa harus ditemenin? Masa nggak bisa pipis di rumah sendiri?"

"Kan aku masih kecil, Bang Milan."

"Lan, nggak boleh gitu ah!" Sakura menyela. "Temenin itu si Idan, nanti keburu ngocor di situ, gimana?"

Monas manggut-manggut. "Kalau keburu ngocor di sini, gimana?"

"Hadeh."

"Hadeh juga." Monas menimpali.

Milan memutar bola matanya, walau ujung-ujungnya dia tetap mengantar Monas ke toilet. Di toilet, sehabis mengangkat lid penutup kloset dan memastikan celananya Monas sudah termelorotkan dengan sempurna, Milan niatnya mau menunggu di luar. Tapi langkahnya terhenti ketika tangan Monas memegang lengannya.

Refleks, Milan menoleh dan mendapati Monas tengah menatapnya.

"Kenapa lihatnya kayak gitu?"

"Bang Milan mau kemana?"

"Keluar lah!"

"Nggak boleh." Monas menggeleng. "Temenin."

Males banget, tapi biar cepat, Milan akhirnya menemani hingga Monas selesai menuntaskan panggilan alamnya.

"Bang Milan,"

"Apa lagi?"

"Makasih ya udah nemenin aku pipis."

"... iya."

"Bang Milan mau pipis juga nggak?"

"... nggak."

"Pipis aja, Bang Milan." Monas justru menepuk-nepuk lengan Milan, seperti lagi menyemangati. "Aku temenin kok."

"Tapi Bang Milan lagi nggak mau pipis."

"Masa?"

"..."

"Aku lihat, kayaknya Bang Milan mau pipis juga."

"..."

"Kalau kata Ibu, mending dipipisin pas lagi nggak mau pipis mumpung lagi di depan toilet, daripada nunggu kepengen pipis eh terus waktu mau pipis, nggak ada toilet."

Milan penasaran deh, hal-hal absurd macam apa yang sudah Lanang dan Delta ajarkan pada anak-anak mereka.

"..."

"Mending pipis sekarang loh, Bang Milan."

"Nanti aja."

"Kalau nanti tiba-tiba dinosaurus menyerang terus Bang Milan pengen pipis, gimana? Mana sempat pipis kalau kita lagi diserang dinosaurus."

Makin absurd.

Milan pening.

"Oke deh, Bang Milan pipis."

"Hehe."

Monas nyengir, terus menyingkir ke samping sementara Milan membuka gespernya disusul risleting dan kancing celana jeansnya. Tapi sebelum dia menurunkan celananya, lelaki itu menoleh dengan mata disipitkan, terarah pada Monas.

"Kamu keluar deh."

"Nggak apa-apa, Bang Milan. Aku temenin."

"..."

"Bapak juga suka ditemenin kalau pipis kok."

"..."

"Pipis aja, Bang Milan."

Akhirnya currrrrrrrrr... Milan pipis.

Memang sih, dia nggak ngerasa lagi pengen pipis, tapi yah kalau sudah di depan toilet sih bisa-bisa saja dihajar.

"Wow!" Monas tahu-tahu berseru, dengan suara keras yang Milan yakin bisa didengar oleh Sakura, susternya si Kembar dan MPR. "Bang Milan, pisangnya gede!"

"..."

"Tapi masih gedean Bapak aku. Hehe."

Rasanya Milan nggak punya nyali buat keluar dan menunjukkan mukanya di depan Sakura.

*

Gia benar-benar telah tak lagi bisa berpikir jernih ketika dia tiba di rumah sakit.

Ada dengung yang tak henti memenuhi indra pendengarannya. Jantungnya berdebar sangat kencing, serasa organ itu telah berpindah tepat ke sebelah gendang telinganya. Pada titik ini, tubuhnya hanya bergerak sesuai auto mode. Dia mencari-cari tempat yang Johnny maksud, sempat bertanya panik pada salah satu perawat yang untungnya, memahami kepanikannya. Perawat itu mengantar Gia melintasi lorong-lorong pucat berbau obat dan antiseptik, hingga mata Gia menemukan sosok Johnny yang tengah terduduk di salah satu bangku biru muda dengan kepala ditopang kedua tangan.

"John!"

Johnny refleks mengangkat wajah, menatap Gia dengan ekspresi yang sudah nggak karuan. Rambutnya berantakan, pasti berkali-kali dia sisir pakai jarinya—sesuatu yang Gia tau selalu Johnny lakukan tiap kali lelaki itu merasa anxious. Ada darah yang telah mengering di telapak tangannya, lebih banyak lagi di pakaiannya.

"John—what happened—"

Johnny tidak menjawab. Begitu bangun dari duduk, dia langsung menubruk Gia untuk memeluknya. Lelaki itu mengabaikan perbedaan tinggi mereka, merunduk dan menenggelamkan wajahnya di bahu Gia. Samar, Gia mendengar isak tangis Johnny yang teredam.

"John—what happened—where is he?"

Johnny tidak menyahut, hanya menggeleng berkali-kali sembari memeluk Gia makin erat.  



to be continued. 

***

a/n: 

sedih gak sie kalo jadi johnny 

cuma ya gak tau 

nih pada kayaknya pada ingin melihat chester tumbuh besar ya 

hm apakah harus 

ya bisa-bisa aja sie 

tapi kalo kemalangannya johnny di-korting, berarti ada yang dapet kemalangan 

apakah wirya  yang pacarnya lagi sering nongkrong ama jaka xixixixixi 

atau jenar yang sedang menanti anak kedua xixixixixi 

dah kayanya itu aja. 

doain chapter selanjutnya di-up besok beb soalnya kayanya mayan banyak jenarnya terus ada johnny x gia berantem wowkwkwkwkwkwk 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top