39 | surprise!
Johnny baru saja menghempas tombol enter pada laptopnya untuk mengirim sejumlah email penting ketika perhatiannya disita oleh suara pintu kamar yang didorong sampai terbuka.
Refleks, lelaki itu menoleh ke asal suara, mendapati Chester sedang berdiri di ambang pintu sembari mengucek sebelah mata dan memeluk boneka berbentuk ikan panjang ke dadanya. Wajah bocah itu masih digelayuti kantuk. Pipinya memerah, membuatnya terkesan seperti ingin menangis.
Dia merengek. "Papi..."
Johnny langsung tahu, kalau Chester pasti terbangun di tengah malam, seperti malam-malam sebelumnya. Akhir-akhir ini, anak itu jadi lebih sering gelisah, membuat tidur malamnya jadi nggak nyenyak seperti sebelum-sebelumnya. Dia juga menolak didampingi suster yang biasa menjaganya ketika Johnny dan Gia sama-sama sibuk. Untungnya, Johnny yang sekarang lebih banyak mencurahkan waktunya jadi investor dan bermain saham dapat mengalah.
"Bad dreams?" Johnny bertanya sembari melepaskan kacamata yang bertengger di batang hidungnya.
Chester mengangguk.
"Did you wet yourself?"
Chester menggeleng. "No, Papi."
"Tidur sama Papi aja ya?"
Chester mengangguk.
Johnny mematikan dan menutup laptopnya, ganti meletakkannya di atas nakas. Lantas, lelaki itu beranjak untuk melangkah menuju pintu. Johnny membuka pintunya lebih lebar, terus berjongkok di depan Chester. Dia meraup Chester dalam gendongannya, membawa bocah itu ikut bersamanya menuju kasur.
"Mau minum susu?"
Chester justru merebahkan dagunya ke bahu Johnny. "No, Papi."
"Mau apa?"
"Cerita."
"Papi yang cerita?"
Chester mengangguk lagi.
"Okay, but let's make Papi's little hero comfortable first." Johnny mengatur bantal-bantal di sampingnya sedemikian rupa agar jadi tempat berbaring yang nyaman untuk Chester. Bocah itu masih memeluk boneka ikannya saat dia akhirnya berbaring di sebelah Johnny, memeluk salah satu lengan Johnny yang cukup besar buat bisa dia jadikan guling.
"Mau cerita apa?"
"Apa aja."
"Have Papi told you a story about Cinderella?"
Chester menggeleng.
Johnny menyentuh helai rambut halus Chester, kemudian memulai ceritanya dengan suara lembut yang sopan di telinga. Kisah yang dia sampaikan adalah salah satu versi klasik Cinderella, tentang seorang gadis bernama Cinderella yang tinggal bersama ibu dan dua saudara tirinya. Ibu tirinya memaksanya mengerjakan seluruh pekerjaan rumah, sedangkan kedua saudara tirinya memperlakukannya dengan buruk.
Kemudian suatu hari, Pangeran dari negeri tempat mereka berada mengadakan sebuah pesta untuk dihadiri oleh seluruh gadis yang masih lajang. Seperti yang bisa diterka, mereka meninggalkan Cinderella di rumah. Cinderella sedih, sebab dia sangat ingin menghadiri pesta tersebut, sama seperti gadis lajang yang lain.
"So cruel." Chester berkomentar.
Johnny mengangguk. "Yes, so cruel. But do you know why they were being cruel?"
"Nggak, Papi."
"Because they envy Cinderella."
"Envy?"
"Em-hm." Johnny mengiakan. "Cinderella itu baik, kan?"
"Iya, Papi."
"Tapi sebaik apa pun Cinderella, ibu dan saudara tirinya nggak akan pernah suka sama dia. Sebab mereka iri, karena mereka nggak punya apa yang Cinderella punya. Tau apa yang Cinderella punya dan mereka nggak punya?"
"What is it?"
"A good heart." Johnny menyahut. "You can be soooo good, so kind, you can have a good heart and people will still envy you, will still dislike you, will still treat you bad. But that's not your fault. Kenapa? Karena apa yang mereka lakukan adalah cerminan dari hati yang mereka punya. Hati yang buruk. Kalau ada orang yang berhati buruk, itu bukan salah kamu."
Chester mengangguk, membuat Johnny meneruskan ceritanya.
"Tapi tahu-tahu, ada ibu peri yang muncul dan dia menggunakan sihirnya buat bantu Cinderella datang ke pesta, wearing a lovely dress... glass slippers. Meski begitu, ada syaratnya. Cinderella harus pulang sebelum tengah malam, karena nggak ada sihir yang bisa bertahan selamanya. Cinderella pun datang ke pesta."
"And then?"
"Dia ketemu Pangeran."
"Pangeran itu kayak gimana?"
"Kind and handsome."
"Like Papi?"
"Like Chester too."
Chester tertawa, membuat Johnny ingin memeluk anak itu kian erat. Sebuntal kebahagiaannya. Harta paling tak ternilai yang pernah dia punya.
"They danced together, sampai tengah malam, terus Cinderella harus pulang. Karena buru-buru, Cinderella nggak sempat bilang sama Pangeran, tapi nggak sengaja, satu sepatunya ketinggalan. Setelah malam itu, Pangeran mencarinya kemana-mana, berbekal sepatunya Cinderella yang ketinggalan."
Chester menyimak cerita Johnny dengan sungguh-sungguh.
"In the end, karena sepatu itu, Pangeran berhasil menemukan Cinderella. Mereka terus sama-sama, dan hidup bahagia selamanya."
Chester bertepuk tangan.
"Do you like the story?"
Chester mengangguk. "She is so lucky."
"Cinderella?"
"Iya."
"Kenapa kamu berpikir begitu?"
"She has magic."
"Fairy godmother?"
"Iya."
"Papi rasa, keajaiban seperti itu bukan karena Cinderella beruntung, tapi karena Cinderella punya hati yang baik."
"..."
"Kalau kamu punya hati yang baik, akan selalu ada keajaiban yang mendatangi kamu."
"Aku baik nggak?"
"Sangat baik."
"Tapi kenapa Mami nggak di sini?"
Johnny menghela napas. "Mami will come home soon."
Chester nggak menjawab, hanya memeluk lengan Johnny makin erat sebelum memejamkan matanya. Johnny tak berkata-kata lagi. Tangannya mengusap kepala Chester, mengantarkan anak itu ke alam mimpi.
*
Pagi harinya, ketika Jenar terbangun, satu yang menarik perhatian setengah sadarnya adalah betapa ekstrem perbedaan temperatur yang dia rasakan di sejumlah bagian tubuhnya.
Embus udara dari pendingin ruangan terasa sejuk di wajahnya, tapi tangannya yang berada di balik kaos kebesaran Rei dan bersentuhan langsung dengan kulit perempuan itu terasa panas membara. Jenar mengernyit, membuka matanya, mendapati Rei tengah berbaring menyamping ke arahnya. Wajah perempuan itu pucat, membuat Jenar mengerjap sebelum membuka matanya lebih lebar.
"Regina," dia memanggil dalam suara yang raspy, seperti lazimnya orang yang baru bangun tidur. Tangannya menyentuh pipi Rei, yang ternyata sama panasnya. "Regina, kamu sakit?"
Rei yang belum benar-benar terbangun hanya melepaskan gumam non koheren yang tak jelas apa artinya.
Seperti baru disiram air dingin, Jenar menukar posisi berbaringnya dengan duduk. Dia mengguncang bahu Rei lebih keras. "Regina?"
Ada kerut muncul diantara kedua alis Rei, kemudian perlahan, bulu matanya bergetar dan hanya dalam hitungan detik, sepasang iris mata cokelatnya menyapa Jenar.
"Hm?"
Jenar mengembuskan napas lega. "Kamu sakit? Badan kamu panas."
Rei menyipitkan matanya, menatap Jenar sejenak sebelum rasa mual menjangkitinya. Sekujur tubuhnya masih terasa lemas dan kesadarannya selepas terbangun dari tidur belum benar-benar terkumpul, namun dia memaksa diri untuk bangkit dan bergerak cepat menuju kamar mandi. Jenar langsung mengikuti tanpa pikir panjang, mendekati Rei dengan tatap khawatir saat dilihatnya perempuan itu membungkuk di depan toilet untuk muntah.
Sementara Rei muntah, Jenar mengumpulkan helai rambut panjang perempuan itu, memeganginya di belakang punggung Rei agar tak terkena muntahannya. Satu tangannya yang lain mengusap punggung Rei hingga muntah-muntah perempuan itu selesai. Rei mengulurkan tangan untuk menekan tombol flush, kemudian menutup toilet menggunakan lidnya sebelum duduk di atas.
"Kamu harusnya nggak lihat itu. That was disgusting." Erangnya sembari menjadikan kedua telapak tangan sebagai tumpuan kepala.
"Kamu sakit deh kayaknya. Badan kamu panas."
"Nggak tau. Emang agak pusing."
"Kita ke dokter aja deh ya?"
Rei menggeleng. "Paling cuma masuk angin biasa."
"Atau gara-gara semalem?" Jenar menebak.
"Nggak, lah. Nggak separah itu juga." Rei membantah, kali ini sambil memijat batang hidungnya. Kepalanya terasa berat dan pening.
"Pusing?"
"Lumayan."
Jenar makin cemas. "Yuk, ke dokter aja!"
"Sekarang jam berapa sih?"
"Dunno, jam tujuh kali ya?"
"Hah?!" Rei hampir tersedak. "Si bocil udah bangun belum? Dia biasa sarapan—"
Kata-kata Rei tak terteruskan karena sosok yang dibicarakan sudah lebih dulu muncul, mengintip dari celah pintu kamar mandi yang terbuka sedikit.
"Wuje?" Rei memiringkan wajah dengan mata disipitkan.
"Mama sama Papa udah bangun?"
"Kamu ngapain ngumpet gitu?"
"Takutnya Papa sama Mama mau mandi bareng, soalnya Papa udah nggak pake baju gitu."
Refleks, Jenar langsung menatap pada tubuh bagian atasnya. Dia memang masih bertelanjang dada, walau setelah aktivitasnya bersama Rei semalam, lelaki itu tak lupa kembali mengenakan sweatpants abu-abunya.
"Bukan gitu, Wuje—"
"Tapi kalau Papa sama Mama mau mandi bareng terus mau ajak aku, aku mau kok."
Rei mengembuskan napas. "Masuk aja. Papa sama Mama nggak lagi ngapa-ngapain."
Wuje mendorong pintu, membukanya lebih lebar dan melangkah masuk. Bocah itu jelas belum mandi. Piyama bermotif Spongebob Squarepants masih melekati badannya. Dia menatap kedua orang tuanya bergantian beberapa lama.
"Papa, kalau nggak mau mandi, kenapa Papa nggak pake baju? Biasanya kita buka baju kalau mau mandi, kan?"
"Gerah." Jenar menyahut singkat.
"Papa—ASTAGA!!"
"Kenapa?"
"Leher Papa banyak lukanya!!"
"Luka apa—oh." Jenar menggaruk bagian belakang lehernya dengan agak rikuh. "Kayaknya semalem digigit nyamuk."
"Banyak banget. Nyamuknya rombongan?"
"Iya kayaknya. Sekeluarga, mungkin." Jenar makin ngaco.
"Ini udah jam tujuh." Rei berkata seraya masih duduk di atas lid toilet. "Wuje mau sarapan apa?"
"Mau mi, Mama. Pake telor sama bakso."
"Oke—" Rei beranjak, namun secepat dia berdiri, secepat itu pula muncul banyak titik-titik hitam yang menyesaki pandangannya. Perempuan itu terhuyung sejenak, mesti berpegangan pada tepi meja wastafel untuk menyeimbangkan diri.
"Regina—"
"It's okay. Aku punya darah rendah—"
Rei terbatuk, merasakan ada sesuatu yang seperti menyumbat organ pernapasannya, membuat paru-parunya sesak tiba-tiba, disusul sensasi seperti rasa terbakar. Perempuan itu mencoba menghela napas dalam-dalam, tapi tak banyak membantu. Ujung-ujung tangan dan kakinya dirambati rasa dingin dan sebelum Rei bisa benar-benar mengetahui apa yang terjadi, lututnya telah lebih dulu menyerah. Tubuhnya terhuyung, sempurna kehilangan keseimbangan dan mungkin telah jatuh menghantam lantai jika Jenar tak buru-buru merengkuhnya.
Rei berusaha menarik napas, tetapi sesak di dadanya masih berlanjut. Pandangannya tetap gelap, mungkin karena tanpa sadar, dia juga sudah menutup matanya. Namun, Rei masih bisa mendengar suara-suara di sekelilingnya, meski terasa sangat jauh.
Wuje kontan memekik panik. "Papa, Mama kenapa?!"
Jenar nggak menjawab, lebih sibuk menggendong Rei untuk selanjutnya membaringkan perempuan itu di atas ranjang. Wuje memanjat naik ke tempat tidur dan dalam sekejap, Rei merasakan telapak tangan bocah itu di pipinya.
"Mama, Mama sakit ya? Mama, aku di sini."
Rei ingin menjawab kalau dia baik-baik saja, tapi tubuhnya terlalu lemas untuk melakukannya.
Sementara itu, Jenar telah mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Hyena—sebab menghubungi orang tuanya hanya akan mengundang kepanikan berlebih.
"Halo, Kak. Bisa kesini nggak? Penting. Regina sakit. She fainted. Aku nggak akan tenang nyetir kalau nggak ada yang jagain dia selama aku nyetir. Iya, Arga juga di rumah. Pasti anaknya ngotot mau ikut. Oke. Thanks." Suaranya Jenar terdengar stress berat.
Rei nggak tau berapa lama waktu yang telah terlewati, sebab suara-suara di sekelilingnya kian terdengar sayup-sayup, namun saat orientasi pandangannya pelan-pelan kembali, dia tersadar dia tengah berada dalam mobil yang Hyena kemudikan. Wuje duduk di depan—sesuatu yang jelas nggak akan pernah Rei izinkan dalam situasi normal, karena menurutnya membiarkan anak kecil duduk di samping pengemudi ketika naik mobil itu berbahaya—sedangkan dirinya berada dalam rangkulan Jenar.
"Regina?"
"Mama!!"
"I am okay." Rei berbisik, walau suaranya terdengar lirih.
"Oke dari mananya? Jangan ngaco!" Jenar menggosok telapak tangan Rei dengan tangannya sendiri. "Tangan kamu dingin banget."
"Je—"
"No talking."
Rei memilih diam, sebab dia terlalu lemas untuk mendebat. Matanya terarah pada langit-langit mobil, terus begitu hingga mereka tiba di rumah sakit. Rei agak malu ketika suster yang bertugas menyediakan kursi roda untuknya, tapi dia sadar dia nggak punya pilihan lain. Kedua kakinya terlalu gemetar untuk dipakai berjalan, dan jelas digendong Jenar sepanjang koridor rumah sakit jauh lebih memalukan daripada menggunakan kursi roda.
Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk langsung bertemu dokter. Dokter tersebut langsung mengecek kondisi vital Rei. Ekspresi wajahnya sempat berubah agak kaget ketika dia menurunkan sedikit kerah baju Rei dan tanpa sengaja, matanya melihat tanda merah yang bertebaran di atas kulit perempuan itu seperti confetti. Tapi sebagai tenaga medis professional, tentu saja beliau tak berkomentar dan langsung meminta Rei menjalani tes darah.
Setelahnya, mereka menunggu di kamar perawatan—yang sebetulnya nggak perlu-perlu amat, namun seperti biasa, ngotot sepertinya adalah tambahan nama tengah Jenar.
"You're gross." Hyena berkomentar sembari memutar bola matanya, sementara Wuje duduk tenang di atas sofa ruang perawatan dengan kotak bento chicken katsu yang Hyena pesan di depannya. Wuje biasa sarapan dan Rei bersikeras anak itu harus tetap sarapan pagi ini.
"Apanya?"
"Kalau ngasih tanda tuh kira-kira. Kasian, dokternya masih muda. Belum tentu udah nikah tuh, makanya mukanya agak shock."
"Dia yang belum nikah, kenapa gue yang disalahin?!" Jenar mendelik.
"Jenar, ngomongnya jangan gitu di depan Wuje!" Rei menyambar sembari melotot. Tadi dia sempat merasa sesak, tapi sekarang kondisinya sudah lebih baik. Jadi permintaan Jenar agar dia diinfus terasa agak berlebihan.
"Nggak apa-apa, Mama. Aku tau kok, cuma orang gede yang boleh ngomong kayak gitu." Wuje menggigit chicken katsunya, terus menyuapkan nasi banyak-banyak hingga dua pipinya menggembung.
"Makannya pelan-pelan, Nak. Nanti keselek."
Wuje manggut-manggut, terus mengunyah sambil menarik senyum lebar.
"I think you two had a great time last night." Hyena memiringkan wajah, menatap pada tanda di leher Jenar. "Dasar."
"Regina abis cemburu."
"Kalau aku, abis nelen katsu." Wuje nyeletuk. "Tapi Mama, hari ini berarti aku nggak ke sekolah ya?"
"Ah ya—Mama belum telepon Tante Jella—"
"I will do it. Now, just rest." Jenar memotong.
"Aku udah nggak apa-apa."
"Ngaco banget. Tadi kamu kelihatan kayak orang lagi sesak napas."
"Emang agak sesak dikit sih."
"Itu namanya bukan nggak apa-apa." Jenar sewot.
"Kok jadi ngomel sih, Je?"
"Abisnya, kamu nganggap enteng banget deh."
"Tapi kan—"
Perdebatan antara Jenar dan Rei sudah pasti bakal berlanjut dan berlarut-larut jika saja seorang perawat tak mengetuk pintu ruangan. Hyena membukakan pintu, dan perawat itu mengabarkan dengan sopan kalau hasil tes darahnya sudah keluar, jadi perwakilan keluarga bisa langsung menemui dokter untuk mendengarkan penjelasannya.
Hyena berpaling pada Jenar. "Mau gue apa lo?"
"Lo aja. Regina ini kalau nggak dijagain, suka nggak bisa diam!"
Hyena memutar bola matanya, tapi senyum penuh pencitraannya tertarik ketika dia bicara lagi pada perawat yang ada di depan mereka. "Oke, saya segera ke ruangan dokternya. Makasih ya."
"Suster, makasih ya udah bantuin Mama aku." Wuje ikut menimpali sambil masih duduk di sofa.
Perawat itu tersenyum diikuti anggukan kepala, sebelum pergi diikuti Hyena.
"Je."
"Apa?"
"Aku pusing kalau tiduran."
"Wait." Dengan cekatan, Jenar menyetel bagian kepala hospital bed tempat Rei terbaring agar lebih tegak, supaya perempuan itu bisa separuh duduk. Dia juga mengatur bantal-bantal yang ada di belakang punggung Rei, memastikan perempuan itu merasa nyaman. "Udah?"
"Belum."
"Apa lagi?"
"Kamu cari makan, gih. Kamu juga biasanya sarapan."
"Papa kenapa nggak pesan katsu juga kayak aku?" Wuje menyela.
"Papa nggak doyan katsu."
"Papa aneh."
"Katsu itu makanan anak kecil."
"Nggak kok! Mama juga suka makan katsu!" Wuje membantah. "Tapi, Pa, Mama sakit apa sih?"
"Nggak tau, kan belum dikasih tau dokternya."
"Oh..." Wuje manggut-manggut. "Mama, jangan sering-sering sakit ya. Aku suka makan katsu, tapi aku lebih suka makan makanan yang Mama buatin."
Rei menarik senyum, merasakan hatinya menghangat. "Iya, Sayang. Besok Mama udah masakkin kamu lagi kok."
Pintu tiba-tiba kembali terbuka, dan Hyena muncul di sana.
"Regina sakit apa?" Jenar memburu.
"Ada gejala acid reflux, kemungkinan besar karena konsumsi obat-obatan, langsung tidur setelah makan, porsi makanannya terlalu besar atau kebanyakan makan makanan yang terlalu pedas."
"Tuh kan!" Jenar berseru pada Rei. "Ini pasti gara-gara kemarin siang kamu makan seblak level entah apalah itu yang Jella kirimin!"
"Nggak kok!" Rei membela diri.
"Masih ngeles aja!"
"Bukan salah masakannya Jella—"
"Gue belum selesai, nih." Hyena memotong sambil melipat tangan di dada, membuat Jenar dan Rei kompak menoleh lagi padanya.
"Apa yang belum?"
"Pingsannya bukan karena acid reflux, tapi lebih karena emang keadaan tubuh bini lo lagi lemah sekarang."
"Kenapa bisa gitu?"
"She's with child."
Keduanya sama-sama melongo, hingga pertanyaan Wuje memecah keheningan.
"Tante, Mama sakit apa? Kok namanya panjang banget."
"Kamu mau punya adik, Je." Hyena menjawab pertanyaan keponakannya.
"HAH?! Tapi gimana bisa?!"
"Ya bisalah!" Jenar menyambar kata-kata Rei. "Orang kamu punya suami! Justru yang mengejutkan kalau aku yang hamil, tuh baru gimana bisa!"
"Tapi kan kita baru rencanain semalam—"
"Mana ada bayi jadi dalam semalam." Hyena geleng-geleng kepala. "Itu artinya, sebelumnya, emang udah ngisi. Cuma lo berduanya aja nggak peka."
"..." Jenar dan Rei saling pandang.
"Bayi lo ngambek kali karena semalem lo mainnya sadis banget."
"Semalam Papa sama Mama main apa, Tante?" Wuje lagi-lagi kepo.
"Main ular, Je."
"Hah? Tapi kan di rumah nggak ada yang pelihara ular..." Wuje yang bingung menggaruk kepalanya yang nggak gatal.
"Papa kamu punya ular."
"BENERAN PAPA?!"
"..."
"PAPA, AKU MAU LIHAT ULAR PAPA!!"
"KAK, ELAH!" Jenar mendengus pada kakak perempuannya yang sibuk ngakak sekarang. "Mama nggak sakit, Je."
"Terus Mama kenapa?"
"Kamu mau punya adik."
"Hah?"
"Iya, kamu mau punya adik bayi baru."
"Hah?"
Jenar berpaling pada Hyena. "Terus kata dokter apa?"
"Udah diresepin obat yang bisa ditebus nanti. Tapi overall, Regina baik-baik aja dan bisa pulang hari ini."
"See? Told ya. Lebay banget pake sewa kamar kayak gini. Buang-buang uang, deh."
"Nggak apa-apa, udah dibuang-buang juga tetap banyak." Jenar songong. "Yaudah, kalau gitu, yuk siap-siap pulang. Hehe."
"Langsung pulang nih, Pa?" Wuje bertanya.
"Nggak sih, nanti tebus obat Mama kamu dulu, baru pulang."
"Lah, terus ambil adik bayinya kapan?!"
*
Gia sengaja mengambil penerbangan paling pagi ke Jakarta hari ini, untuk memberi kejutan pada Johnny dan Chester, sebab mereka tahunya dia baru akan landing di Jakarta sore nanti.
Beberapa hari belakangan telah jadi hari yang cukup melelahkan dan sibuk baginya. Dia sudah tak sabar ingin segera tiba di rumah, lalu meraih Chester ke dalam gendongannya, memeluk bocah yang tidak pernah berhenti dia rindukan itu erat-erat. Gia bisa menerka bagaimana nantinya Chester akan berlari menghampirinya, membenamkan wajah dalam pelukannya. Dia akan merunduk, menghirup bau bedak dan cologne bayi dari lekuk tubuh anak laki-lakinya.
Membayangkan itu saja sudah cukup membuat mood Gia membaik, meski terbang di pagi buta berarti dia mesti rela memangkas sebagian besar jatah tidurnya.
Namun, alangkah kagetnya Gia ketika tak lama setelah dia landing dan mengambil bagasinya, sambil menarik kopernya melintasi ruang besar bandara yang lengang, perempuan itu tersadar ada tujuh missed calls dari Johnny. Panggilan itu tak terjawab karena Johnny menelepon ketika dia tengah berada dalam pesawat.
Ada sepercik rasa tidak enak yang menghantuinya.
Gia menghela napas, menunggu sampai tiba di pelataran depan bandara untuk menelepon balik Johnny.
"Hello? Honey, surprise! I just landed and—wait, John, why are you crying?!"
Gia tak bisa menyembunyikan kekagetannya ketika isak Johnny adalah apa yang menyambutnya dari seberang sana.
to be continued.
***
siap mengajak dua anaknya main bola
ternyata duo destroyer ini baru nongol chapter depan
***
a/n:
vvadu
kenapa tuwh si chester
tapi yang jelas bukan tanam tanam ubi kan
wkwkwk dah ah gitu aja dulu.
sekian.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top