38 | hard
warning: heavy, detailed sexual contents. readers discretion is advised.
***
Jawaban Jenar membuat Rei tertawa.
Perempuan untuk merunduk, mencium bibir lelaki di depannya secara cepat. "Really?"
"Mm-hm."
"Will you take me here or... in the bedroom?"
"Bedroom."
"Okay." Rei beranjak dari pangkuan Jenar, melangkah lebih dulu menuju kamar tidur mereka.
Dia mendengar Jenar tergelak sekali lagi. Sebelum menyusul Rei, Jenar merasa perlu memastikan dulu kalau si bocil sudah benar-benar tidur. Nggak seru banget kalau mereka sampai kena tanggung gara-gara tiba-tiba kepergok Wuje.
Di atas kasurnya, Wuje sudah berbaring menyamping memeluk guling di bawah hamparan selimut. Ada boneka kelinci yang tergeletak di dekat kepalanya, hampir nggak pernah absen menemani Wuje tidur sejak bocah itu baru bisa jalan—kecuali pada hari-hari tertentu di mana Rei mesti meyakinkan Wuje mengizinkan bonekanya dibawa pergi untuk di-laundry. Jenar mendekat, lalu mencondongkan badan untuk mencium pelipis anaknya.
"Sleep tight, good boy."
Saat Jenar memasuki kamar, Rei sedang duduk di membelakangi meja rias. Perempuan itu mengangkat alis. "Took you long to get here."
"Abis ngecek si bocil."
"Hm?"
"Mastiin dia benar-benar udah tidur."
Rei berdecak.
"Don't blame me. Aku masih trauma waktu terakhir kali kita ketahuan. Mana kena tanggung banget pula." Jenar terkekeh seraya melangkah menghampiri ranjangnya. "Why haven't you undress yourself?"
"Do it yourself."
"God, Regina—" Jenar menghela napas. "—come here, then."
Rei menurut, bangkit dari duduknya dan mendekati Jenar. Nggak butuh waktu lama untuk kembali terduduk di pangkuan lelaki itu, menatap pada kedalaman mata Jenar yang cokelat gelap. Rei memandang pada Jenar sepuas yang dia mau, sebelum kedua tangannya terangkat, menyentuh kedua sisi wajah suaminya.
I'm not one to stick around
One strike and you're out, baby
Don't care if I sound crazy
But you never let me down
That's why when the sun's up, I am stayin'
Still layin' in your bed, singin'
"You're an epitome of perfection."
"Mmm... why this sudden compliment?" Jenar menengadah untuk balik melihat pada Rei, sementara kedua tangannya berada di pinggang perempuan itu.
"Heran banget. Kayaknya aku sejarang itu muji kamu ya?"
Jenar mengangguk. "Jarang banget."
"Soalnya udah diwakilin banyak orang."
"Nggak akan bisa menggantikan pujian dari kamu."
"Aku suka bingung harus muji kamu apa, sejujurnya." Rei menelusuri garis rahang Jenar dengan ujung jemarinya. "Mau kubilang ganteng? Jelas kamu udah tau. Mau kubilang baik? Aku yakin, kamu juga udah tau. Mau kubilang—"
"Come on—" Jenar tertawa lagi, mencipta segaris lengkung dan kerutan di hidung. "Just say it."
"Jenar,"
"Yes, Love?"
"You look nice today."
"Just today?"
"Everyday, honestly." Rei tersenyum, masih dengan kedua tangan berada di tepi wajah Jenar. "You're an incredible father too."
"Thanks to certain someone, who has taught me to be a good father for her son."
"Your smile melts my heart."
"Not in the way your smile makes my heart swells with happiness."
Rei tertunduk sembari tertawa kecil. "Kamu bikin ini jadi kayak kompetisi."
"Can't help it. Aku orangnya kompetitif."
"Sayang," Rei berujar dan tatapan matanya yang masih terarah pada Jenar melembut, membuat hati lelaki itu terasa ringan. Lantas, sebelum meneruskan ucapannya, Rei mendaratkan sebuah kecupan lain di dahi Jenar. "I am so lucky to have you."
"Just kiss me already, Regina."
"We have new rule tonight."
"Aturan apa?"
"You can undress me, but after that..." Rei memindahkan tangannya ke atas kedua tangan Jenar yang berada di pinggangnya. "... you can't touch me."
"What?! I thought you want a rough one?" Jenar hampir terbatuk.
"I want to lead first."
"Ow—getting a little bold, aren't you?"
"Mau apa nggak?"
Jenar mengedikkan bahu. "Aku nggak punya alasan yang bagus untuk nolak."
"Then—" Rei membimbing tangan Jenar menuju sisa kancing kemejanya yang belum terlepas. "—start it."
Tawa Jenar terlepas lagi, dalam suara rendah yang terkesan lebih breathy. Jemari lelaki itu bergerak membuka satu demi satu kancing yang masih saling terkait, kemudian menurunkan bagian bahunya dan bena-rbenar melepaskannya dari tubuh Rei. Sejenak, napas Jenar tertahan saat dia tersadar akan apa yang sepanjang petang hingga malam ini Rei kenakan di bawah pakaiannya.
"Damn it—"
"See? It's baby pink."
"Where did you get this—" Jenar menelan saliva, sebelum kembali menatap ke kedua mata Rei. "—thing?"
"Rahasia. Suka nggak?"
"Hm..."
"I got it for you."
Jenar meraih tangan Rei, menjatuhkan kecupan ringan di pergelangan tangan perempuan itu, tepat di atas nadinya. "What did I do to deserve this?"
"Karena udah anter Karol pulang, mungkin?"
Jenar mengerang. "Regina, please ya."
"Bercanda." Rei menukas jahil. "Now, pull the ribbon. Get this thing off of me."
Jenar memiringkan wajahnya sembari menarik seringai tipis dan menarik pita satin yang Rei maksud. Pita itu membuat tali tipis yang berada di bahu Rei terlepas, membuat bagian atas lingerienya melorot tanpa bisa ditahan, mengekspos jelas kulitnya yang telanjang.
Got all this time on my hands
Might as well cancel our plans
I could stay here for a lifetime
"Remember, no touching?"
"That will be hard?"
"Shall I tie you?"
"Nggak." Jenar tergelak. "Come on, kiss me."
Kata-kata Jenar dijawab Rei dengan mencondongkan badan dan menyatukan bibir mereka ke dalam sebuah ciuman. Seperti biasa, selalu dimulai dengan lambat pada awalnya, seakan mereka punya selamanya untuk terus berada di sana. Menahan diri untuk tak menyentuh Rei yang perlahan mulai menggoyangkan pinggulnya, mencipta friksi pada bagian bawah tubuhnya yang mulai mengeras. Jenar mendesis ke dalam ciuman mereka, membuat Rei menarik senyum di bibirnya.
"Easy, babe." Jenar memperingatkan, dalam suara bisik yang rendah dan penuh deru napas. Bisik yang hanya bisa didengar oleh Rei, saking lirihnya.
"You're the one who's eager here. Remember, no touch."
Setelahnya, Rei menjatuhkan kecupan-kecupan lembut di garis rahang Jenar, mendekati telinganya, menggigit ringan pada titik-titik sensitif yang membuat Jenar mengerang, terus menyusuri leher lelaki itu hingga berhenti pada ceruk yang jadi pertemuan antara leher dan bagian atas dadanya, sementara ritme gerakannya pinggulnya pada bagian bawah tubuh Jenar yang masih bercelana bertambah cepat.
"Take this off." Rei menarik napas sembari mengangkat tepian atasan yang Jenar pakai. Jenar menurut, sigap mengangkat kedua tangannya untuk mempermudah Rei melepaskan atasan tersebut, membuatnya jadi shirtless dalam hitungan detik. Rei menyempatkan diri mengapresiasi tubuh Jenar, melarikan telapak tangannya di atas kulit dada lelaki itu, pada tepi keras garis yang terbentuk di perutnya. "You still have the chocolate. Yum."
"You love it, thus I maintain it."
"Being so good to me," Rei merunduk, mencium leher Jenar lagi, bersamaan dengan tangannya berhenti pada karet pinggang celana Jenar. "Take these off too."
Jenar mengangkat Rei sedikit dari pangkuannya untuk menarik celananya turun, dengan mata yang tak lepas menatap pada perempuan di depannya.
"Too long." Rei menyeringai, sebelum dia menarik celana panjang tersebut bersamaan dengan bokser yang menyertai di bawahnya.
Jenar berdecak. "I was trying to go slow."
"And I just want you." Rei mencium Jenar lagi, sedangkan satu tangannya menyentuh bagian vital tubuh lelaki itu, yang membuat Jenar sontak mengerang.
"Babe—ah." Jenar melepaskan ciuman mereka. "That feels good."
"No touch." Rei mengingatkan.
"I know, I know."
Enggan membuang lebih banyak waktu, Rei melepaskan semua pakaiannya yang tersisa, kemudian memposisikan dirinya sendiri. Kedua tangannya memegang bahu Jenar sebagai tumpuan, sementara Jenar mencondongkan badan ke depan untuk menciumi bagian samping wajahnya, dekat dengan telinganya. Lantas perlahan, Rei membawa dirinya turun lebih rendah... terus turun... hingga terdengar desah samar keduanya saling berpadu.
"Wait—" Rei membenamkan wajahnya di leher Jenar. "—let me adjust myself to—"
Jenar tertawa dengan bibir berada diantara rambut Rei. Dia meninggalkan kecupan-kecupan halus di samping kepala Rei yang masih berusaha mengatur napasnya. "It's been years."
"You're a big boy, if I have to remind you." Rei mendesis sewot di leher Jenar.
Tawa Jenar mengeras. "Alright, alright. Take your time."
Sejenak kemudian, barulah Rei mulai bergerak lagi. Dalam tempo lambat pada awalnya, namun kian lama kian cepat. Jenar harus mati-matian menahan diri untuk tak melarikan tangannya ke seluruh bagian tubuh Rei yang berada dalam jarak sentuhnya. Dia menggenggam erat seprei pelapis kasur yang berada di kiri-kanan tubuhnya, lalu menyandarkan kepalanya ke headboard ranjang. Lehernya yang terpampang bebas adalah sesuatu yang tidak bisa Rei abaikan. Ciumannya kembali berjatuhan di sana, membuat Jenar melepaskan erangan demi erangan.
"God—Je—"
Ada hangat yang menyebar ke sekujur tubuh Rei, juga sebuah simpul imajiner yang serasa makin mengencang di bagian bawah perutnya. Tempo gerakannya meningkat. Kuku-kuku jemarinya terbenam di kulit bahu Jenar yang dia jadikan tumpuan.
"Grab your high, love." Jenar berbisik, lantas menunduk lagi, menciumi leher Rei dan meninggalkan satu-dua gigitan di sana.
Tindakannya cukup untuk membuat simpul imajiner itu terputus diikuti rintihan lirih Rei yang terlepas begitu saja. Jenar lantas memeluknya, menjaganya sementara gelombang demi gelombang euforia menghempasnya. Telapak tangannya mengelus punggung Rei dalam sentuhan yang menenangkan. Rei membiarkan dirinya bersandar pada Jenar beberapa lama, lalu perempuan itu menghela napas dalam-dalam di dada suaminya, mengisi paru-parunya dengan segala wangi yang tak pernah gagal mengingatkannya pada Jenar; parfum Jo Malone yang telah mulai memudar, jejak shower gel yang dia pakai, berpadu dengan feromon dalam keringatnya.
"Holy shit."
Jenar mencium puncak kepala Rei, mengubur hidungnya beberapa lama diantara helai rambut hitam perempuan itu. Senyumnya tertarik.
"That was a strong one."
Rei memejamkan matanya sejenak, ingin menikmati suara detak jantung Jenar di telinganya sedikit lebih lama. Dia mengangguk. "It was good."
So lock the door
And throw out the key
Can't fight this no more
It's just you and me
And there's nothing I, nothing I, I can do
I am stuck with you, stuck with you, stuck with you
"Kayaknya aku bakal senang kalau kamu sering-sering cemburu." Jenar bergurau, membuat Rei menarik wajah dari dadanya.
"What?"
"Kamu nggak pernah seaktif tadi. Didn't know you have it in you."
"Apanya?"
"Kamu kayak singa."
Rei memutar bola matanya. "Please deh."
Jenar tergelak, mengulurkan tangannya untuk menyelipkan helai rambut di tepi wajah Rei ke belakang telinga. "Bukan berarti aku nggak suka."
Rei menatap Jenar sejenak, sebelum dia lagi-lagi mengubur wajahnya di leher lelaki itu.
"Regina, kamu ngapain—" kata-kata Jenar diselesaikan oleh erangannya sendiri.
Rei menegakkan punggungnya lagi, menatap puas pada hasil karya yang telah dia tinggalkan di leher Jenar. "Dua tanda harusnya cukup."
"Tanda apa?"
"Tanda kalau kamu punyaku."
"Hm, di mana?" Jenar meraba lehernya sendiri.
"Di tempat yang gampang kelihatan."
"Besok aku ke kantor loh."
"That's the point." Rei menarik senyum hangat yang membuatnya terkesan innocent, berbanding terbalik dengan aktivitas yang barusan mereka lakukan. "Justru karena besok kamu ke kantor."
"Kayaknya peringatan kamu ke Karol udah cukup."
"Itu peringatan buat siapapun yang mau coba-coba deketin kamu. Bukan cuma dia doang." Rei menyambar. "Duh, jadi pengen bikin stempel deh buat kamu."
"Stempel apa?"
"Jangan dekat-dekat, istri saya galak. Gitu bunyinya."
"I have your name tattoed on my skin. Masa masih harus dikasih stempel?"
"Tatonya baru kelihatan kalau kamu telanjang."
"Kan biar kamu doang yang bisa lihat."
Rei cemberut sebentar, tapi kemudian wajahnya berubah jadi serius lagi. Dia menangkup salah satu pipi Jenar menggunakan telapak tangannya. Jenar balik menatapnya dan selama sesaat, ada hangat yang sama-sama memancar dari sorot mata mereka.
So go ahead and drive me insane
Baby, run your mouth
I still wouldn't change being stuck with you
Stuck with you, stuck with you
I am stuck with you, stuck with you, stuck with you, baby
"What do I do without you..."
Jenar nggak menyahut, hanya menarik seulas senyum penuh pengertian.
"I love you so much, more than anything in this world—"
"Anything?"
"Anything but—"
Salah satu alis Jenar terangkat. "But?"
Rei membalas separuh bercanda. "Aku sayang kamu lebih dari apa pun di dunia ini, tapi sayangnya, kamu harus rela ada di peringkat dua."
"..."
"Peringkat pertama... tetap Arganata."
"Regina,"
"... ya?"
"Kalau kita punya anak lagi, apa itu artinya aku bakal turun ke peringkat ketiga?"
Rei mengangguk. "Iya."
"Huf, too bad."
Sambil tertawa, Rei mengulurkan tangan untuk merapikan sejumput rambut yang jatuh ke kening Jenar. "Kenapa? Ada rencana mau punya anak lagi?"
"... kamu sendiri, mau nggak?"
"Kenapa malah balik nanya aku?"
"Soalnya kamu yang bakal hamil, kamu yang bakal melahirkan. Terakhir kali, waktu si bocil lahir, aku beneran trauma. Cuma... well, kelihatannya tinggal nunggu waktu Arga minta dikasih saudara sesama bayi manusia."
"Kalau itu yang kamu mau, ya nggak apa-apa."
"Really?"
"Really."
Jenar menghela napas, kemudian meraih wajah Rei ke dalam rengkuhan salah satu telapak tangannya, membawa perempuan itu ke dalam sesi ciuman panjang mereka yang berikutnya. Saat itu, barulah Rei tersadar kalau bagian tubuh Jenar masih berada di dalamnya, dan jelas, lelaki itu belum mendapatkan pelepasannya sendiri.
"You didn't—"
Kata-kata Rei terputus oleh senyum lebar yang Jenar tunjukkan. "Yes, I didn't cum. And now is my turn."
Usai berkata begitu, Jenar menarik strap lingerie Rei yang berbentuk pita. Helai pakaian itu masih tergeletak begitu saja di tepi kasur.
"I didn't touch you, now it's your turn not to touch me."
Rei mengernyit. "We didn't make a deal."
"There's no deal." Jenar menyahut enteng sembari menyatukan kedua tangan Rei di atas kepalanya, kemudian mengikatnya dengan strap lingerie yang telah dia ambil. "Pick your safe word, babe."
"What?!"
"You want it rough tonight, don't you?"
"But—"
"Your. Safe. Word."
Rei menghela napas, merasakan jantungnya berdebar kencang. "Peaches."
"Good one." Jenar melepaskan tawa yang breathy sebelum dalam sekali gerakan, membalikkan posisi mereka. Kini, Rei jadi yang terbaring di atas kasur, dengan rambut tersebar mengelilingi kepalanya yang berada di atas bantal. Napas Rei tersentak, meski dia mengeluarkan rintihan protes ketika Jenar menarik dirinya keluar—yang berlanjut oleh desah mendadak karena Jenar ganti memainkan jemarinya di bagian sensitif Rei. "Now, what do you want, pretty princess?"
Pergerakan jari Jenar membuat Rei sulit berpikir, matanya hanya bisa menatap sayu dan hela napasnya mulai tidak teratur.
"Tell me, Regina."
"I-I don't know—ah."
Jenar terkekeh. "No, you know. Tell me."
"Hngh—"
"Say it."
"Please... hh... eat me out."
"Sounds good."
Dalam hitungan detik, Rei telah merasakan embus napas Jenar yang panas di sana, diikuti oleh jarinya yang berpindah pada bagian lain pusat dirinya, mengusap dalam pola berulang yang membuat Rei merasa nyaris menangis masih dengan hela napas yang berat.
"P—please—God—"
Tubuh Rei tersentak saat ciuman-ciuman lembut Jenar pada bagian dalam pahanya makin naik, lalu ganti menghisap pada bagian yang tepat, membuatnya makin vokal dan suara rintihannya kian menguat. Dia ingin menyentuh rambut Jenar, menenggelamkan jemarinya di sana, tapi ikatan yang Jenar buat cukup kuat, membuatnya hanya bisa menyentak kedua tangannya berkali-kali tanpa peduli jika akan ada bekas pita yang tertinggal di kulitnya.
"Babe, I think I-I'm gonna—hhh—" Rei tersedu, tak bisa menyelesaikan kata-katanya sendiri.
"Hold. It." Jenar berkata tegas sambil menggantikan mulutnya dengan jari, matanya menatap lekat pada perubahan ekspresi wajah Rei, pada frekuensi napasnya yang terengah, membuat dadanya naik-turun dengan cepat, pada keringat yang mulai bermunculan di keningnya. Wajah dan bibir perempuan itu memerah.
"Nghhh—I can't—" Rei menutup matanya kian rapat, mencoba melawan dorongan yang terbangkitkan dalam dirinya. Hanya sejenak sebelum dia merasa akan dilemparkan ke puncak itu lagi, Jenar menghentikan gerakan jemarinya.
Rei merengek lirih atas kesempatan mendapat pelepasan yang telah Jenar renggut darinya. Perempuan itu membuka matanya, melotot pada Jenar yang tampak sangat menikmati reaksinya. Senyum lelaki itu kian cerah.
"W—why did you do that?! I was going to—"
"—cum?" Jenar memotong dengan nada separuh mengejek. "You don't get to cum this time, unless it's on my cock."
"Jenar—"
"You said it yourself, you want it hard. I am making it hard for you."
"JENAR!" Rei mulai menarik-narik kedua tangannya yang masih dililit pita, yang malah bikin Jenar makin puas tertawa. "I didn't mean this kind of hard—"
"Tadi kamu larang aku sentuh kamu. Sekarang gantian."
Rei ternganga tak percaya. "Aku nggak sejahat ini loh sama kamu?!"
"I didn't cum, if I have to remind you."
"Jenar..." Rei kini merajuk. "Please?"
"Coba ngomongnya baik-baik."
"I said 'please' already!"
"Beg me like a good girl."
"..."
"Beg."
Rei menghela napas panjang, terus melanjutkan dengan penuh kesungguhan. "Please?"
"Please apa?"
"I want you."
"I am here."
"I want your cock."
Jenar menggeser tubuhnya lebih ke atas, menangkup kedua sisi wajah Rei dengan telapak tangannya yang hangat dan mencium perempuan itu dalam-dalam, mengambil seluruh kehangatan yang bisa Rei tawarkan. Lantas perlahan, satu tangannya turun ke leher Rei, terus hingga dadanya. Jemarinya memainkan puncak payudara perempuan itu, membuat Rei mengerang di sela-sela ciuman mereka.
Jenar tersenyum di bibir Rei, lalu menarik dirinya menjauh hanya untuk berbisik. "That's right, Love. Moan for me."
Rei menggigit bibir bawahnya saat dia merasakan lelaki itu kembali mendesak masuk.
"So good for me, Love." Jenar berbisik dalam suara rendah, mulai bergerak sembari menanamkan ciuman-ciuman halus di pipi, garis rahang, hingga dkeat telinga Rei. Sesuai apa yang Rei minta, Jenar tak memulai segalanya dengan lambat. Ritme yang dia pilih telah cepat dan keras sejak awal, menciptakan suara tamparan kulit bertemu kulit yang memenuhi seisi kamar. Napas Rei tersentak berkali-kali, diikuti oleh rintihan demi rintihan yang kian meninggi.
"Yes, baby, that's it, say my name. Only my name." Jenar bergumam, kemudian meninggalkan tanda lainnya di bagian kulit Rei yang masih belum terwarnai oleh bekas-bekas ciumannya.
"Nggh—Je—"
Satu tangan Jenar menangkup tepi wajah Rei, menyentuh rambutnya, sementara satu tangannya yang lain turun ke bawah, jemarinya men-stimulasi bagian sensitif tubuh Rei yang bisa dia temukan dalam waktu singkat.
"Love, look at me."
Rei memaksa dirinya membuka mata, menatap Jenar dengan pandangan yang kabur oleh air mata.
"You may let go."
Maka, itu yang pada akhirnya Rei lakukan, menyongsong utopianya sendiri diikuti nama Jenar yang berkali-kali tumpah dari bibirnya.
Jenar masih meneruskan gerakannya, dalam tempo yang tetap cepat walau orientasi Rei yang sempat memburam telah kembali. Rei merengek protes karena sensasi yang menyerangnya sekarang serasa terlalu berlimpah untuk dia tahan.
"Je—I can't—ah—I can't take it anymore."
"Fucking take it." Jenar berujar dalam geraman, tak menunjukkan tanda-tanda menurunkan tempo gerakannya. "You said you want it, so fucking take it."
"Je—"
"Take it for me."
Rintih yang berbaur dengan desah kembali memenuhi kamar tempat mereka berada. Rei mengerjap, merasakan air mata yang panas mulai mengaliri wajahnya. Dia ingin mencengkeram erat lengan Jenar untuk berpegangan, tapi tidak bisa karena kedua lengannya masih terikat pita, sementara napasnya makin terengah seperti orang yang baru menyelesaikan lari marathon. Keringat mengalir deras dari pori-pori kulitnya. Ada helai rambut yang telah melekat di dahinya yang lembab.
Rei merasakan episode baru dari orgasmenya kembali pelan-pelan menghampirinya.
"Jenar, Sayang, please—ngh—" Rei berusaha susah-payah meneruskan ucapannya yang terputus. "—please cum. In me. All over me. Please?"
Suara Rei yang breathy, juga bagaimana permohonan perempuan itu terdengar membuat Jenar merutuk.
"Oh, fuck—"
Gerakannya telah kehilangan ritmenya, sebelum berhenti disusul Rei merasakan sesuatu yang hangat menyebar di bagian bawah perutnya. Jenar meneruskan gerakannya sekali-dua kali, lalu menarik dirinya keluar. Napasnya belum benar-benar kembali stabil, dan Rei membiarkan saja lelaki itu membenamkan wajah di lekuk lehernya.
Jenar baru mengangkat wajahnya lagi untuk menatap Rei setelah tubuhnya berhenti bergetar. "Did I hurt you?"
"A little."
"Really?"
"It's sore down there." Rei memejamkan mata sambil menarik napas. "But it was great. Jadi, itu worth it. Tapi—"
"Tapi?" Jenar memburu cepat.
"Tanganku kesemutan."
"Oopss—sori." Jenar buru-buru melepaskan ikatan pita pada kedua lengan Rei.
Refleks, Rei mengembuskan napas lega ketika dia bisa meluruskan tangannya lagi. Jenar masih menatapnya dengan rambut berantakan dan wajah penuh perhatian, dengan sedikit kekhawatiran. Bagaimana dia terlihat membuat Rei terdorong menarik rantai kalung yang melingkari leher Jenar, memaksa wajah lelaki itu turun lebih rendah hingga Rei bisa menciumnya dalam-dalam.
"Whoa, what was that?" Jenar bertanya usai ciuman mereka terselesaikan.
"You look handsome. I wanna kiss you."
Jenar tergelak, kemudian balik menciumi wajah Rei, membuat Rei ikut-ikutan tertawa. Tawanya memicu Jenar menunduk dan mencium ujung hidung Rei.
"Cukup?"
"Apanya?"
"Nanya doang. Kali aja buat kamu masih kurang."
"Are you crazy?!" Rei hampir memekik.
"Regina—sshh—" Jenar menutup mulut Rei pakai telapak tangan. "Jangan kenceng-kenceng, nanti si bocil bangun!"
"Lagian, kamu nanyanya aneh banget." Rei manyun setelah Jenar menarik tangannya dari mulut Rei. "Badanku udah pegal banget."
"Kamu yang minta."
"I didn't ask you to overstimulate me?" Rei memutar bola matanya. "And I didn't ask you to fold my body like that."
"I just folded your legs."
"Sama aja."
"That's part of the hard-metal stuffs you were asking for, Sayang." Jenar ngeles. "And you like it."
"Nggak bisa bilang nggak, sih."
"Come on, bangun dulu. Bersih-bersih."
"... mager."
"Regina,"
"Iya, iya." Rei menurut, beranjak dari posisi berbaringnya. Sekujur tubuhnya terasa pegal, seperti dia baru menyelesaikan satu jam penuh sesi yoga. Rei bisa memastikan, esok pagi, dia akan terbangun dengan badan sakit. Belum lagi... "—ah."
Erangan Rei membuat Jenar menoleh. "What's wrong."
"I am sore."
"Bisa jalan?"
"Nggak tau."
Jenar nyengir.
"KENAPA MALAH NYENGIR?!"
"It's okay, Regina. Sini aku gendong. Hehe."
Rei cemberut, tapi membiarkan Jenar meraih tubuhnya dalam rengkuhan dan menggendongnya menuju kamar mandi yang terdapat di kamar tidur mereka. Lengan perempuan itu berada di leher Jenar, sementara matanya memandang Jenar dengan sorot bete.
"Je, kalau besok aku nggak bisa jalan gimana?"
"Ya nggak usah jalan."
"Dih, nanti bilang apa sama si bocil?!"
"Atau mau aku minta Kak Hyena kirimin kursi roda? Paling Kak Hyena nanya sih buat apa, terus nanya kenapa ada yang butuh kursi roda di rumah."
"Nggak usah ngaco!" Rei meninju pelan dada Jenar yang telanjang.
"Terus maunya apa?"
Jari-jari Rei memainkan helai rantai kalung Jenar tanpa sadar, seperti yang hampir selalu dia lakukan. "Jangan ke kantor."
"Hm?"
"Besok jangan ke kantor."
"... aku harus bilang apa sama Ibob?"
"Bilang, kamu mau jagain istri kamu yang sakit."
Jenar ngakak. "Bohong banget!"
"Nggak lah! Aku beneran sakit!"
"Sakit apa sih?"
"Sakit badan, soalnya abis disakitin kamu!!"
*
Pagi ini, seperti pagi-pagi berikutnya, Milan terbangun oleh bunyi alarm dari ponselnya.
Dia mengernyit, meluruskan kedua lengannya dan melirik pada jam yang tersemat di dinding. Sudah jam tujuh. Hari ini bukan tanggal merah, tapi seenggaknya, Milan nggak perlu terburu-buru ke kantor. Dia sempat lembur di akhir pekan kemarin—yang bikin rencana datingnya sama Sakura gagal berantakan—tapi sebagai gantinya, sepanjang hari ini, dia libur.
Untungnya, sebagai pacar yang penuh pengertian, Sakura setuju untuk menelepon kantornya dan mengatakan dirinya sakit, biar mereka bisa jalan bareng sambil makan cantik—dengan catatan, kata Sakura nggak boleh di-upload di medsos, soalnya dia takut ketahuan sama teman-teman sekantornya kalau dia nggak benar-benar sakit.
Milan beranjak dari kasur, langsung ganti melangkah menuju dapur. Dia bikin kopi, nyiapin toast yang nanti akan dia oles selai stroberi, terus mengeluarkan dua buah pisang siap makan dari dalam kulkas. Sarapan ala-ala budak korporat ibukota yang berkantor di SCBD. Biar kelihatan kayak punya kehidupan sedikit, Milan memotret kopi, toast dan pisangnya sebaik mungkin, sebelum diunggah di igstory.
Captionnya; chilly morning, untung libur.
Hanya dalam waktu singkat, telah ada reply masuk ke akunnya. Milan senyam-senyum. Kayaknya dia sudah mulai famous, berhubung ada yang reply secepat itu. Tapi senyumnya seketika memudar ketika tau kalau yang me-reply itu Lanang.
lelakijawa: BANG
lelakijawa: BWANG
lelakijawa: BWANG JAWAB BWANG
milanzuzuzu: apaan ajg
lelakijawa: LO LIBUR?!
milanzuzuzu: gak
lelakijawa: bang tau gak katanya kalo sering boong, titit bisa menciut
milanzuzuzu: IYA LIBUR
milanzuzuzu: KENAPE
lelakijawa: THANKS GUSTI ALLAH
lelakijawa: monas ama mpr baru ganti suster
milanzuzuzu: terus apa urusannya sama gue?
lelakijawa: delta sakit pagi ini
lelakijawa: masih diperiksa dokter, kayaknya usus buntu
lelakijawa: gue gak percaya ninggalin monas ama mpr sama susternya yang baru
lelakijawa: belum percaya gitu maksudnya
milanzuzuzu: TERUS
lelakijawa: pantau-in bang tolong :(
lelakijawa: kata dokter, kalo usus buntu, kemungkinan delta harus buru-buru operasi
milanzuzuzu: KOK GUE SIH
lelakijawa: bang tigra gak bisa
lelakijawa: bang johnny ditelepon gak diangkat-angkat
lelakijawa: bang yuta budak korporat
milanzuzuzu: lah si jenar ono?
lelakijawa: kak regina lagi sakit katanya
milanzuzuzu: ke rumah sakit gak mereka?
lelakijawa: engga sih kayanya
milanzuzuzu: HALAH PRET KALO GITU MAH ITU AKAL-AKALAN JENAR DOANG
lelakijawa: bang plis
lelakijawa: ke rumah gue
lelakijawa: liatin monas ama mpr
milanzuzuzu: nyokap lu kemane?
lelakijawa: labuan bajo :( lagi liburan ama mama mertua gue
milanzuzuzu: ah, anjing
lelakijawa: makasih, bang
lelakijawa: budi baikmu akan selalu kukenang
to be continued.
***
***
a/n:
hm chapter yang cukup berat yah.
jenar orangnya masih wajar, jadi jangan expect ada adegan cambuk-mencambuk di sini.
wkwkwkwk chapter berikutnya mungkin milan x sakura x monas x mpr
harus di-reveal gak sie namanya si kembar
terus di chapter depan hm mungkin ada johnny sama gia.
dah gitu aja beb sekian.
cape w nulis ginian.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top