37 | para bocil

"Papi, why Mami always leave?"

Johnny baru selesai mengeringkan rambutnya Chester setelah mereka berenang ketika tau-tau, anak laki-lakinya melontarkan tanya seperti itu.

"Mami has to work." Johnny berujar hati-hati.

"Mau Mami." Chester berkata, mengulang apa yang diujarkannya pagi ini, sejenak sebelum Gia pergi ke bandara.

"Kan ada Papi di sini."

Chester menggeleng, malah memandang ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Wajahnya mengerut, khas wajah anak-anak yang hendak menangis. Johnny menghela napas panjang, kemudian menatap Chester lekat-lekat.

"Let Papi hug you, ya?"

Chester nggak menjawab, namun juga nggak memberi penolakan saat Johnny meraihnya dalam dekapan. Terus terang saja, ada yang bergetar dalam dada Johnny ketika Chester balik memeluk bahunya dengan kedua tangannya yang kecil. Anak itu masih terlalu muda untuk memahami, tetapi mendengar bertanya kenapa ibunya selalu pergi membuat Johnny terenyuh.

Jika semuanya terserah Johnny, dia ingin Gia menghabiskan lebih banyak waktu bareng Chester.

Bukankah dulu, mereka berdua yang sama-sama menginginkan Chester ada?

Chester bukan sosok yang datang tanpa rencana. Kehadirannya telah ditunggu, dinantikan. Meski Johnny paham bahwa menjadi ibu bukan sesuatu yang Gia inginkan membatasi karirnya, Johnny mulai berpikir kalau Gia lebih memprioritaskan pekerjaannya daripada anaknya.

Anak mereka nggak akan tetap kecil selamanya.

Tak akan seterusnya Chester cukup mungil buat berada dalam gendongan Johnny. Akan ada masanya anak itu mandiri, bisa melakukan segalanya sendiri dan nggak terlalu membutuhkan kehadiran orang tuanya lagi. Dan uang sebanyak apa pun, karir secemerlang apa pun, menurut Johnny, nggak akan sepadan bila dibandingkan dengan momen-momen dan fase tumbuh-kembang Chester yang Gia lewatkan.

Tapi jika dia menyuarakan keinginannya, apakah dia akan dipandang egois?

Akankah itu berarti, dia bukan pasangan yang supportive?

"Papi,"

Suara Chester membuat lamunan Johnny terbuyarkan. Cepat, lelaki itu merunduk untuk menatap Chester yang sekarang sudah melepaskan pelukannya. Anak itu mengucek sebelah matanya yang sempat berkaca-kaca, namun untungnya, dia nggak menangis.

"Yes, baby?"

"I'm hungry."

"Let's go get you food then, yeah?"

Chester mengangguk.

"Mau jalan atau Papi gendong?"

"Jalan."

"Nggak mau digendong aja?"

Chester menggeleng. "Aku dah gede."

"Promise you'll be careful?"

Chester mengangguk.

"Give me your pinky." Johnny berkata lagi, kali ini sembari menunjukkan jari kelingkingnya. Chester balik menautkan jari kelingkingnya yang jauh lebih mungil pada jemari Johnny. "It's a pinky promise, right?"

"Yes, Papi."

Johnny tertawa kecil, kemudian berdiri dan membiarkan Chester berjalan melintasi jalan setapak halaman belakang menuju rumah mereka lebih dulu. Anak itu hanya mengenakan kimono handuk karena belum betul-betul membasuh tubuhnya usai berenang bareng Jo. Langkahnya cepat, tapi nggak stabil, seperti kebanyakan bocah seusianya. Sehingga nggak heran, ketika melewati permukaan bebatuan jalan setapak yang agak berlumut, Chester terpeleset, lantas jatuh dengan lutut mencium permukaan keras bebatuan.

Sontak, Johnny bergerak mendekati anaknya, meraih tubuh mungil itu. Lututnya lecet dan berdarah. Chester langsung menangis keras ketika melihat luka di kulitnya. Usaha Johnny untuk menenangkannya sia-sia. Chester masih terisak saat mereka telah berada di ruang keluarga, duduk berhadapan di atas karpet.

"Lututmu luka." Johnny berkata dengan suara halus. "Obatin ya?"

"Nggak mau." Chester menggeleng, bicara dalam suara yang goyang karena dia masih menangis. Wajahnya memerah dan bibirnya melengkung ke bawah. Air mata tertampung banyak di matanya. "Sakit."

"Justru karena sakit harus diobatin. Papi obatin ya?"

"Nanti sakit."

"Sebentar doang sakitnya."

"Nggak mau." Chester menggeleng, air matanya sekarang kembali menetes ke pipinya yang pucat.

"Terus kalau nggak diobatin, gimana dong?"

"Nggak mau." Chester tetap ngotot. "Disayang aja."

"Disayang gimana?"

"Disayang mpe sembuh."

Johnny mengembuskan napas. "Tapi lukanya tetap harus dibersihin, Chester. Nanti ada kuman masuk loh kalau nggak dibersihin."

Chester tetap bergeming.

"Atau gini aja, Papi bersihin lukanya pelan-pelan, as quick as I can, kamu nggak usah lihat. Nanti makan es krim aja."

"..."

"We still have chocolate ice cream loh."

"..."

"Favoritmu kan?"

"Pelan-pelan yah?"

Johnny mengangguk. "Iya."

Saat Chester mengiakan, Johnny mengembuskan napas lega. Lelaki itu enggan meninggalkan Chester sendirian, makanya dia memanggil asisten rumah tangganya untuk membawakan kotak P3K dan satu cup es krim untuk Chester.

Untungnya, luka di lutut anak itu nggak terlalu dalam. Chester sempat menangis saat Johnny membersihkan lukanya pakai air bersih, juga ketika Johnny meneteskan obat merah—tadinya, Johnny berniat menggunakan rubbing alcohol, namun berhubung Chester sudah cukup tersiksa hanya dengan air bersih dan obat merah, Johnny batal merealisasikannya.

"Masih sakit?"

Chester menggigit sendok kayu es krimnya, mengangguk.

Johnny menghela napas. Saat dia masih remaja dulu, tiap melihat orang tua yang bereaksi berlebihan saat anak mereka jatuh atau terluka, Johnny suka heran sendiri. Kayak, ya itu hanya luka kecil yang akan sembuh seiring berjalannya waktu. Kenapa harus heboh banget?

Tapi setelah punya Chester, Johnny jadi memahami, kalau memang begitulah rasanya menjadi orang tua. Orang tua yang waras nggak akan menginginkan anaknya sakit. Jika bisa memilih, mereka pasti rela menanggung sakit itu, nggak peduli banyak ataupun sedikit, asalkan anak mereka nggak sakit.

"Sedikit apa banyak?"

"Dikit."

"Good, now it's time for some love so it will heal faster." Johnny merunduk, meniupkan kecupan jarak jauh di atas lukanya Chester. "Papi gives it some love, so it will heal faster."

Chester menatap ayahnya sebentar, terus mengulurkan tangan, menarik tepi baju Johnny. "Papi,"

"Yes?"

"Mau Papi."

Johnny mendekat dan Chester memeluk lengannya masih sambil duduk, membuat Johnny otomatis merunduk untuk mencium puncak kepala anak itu.

"I love you, Papi."

"I love you too."

*

Wuje masih terduduk di atas perut Jenar sewaktu Rei keluar dari kamar tidurnya.

Perempuan itu masih mengenakan setelan piyama, tapi jelas sekali, sudah sempat membasuh wajah. "Wuje, udah bangun, Nak?" Rei bicara hanya pada si bocil, seakan-akan Jenar nggak turut berada dalam ruangan yang sama.

"Udah, Mama." Wuje menoleh sambil nyengir. Nyengirnya lebar banget, bikin lesung pipinya tercetak makin dalam, sedangkan matanya nyaris menghilang. "Papa juga udah bangun, nih! Hehe."

"Mama nggak nanyain Papa."

Jenar manyun, sedangkan Wuje masih tersenyum seraya memamerkan gigi ala bintang iklan Pepsodent, terus dia bergerak turun dari perut Jenar.

"Regina, masa kamu masih marah sih sama aku?"

Rei masih tetap mengabaikan Jenar. "Wuje, mau sarapan apa?"

"Sosis digoreng sama telor orak-arik boleh nggak, Ma? Oiya, mau pake kecap juga!"

"Oke, deh."

"Regina, aku juga mau—"

Rei sontak memotong ketus. "Masak aja sendiri."

Jenar kian mengerucutkan bibirnya. Wuje tetap nyengir sejenak, meski ujung-ujungnya, kelihatannya bocah itu jadi kasihan juga sama ayahnya. Tadinya, Wuje mau lanjut meledek, namun menilik bagaimana memelasnya muka Jenar ketika dia beranjak dari sofa dan mengikuti Rei ke dapur, Wuje memilih diam. Wuje nggak paham sih kenapa Rei yang biasanya nggak mudah marah jadi sekesal itu sama Jenar, namun berhubung mamanya belum kabur dari rumah seperti Jinny atau Yuta, otak anak-anak Wuje mikirnya berarti berantemnya belum parah-parah amat.

Jenar berhenti di ambang pintu dapur, menghela napas sambil memandang punggung Rei yang sedang membuka lemari es untuk mengambil bahan makanan.

"Regina, marah banget ya?"

Rei nggak menyahut, terus saja membawa bahan makanan yang dia keluarkan ke konter marmer, diikuti mencabut sebilah pisau dapur dari tempatnya, yang bikin Jenar menelan ludah tanpa sadar.

Rada ngeri juga berantem ketika salah satu dari mereka memegang senjata tajam seperti itu—walau separuh diri Jenar juga tau kalau kayaknya, mustahil banget Rei bisa melukainya secara fisik meski nggak sengaja.

Nggak kayak Jella yang pernah bikin tangan Tigra nyaris buntung gara-gara kejepit pintu saat mereka berantem.

"Aku mesti gimana biar kamu nggak marah lagi? Aku minta maaf banget kalau kamu nggak suka aku anter dia pulang. Nanti-nanti nggak lagi, kok. Tapi please, marahnya jangan lama-lama ya?"

Rei tetap membisu, membuat Jenar membuang napas sebelum akhirnya berbalik terus ngajak Wuje mandi. Ini hari Sabtu, jadi pagi mereka bisa lebih santai karena Wuje nggak perlu ke sekolah dan Jenar nggak perlu ke kantor. Di hari biasa, seringnya memang Wuje mandi sama Jenar sih, sementara Rei menyiapkan sarapan dan kotak bekal buat mereka berdua. Pembagian tugas yang berlangsung tanpa sadar, dan keduanya sepakati dalam diam.

Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, kali ini Jenar nggak mandi bareng Wuje. Jenar hanya memandikan anaknya, sesekali tertawa sambil pura-pura nggak niat mengguyurkan air ke rambut Wuje yang sudah penuh busa shampoo sementara anaknya mulai teriak-teriak, "Papa, pedih!!" atau sengaja menggelitik pinggang Wuje waktu menyabuni badan bocah itu.

"Papa, nggak mandi juga?" Wuje bertanya waktu Jenar mengeringkan rambutnya pakai handuk.

"Sebelum mandi, Papa biasanya sikat gigi, terus cukuran dulu."

"Terus?"

"Lupa naro cukurannya di mana." Jenar mengaku.

"Tanya Mama. Biasanya Mama tau."

"Mamanya lagi marah." Jenar menyahut, sekalian curhat. Sembari bicara, tangannya tangkas bergerak mengeringkan badan Wuje, terus melilitkan handuk besar tersebut untuk menutupi batas garis dada Wuje hingga ke mata kaki. Otomatis, caranya membungkus badan si bocil bikin Wuje kelihatan kayak lontong. "Bisa cari baju sendiri nggak?"

"Bisa, tapi takut kebalik pas pake bajunya."

"Lihat bagian lehernya, bagian belakang biasanya ada label mereknya."

"Baju aku banyak label mereknya diguntingin Mama, Papa. Soalnya suka bikin gatel."

"Yaudah, nanti bagian pake baju, tanya Mama."

"Mau sekalian aku tanyain nggak, alat cukuran Papa ditaro mana?"

"Nggak usah. Papa coba cari sendiri aja."

"Oke."

Wuje mengacungkan jempol, lantas melangkah keluar lebih dulu dari kamar mandi. Anak itu tengah berjalan sambil memegangi handuknya biar nggak melorot saat Rei yang baru selesai melipat selimut yang semalam Jenar pakai menemaninya tidur di sofa melihatnya. Rei kontan beranjak, menghampiri Wuje.

"Udah selesai mandinya?"

"Udah."

"Papa mana?"

"Belum mandi, katanya mau sikat gigi sama cukuran dulu."

"Oh, oke. Ganti baju sama Mama apa sendiri?"

"Pake celananya sendiri, ganti bajunya sama Mama."

"Oke."

Mereka berpindah ke kamar Wuje. Rei membiarkan anaknya memilih baju apa yang mau dipakai, terus membantu Wuje memakai atasannya. Tau-tau, saat Rei menyisiri rambut Wuje, Wuje nyeletuk.

"Mama,"

"Iya?"

"Mama kenapa berantem sama Papa?"

Rei jadi takut anaknya overthinking. "Nggak apa-apa, kok. Mama cuma lagi bete aja. Nanti juga baikan."

"Jangan lama-lama ya, Ma."

"Loh, tumben kamu mihak Papa."

"Abisnya aku kasian, Ma. Kayaknya Papa sedih karena berantem sama Mama."

"Sedih gimana?"

"Tadi aku nggak sengaja denger, Papa bukannya sikat gigi pake odol, malah pake sabun cuci muka, Ma."

Kata-kata Wuje bikin Rei geli sekaligus luluh di saat yang sama.

"Papa udah mandi belum sih?"

"Belum. Mama mau mandiin Papa?"

Rei hampir keselek. "Nggak lah, Papa udah gede, bisa mandi sendiri!"

"Aku kan cuma nanya, Mama." Wuje menjawab polos, terus kaget sendiri. "Mama, kenapa mukanya merah?"

"Nggak apa-apa." Rei membuang napas, berusaha terlihat santai saja meski wajahnya terasa amat panas sekarang. "Mama udah bikinin sosis goreng sama telor orak-arik buat kamu. Botol kecapnya udah Mama taro juga di meja. Susunya aja yang belum sempat Mama bikinin. Mama mau—" kata-kata Rei terputus oleh suara 'jedug!' keras dari arah kamar mandi, diikuti oleh seruan Jenar.

"Aku nggak apa-apa!! Aku cuma kejedot pinggiran meja wastafel tadi!! Oiya, meja wastafelnya juga baik-baik aja!!"

"Mama mau bantuin Papa dulu. Kayaknya repot banget tuh orang."

"Iya, Ma."

Jenar lagi terduduk frustrasi di atas lid toilet yang tertutup saat Rei masuk ke kamar mandi. Lelaki itu langsung tersentak. "Regina, aku—"

"Ketemu nggak alat cukurnya?"

"Nggak—"

Rei nggak mendengarkan Jenar sampai lelaki itu selesai bicara. Dia membuka salah satu cabinet yang melekat ke dinding, membuat Jenar refleks berseru.

"Di situ nggak ada, udah aku cari—loh..." Jenar menggaruk kepalanya dengan bingung sewaktu Rei menarik keluar alat cukurnya dari sana. "... kok bisa ada, sih?"

"Karena memang ada di sini."

"Sumpah, aku udah cari bolak-balik di sana—well," Jenar heran sendiri, tapi memilih diam ketika dia mendapati Rei tengah menatapnya lekat.

"Apa?"

"Mau cukur sendiri apa dicukurin?"

Jenar nyengir. "Hehe."

"Nggak usah haha-hehe. Aku belum benar-benar maafin kamu."

Senyum Jenar memudar, tapi lelaki itu bangkit dari lid toilet yang dia duduki, ganti berjongkok di depan Rei yang kini duduk di tepi bathtub. Matanya menatap intens pada perempuan di depannya saat Rei membasahi seputar rahangnya menggunakan air, disusul membubuhkan shaving cream.

"Apa?" Rei bertanya pada Jenar saat sadar akan bagaimana cara lelaki itu memandangnya.

"It's so not like you, to be honest."

"Apanya?"

"Marah karena Karol."

"Masih coba invalidating perasaan aku?"

"Nggak." Jenar menukas cepat. "Just so not like you. Selama ini, kamu bukan tipe yang gampang cemburu. Malah hampir nggak pernah, well, kecuali pas masih hamil si bocil. Tapi kata Kak Hyena, itu sih bawaan bayi."

"Nggak boleh?"

"Aku nggak bilang gitu."

"It's upsetting." Rei akhirnya mengakui. "Aku nggak suka, dan aku lebih nggak suka lagi ketika kamu anggap remeh keselnya aku."

"Sorry."

"Kamu malah suka lebih parah kalau cemburu."

"I know. I am sorry, okay?" Jenar berkata, bersamaan dengan Rei menyeka bersih shaving cream dari wajahnya menggunakan kain basah. "Like I said, it's so not like you. Kamu adalah orang paling secure yang pernah aku tau. Sometimes, I wonder, kayaknya ada atau nggak ada aku, kamu bakal tetap baik-baik aja—"

"Nyatanya nggak gitu. Kesimpulan dari mana?"

"Kamu mandiri banget, nggak kelihatan kayak butuh aku, or at least, nggak sebutuh aku sama kamu."

"Nggak gitu."

"Aku tau. You have your own love language. I know you love me." Jenar menatap hangat perempuan di depannya. "Akan selalu ada orang yang lebih dari kamu di luar sana, tapi nggak akan ada yang bisa kayak kamu, karena kamu cuma ada satu, dan aku cuma mau kamu. Oke?"

Rei menghela napas, balik memandang Jenar.

Hening sejenak, hingga terdengar sebuah suara menyentak. "Kalau kayak gini, biasanya udah mau ciuman."

Refleks, Rei dan Jenar menoleh ke pintu kamar mandi yang terbuka, menampilkan sosok Wuje yang lagi berdiri sambil makan sosis yang ditusuk garpu.

"Yailah, si bocil—"

"Rabu ini tanggal merah kan ya?" Rei justru bertanya tentang sesuatu yang lain ke Jenar.

"Hah—emang kenapa?"

"Ajak teman-teman satu team kamu ke rumah deh hari Rabu ini."

"Hah?"

"Ajakkin mereka dinner di sini, buat yang bisa dateng. Nanti aku masak."

"..."

"Sekalian ajak juga anak magang yang itu."

Jenar memiringkan wajah, terus menunjuk Wuje yang masih berdiri sembari mengunyah sosis. "Regina, coba kamu lihat si bocil."

"Aku kenapa, Papa?"

"Kenapa ama si bocil?"

"Dia masih kecil, dia butuh ibunya." Jenar berujar dengan dramatis.

"Kenapa ngomongnya gitu?!"

"Just in case kamu mau ngeracun Karol."

"Karol siapa, Papa?"

"Nggak. Ini beneran. Aku mau kamu ajak temen-temen satu team kamu dinner. Biasa aja kok. sekalian tanyain, ada yang punya alergi makanan tertentu apa nggak."

"Karol siapa, Papa?"

"Tanyain deh ya." Rei berkata, terus menepuk paha Jenar. "Minggir, aku mau bikin susu buat Wuje!"

"Karol siapa, Papa?" Wuje tetap saja bertanya.

"Makanan yang suka Mama buatin buat kamu itu, yang digulung, dalemnya isi daging sama sayur."

"Pa, itu mah spring roll!!"

*

Sesuai janji sama Rossa, Jenar dan Rei mengantarkan Wuje ke apartemen Rossa setelah mereka selesai gereja.

"Wuje, inget nggak apa yang Mama bilang dari tadi?" Rei bertanya di perjalanan, sementara Wuje menempelkan wajahnya di kaca mobil.

"MAMA!! DI LUAR ADA MANUSIA PERAK!!"

Manusia perak yang Wuje maksud itu manusia silver yang sering mangkal di persimpangan jalan atau titik-titik rawan kemacetan. Mereka menyepuh sekujur badan menjadi warna perak dengan cat khusus. Biasanya sih, mereka bertelanjang kaki dan berpose kayak patung di jalan, lengkap dengan kardus di dekat kaki sebagai wadah uang yang diberikan oleh pengguna jalan yang lewat.

"Wuje, dengar Mama nggak?"

"Dengar, Mama." Wuje berpaling pada Rei, terus katanya. "Mama, mau uang."

"Buat apa?"

"Kalau buat ngasih pengamen atau pengemis di lampu merah, jangan." Jenar yang duduk di balik roda kemudi memperingatkan.

Wuje manyun. "Papa kok gitu sih?!"

"Kapok. Terakhir kamu ngasih, banyak yang ngerubung, mana tangan kamu ditarik-tarik. Kalau kamu jatuh gimana? Bahaya."

"Nggak buat ngasih pengamen."

"Buat manusia perak? Sama aja."

"Nggak, aku mau beli kerupuk!"

"Kerupuk apaan?"

"Kerupuk itu, Mama, tuh yang jualan, yang pake kaos kuning!"

Rei menatap pada arah yang ditunjuk Wuje, dan mendapati seorang anak kecil yang paling banter hanya lebih tua tiga atau empat tahun dari Wuje lagi menawarkan kerupuk dagangannya di sela-sela kendaraan yang berhenti di lampu merah.

"Fine." Rei mengeluarkan dompetnya, memberikan uang pada si bocil.

"Regina,"

"Nggak apa-apa. Dia cuma mau beli kerupuk." Rei menenangkan, sementara Wuje menurunkan kaca mobilnya sedikit, terus memanggil si penjual cilik.

"Eh, Kakak! Iya, Kakak yang baju kuning! Beli dong!"

Anak penjual kerupuk yang Wuje panggil mendekat. "Mau beli apa?"

"Es krim."

"Yah, aku nggak jual es krim."

"Oiya, Kakak jualnya apa?"

"Kerupuk."

"Mau."

"Berapa?"

"Satu aja, soalnya yang mau aku doang. Eh, dua deng. Takutnya Tante Ocha mau juga."

"Dua yah." Anak itu memisahkan dua kerupuk, memberikannya pada Wuje. "Nih, dua kerupuk."

Wuje menukarnya dengan memberikan uang.

"Yah... nggak ada kembaliannya..."

"Mama." Wuje menoleh pada Rei yang dari tadi hanya diam mendengarkan. "Nggak ada kembaliannya katanya."

"Yaudah, terserah kamu."

"Hng..." Wuje mikir bentar. "Yaudah, kembaliannya buat Kakak aja."

"Hah, beneran?!"

"Iya. Udah yah, takutnya lampunya ijo, nanti kita diklaksonin."

"Makasih ya!"

"Iya, eh, Kakak—"

"Iya?"

"Semangat yah!"

Anak itu belum sempat membalas ucapan Wuje karena lampu lalu-lintas keburu berganti warna dari hijau. Dia cepat-cepat menepi, sedangkan mobil yang Jenar kemudikan melaju. Wuje duduk diam saja, meski dari ekspresi wajahnya, kelihatan banget dia lagi mikirin.

"Mikirin apa?" Rei bertanya seraya menoleh ke belakang.

"Mama, emangnya anak kecil boleh kerja ya?"

"..."

"Jualan tuh kerja, kan?"

"..."

"Boleh ya?"

"Harusnya nggak boleh."

"Terus kenapa Kakak itu jualan?"

"Mungkin karena keadaannya mengharuskan kakaknya jualan." Jenar berkata.

"Emang keadaan kenapa, Pa?"

"Gitu, walau kakaknya nggak mau jualan, dia harus jualan."

"Keadaan bisa maksa?"

"Iya."

"Keadaan itu siapa sih?"

Jenar ingin tertawa, tapi di sisi lain, dia tau dia harus menjawab pertanyaan bocah di belakang dengan baik. "Situasi."

"Situasi siapa lagi?"

"Contohnya gini, Je, misalnya kamu sama Mama lagi sendirian di rumah. Terus Mama sakit. Anak kecil, biasanya nggak seharusnya ngurusin orang sakit, karena namanya masih kecil, belum paham banget harus gimana. Belum bisa. Masih harus banyak belajar." Jenar menjelaskan. "Tapi kalau misalnya di rumah cuma ada Mama sama kamu doang, otomatis cuma kamu dong yang bisa Mama andalin buat bantuin Mama yang lagi sakit?"

"Iya, Pa."

"Otomatis, kamu bantu urusin Mama semampu kamu kan, sampe Papa pulang?"

"Iya, Pa."

"Sama juga kayak Kakak itu. Mungkin nggak ada orang dewasa di rumahnya yang bisa bantuin jualan, makanya kakak itu yang jualan."

"Oh..." Wuje manggut-manggut, habis itu tau-tau dia diam.

Rei menatap pada rear-view mirror, dan sadar diamnya Wuje adalah karena anak itu lagi berdoa dengan sangat-sangat serius.

"Kok tiba-tiba berdoa?" Rei bertanya setelah Wuje membuka matanya lagi.

"Doain kakak yang tadi."

"..."

"Biar papanya kakak yang tadi cepat pulang."

Rei dan Jenar sama-sama nggak mampu menjawab, sedangkan Wuje kembali antusias memandang ke luar jendela mobil.

*

"Jadi, kita mau masak iga hari ini!"

Rossa berseru antusias, tapi langsung meringis ketika nggak ada satupun reaksi yang ditunjukkan oleh dua bocil yang duduk bersebelahan di depannya. Wuje diam saja, tampak bete karena ada Queensha. Queensha juga sama, berpose melipat tangan di dada gara-gara kehadiran Wuje.

Hari ini, harusnya ada Cherry juga, tetapi ternyata Cherry nggak jadi main. Lila juga sudah ada plan sendiri bareng Kun. Jadinya, yang bisa datang ke tempat Rossa hanya Wuje dan Queensha.

"Arganata, Queensha, kok kalian diam aja sih?"

"Aku sebal ada si Nakal!"

"Namaku Queensha, bukan si Nakal!"

"Terserah aku! Salah kamu nakal, makanya kupanggil si Nakal!"

"Aku cantik, kenapa kamu nggak panggil aku si Cantik!"

"Nggak mau! Kamu nggak cantik!"

"Aku cantik!"

"Nggak!"

"Cantik!"

"Nggak!"

"Aku cantik, Wuje!"

"Kamu Queensha, bukan cantik!"

"Oke, aku Queensha."

"Tapi aku mau panggil kamu si Nakal!"

"Oke, kalau gitu aku panggil kamu si Jelek!"

Wuje melotot. "Aku nggak jelek!"

"Terserah! Menurut aku kamu jelek!"

"Kids, okay, stop—kalau kalian berantem terus, nanti kita nggak makan loh! Tante Ocha mau masak iga bakar kecap hari ini. Kalian suka, kan?"

"Yang suka iga mah dia doang!"

"Queensha nggak suka?"

"Bohong, Ate! Waktu ke rumahku, dia habisin iga yang dimasakkin Mama!"

"Aku habisin bukan berarti aku suka!"

"Kalau nggak suka, terus apa?" Wuje menantang.

"Laper!"

Wirya yang sedari tadi menonton sontak tertawa. Tawanya bikin Rossa menoleh dengan ekspresi kesal. "Wirya, ih malah ketawa! Bantuin aku, dong!"

"Masa gitu aja pusing sih?"

"Masa nggak pusing?!"

"Masih untung mereka berantemnya pake omongan doang, nggak pake gaplok-gaplokan—"

Sepertinya Wirya harus berhati-hati dengan ucapannya, sebab belum sempat dia menyelesaikan kata-katanya, Queensha telah lebih dulu melakukan tindakan radikal dengan mengguyurkan air minum dalam gelas yang berada di dekatnya ke celana Wuje. Wuje melotot shock, apalagi saat Queensha menuding bagian depan celananya yang kini basah.

"Kayak ngompol. Hehe."

Wuje menatap Queensha nanar. "AKU NGGAK NGOMPOL!!"

"Kan kayak. Kayak ngompol."

"Ate!!" Wuje berpaling pada Rossa, terus dia mulai menangis. "Ate, celana aku disiram... hiks... celana aku basah... hiks..."

"Queensha, nggak boleh gitu!" Rossa memperingatkan, membuat Queensha manyun.

"Dianya nakal, Tante!"

"Celana aku basah—" Wuje mulai sesenggukan. "—celana aku—"

Wirya mendekati Wuje dengan wajah prihatin. "Lepas aja ya celananya? Udah basah."

Wuje menggeleng. "Nggak mau!! Nanti aku nggak pake celana!!"

"Kamu nggak pake kolor!?" Queensha menyentak.

"PAKE!! KOLOR AMA CELANA ITU BEDA KATA MAMA AKU!!"

"..."

"KATA MAMA, KOLOR AKU NGGAK BOLEH KELIATAN SAMA SEMUA ORANG!! CUMA BOLEH KELIATAN SAMA PAPA, MAMA, OMA, OPA AJA!!" Wuje kini sudah meraung.

"Wirya—shJesus—" Rossa batal cursing karena sadar dia lagi berada di depan banyak anak kecil. "Gimana ini?!"

"Beliin Arga celana?"

"Bakal lama nggak? Anaknya udah nangis sedih gitu..."

"Lama sih." Wirya memutar otak, sementara air mata Wuje makin banyak berleleran. Queensha selaku tersangka terlihat agak merasa bersalah, tapi dia berusaha nggak memandang langsung pada Wuje yang menatapnya dengan mata basah nan merah. "Atau gini aja—"

"Gini aja gimana?"

"Kamu punya celana pendek nggak? Yang pendek gitu terus ada talinya. Celana jogging juga nggak apa-apa."

"Tapi kan itu celana ce—" Wirya buru-buru bangkit, terus menutup mulut Rossa pakai telapak tangannya.

"Anak kecil nggak ngerti celana cewek-celana cowok, unless kamu bilang. Yang warna hitam atau warna biru gitu, ada?"

"Ada... tapi bakal kegedean nggak sih?"

"Mending kegedean dikit daripada Arga nangis meraung-raung."

"Hng... oke... tunggu sini."

Rossa menghilang sejenak ke kamarnya dan kembali lagi dengan celana pendek yang biasa dipakainya jogging.

"Pake celana Om Wirya dulu yah?"

"... huhu..." Wuje masih saja menangis.

"Arganata,"

"... muat—hiks—nggak, Om?"

"Coba dulu. Tapi Om Wirya boleh nggak lihat kolor kamu? Cuma buat bantuin makein celananya aja. Eh, tapi kolor kamu ikutan basah nggak?"

"Nggak."

"Bagus, deh."

"Janji ya, cuma buat bantuin makein celana? Soalnya Mama bilang, kolor aku nggak boleh dipegang sembarang orang."

"Iya, Om Wirya janji."

Wuje berpaling pada Rossa dan Queensha. "Tante Ocha ama si Nakal nggak boleh lihat!"

"Oke, sip. Ayo, Queensha, kita merem!"

Queensha menuruti instruksi Rossa dan ikut memejamkan matanya, kayak lagi jaga petak-umpet, sedangkan Wirya membuka celana Wuje yang basah dan menggantinya dengan celana jogging Rossa. Celananya agak kebesaran sih, mana modelnya longgar gitu, jadinya Wuje kelihatan seperti memakai cullotes. Tapi untungnya, adanya tali membuat Wirya dapat mengencangkan bagian pinggang celana biar nggak melorot.

"Udah."

"Om,"

"Iya?"

"Di kantong celana aku ada permen."

"Oh..." Wirya merogoh kantung celana Wuje yang basah. "Bawa dari rumah?"

Wuje menggeleng. "Nggak. Tadi ada yang ngasih."

Wirya jadi agak curiga, maka dia memeriksa permen tersebut dengan teliti, walau akhirnya dia mendapati permen itu hanya permen biasa. "Siapa yang ngasih?"

"Di parkiran. Ada opa-opa ngasih, tapi katanya jangan kasih tau Mama atau Papa."

"Permen apa?" Rossa terdengar agak khawatir.

"Permen biasa aja." Wirya menenangkan.

"Yakin?"

"Yakin. Nggak bahaya kok kayaknya. Bungkusnya juga masih kesegel rapat."

"Takutnya. Jaman sekarang suka banyak orang aneh." Rossa menghela napas, terus berpaling pada Queensha. "Queensha, yang tadi itu nggak baik loh."

Queensha tertunduk.

"Kasihan Argan. Nggak boleh gitu ya?"

"Iya. Maaf..."

"Minta maaf ke Argan ya?"

"Iya, Tante." Queensha melangkah mendekati Wuje. "Aku minta maaf ya."

Wuje manyun. "Kamu bilang aku jelek."

"Kamu bilang aku nakal."

"Oke, sama-sama minta maaf kalau gitu."

"Tapi Tante—"

"Argan, kalian sama-sama salah. Kamu ngatain Queensha nakal. Queensha ngatain kamu jelek. Kalian sama-sama tau kan, dikatain itu nggak enak? Hayo, minta maaf."

Wuje sadar, apa yang dibilang Rossa itu benar. "Yaudah, aku minta maaf."

"Aku juga, minta maaf." Queensha berujar. "Aku nggak akan ngatain kamu jelek lagi."

"Aku juga."

"Juga apa?"

"Aku nggak akan ngatain kamu jelek lagi... kalau lagi ada kamunya."

"..."

"Kalau lagi nggak ada kamu sih... nggak tau ya."

"..."

"Hehe, nggak janji."

Wirya dan Rossa saling pandang, terus sama-sama membuang napas, sementara Queensha menatap Wuje dengan mata disipitkan, terkesan penuh dendam.

"Oke, sekarang siapa yang mau bantuin Tante Ocha dan Om Wirya masak iga?"

"..."

"Nggak ada yang mau nih?"

"..."

"Yah, Tante Ocha sedih deh kalau gini..."

"IYA, AKU MAU BANTUIN, TANTE!"

*

Di hari Rabu, Rei mempersiapkan dinner hanya dibantu oleh Jenar dan si bocil.

Sehari-hari, mereka memang lebih sering bertiga saja di rumah. Meski kata Yuta sih, mubazir banget punya rumah gedong namun hanya dihuni dua orang. Namun yah, maunya Rei begitu dan Jenar ikut-ikut saja. Paling setidaknya seminggu dua kali atau tiga kali, ada asisten rumah tangga yang datang untuk membantu membersihkan bagian-bagian rumah yang jarang dipakai atau nggak sempat Rei bersihkan, dan sebulan sekali untuk sekelompok tukang kebun merapikan hutan mini di belakang rumah mereka.

Dalam handling pekerjaan di kantor, biasanya dalam sebuah divisi besar, terdapat tim-tim yang lebih kecil dengan bidang yang lebih spesifik. Untuk tim yang langsung berada di bawah pimpinan Jenar, terdapat lima orang ditambah Karol. Tapi dua orang lainnya berhalangan hadir, jadi anggota tim yang datang hanya tiga orang ditambah si Karol.

Menjelang jam tujuh malam, Wuje yang sudah diserahi tugas menyambut tamu oleh ibunya membukakan pintu depan dan mengarahkan para tamu ke meja makan yang berada di dapur.

Sewaktu mereka tiba di sana, ternyata Rei masih bikin-bikin sejumlah hidangan, meski sudah ada makanan yang tersaji di atas meja—sementara Jenar membantunya.

Karol sempat speechless sejenak, karena pembawaan Jenar di kantor tuh cenderung dominan dan professional, macam alpha male sejati, tapi ternyata, dia menurut saja disuruh-suruh istrinya mengambil ini-itu atau mencoba ini-itu, mana pakai celemek warna pastel pula.

Bukan hanya warna celemeknya yang bikin Karol salah fokus, tapi juga bagaimana kaos yang Jenar pakai di bawah celemeknya mampu menunjukkan kedua lengannya yang toned dengan sempurna.

"Tante, Om, kata Mama, sambil nungguin makanan yang belum jadi, mam lumpia aja dulu. Ini tuh apa ya namanya, Pa? Sezeseizer?"

Jenar tertawa, terus mengoreksi. "Appetizer."

"Sezeseizer."

"Terserah kamu deh."

"Iya, itulah. Sezeseizer." Wuje berujar penuh semngat sembari mencomot sepotong lumpia. "Ini aku ikutan bikin juga loh tadi sore! Pasti enak dehhhh!"

Tiga co-worker Jenar yang lain tertawa, sedangkan Karol hanya tersenyum saja. Rei sudah kenal mereka semua; Surya, Dino sama Ibob. Cuma Karol doang yang asing. Rei memandang gadis itu sejenak, terus berinisiatif menyapa, sebab toh dia nggak mengundang Karol ke rumahnya untuk jadi bahan bully—walau kentara sekali, Dino julid banget sama Karol.

"Kamu anak intern di teamnya Jeje ya?" Rei sengaja menggunakan panggilan gemesh.

"Eh, iya—"

"Panggil Rei aja." Rei tersenyum, mampu membaca kebingungan Karol, sementara Jenar hanya melirik. "Saya istrinya Jenar."

"Nama saya—"

"Karol, right?" Rei memotong, nada suaranya masih terkesan ramah. "My husband told me about you."

Surya sama Dino santai saja makan lumpia, sementara Ibob sibuk mendengar cerita Wuje soal kejadian menghebohkan di sekolahnya baru-baru ini—yang melibatkan fakta soal telur ayam dalam inkubator penghangat di kelas yang pada akhirnya menetas. Sedangkan Karol diam saja, tak punya pilihan selain menonton Rei dan Jenar menyiapkan sisa hidangan yang hampir selesai dimasak.

"Regina, sini cobain dulu deh kuah supnya. Menurutku udah pas, cuma mungkin menurut kamu masih ada yang kurang—" Jenar tahu-tahu berkata seraya menyendok kuah dari panci dan meniupnya sebelum menempatkan telapak tangannya di bawah sendok tersebut untuk dia suapkan ke istrinya.

Menyaksikan pemandangan itu, Karol langsung agak salah tingkah.

"Enak." Rei berkata sehabis mencicip kuenya.

"Ih, aku mau coba juga dong!" Wuje ogah kalah, buru-buru turun dari stool tinggi yang dia duduki hingga nyari jatuh. Untungnya, Ibob yang duduk di sebelah bocah itu memegangi pinggangnya dengan cekatan, terus menurunkannya ke lantai dengan hati-hati.

"Wuje, hati-hati dong! Kalau jatuh gimana—and no, please don't run around, lagi banyak tamu loh ini!"

"Aku nggak run around, Mama. Ini tuh jalan, tapi cepat aja." Wuje ngeles seraya mendekati Jenar. "Papa, mau coba—aaaa..."

"Hadeh, nih anak." Jenar berdecak, namun ujung-ujungnya tetap menyuapi Wuje. "Enak?"

Wuje mengangguk. "Enak. Mama, nanti aku makannya mau pake sendok pesawat yah..."

Kentara banget, Karol bingung harus bereaksi seperti apa.

Jelas, dia sudah tau kalau Jenar sudah punya istri. Soalnya waktu pertama kali dia kasih lunch box buat Jenar, Surya langsung nyeletuk, "Bang Jenar udah punya istri loh," gitu, seperti setengah bercanda dan setengah mengingatkan. Tapi ya Karol mikirnya, kalau memang Jenar ngerasa nggak seharusnya nerima lunch box dia, ya mestinya nggak usah diterima dong?

Ditambah lagi, di ruangannya Jenar nggak ada foto keluarga. Jenar juga nggak menolak saat pagi-pagi, Karol meletakkan kopi di mejanya. Oh ya, sebelumnya, Jenar juga mengantarnya pulang.

Makanya, Karol nggak expect kalau ternyata Jenar terlihat seakur dan seharmonis itu sama istrinya.

Atau dia pura-pura doang?

Soalnya banyak juga kan laki-laki yang begitu.

Tak berapa lama, seluruh hidangan selesai disiapkan dan mereka pun mulai makan. Sepanjang makan malam, pembicaraan didominasi oleh cowok-cowok, terutama sama Wuje yang cerewet banget dan seperti nggak bisa berhenti berceloteh. Rei hanya mendengarkan, sesekali tersenyum karena kata-kata anaknya. Karol juga begitu. Namun satu yang dia sadari, anaknya Jenar ini mirip banget sama bapaknya.

Selepas makan malam, Wuje menarik para pria ke ruang keluarga untuk memamerkan gambar hasil karyanya, yang konon katanya berhasil dapat ponten sembilan puluh dari Bu Guru, otomatis meninggalkan Rei dan Karol berdua saja untuk lanjut beres-beres di dapur.

Jujur, Jenar jadi overthinking, apalagi ketika nggak terdengar ribut-ribut apa pun dari dapur. Sumpah, buat Jenar, Rei yang tenang tapi geram lebih menyeramkan daripada Rei yang marah-marah dengan dramatis dan sarat teriakan. Makanya, selama hampir satu jam, dia jadi agak gelisah. Barulah setelah Rei dan Karol muncul dari dapur, Jenar jadi agak lebih tenang.

Muka Karol sudah nggak enak banget, sedangkan Rei terlihat santai ketika dia bicara. "Je, katanya Karol nggak enak badan. Dia mau minta izin pulang duluan."

"Hah?"

"Karol mau pulang duluan. Kamu bisa nganter?"

Jenar menatap Karol sejenak, terus berujar hati-hati. "Kalau saya pesenin taksi aja, nggak apa-apa ya?"

"Sama gue aja nggak apa-apa kok, Bang." Ibob menukas. "Tempat kita berdua searah."

"Atau mau balik aja sekalian? Soalnya sekarang udah dekat ke jam sembilan. Dari tadi, Arga juga sudah nguap terus." Dino mengusulkan.

Ujung-ujungnya, mereka pada pulang bareng. Rei masih tetap berwajah ramah sewaktu mengantar para tamunya ke depan. Sewaktu berjalan masuk lagi, mendadak Wuje minta digendong sama ibunya, sudah mulai cranky karena mengantuk.

"Regina," Jenar berujar sambil mengikuti Rei yang menggendong Wuje. Dengan pasrah, bocah itu menyandarkan wajah di bahu ibunya.

"Hm?"

"Karol kamu apain?"

"Hehe."

"KOK MALAH HEHE?!"

"Hehe."

"Mama... ngantuk..." Wuje merengek seraya menyurukkan wajah ke lekuk leher Rei.

"Sikat gigi sama cuci muka dulu ya? Baru bobo."

"Regina, si Karol—"

"Ntar, tunggu Wuje bobo dulu ya. Hehe."

Jenar sudah curiga campur penasaran, tapi berhubung Wuje biasanya rese banget kalau lagi ngantuk atau lapar, dia memilih menunggu seraya menonton televisi. Sekitar jam sepuluh malam, baru deh Rei keluar dari kamarnya Wuje. Jenar buru-buru beranjak, menembaknya dengan tanya.

"Jadi Karol kamu apain?"

Rei duduk dulu di sofa, mau nggak mau bikin Jenar duduk lagi. "Aku ajak ngomong,"

"Ajak ngomong gimana?"

"Aku tanya ke dia, menurut dia kamu tuh gimana. Dia jawab, menurutnya kamu tuh baik, perhatian, ganteng, stuffs like that."

"Terus?"

"Aku bilang lagi, 'oh, oke. Sekarang kayaknya saya ngerti kenapa kamu tertarik ke suami saya'. Terus mukanya langsung nggak enak."

"TERUS?!"

"Kukasih tau dia, 'Karol, saya tau kok selama ini kamu sudah ngapain aja buat coba narik perhatian suami saya'." Rei lalu melotot ketika menyadari perubahan ekspresi wajah Jenar. "JE, KOK MALAH BLUSHING SIH?!"

"Suami saya. Hehe."

"Kalau kamu ngeledek gitu, aku nggak jadi cerita!"

"Iya, Reginaaaa... jangan ngambek dong..."

Rei menghela napas, lalu meneruskan kisahnya. "Setelah aku bilang gitu, dia sempat pura-pura nggak tau, jawabnya 'I don't know what you're talking about'. Kesal banget aku."

"Kamu nggak nyakar dia pake garpu makan, kan?"

"Pengennya sih gitu."

"Regina!"

"Nggak. I said 'do I have to remind you? Fine. Kamu bikinin suami saya lunch box dan itu nggak hanya sekali-dua kali. Kamu beberapa kali beliin dia kopi pagi-pagi. Kamu ajak dia karaoke-an berdua aja selepas kantor. Kenapa saya tau? Karena suami saya yang ngasih tau'. Dia langsung diem dan nunduk."

"TERUS?!" Jenar betulan terhenyak, nggak mengira Rei bisa bold banget mengonfrontasi orang.

"Aku tanya, umur dia berapa. She answered, she's 21. Then I told her, I was 17 when I first saw you—"

"WAIT." Jenar memotong. "YOU SAW ME WHEN YOU WERE 17?"

"Waktu aku masih maba."

"JADI KAMU TAU AKU?!"

"Nggak mungkin nggak tau. You're famous, because of your face, and your reputation."

"Terus kamu pura-pura nggak kenal sama aku?!"

"Kan aku emang nggak mau kenal sama kamu, awalnya." Rei memiringkan wajah. "Tapi itu nggak penting awalnya. I told her, I was like 19 when we had a real talk with each other for the first time, and that you waited years to make your wife, and how we've been thru a lot of unimaginable things together."

Jenar tersenyum. "I wanna pull you in for a kiss."

"Nanti dulu, ih! Ciam-cium aja isi kepala kamu ya!" Rei menahan dada Jenar pakai telapak tangan. "Terus kubilang, 'Karol, I am trying to be nice here, but what is mine, is mine. He's my man. Mine. Jadi saya akan sangat appreciate kalau kamu berhenti berusaha caper sama dia."

"Terus dia bilang apa?!"

"Cuma nunduk, makanya aku ngomong lagi."

"Ngomong apa?"

"Consider this as a warning from me."

"Galak banget!"

"Nggak suka?"

"... so not like you, aku nggak nyangka cemburu kamu bisa galak banget kayak gitu."

"Aku benci kelihatan posesif—tapi benar apa kata Dino, kamu itu rentan dicaplok orang." Rei merendahkan suaranya. "And I don't want that to happen. Nggak yakin ada lagi yang kayak kamu di dunia ini soalnya."

"Emang." Jenar membalas sombong.

"Atau mungkin ada."

Senyum Jenar menghilang. "Regina!"

"Cuma, nggak ada yang sesabar kamu buat menghadapi aku."

"Emang kamu kenapa?"

"Nggak tau, buat sebagian orang, mungkin aku susah disayang."

"Silly, let me kiss you—"

"Just a kiss?" Rei mengangkat salah satu alisnya.

"Hm, apa ini pancingan?" Jenar memiringkan wajah, tapi tawanya terlepas ketika Rei membuka tiga kancing teratas kemejanya, menampilkan lingerie penuh renda berwarna baby pink yang dia kenakan di bawah kemeja tersebut. "Really, Regina? Peaches?"

"Baby pink." Rei mengoreksi.

"Nggak biasanya."

"Nggak ada yang nyuruh kamu untuk jadi biasa aja malam ini."

Jenar mengulurkan tangannya, menarik Rei agar berpindah duduk di pangkuannya. Matanya terarah pada tiga kancing teratas kemeja Rei yang masih dibiarkan terbuka, membuat cleavage perempuan itu terekspos jelas.

"Sengaja ya?" Jenar menengadah untuk menatap Rei saat dia bicara lagi.

Rei tersenyum meledek. "Sengaja gimana?"

"Mau bikin aku sinting malam ini?"

Rei menyentuh rantai kalung yang melingkari leher Jenar. "I'm looking forward to see you going crazy tonight."

"Then, what kind of genre do you prefer?"

"Hard-rock, metal one?"

"Be careful what you wish for."

"Why?"

"... because you'll get it." 




to be continued.

***

Papi and chester jaman kerjaannya chester masih nyusu dan nangis aja 

Kwinsa jaman masih belum jago ngomong

Wuje jaman belom jago ngomong 

"Je, jangan liat kamera, pura-puranya candid ganteng." 

"Lah, lebih ganteng kalo liat kamera kali?" 

***

a/n:

pada suuzon aja sama johnny dan chester 

gak kenapa-napa tuh pas berenang ;P 

wkwkwwkkwkwkwk 

hm next chapter isinya apa ya kira-kira. 


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top