36 | mandi
"Aku agak nggak nyangka kalau kamu bakal ngajak ketemuan di supermarket lagi."
Wirya bilang begitu tak lama setelah Rossa menarik troli dan mendorongnya melintasi koridor supermarket. Ini hari Jumat malam. Hari libur buat Rossa, tapi nggak buat Wirya yang menghabiskan nyaris sepanjang hari untuk brainstorming bersama beberapa rekan kerjanya. Rossa sih nggak keberatan, soalnya seharian ini, dia sibuk menghadiri cooking class mingguannya, juga melihat-lihat tutorial masak di Youtube.
Sore harinya, mereka baru janjian ketemu di pasar swalayan dalam sebuah mall, sebab Rossa bilang, dia mau sekalian belanja.
Rossa menoleh pada Wirya sambil tertawa, yang Wirya balas dengan mengulurkan tangannya, merapikan rambut Rossa yang agak berantakan.
"Emang kenapa kalau janjian di supermarket?"
"So not you aja." Wirya turut berhenti ketika Rossa mulai memilih-milih paprika. Tanpa sadar, lelaki itu juga ikut-ikutan meraih lobak, meski sebetulnya dia nggak lagi terpikir mau masak sesuatu yang spesial atau khusus. "Rosie yang kutahu cuma jago bikin kopi kalau di dapur. Selama ini, tiap sarapan, yang masak kan hampir selalu aku."
"—atau kita berdua." Rossa mengoreksi.
Wirya terkekeh. "Yah, terkadang kita berdua."
"Kan aku lagi rajin belajar masak sekarang."
"Karena Argan, bukan karena aku."
"Jangan bilang kamu jealous sama anak umur empat setengah tahun." Rossa berdecak. "Rada malu aja kalau Argan main ke tempatku, terus kita delivery makanan melulu. Sedangkan di rumahnya, dia biasa lihat mamanya masak."
"Really?"
Rossa mengangguk. "Rei itu rajin banget. Sometimes, she even made noddles from scratch."
"Tau dari mana?"
"Argan yang cerita. Dia kelihatan sebangga dan se-happy itu waktu bilang ke aku, something like 'kalau di rumah, aku sama Mama kadang bikin mi bareng, Ate. Capek sih, tapi seru'. The way his eyes lighted up... well, I can tell he has a happy childhood. Bukan cuma Rei, Jella juga sering begitu sih. Kata Jella, Mama ngajak anaknya masak bareng tuh bisa jadi cara bonding yang bagus."
"Kamu kedengaran care banget sama Argan."
Rossa tergelak. "Am I?"
Wirya mengangguk. "Looks good on you. Aku senang dengar kamu se-antusias itu ngomongin anak-anak."
"Mungkin karena itu Argan?" Rossa memiringkan wajahnya, kembali mendorong troli untuk menyambangi rak-rak yang memajang bahan makanan lainnya. "Dia spesial buat aku."
"Karena dia bocah pertama yang berani ngedeketin kamu dan minta gendong—anyway, mau masak apa?"
"Kata Rei, Argan suka iga bakar pake bumbu kecap."
"Then you'll need bawang putih, bawang merah, cabe merah—jangan ambil yang udah dikemas gitu. Biasanya barang lama. Ambil yang masih di wadah kotak aja, jadi bisa milih bawang mana yang masih oke." Dengan cekatan, Wirya mengambil dua kantung plastik berbeda sebagai tempat bawang merah dan bawang putih.
"Kamu bisa bikin iga bakar pake bumbu kecap?"
Wirya terkekeh, agak menyombong. "That's easy-peasy."
"Kayaknya seru kalau hari Minggu besok, kamu ikut nongkrong di apartemenku."
"Emang Argan main hari Minggu besok?"
"Iya." Rossa mengakui. "Habis gereja, Rei bakal nganter dia ke tempatku. Mungkin Cherry bakal ikutan juga."
"Sounds good."
"Kamu free besok?"
"Ada agenda sorenya, tapi pagi sampai siang... well, I am yours."
"Thanks, babe."
"Anytime, Rosie." Wirya mengecek bawang yang sudah dia masukkan ke kantungnya, terus menatap pada kantung bawang merah Rossa. "Udah?"
"Segini cukup nggak sih?"
"Cukup kok. Sini kantungnya, biar aku yang bawa buat ditimbang sama dikasih label harga."
"Okay."
Wirya melangkah menjauhi Rossa sebentar, terus kembali lagi dengan dua kantung berisi bawang yang telah tersegel. Lelaki itu meletakkannya dalam troli, lantas lanjut mengambil cabe merah yang telah dikemas dalam wadah mika. Usai memastikan mereka mendapatkan seluruh bahan-bahan segar yang dibutuhkan, termasuk untuk dessert, keduanya berpindah ke section bumbu-bumbu bubuk.
"Rosie, aku mau nanya deh, tapi kalau ini dirasa membebani kamu, aku minta maaf banget." Wirya berujar tiba-tiba.
"Hm, mau nanya apa?"
"Kayaknya kamu udah cukup mampu berada di dekat anak kecil, berinteraksi sama mereka—"
"Nggak semua anak kecil." Rossa memotong.
"Yes, I know Arganata is your favorite, tapi apa kamu pernah kepikiran, punya anak... yang benar-benar anak kamu sendiri?"
"..."
"Aku salah ya? Okay, nevermind."
"Nggak salah kok." Rossa menghela napas. "How about you, though? Kebanyakan teman-teman seumuran kamu udah pada punya buntut. Even Johnny—"
"Having a mini version of me, or a mini verson of you sounds great. Cuma, balik lagi, dalam hubungan ini, aku nggak mau membebani kamu dengan banyak tuntutan atau ekspektasi. Selama kamu ada di dekatku, itu udah cukup."
Jawaban Wirya membuat Rossa memandang lelaki itu beberapa lama.
"Rosie, baby, something bothering your mind?"
"Nggak apa-apa." Rossa meraih tangan Wirya, menyelipkan jari-jarinya dalam ruang kosong diantara jemari lelaki itu sembari meneruskan langkah. Satu tangan Wirya yang tak dia genggam mendorong troli. "Cuma mau gandeng tangan kamu."
"You have forever to do it, Rosie."
Rossa tersenyum lebar, walau jauh di dalam hatinya, dia agak sanksi, sebab dia tau, selamanya itu hanya ada dalam kata, namun asing dalam realita.
*
"Mama, hari Minggu nanti aku jadi nggak main ke tempat Tante Ocha?"
Rei lagi melamun ketika tiba-tiba, pertanyaan Wuje membuatnya tersentak. Perempuan itu sontak menatap pada Wuje yang kini melongo sembari memandangnya dengan toples kue kering di pangkuan. Wuje memiringkan wajah, langsung menembak Rei dengan tanya yang terkesan menyelidik.
"Mama melamun lagi? Kenapa? Kali ini siapa yang nakal? Atau ada teman Mama yang sedih lagi kayak Tante Jinny kemarin?"
"Nggak apa-apa, Sayang. Cuma kepikiran sesuatu."
"Mikirin apa sih?" Wuje kepo, akhirnya beranjak dan meninggalkan toples kue keringnya di atas karpet. Bocah itu mendekati ibunya, terus tau-tau memeluk Rei. "Mama mikirin apa sih?"
"Nggak apa-apa kok." Rei tersenyum, berusaha menenangkan. "Soal main ke tempat Tante Ocha, jadi kok. Tante Ocha udah bilang ke Mama, katanya dia udah belanja buat bikinin kamu sesuatu besok."
"Wuih, apa tuh?"
"Rahasia, kata Tante Ocha. Biar jadi kejutan."
Wuje nyengir, namun bocah itu sepertinya lega karena jawaban Rei. Nggak tau kenapa, dari kecil, Wuje tuh anaknya sensitif banget. Dia seperti selalu tau kapan orang tuanya bertengkar, kapan ibunya lagi banyak pikiran, atau kapan ayahnya tengah capek karena tumpukan pekerjaan di kantor. Rei merasa, dalam beberapa situasi, Wuje seringkali terlihat lebih considerate dan bijak dari kebanyakan anak-anak seusianya. Terus, dia juga bukan tipe anak yang susah dibilangin atau hobi throwing tantrum ketika ada keinginannya yang nggak dipenuhi.
Padahal ya... kalau ditanya apakah Rei lagi terpikirkan sesuatu... ya sebetulnya dia lagi terpikirkan sesuatu sih.
Ini semua gara-gara Dino dan info lanjutannya yang mengalir tanpa henti.
By the way, Dino ini nggak ngondek ya. Sebetulnya, dia laki banget dan sudah punya pacar. Anaknya murah senyum dan ramah banget, bukan tipe yang gampang julidin orang. Terus, mungkin juga karena yang paling muda di divisinya Jenar, Rei jadi menganggap Dino seperti adiknya sendiri. Kayak gimana dia dan Mark saja.
Mereka cukup dekat karena beberapa kali, Rei datang ke kantornya Jenar untuk makan siang bareng suaminya saat lagi senggang, atau mengantarkan bekal makan siang buat semua pekerja yang ada di divisinya Jenar. Maka bisa dibilang, Dino juga kayaknya menganggap Rei seperti kakaknya sendiri. Oleh sebab itu, wajar kalau dia merasa wajib meng-update Rei dengan info terbaru terkait sepak-terjang Karol.
Contohnya, seperti siang ini, di mana ketika makan siang, Dino menelepon Rei sambil makan bakso.
"Kak Regina, hari ini si Karol berulah lagi!"
"Berulah gimana?"
"Di ruangannya Bang Jenar tuh ada meja kan ya." Dino bercerita dengan penuh semangat dan menggebu-gebu.
"Iya, Dino."
"Di atas meja, biasanya Bang Jenar naro foto keluarga, kan?"
"Iya."
"Hari ini tuh mejanya Bang Jenar penuh banget sama berkas. Jadi nggak sengaja, foto keluarganya kesenggol, terus pecah. Otomatis, Bang Jenar minta tolong Sahrul buat pesenin frame baru. Nah, pas-pas-an banget tuh ya, hari ini saya setor laporan ke Bang Jenar ditemenin si Kampret."
"Si Kampret?"
"Karol, Kak. Geli banget deh saya males nyebut namanya. Ohok—ohok, anying, pedes cabenya naik ke idung saya—bentar Kak, saya minum dulu—" Jeda sejenak, hingga Dino meneruskan ceritanya. "Begitu masuk ruangan, si Kampret matanya jelalatan banget ngeliat kemana-mana. Abis itu, pas lihat mejanya Bang Jenar cuma penuh sama berkas, dia langsung senyam-senyum sendiri."
"Terus?"
"Abis itu saya keluar kan, dia ngikutin—duh sinting banget, the way she was literally fucking Bang Jenar with her eyes. Ngelihat Bang Jenar tuh udah kayak musafir kehausan ngelihat kolam oasis! Yah, sebenarnya nggak heran juga sih, soalnya Bang Jenar tuh ya, Kak, bakat membangkitkan bibit-bibit pelakornya lumayan kenceng." Dino kembali nyerocos seru. "Di luar, dia berani-beraninya nanya ke saya."
"Nanya apa?"
"Katanya, 'Kak Jenar tuh kelihatannya family man, tapi ternyata nggak ya. I mean, di mejanya nggak ada foto keluarga. Kalau orang nggak lihat cincin di jarinya, mungkin mereka ngiranya Kak Jenar masih lajang'."
Rei terbatuk. "Dia manggil Jenar apa tadi?"
"Kakak! Sumpah, rasanya pengen saya timpalin, Kak, 'it's not Kak Jenar for you, it's Pak Jenar, girl' tapi udah keburu kepotong sama si Sahrul yang nanyain soal kertas printer."
"Oh..." Rei manggut-manggut paham, meski bohong banget kalau dia nggak merasa mulai terganggu oleh kelakuan anak magang ini. "Tapi Jenar juga nggak ngerespon dia, kan?"
"Iya, sih. Cuma Bang Jenar kan baik banget sama orang-orang kantor, Kak. Mau itu cewek kek, cowok kek. Saya takut aja, baiknya Bang Jenar disalah-artikan."
"Oke, Dino. Makasih banyak untuk infonya ya."
"Iya, Kak Regina. Eh tapi jangan bilang-bilang Bang Jenar kalau Kak Regina tau dari saya, ya."
"Iya, nggak kok."
"Yaudah ya, Kak, soalnya jam makan siangnya udah mau abis."
"Oke, Dino."
Gara-gara telepon dari Dino itu, Rei jadi terus kepikiran, bahkan hingga petang menjelang. Terus, seperti memperparah situasi, Jenar terlambat pulang. Wuje sepertinya sadar, soalnya di sela-sela kesibukannya mendendangkan lagu Baby Shark yang sengaja dia setel, dia bertanya ke ibunya.
"Mama, kok Papa belum pulang sih? Biasanya jam segini udah pulang."
"Wuje udah laper?"
Wuje mengangguk.
"Yaudah, makannya nggak usah nunggu Papa. Kita makan duluan aja ya?"
"Nggak apa-apa, Ma?"
"Nggak apa-apa."
Jadilah, malam itu, mereka makan malam hanya berdua saja. Sebuah keputusan yang ternyata tepat, soalnya Jenar baru pulang lewat pukul delapan malam. Wajahnya terlihat lelah. Wuje lagi iseng mewarnai gambarnya pakai krayon ketika ayahnya pulang. Jenar nggak langsung mendekat, menyempatkan diri buat pergi ke kamar mandi dulu dan membasuh kedua tangan serta kakinya. Setelah itu, baru dia menghampiri Wuje dan merunduk buat mencium puncak kepala si bocil.
"Papa kok baru pulang, sih?"
"Iya, tadi ada meeting dadakan. Terus jalanan macet dan Papa mesti nganter orang dulu."
Jenar menyahut sekenanya, lantas berpaling pada Rei yang berdiri dengan tangan terlipat di dada. Lelaki itu beranjak, melangkah mendekati Rei. Niatnya sih mau melakukan kebiasaannya setiap pergi dan pulang kerja; cium pelipis istri. Namun Rei menghindar, malah menembaknya dengan tanya.
"Abis nganter siapa?"
"Ada, anak magang."
"Cewek apa cowok?"
"... Regina—"
"Cewek apa cowok?" Rei memotong dengan pertanyaan yang sengaja dia ulang.
Jenar membuang napas. "Cewek."
"Arganata," Rei berpaling pada Wuje, bikin si bocil sontak menegakkan punggung. Wuje tau, situasinya pasti sudah serius kalau kedua orang tuanya memanggilnya menggunakan nama depannya. "Menggambarnya di kamar aja ya? Nanti Mama nyusul."
"Iya, Mama." Wuje menurut, langsung bangun dari karpet sembari menenteng buku gambar dan set krayon warna-warninya. Dalam waktu singkat, Rei dan Jenar telah ditinggal berdua saja di ruang keluarga.
"Regina,"
"Siapa namanya?"
"Karol."
"Oh, anak magang yang sama yang bikinin kamu lunch box ketika aku nggak sempat bikinin karena aku bangun kesiangan?"
Jenar tampak terkejut sebentar. "Kamu tau dari man—oh wait, itu nggak penting sekarang. Itu kebetulan aja, Regina. Aku lagi nggak bawa lunch box, dan dia bawa lunch box lebih."
"Kamu percaya, dia sengaja bawa dua lunch box buat dirinya sendiri?"
"Mungkin aja dia makannya banyak."
"Don't be silly, Je."
"Kok kamu jadi berburuk sangka gitu sama orang lain? Lagian, nggak mungkin banget aku ada apa-apa sama Karol. She's freaking ten years younger than me, loh."
"Tapi kamu terima kan lunch box dari dia?"
Tak bisa dipungkiri, perasaan Rei saat itu tengah benar-benar kacau.
"Aku kan nggak ada pikiran macem-macem. Lagian juga, pas terima lunch boxnya, dia pasti lihat aku pake cincin."
"Yakin?"
"Masa iya aku mau mamerin tanganku di depan mukanya cuma buat nunjukkin cincin kawin?"
"Tapi abis itu dia ngajakkin kamu karaoke-an bareng, kan?!" Rei akhirnya meledak, melepaskan fakta-fakta yang telah dia ketahui dari Dino, namun sengaja dia pendam sendiri selama berhari-hari sebab dia nggak mau terlihat seperti pasangan yang over protective maupun cemburu buta.
"Aku tolak kok."
"Coba pikir deh, Je, mana ada cewek baik-baik yang ngajakkin suami orang karaoke-an berdua aja?"
"Bentar, ini kok kamu jadi emosi banget kelihatannya?"
Rei menghela napas, berusaha merendahkan suaranya karena nggak mau jika Wuje sampai mendengar. "Selain dia, siapa lagi orang kantor yang kamu anter pulang?"
"Cuma dia orang kantor yang ikut nemenin aku—"
"WHAT?!"
"Regina, dengerin dulu." Jenar buru-buru menambahkan. "Surya nggak bisa ikut, karena ada urusan urgent. Dino udah punya jobdesc sendiri. Sahrul nggak memungkinkan untuk overtime dadakan. Meeting ini nggak terencana, cuma berhubung general manager perusahaan partner lagi transit di Jakarta setelah flight dari Taiwan, makanya dia nyempetin mampir untuk meeting. Berhubung Karol itu anak magang—"
"Kenapa sih, harus berdua aja sama dia?!"
"Regina—"
"Mana kejebak macet dalam satu mobil. Pasti berdua, kan?!" Rei makin annoyed. "Aku nggak suka dengar kamu sedekat itu sama dia, apalagi kedengarannya, dia nggak tau batasan!"
"Nggak tau batasan gimana sih?"
Jenar mulai bete, soalnya dia juga capek habis bermacet ria. Namun, di satu sisi dia berusaha menjaga agar nada suaranya tetap terdengar biasa saja. Jenar selalu menyesal tiap kali dia nggak sengaja membentak Rei, sebab secara refleks, perempuan itu pasti akan tersentak dan menjaga jarak sejenak darinya.
"Jelas-jelas dia naksir kamu!"
"Tapi aku nggak naksir dia."
"Tetap, aku kesal! Mana kamu pulangnya telat tanpa ngabarin aku—"
"Handphoneku habis batre, baru nyadar waktu di jalan." Jenar mendekati istrinya. "Maafin aku ya? Come on, Love. Besides, ini nggak kayak kamu banget deh. Masa kamu marah dan cemburu soal ginian aja?"
Rei malah marah betulan. "Bisa-bisanya kamu malah ketawa?!"
Senyum tertahan Jenar lenyap sepenuhnya. "Terus aku harus gimana dong sekarang? Kan meetingnya udah lewat."
"Kamu antar Karol pulang."
"Aku minta dia overtime buat ikut aku meeting dadakan. Masa iya aku mau biarin dia pulang macet-macetan sendirian? Lagian, dia masih anak kecil loh. She is only twenty one, or at the very least, twenty two."
"Kan kamu bisa pesenin dia taksi!" Rei merasa matanya telah memanas sekarang. Dia benci banget jika sudah berada dalam situasi seperti ini. Kekesalannya membuatnya tubuhnya seperti memaksanya buat menangis, ketika kenyataannya, dia nggak ingin menangis di depan Jenar.
"Regina, kok jadi ngambek gini sih?"
"Nggak ngambek! Tapi respon kamu tuh kayak meremehkan banget, seakan-akan kamu nggak hargain perasaan aku!!"
"Iya, deh." Jenar akhirnya mengalah. "Kalau gitu, aku minta maaf. Besok-besok, aku nggak akan gitu lagi. Aku janji. Udah ya? Aku capek dan nggak mau ribut sama kamu—Regina, kok mukanya kayak mau nangis gitu sih?" Jenar tercengang.
Rei tidak menjawab, langsung saja melangkah cepat memasuki kamar. Niatnya Jenar mau mengikuti, namun sebelum dia bisa melakukannya, Rei sudah kembali dengan bantal dan selimut di tangan. Perempuan itu melemparkan bantal dan selimutnya pada Jenar.
"Malam ini aku nggak mau tidur sama kamu!"
Jenar ternganga macam meme Pikachu kaget, soalnya dia nggak menyangka kalau marahnya Rei benar-benar serius.
Namun yah, jika sudah begitu, Jenar hanya bisa pasrah. Malam itu, dia betulan tidur di sofa ruang keluarga, tepat di depan televisi. Sebenarnya sih, di rumah mereka ada kamar tamu, cuma Jenar mikirnya, "nanti bini gue makin ngamuk, soalnya dia mikir nih suaminya kayak nggak ada rasa bersalahnya, diusir dari kamar kok malah pergi ke kamar tamu.".
Makanya, Jenar merelakan diri tidur di ruang keluarga, hitung-hitung buat pencitraan biar Rei mau memaafkan dia dengan segera.
Pagi-pagi, Wuje keluar dari kamar, dibikin kaget saat menyaksikan Jenar terbaring di sofa. Persis kayak suami yang mendadak jadi gelandangan setelah diusir istri. Walau untungnya sih, nggak semengenaskan nasib bapaknya Queensha yang hanya bisa kabur berbekal singlet serta bokser bermotif Doraemon. Wuje menguap sebentar, lantas mendekati Jenar. Dia memanjat sofa untuk duduk di perut ayahnya, otomatis bikin Jenar terbangun.
"Boy," Jenar bergumam dengan mata terpejam dan suara berat khas orang baru bangun tidur. "Wuje, badan kamu tuh berat..."
Wuje justru menunduk dan memainkan kerah baju tidur Jenar. "Papa, kenapa bobo di sini?"
Jenar masih memejamkan mata.
"Lagi berantem sama Mama ya?"
Jenar mengangguk, dengan mata yang tetap terpejam.
"Hehe, syukurin."
*
Nyatanya, hari Sabtu tetap menjadi hari yang sibuk di kediaman Johnny dan Gianna.
Gia telah bangun menjelang pukul lima pagi, sebab dia punya penerbangan ke Kupang pada jam sembilan. Lagi-lagi, urusan pekerjaan. Perempuan untuk menyempatkan diri untuk mengecek ulang barang-barang bawaan dalam kopernya, bersiap-siap dan setelahnya, tepat di pukul setengah tujuh, dia membangunkan suaminya yang masih tertidur pulas di atas kasur.
"Johnny, hon, bangun, ini udah jam setengah tujuh." Gia menyentuh bahu Johnny, membuat lelaki itu menggeliat sedikit sebelum akhirnya membuka mata, hanya untuk memejamkannya lagi. Tatapannya kuyu, khas orang yang masih digelayuti kantuk. "Hon, kamu sendiri loh yang minta dibangunin jam setengah tujuh. Come on, kamu udah janji mau nemenin Chester berenang kan hari ini?"
"... yes, babe."
"Chester nggak akan suka kalau papinya telat."
"Yes, babe."
"Come on, wake up!"
Mau nggak mau, Johnny memaksa dirinya untuk beranjak. Lelaki itu terduduk sejenak di atas kasurnya, seperti lagi mengumpulkan nyawa. Gia menarik senyum tipis, mendekat dan mencium cepat pipi Johnny sebelum kembali sibuk lalu-lalang kesana-kemari untuk mengambil barang ini dan itu.
"Do you really have to go, though? Kamu janji sama Chester bakal ikut nemenin dia berenang hari ini."
"I have to, I am sorry." Gia berujar sembari mencolokkan catokan ke stop kontak listrik. "Ini dadakan, tapi sehabis ini, aku bakal free sebulan and that means, we'll have a long family trip. I am so sorry, hon, tapi aku janji, habis ini kita betul-betul bakal liburan bertiga aja."
"Tell that to Ches, not me."
"He'll understand." Gia berkata lagi, dengan nada penuh keyakinan.
Ada rasa bersalah membayang di matanya, tetapi dia mencoba membuang perasaan itu jauh-jauh. Dia adalah seorang ibu, itu benar, dan anak semata wayangnya mengharapkan ikut-serta hari ini dalam rencana berenang di akhir pekan bersama Johnny. Tapi di satu sisi, Gia juga punya tanggung jawab sebagai orang dewasa yang bekerja di suatu bidang. Orang bilang, egois jika ingin sama-sama memiliki kedua hal tersebut secara maksimal dalam hidup; menjadi ibu dan tetap berjaya di bidang karir yang dipilih. Namun, Gia yakin dia bisa melakukannya.
Apa yang dia butuhkan adalah pengertian dari Johnny dan Chester.
Jarum jam yang terus bergerak tanpa mau berhenti membuat Gia makin terburu-buru, hingga pada suatu momen, dia tanpa sengaja bertabrakan dengan Johnny yang baru keluar dari kamar mandi. Refleks, Johnny memegangi kedua bahu istrinya biar perempuan itu nggak terhuyung jatuh dan kehilangan keseimbangan.
"Wow, hottie, you better be careful. Jangan sampai ada yang cedera di sini—"
Gia tertawa, lantas melangkah melewati Johnny untuk mengambil barang yang dia perlukan dan memasukkannya ke tas tangan yang bakal dia bawa. "Sorry, hon. Tapi aku hampir telat kalau nggak buru-buru berangkat sekarang."
"Mami?"
Sebuah suara kecil yang tiba-tiba terdengar membuat kepala Johnny dan Gia kompak tertoleh ke arah yang sama, hanya untuk mendapati sesosok bocah kecil berusia hampir dua tahun berdiri di sana. Kentara sekali, anak itu baru bangun tidur.
"Yes, baby?"
"Mau mandi."
"Mandi?" Johnny turun tangan untuk mengendalikan situasi. Anak mereka masih sangat kecil, namun seperti telah mampu membaca situasi, Chester selalu jadi anxious dan rewel tiap dia merasa ibunya mau pergi jauh untuk waktu yang lama. "Sama Papi ya?"
Chester menggeleng. "Mau Mami."
"Mami can't do it right now, baby." Gia menarik kopernya, meraih tas tangannya dan berjalan cepat menuju pintu. "Mami udah telat."
Chester mulai merengek. "Mau Mami..."
"Kid," Johnny mendekati Chester, mengulurkan tangannya. "Come to Papi, yeah?"
Chester menggeleng dan mulai menangis.
"I am sorry." Gia berbisik pada Johnny. "I am sorry but I can't."
"It's okay." Johnny berusaha menenangkan. "Just go."
Gia terlihat ragu, tapi pada akhirnya, dia berjinjit untuk mencium pipi Johnny sekali lagi, terus merunduk dan mengecupi wajah Chester yang telah basah oleh air mata.
Setelahnya, perempuan itu buru-buru melangkah cepat melewati ambang pintu kamarnya yang dibiarkan terbuka bersama kopernya, diiringi tangisan Chester yang kini berada dalam dekapan ayahnya.
Gia tidak tahu, bahwa keputusannya untuk tetap pergi ke bandara hari itu adalah keputusan yang akan dia sesali sepanjang hidupnya.
to be continued
***
Pose dan outfit ala bapak satu anak
Satu anak cukup atau mesti tambah lagi?
***
a/n:
hashtag kasian johnny
wkwkwkwk
hm gue agak bimbang, haruskah kubuat dia menjadi sad boi
btw, wuje in apartemen tante ocha harus diceritain gak
terus, haruskah ada kwinsa di sana
wkwkwkwkw
dah itu aja
met malem, doain update berikutnya lebih cepet naiknya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top