35 | karol

Rei menatap layar ponselnya dengan serius, hingga tanpa sadar, dia mulai menggigiti kuku jarinya sendiri.

Tindakannya itu menarik perhatian Jenar yang lagi duduk di atas karpet, berhadapan sama Wuje yang sedang membongkar-pasang balok-balok lego warna-warni.

"Regina?"

Rei nggak menjawab.

"Regina?"

Wuje ikut-ikut mengangkat wajah, terus menatap mamanya yang masih serius melihat ke layar ponsel.

"Mama?"

Setelah dipanggil Wuje, baru Rei tersentak, buru-buru menoleh ke arah anak itu. "Iya, Sayang?"

Jenar membelalak dengan wajah tak percaya. "Regina!"

"Apa?"

"Aku manggil kamu dua kali tapi kamu nggak nengok! Giliran si bocil yang manggil, kamu langsung jawab!" Jenar protes.

"Hah... kamu manggil aku?"

Wuje justru tertawa. "Mama lagi ngapain sih tadi dipanggil-panggil kok diam aja?"

"Lagi baca grup WhatsApp."

"Grup WhatsApp tuh yang ada mamanya Lila, mamanya Cherry, mamanya si Nakal—"

"Si Nakal?" Jenar mengangkat alis, memotong celotehan anak laki-lakinya.

"Queensha." Rei memberitahu.

"Dia nakal, jadi aku panggil aja dia si Nakal." Wuje mengedikkan bahu. "Grup tuh yang ada mamanya—siapa lagi sih, Ma? Aku lupa. Tapi ada Tante Ocha juga yah?"

"Iya."

"Ngomongin apa tuh?" Jenar kepo.

"Jinny kabur dari rumah."

"Jinny tuh teman satu kosan kamu dulu yang nikah sama anaknya yang punya pesantren itu nggak sih?"

"Iya."

"Loh, kenapa kabur?"

"Berantem sama suaminya."

"Kayak Om Atuy sama Tante Ujuy yah?" Wuje nyeletuk lagi.

"Yoi, coy." Jenar menyahut ringan.

"Jenar, ngomongnya yang bener dong sama Wuje!"

"Mama, Mama,"

"Iya?"

"Kalau Mama berantem sama Papa, Mama kabur juga nggak?"

Jenar sama Rei saling berpandangan.

"Kalau Mama kabur, ajak aku yah. Hehe."

"..."

"Aku tuh suka penasaran tau, Ma, kalau dibawa kabur tuh gimana..."

"Udah, kamu nggak usah nguping, main lego aja deh! Ini pembicaraan orang dewasa!" Jenar berkata, yang Wuje balas dengan manggut-manggut sembari lanjut mencari balok lego berikutnya yang kira-kira cocok sama bentuk yang mau dia bikin. "Kok bisa berantem?"

"Pasti ada yang nakal, makanya berantem." Wuje berujar lagi, masih dengan nada polos tapi di saat yang sama, juga terkesan usil.

"Boy, Papa told you not to nguping, right?"

"Aku nggak bisa bahasa Inggris, Pa."

"Jangan bohong."

"Hehe." Wuje nyengir. "Aku tuh nggak nguping tau, tapi Papa sama Mama ngomongnya keras jadi kan kedengaran sama aku."

"Deileh, anak siapa sih nih?!" Jenar berdecak seraya geleng-geleng kepala. "Kalau ngomong, pinter bener balikin kata-kata orang."

"Sama kayak kamu, kan." Rei tersenyum geli, lantas menyambung. "Iya, Jinny teman aku yang itu, yang dulu waktu ulang tahunnya Wuje pake kerudung bawa anak bayi itu loh."

"Oh... berantem kenapa?"

"Katanya suaminya mau poligami."

"Aku suka poligami." Wuje menyela lagi, membuat kedua orang tuanya kompak menoleh di waktu yang bersamaan.

"Ngaco aja nih anak!" Jenar berseru.

"Ih, beneran, Papa. Aku suka poligami. Kenapa temannya Mama berantem sama suaminya karena poligami? Poligami kan seru."

Rei bertanya dengan hati-hati. "Emang kamu tau poligami itu apa?"

"Tau!" Wuje berseru dengan penuh semangat. "Aku suka kalau di kelas lagi belajar poligami, Bu Guru pasti ngajarin bikin macem-macem! Bikin burung... bikin bunga... bikin apa lagi tuh ya—aku bisanya bikin burung doang sih, tapi burungnya masih jelek, belum bagus kayak bikinannya Bu Guru, terus—"

"Wuje,"

"Iya, Mama?"

"Itu namanya origami, bukan poligami."

Wuje melongo. "Oh... emangnya beda ya, Ma?"

"Beda, Sayang."

"Kalau gitu, poligami tuh apa?"

"Punya istri dua." Jenar menyahut, tapi jawabannya justru bikin Wuje memiringkan wajah seraya memasang ekspresi bingung.

"Punya istri dua tuh maksudnya gimana, Pa?"

"Jenar, ih—"

"Nggak apa-apa dong, Regina. Biar si bocil tau juga." Jenar menenangkan Rei, sebelum meneruskannya dengan penjelasan buat Wuje. "Poligami tuh... contohnya gini... kayak misalnya Papa punya istri kan sekarang?"

Wuje mengangguk. "Iya."

"Siapa coba istri Papa?"

"Mama."

"Nah, poligami tuh kayak... Papa nambah istri. Jadi nanti ada Mama baru lagi buat kamu. Mama kamu ada dua."

Wuje kontan ternganga, terus airmukanya berubah ngeri. "NGGAK MAU!! MAMA AKU SATU AJA!!"

"Wuje—"

"MAMA AKU CUMA SATU!!"

"Iya, Papa juga nggak ada niat nambah Mama, hey! Ini tuh kan contoh, Wuje." Jenar buru-buru menambahkan sebelum si bocil mulai merengek atau lebih parahnya, menangis bombay cirambay.

"Berarti suaminya teman Mama yang nakal ya?"

Rei mengangguk. "Iya."

"Makanya mereka berantem?"

"Iya."

"Berarti suaminya temannya Mama harus dihukum. Soalnya kata Bu Guru, anak nakal itu harus dihukum biar nggak nakal lagi."

Jenar ikutan bertanya. "Terus sekarang Jinny gimana?"

"Kabur ke hotel. Seno nyariin, sampai-sampai nelepon Jella. Ini aku lagi nunggu kabar dari Jella, enaknya anak-anak grup pada gimana." Rei menerangkan, sebelum kembali memfokuskan perhatian pada layar ponselnya karena barusan ada chat lainnya dari Jella. "Oh, ini kayaknya pada mau nyusulin Jinny ke hotel, tapi kita nggak kasih tau Seno dulu Jinny ada di mana."

"Kamu mau kesana?"

"Iya kayaknya."

"Sekarang?"

"Masa tahun depan, Je."

"Mau dianterin?"

"Aku nyetir sendiri aja deh nggak apa-apa."

"Aku nggak boleh ikut ya, Ma?" Wuje tau-tau berujar seraya menengadah, menatap Rei dengan mata yang dibikin memelas berkaca-kaca.

"Nggak, Sayang. Nggak ada anak kecil yang ikut soalnya." Rei beranjak dari duduk, lalu merunduk dan mengecup kening Wuje. "Mama pergi bentar ya, soalnya teman Mama pasti lagi sedih banget sekarang."

"Bentar aja ya, Ma?"

"Iya. Bentar aja kok." Rei menarik senyum, niatnya mau langsung ke kamar buat siap-siap sebelum bertolak ke lokasi hotel yang sudah Jinny share di grup, tapi kata-kata Jenar menahan langkahnya.

"Regina,"

"Hng?"

Jenar menyingkap rambutnya, menunjukkan jidat. "Yang dicium si bocil doang?"

"Ck."

Biar cepat, Rei berbalik, terus mencondongkan badan untuk mencium dahi Jenar dan barulah setelahnya, perempuan itu meneruskan menuju kamar.

*

Rei tiba di lobi hotel yang dimaksud hampir bersamaan dengan Jella, Delta sama Yumna.

Anggota grup Teh Tumpah cabang VVIP lainnya lagi pada berhalangan hadir, terutama Juno yang anaknya lagi rewel karena lagi batuk-pilek. Sheza ada agenda menemani Kun ke kondangan salah satu saudara jauhnya hari ini, jadi otomatis, perempuan itu juga nggak bisa datang. Rossa sendiri masih berada di luar kota, tapi dia bilang, dia siap memberikan dukungan terbaik buat Jinny, terutama untuk hal-hal yang menyangkut finansial.

Mereka berempat menunggu sebentar di lobi, hingga Jinny muncul sambil menggendong anaknya. Kayaknya, Jinny memang betulan lagi down banget. Perempuan itu nggak tampil modis penuh gaya seperti biasanya. Dia cuma pakai celana panjang longgar sama hoodie yang tudungnya digunakan buat menutupi rambut. Ketika melihat empat perempuan lainnya yang sudah menunggu di lobi, muka Jinny langsung mengerut seperti nyaris menangis.

"Jangan di sini—ntar kita jadi tontonan—" Jella berujar sembari buru-buru menarik Jinny menuju lift dan yang lain pun mengikuti.

Mereka nggak banyak bicara sepanjang perjalanan dari lift menuju kamar hotel. Selain terkenal sebagai pendakwah muda yang juga anak sulung seorang pimpinan salah satu pesantren bergengsi di negeri ini, Seno juga punya sejumlah bisnis, makanya nggak heran kalau Jinny cukup berduit untuk kabur ke hotel berbintang dan menyewa kamar kelas suite.

"Tau gini, dulu si Atuy gue suruh jadi ustadz aja kali ya..." Yumna bisik-bisik, yang bikin Delta menahan tawa. Perempuan itu hanya bisa menahan cengengesannya ketika Rei menyikut, mengingatkan, soalnya Jinny terlihat sesedih itu.

"Jadi ini gimana ceritanya, Jinny?" Jella mengawali setelah mereka duduk berlima di atas kasur luas. Anaknya Jinny dibiarkan duduk di karpet pelapis lantai hotel, sibuk sendiri sama mainannya.

"Sedih pisan lah teh mun diceritain..."

Keempat perempuan lainnya saling pandang.

"Terus kalau udah gini tuh, mesti kumaha yeuh, Teh? Sumpah, urang bingung pisan. Ini ge impulsip aja urang kabur dari rumah, abisnya di rumah, nggak ada yang dukung urang. Semua maunya si Aa poligamoy aja kitu, pada nggak mikirin perasaan urang. Ceuk si Umi, ikhlasin wae Jinny, nanti ganjarannya surga. Halah, surga hitut pret, kayak jalan ke surga cuman lewat jalur poligamoy doang. Padahal kan masih ada jalur lainnya, kenapa dari sekian banyak jalan, harus milih jalan yang nyakitin hati orang dan membagi hati gitu kan..." Jinny curhat. "Dulu tuh urang suka bilang yah, moal ceurik ku cinta, tapi ternyata kenyataannya nggak sesimpel nyocot. Sakit hati banget, Teh..."

"Jinny, jujur gue nggak bisa kasih saran kalau lo nggak ngasih tau, awal duduk-perkaranya kayak gimana."

"Teu make duduk atuh, Teh, kan urang langsung kabur."

"YEU, MAKSUD GUE, AWAL MULANYA GIMANA?!"

"Oh... jadi tuh si Abi ada kenalan kan, sesama ulama gitu. Nah temennya si Abi ini istrinya ada empat. Banyak pisan euy, sampe dimaksimalin kitu hingga batas terakhir. Istri keempatnya punya anak cewek. Anak cewek ini geulis pisan, mana pinter, ceuk si Abi, sakolana di Turki, tapi urang sih engga tau yah, Turkinya sebelah mana—" Jinny mulai bercerita. "Anak ceweknya enggeus taarupan sana-sini, tapi engga nemu yang cocok. Katanya sih pada minder, soalnya dia cakep, pinter, bibit-bebet-bobot keluarganya bagus. Teu kawin-kawin tuh awewe. Bapaknya puyeng, akhirnya ngomong ke Abi mertua urang. Terus tau-tau ada wacana nih anak cewek dijodohin aja sama Aa Seno, ceuk temennya si Abi 'gapapa dong kan istrinya Seno baru satu'. Brengsek pisan kan? Mana si Umi bilangnya 'jangan khawatir, Jinny. Cinta Seno ka Jinny moal leungit-leungit sanajan si Seno geus kawin deui'. Halah pretttttt."

"Terus?"

"Aa Seno belom bilang apa-apa sih, tapi urang engges terlanjur sakit hate, yaudah urang kabur wae."

"Jadi, diantara lo sama Seno belum ada omongan apa-apa?"

"Belom atuh, Teh, kan urang kabur duluan."

"Kayaknya kita harus pastiin ke Seno nggak sih?" Rei menanggapi. "Soalnya mau orang bilang apa, keputusan akhirnya ada di Seno, kan?"

"Halah, mun udah kayak gini mah ketebak akhirnya bakal gimana, Teh!"

"Ketebak gimana?" Yumna jadi penasaran.

"Aa Seno tuh nurut banget sama Umi-Abi-nya. Kalau ngomong nggak pernah keras-keras. Mustahil banget Aa Seno mau nolak keinginan Umi-Abi-nya demi urang."

"Tapi kan lo istrinya, Jin."

"Jinny, atuh, Teh! Disingkat-singkat gitu, jadi nggak enak ngedengernya, emangnya urang jin iprit?!"

Yumna meringis. "Iye, maap. Maksud gue ya, Jinny, gimana pun juga, lo istrinya."

"Urang cuma istri, Teh."

"Kok cuma sih ngomongnya?" Delta jadi tergerak untuk angkat bicara.

"Coba pikir gini yah, Delta," Jinny mulai berteori. "Suami-istri bisa cerai kan tuh yah? Nah, suami kalau udah cerai, berarti jadinya bukan suami lagi alias jadi mantan suami. Istri juga sama, kalau udah cerai, jadinya—"

"Janda?" Yumna menukas.

"—mantan istri! Tapi janda juga bisa sih."

"Nah terus?"

"Tapi hubungan anak sama orang tua tuh beda, Teh. Mau gimana pun juga, emangnya ada mantan anak? Ada yang namanya mantan bapak? Mantan ibu? Kan nggak. Hubungan anak sama orang tua bakal tetap sebagai hubungan anak sama orang tua, mau gimana pun situasinya."

Kata-kata Jinny bikin Rei sempat terdiam sejenak, sebelum akhirnya perempuan itu menghela napas.

"Walau begitu, kayaknya nggak adil deh, Jinny, kalau lo langsung menganggap suami lo bakal ambil keputusan sesuai keinginan kedua orang tuanya." Rei berujar.

"Justru itu, Teh, gue nggak ngerasa gue sanggup denger Aa Seno bilang kalau dia mau kawin lagi. Ngedenger dari orang lain aja udah nyeri hate pisan. Iya sih, emang dulu dia yang ngebet ama gue, tapi kan bertahun-tahun hidup sama dia, gue juga jadi sayang banget sama dia, Teh."

"Terus mau sampai kapan lo terjebak dalam sesuatu yang nggak pasti kayak gini? I mean, lo nggak bisa kabur selamanya kan? Apalagi anak lo juga masih kecil dan butuh bapaknya—"

Jella belum sempat menyudahi omongannya saat ponsel Jinny tau-tau berdering. Jinny mengeceknya, walau ujung-ujungnya, telepon yang masuk itu malah dia reject. Tak hanya sampai di sana, Jinny juga menon-aktifkan ponsel tersebut sebelum melemparnya ke bawah bantal.

"Laki lo?"

"Iya, Teh."

"Kenapa nggak diangkat aja—" sekarang, gantian ucapan Yumna yang diinterupsi dering telepon, walau suaranya ganti datang dari ponsel Jella.

Jella mengembuskan napas lelah. "Laki lo nelepon gue."

"Angkat aja, Teh. Kalau nggak diangkat, nanti dia malah curiga."

"Oke." Jella pun menjawab telepon itu, sengaja mengaktifkan fitur loudspeaker biar yang lain bisa ikut mendengar.

"Halo." Jella menyapa dengan suara kalem, aman dan terkendali.

"Halo, Teh Jella, maaf banget mengganggu lagi..."

"Iya, kenapa ya?"

"Maaf banget, sekarang Teh Jella lagi sama istri saya ya?"

"Wah, nggak tuh—"

"Sekarang saya udah di lobi Four Seasons, Teh."

Jinny melotot, refleks memekik. "AA TAU DARI MANA?!"

"Haloh? Haloh? Jinny, kamu di sana kan?"

Rei rasanya ingin tepuk jidat, sementara Jinny yang sadar dirinya barusan keceplosan sontak menutup mulut pakai kedua tangan.

"Jinny, Aa boleh minta izin ketemu kamu? Bentar aja, enggak apa-apa. Aa mau ngomong sama kamu."

"Kalau Aa ngomong buat minta izin kawin lagi, nggak bisa, A!"

"Jinny—"

"Aa nggak akan bisa ngerayu aku! Kalau Aa nekat kawin lagi, berarti terbukti, cinta Aa teh palsu, paling alus oge KW super eweuh nu orisinilan!!"

"Jinny—"

"Cukup, A! Tong sok ngaulinkun hate urang! Hate urang da lain cocooan yah!" (Jangan permainkan hati gue! Hati gue bukan mainan yah!)

"Jinny, Aa nggak ada rencana nikah lagi."

Seisi kamar diselimuti keheningan dramatis, yang dalam hitungan detik, dipecahkan oleh suara tawa dari anaknya Jinny yang masih lesehan di atas karpet. Matanya yang lebar menatap pada para mama yang duduk bertebaran di kasur dengan wajah kaget. Jella yang masih memegang ponsel lalu memberi kode pada Jinny untuk menjawab kata-kata Seno.

"Tapi, A, ceuk Umi jeung Abi—" (Kata Umi sama Abi)

"Itulah, kamu nggak mau dengerin Aa dulu, main kabur aja. Maunya Umi sama Abi kan emang gitu, tapi kan bukan berarti keputusan Aa ditentuin sama Umi dan Abi. Aa juga manusia merdeka, Jinny."

"Aa—"

"Aa di lobi ini. Hayuk, kita omongin empat mata. Kita aja."

"Aa serius?"

"Serius."

"Aa nggak ada niatan kawin lagi?"

"Nggak, Jinny. Demi Allah, nggak ada. Aa tuh sayang sama kamu doang, beneran deh."

Jinny sudah hampir menangis. "Aa jangan boong yah?!"

"Nggak, Jinny. Beneran nggak bohong."

"Tapi gimana Aa bisa tau kalau urang kabur kesini?"

"Kamu pake kartu kredit Aa buat check-in."

"Ck." Yumna berdecak. "Ini adalah contoh kabur yang goblok."

"Blok!!" anaknya Jinny turut berseru, membuat Rei refleks menutup mulut Yumna pakai telapak tangannya.

"Gimana? Mau ya, ketemu sama Aa dulu? Kita ngomong baik-baik dulu."

"He-eh."

"Yaudah, Aa tunggu di lobi ya?"

"Iyah."

Sehabis itu, telepon pun dimatikan.

"TUH KAN, GUE BILANG JUGA APA!!" Yumna melempar bantal ke arah Jinny.

"Hehe."

"Sono, susulin laki lo di bawah! Anak lo ditinggal aja dulu di sini nggak apa-apa, kita yang lihatin."

"Sekarang banget, Teh?"

"Lah, tadi kan si Seno bilang kalau dia udah nunggu di lobi!"

"Urang can ibak, Teh." (Gue belom mandi, Teh). 

"YA TERUS?!"

"Hayang dandan heula." (Mau dandan dulu). 

"Terus laki lo mau dibiarin nunggu, gitu?!"

"Tolong ini mah, boleh nggak salah satu dari teteh-teteh yang nyusulin Aa Seno ke bawah? Terus ajak aja kesini nggak apa-apa."

Yumna mendelik, lantas berpaling pada Rei. "Silakan, Rei!"

"Kok gue?!"

"Lo yang paling dekat pintu."

"Apanya?!"

"Udah, Rei, lo aja yang susulin." Jella mendukung ide Yumna, yang membuat Rei manyun. Namun pada akhirnya, perempuan itu tetap beranjak dan melangkah menuju lobi untuk menjemput Seno dan membawanya ke kamar suite yang Jinny sewa.

Rei sudah pernah ketemu Seno sebelumnya, di pesta perayaan ulang tahun Wuje yang kedua, jadi nggak sulit buat menemukan lelaki itu. Seno masih sekalem dan secerah yang Rei ingat. Dia mengenakan kemeja putih yang dipadu dengan celana bahan warna hitam. Auranya sejuk dan tampak seperti imam yang mampu mengayomi.

"Teh Regina yah?"

"Iya. Kita langsung ke atas aja kali ya?"

"Oke, Teh."

"Kamu kesini sendirian?"

"Iya, Teh. Soalnya kalau bawa orang banyak, takutnya malah tambah lieur, jadi riweuh gitu."

"Oh." Rei mengangguk paham dan memimpin jalan menuju lift.

Terus ujungnya gimana?

Seno dan Jinny akhirnya bicara empat mata di tepi kolam renang hotel, sementara anak mereka dijaga oleh Jella dan yang lainnya. Kemungkinan besar sih, pembicaraan antara Jinny dan suaminya berjalan lancar. Rei jadi agak lega, soalnya dia paham, berantem sama suami apalagi sampai ada yang kabur dari rumah itu pasti nggak enak banget.

Akan tetapi, rasa leganya nggak bertahan lama.

"Rei, lo udah cek handphone lo belom?"

Rei yang masih berbaring di atas kasur menengok ke arah Jella. "Hah?"

"Tigra bilang, netizen lagi salah paham."

"Salah paham gimana?!"

"Nggak tau ya, katanya kayaknya pas lo nyusulin Seno ke lobi, ada antek-anteknya Mak Rumpita lagi lewat—"

"Mak Rumpita itu siapa?"

"Sejenis Lambe Turah."

"HAH, HARI GINI LAMBE TURAH MASIH ADA?!" Rei ternganga tak percaya.

"Masih, tapi bukan itu yang penting. Seno ini kan lumayan famous sebagai pendakwah tuh katanya, cuma berita kaburnya Jinny emang belom keluar karena kayaknya, masih di-keep sama pihak keluarga. Nah, sekarang malah heboh, katanya Seno ketemuan sama perempuan di hotel."

"Jella—"

"Perempuan yang kena jepretnya elo."

"HAH?!"

Rei mendadak pusing dan seolah belum cukup, ponselnya tiba-tiba bergetar. Ada telepon masuk. Dari siapa lagi kalau bukan dari mantan pemilik rawa?

Rei meneguk saliva sebelum akhirnya memberanikan diri mengangkat telepon itu. "Halo?"

"Aku lagi on the way ke Four Seasons."

"Jenar, kan aku bawa mobil—"

"Tunggu di lobi."

Setelahnya, telepon diputus.

"Laki lo kenapa?"

Rei membuang napas sebelum beranjak dari kasur dan membenahi tasnya. "Gue balik duluan ya? Laki gue kayaknya bete banget."

"Wah, ini sih tanda-tanda." Yumna meledek.

Rei menyipitkan matanya. "Tanda-tanda apa?"

"Tanda-tanda lo mau kena amukan buaya."

*

Kesalahpahaman antara Jinny dan suaminya terselesaikan dengan cepat.

Jinny cerita di grup, kalau aksi Seno bikin dia sangat terharu. Soalnya Seno yang selama ini cenderung penurut sama orang tuanya dengan tegas menolak saat diminta menikah lagi. Seno juga bilang, kalau kedua orang tuanya nggak bisa menghargai keinginannya, maka dia berencana buat pindah rumah saja biar jauh sekalian dari mereka. Ancaman itu cukup berhasil, karena pada akhirnya, mertuanya Jinny nggak lagi menyinggung soal urusan poligami.

Tapi yah, selesai dengan urusan Jinny dan Seno, mereka sempat dibikin pusing sama masalah lainnya gara-gara ada yang melihat Seno berdua saja sama Rei di lobi. Untungnya, Seno cepat memberikan klarifikasi dengan menjelaskan seterang-terangnya soal kejadian sebenarnya, sekaligus meminta maaf bukan hanya pada Rei, namun juga pada Jenar. Selepas kejadian itu, pamor Seno sebagai pendakwah muda masa kini yang setia sama istri pun melesat. Fansnya bertambah dan sebagian besar berasal dari kalangan ibu-ibu.

Jenar sempat bete, walau sudah pasti sebagai pawang, Rei nggak kehabisan akal untuk "mengendalikannya".

"Jenar gimana?" Jella yang sempat khawatir bahkan sampai menelepon Rei keesokan harinya.

"Begitu deh."

"Begitu deh gimana?"

"Ngambek, merengek, kayak bayi."

"Terus?"

"Sekarang udah nggak."

"Lo apain?"

"Bayi kalau ngambek atau merengek biasanya lo apain, La?"

"Serius, anjrit."

"Kasih susu."

"BANGSATTTTTTT!!!"

Rei hanya tertawa saja.

Tapi ya, pasca kejadian sama Seno di lobi hotel, Jenar jadi lebih clingy dari biasanya. Dia memang sudah nggak ngambek, namun suka tiba-tiba mendekat dan memeluk Rei dari belakang, lalu meletakkan dagunya di bahu perempuan itu. Kalau ditanya kenapa, dia hanya diam saja, atau paling-paling berujar; "kamu wangi deh.".

Situasi seperti itu terus berlanjut, hingga berujung pada Rei terpicu untuk bertanya.

"Kamu manja banget deh akhir-akhir ini. Kenapa?"

"Emang nggak boleh?"

"Masih ngambek karena kejadian di Four Seasons waktu itu?"

"... nggak ngambek."

"Terus apa?"

"Cemburu."

Jawaban Jenar justru membuat Rei ngakak.

"Apa sih, Regina, kok malah ketawa?!"

"Abis kamu aneh, masa cemburu sama Seno?!"

"Lebih aneh kamu, masa nggak pernah cemburu?!"

Jawaban Jenar membuat Rei sempat merenung. Apa dia benar-benar nggak pernah cemburu? Well, dulu sebelum mereka benar-benar bisa dibilang pacaran, ada kalanya Rei sebal karena Jenar dikelilingi banyak cewek cakep yang sepertinya punya hobi caper terselubung. Tapi setelah mereka pacaran, tinggal bareng, menikah dan punya Wuje... Rei hampir nggak pernah betul-betul ngambek sama Jenar karena cemburu.

Yah, pas Wuje masih dalam perut pernah sih, namun kalau kata Hyena, bisa jadi itu mah bawaan bayi saja.

Tadinya, Rei berpikir kalau cemburu itu cuma bisa dirasakan sama orang yang insecure saja.

Namun beberapa minggu setelahnya, pikirannya itu terbukti salah.

Semuanya berawal dari ada karyawan magang baru di kantornya Jenar. Namanya Karol. Karol ini adalah tipe-tipe mahasiswi cakep berkulit putih, berambut panjang, berbody aduhai dan feminin gitu. Konon katanya, Karol langsung naksir Jenar pada pandangan pertama, yang otomatis mendorongnya untuk cari perhatian dengan cara-cara ganjen.

Berhubung Rei kenal baik dengan orang-orang kantornya Jenar terutama yang bekerja langsung dengannya, salah satu dari mereka sempat mengabari Rei. Namanya Dino. Dino ini ngabarinnya sudah macam detektif saja, lewat chat gitu. Kira-kira begini bentuknya;

dino:
kak reginaaaaaa

rei:
iya, dino.
kenapa ya?

dino:
kak regina, saya mau nanya, tapi jangan marah ya?

rei:
nanya apa?

dino:
kak regina jangan bilang-bilang siapa-siapa ya?

rei:
iya, dino.
kenapa?

dino:
kak regina lagi berantem gak sih sama bang jenar?

rei:
hah, enggak kok.
emang kenapa?

dino:
ohhhh, kirain.
soalnya bang jenar gak bawa bekal makan siang hari ini.

rei:
oh ya, aku bangun kesiangan.
jadi gak sempat bikinin.

dino:
kak regina, saya mau kasih tau aja ini mah.

rei:
kasih tau apa, dino?

dino:
tapi jangan bilang tau dari saya ya, kak?

rei:
iya. kenapa sih?

dino:
ada anak magang baru di kantor, kak.
namanya karol. cantik gitu, kayak mahasiswi jaman sekarang.
katanya dia pernah ikut abang-none.

rei:
jadi abang apa jadi none?

dino:
none.
serius ini, kak.

rei:
iya, tadi cuma bercanda.

dino:
kayaknya si karol suka sama bang jenar deh, kak.
dia bikinin lunch box buat bang jenar.
bang jenar gak bisa nolaknya, soalnya lagi gak bawa bekal juga kan.

rei:
oh...
mungkin dia gak tau aja kalau jenar udah married, no.

dino:
gak mungkin gak tau dong, kak.
orang cincinnya aja jelas gitu.

rei:
oh...

dino:
anaknya emang ganjen deh, kak.
saya juga gak suka liatnya.
makanya saya ngerasa perlu ngasih tau kak regina.
saya sih gak ragu ama bang jenar.
cuma tau sendiri kan kak, jaman sekarang tuh pelakor makin ada-ada aja.
apalagi bang jenar gitu.

rei:
jenar kenapa?

dino:
rebutable.
jadi rawan diembat orang.

Jujur, pesan dari Dino bikin Rei overthinking banget. 

to be continued

***

Si Seno


***

a/n:

yak menuju episode karol 

btw soal johnny 

gak usah galau gak usah risau 

ada yang lebih sad boi dari johnny kok 

wkwkwkwk 

met malem

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top