34 | borokokok
Selepas kalapnya Alfa di kantor Sakura, kebekuan yang sebelumnya ada diantara Milan dan gadis itu pun mencair.
Di akhir pekan, dengan beralasan kalau mereka perlu bikin Alfa benar-benar yakin mereka punya hubungan spesial, Milan mengajak Sakura untuk nonton film bareng. Sakura kehabisan alasan buat menolak, sebab selain selera filmnya dan Milan cocok, sejujurnya, dirinya juga menginginkan itu. Kehadiran Milan di dekatnya, dengan caranya sendiri, selalu bisa membuat Sakura merasa nyaman.
Apa itu artinya Sakura suka sama Milan?
Sakura nggak bisa benar-benar memastikan. Tapi yang jelas, dia peduli pada Milan. Ketika tahu kalau Milan merasa sakit hati sebab merasa dimanfaatkan untuk membuat Alfa cemburu, Sakura merasa sangat bersalah. Jika berlutut di depan Milan bisa bikin lelaki itu memaafkannya, pasti Sakura telah melakukannya tanpa peduli harga dirinya mau ditaruh di mana.
Soal Alfa sendiri... sebelumnya Sakura nggak percaya kalau dia akan bisa melakukannya, namun dia sudah memblokir semua nomor dan akses dari maupun menuju lelaki itu. Ribut-ribut yang terjadi di kantor juga bikin pihak security kantor lebih siaga. Mereka nggak mengizinkan Alfa berada di area kantor, apalagi sampai masuk ke lobi.
Hanya butuh dua minggu untuk membuat Alfa nggak lagi berusaha menghubunginya, atau ngotot menunggunya pulang kerja—dan selama dua minggu itu juga, rutinitas ganjil-genap Sakura dan Milan kembali. Mereka jadi rajin pergi dan pulang kantor bareng, saling menjemput bergiliran hari. Beberapa kali makan malam bersama. Terus di akhir pekan... berbeda dengan weekend sebelumnya, kali ini Milan muncul tiba-tiba di depan pintu apartemen Sakura sembari membawa sekotak piza.
"Ada yang ulang tahun hari ini?" Sakura nanya sembari membuka pintu lebih lebar, tanda kalau Milan diizinkan masuk.
"Nggak ada. Dan kenapa juga lo tiba-tiba nanya gitu?"
"You showed up unexpectedly. Bawa piza pula. Udah kayak pacar beneran aja." Sakura terkekeh sambil berjalan menuju kulkas dua pintu miliknya, membukanya dan mengeluarkan sebotol besar coke dingin lengkap dengan wadah es batu. "Bukan berarti gue protes."
"Kan biar kayak pacar beneran." Milan berkilah.
"Alfa udah lama nggak berusaha deket-deket atau nyamperin gue lagi. All thanks to you, tapi kayaknya udah nggak perlu lagi deh."
"Sakura—"
Sakura berlutut di dekat meja, menuangkan isi botol coke ke gelas penuh bongkahan es batu untuk Milan. "Hm?"
"Kalau udah nggak perlu, tapi gue masih mau sering kesini... menurut lo... boleh nggak?"
Sakura berhenti menuang isi botol coke, ganti memandang Milan dengan salah satu alis terangkat. Lantas, tawanya pecah. "Boleh, dong. Masa mau gue larang?"
"Kayaknya lo nggak paham apa maksud gue sebenarnya deh."
"Emang maksud lo sebenarnya tuh apa?" Sakura memiringkan wajah.
"Gue mau sering-sering kesini."
Sakura mengangguk. "Em-hm. Gue ngerti kok. Sebetulnya, wajar aja. Toh selera film kita juga nggak jauh beda, terus kita juga nyambung kalau ngobrol. It's okay. Kita masih bisa sering-sering movie night atau Netflix-an bareng."
"Bukan gitu."
"Terus apa?"
"Gue mau cerita dulu nih ya."
"Wah, ada pembukaannya?"
"Oke, nggak jadi."
"Please jangan pundung!" Sakura tertawa.
Milan manyun. "Nggak jadi."
"Milan, ngomong aja!"
"Nggak deh."
"Oke, gue berhenti ketawa." Sakura berusaha memasang ekspresi wajah serius, yang ujung-ujungnya tetap saja kelihatan geli. "Milan, jangan bikin gue mati penasaran! Buruan kasih tau, lo mau cerita apa!"
"Waktu itu, gue dateng kesini nggak bilang-bilang, kan?"
"Kapan?"
"Waktu gue nggak sengaja dengar lo debat sama Alfa, terus tau-tau nama gue disebut."
Ekspresi wajah Sakura berubah sedikit. "Oh... soal itu..."
"Gue punya alasan sendiri datang kesini saat itu."
"..."
"Gue mau jujur sama lo."
"Tentang apa?"
"Bahwa gue udah nggak bisa biasa-biasa aja sama lo." Milan menghela napas, akhirnya mengatakan apa yang selama ini hanya bisa dia pendam diam-diam. Perasaan yang ditekannya begitu dalam agar tersembunyi, apalagi setelah dia tahu alasan kenapa Sakura mau dekat dengannya lebih dari sebatas teman pulang-pergi di hari ganjil-genap. "Bakal terlalu awal kalau gue bilang gue cinta sama lo. Mungkin sayang? Tapi soal itu juga, gue nggak bisa memastikan. It's just... I care about you. Lo bikin gue nyaman. Lo menyenangkan diajak ngobrol. Walau gitu... to say that I love you... it somehow feels too much. Dan gue nggak mau menjanjikan apa yang belum tentu bisa gue penuhi. Gue hanya mau bilang, gue care sama lo dan gue menginginkan hal-hal baik untuk terjadi ke lo. Kalau lo bersedia, mungkin kita bisa jalan beriringan, coba untuk figuring out, mendefinisikan perasaan kita itu apa sama-sama. Tapi kalaupun lo nggak berkenan, jadi teman lo aja udah cukup bikin gue happy."
"Milan,"
"... ya?"
"Barusan itu lo nyatain perasaan lo apa nggak sih? Gue jadi bingung..."
"... secara garis besarnya gitu."
"Lo tau, lo bisa mengatakannya cuma dalam satu kalimat atau beberapa kalimat yang lebih simpel."
"Nanti gue kedengeran kayak buaya."
"Loh, kan emang udah setengah buaya."
"What!?"
"Your Youtube video with Kak Ocha, I watched it."
"..."
"Jangan bilang kalau lo juga bilang gini ke Kak Ocha."
"Oh come on—"
"You kissed her cheek."
"Soalnya dia duluan yang cium gue, Sakura."
"Kalau dicium, emang harus dibales?"
"Kalau nggak dibales, nanti gue kelihatan cupu. Lagipula, it's just a game. Kemaren-kemaren orangnya juga lagi di Bali, liburan bareng Wirya."
"Oh, jadi banting setir ke gue karena Kak Ocha nggak tertarik sama lo. Gitu nggak?"
"Nggak begitu!" Milan membantah. "Of course I like Rossa. Dia cantik."
"Cantik aja?"
"Cantik, pintar, mandiri. Cowok has a thing for cewek cantik, you know? Even Jenar yang bucin tolol sama bininya aja pasti nengok dikit kalau ada cewek wangi melintas di depan dia."
"Kok jadi bawa-bawa Kak Jenar?"
"Sekedar contoh, untuk membuktikan kalau semua cowok punya bakat untuk jelalatan. Rossa cantik, gue cukup senang ada di dekat dia, tapi then again, kalau dipikir-pikir secara serius, ya there's no future for us. Rossa punya dunianya sendiri. Gue juga."
"Hm."
"Jangan bilang lo cemburu sama Rossa..."
"Gue justru tertarik memastikan kata-kata lo yang sebelumnya."
"Yang mana?"
"Tentang nggak membalas ciuman yang lo anggap cupu."
"..."
"Kalau gue cium lo duluan sekarang, lo bakal bales apa nggak?"
"Coba aja dulu, lo-nya berani apa nggak." Milan balik menantang.
Sakura bergerak mendekati Milan, niatnya mau mencium lelaki itu di pipi, tapi gerakannya terinterupsi mendadak saat pintu depan unit apartemennya terbuka, disusul oleh kemunculan pasangan separuh baya laki-laki dan perempuan.
"Astagfirullah—"
Refleks, Milan dan Sakura menoleh ke arah pintu dan Milan merutuki diri sendiri karena dia lupa mengunci pintu depan apartemen Sakura setelah masuk.
"Itu orang tua lo—" Milan sudah mau ambil ancang-ancang buat menghampiri pasangan setengah baya itu dan mencium tangan mereka, sekalian berharap dia nggak kena gaplok di kepala kalau memang benar pasangan itu orang tuanya Sakura.
"Eh, maaf, ini apartemennya Listya bukan ya?"
Sakura membuang napas. "Apartemennya Listya pas di sebelah saya, Bu. Setelah saya."
"Oalahh... maaf nggih, baru pertama kali kemari, jadi nggak ngeh."
"Sepurane ya, Mas," bapaknya si Listya ikutan bicara. "Monggo diteruskan..."
Lalu pintu ditutup, meninggalkan Milan dan Sakura yang hanya bisa saling menatap.
*
Setelah tinggal sama Jenar, kalau belanja bulanan, Rei nggak pernah lagi sendirian.
Jenar selalu menyertainya, nggak pernah lupa menyempatkan diri buat nemenin dia seenggaknya sebulan sekali. Waktu belum ada Wuje, mereka belanja berdua. Begitu ada Wuje, tentu saja Wuje selalu ikut. Akan tetapi, kayaknya untuk bulan ini, Rei mesti belanja bulanan sendiri. Di minggu-minggu ini, aktivitas Jenar di kantor lagi cukup hectic dan lelaki itu kerap pulang di atas jam sembilan malam.
"Beneran nggak apa-apa sendirian?" Jenar berujar di telepon, masih nggak merasa cukup dengan penjelasan Rei lewat chat.
"Nggak apa-apa. Ini udah di jalan."
"Nyetir sendiri kan?" suara Jenar berubah jadi terkesan menyelidik.
"Iya, ini aku pake handsfree." Rei memberitahu.
"Sama si bocil?"
Rei menatap pada rear-view mirror untuk melihat Wuje yang duduk di atas car seatnya di bagian belakang. "Iya. Anaknya kalem kok, nggak rewel sama sekali."
"Oke, kabarin aku kalau kamu udah sampai rumah."
"Oke."
"Hati-hati ya."
"Oke."
"Regina,"
"Hm?"
"Di kantor lagi mumet banget nih. Kasih aku semangat dikit dong, biar rada ikhlas nutup teleponnya."
Rei terkekeh. "Oke, Sayang. Semangat ya? See you at home."
Setelahnya, barulah Jenar mau menutup telepon.
Rei sengaja memilih weekdays, soalnya kalau weekend apalagi di tanggal-tanggal baru gajian, supermarket biasanya ramai banget. Keputusannya benar, karena begitu dia sampai, supermarket nggak terlalu padat. Untungnya, Wuje juga lagi nggak rewel sama sekali. Mudah saja bagi perempuan itu mendudukkan si bocil di troli, terus memberinya satu Kinderjoy biar anaknya kalem dan punya mainan—meski ujung-ujungnya, pasti bakal agak belepotan.
Rei sudah bikin daftar apa saja yang mesti dia beli, jadi dia nggak harus membuang waktu terlalu lama memutari rak demi rak. Perlahan namun pasti troli mulai terisi. Lantas, usai memastikan kalau nggak ada lagi barang yang perlu dia beli, Rei mendorong trolinya menuju kasir. Perempuan itu baru berdiri menunggu sejenak dan sedang meladeni celoteh Wuje yang memamerkan cangkang Kinderjoynya saat terdengar suara seseorang menyapanya.
"Rei?"
Refleks, Rei menoleh dan mendapati Alfa tengah berjalan mendekat. Lelaki itu hanya memegang dua kaleng soft drink dan satu kemasan batu batere di tangannya. Dia mengenakan masker hitam dan topi, dengan jaket yang juga berwarna hitam.
Wuje sontak bereaksi. "Papa?"
"Bukan, Sayang. Ini Om Alfa." Rei menjawab, disusul Alfa menurunkan maskernya dan nyengir pada Wuje.
"Om?"
"Anak lo udah gede aja."
"Lagi jalan ke tiga tahun." Rei menjawab, berusaha ramah. "Sendirian aja?"
"Em-hm." Alfa mengiakan. "Lo juga sendirian aja?"
"Jenar lagi hectic di kantor sepanjang minggu ini."
"Oh..." Alfa manggut-manggut. "Anyway, I am so sorry. Jenar invited me to your son's birthday party but I—"
"Nggak perlu." Rei memotong sambil mendorong trolinya maju karena antrean yang telah bergerak. "Gue paham kalau lo lagi punya banyak urusan yang lebih penting buat dipikirin."
Alfa meringis. "Can I ask you something, though?"
"Apa?"
"Sakura sama Milan beneran pacaran?"
"Itu ranah pribadinya Sakura dan gue nggak punya hak bicara soal itu, Kak." Rei menyahut. "But I admit, akhir-akhir ini emang dia kelihatan happy sama Milan dan gue harap, lo nggak akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan maunya dia."
"Rei—"
"Namanya manusia, setiap orang pasti punya kekurangan, juga kelebihan. Gue nggak bermaksud menghakimi moral lo. Gue tau, lo orang yang sangat baik, care sama orang. I admired you a lot, as a friend, as my senior. Tapi jujur, melihat lo yang sekarang, gue juga harus mengakui kalau gue kecewa banget."
Kata-kata Rei bikin Alfa terdiam.
"You know how much I despise cheaters. Kesalahan yang nggak akan pernah bisa gue terima, atau gue maklumi."
"Gue nggak punya pilihan, Rei."
"Lo punya banyak pilihan."
"Keluarga gue mau gue nikah sama orang yang nggak gue sayang."
"Dan lo punya pilihan, apa mau menerima itu, atau menolaknya. Masing-masing punya konsekuensinya sendiri-sendiri. Kalau lo menerima, artinya lo nggak perlu berhadapan sama keluarga lo, tapi konsekuensinya, lo mesti terjebak sama orang yang nggak lo sayang. Kalau lo nolak, lo bisa aja berakhir sama orang yang lo sayang, tapi konsekuensinya, hubungan lo sama keluarga lo mungkin jadi memburuk."
Rei mendorong maju trolinya, sementara Wuje melongo, seperti lagi berusaha keras memahami percakapan antara dua orang dewasa yang terjadi di depannya.
"Masalahnya adalah, lo nggak mau menanggung satu pun konsekuensinya. Lo mau bersama orang yang lo sayang, tapi di saat yang sama, lo juga nggak mau hubungan lo sama keluarga lo memburuk. Dalam hidup, kita nggak bisa milih enaknya aja. Selalu ada konsekuensi dari tiap keputusan yang mesti kita tanggung."
Alfa menelan saliva, kehilangan kemampuan untuk berbicara.
"Dan terus terang aja, menurut gue, kalau lo emang sayang sama Sakura, lo nggak akan menempatkan dia dalam situasi yang nggak enak, situasi yang bikin dia dipandang buruk sama banyak orang, situasi yang bikin dia kejebak dalam sesuatu yang nggak pasti."
Alfa menghela napas. "Sori."
"Lo nggak punya salah apa-apa sama gue, Kak. Kalaupun lo ngerasa mesti minta maaf, mungkin lebih tepat kalau maaf itu ditujukan ke mantan istri lo, atau ke Sakura."
Alfa terdiam lagi, lantas berujar lirih. "Gue pasti bikin lo kecewa banget ya."
"Apa itu penting?"
"Penting. Dari jaman kuliah dulu, gue selalu menganggap lo kayak... adik perempuan gue. Itu juga kenapa gue minta tolong lo sama Johnny soal nikahan gue dulu. Selama ini lo diam aja. Gue kira lo nggak tau soal—yah... itu."
Rei nggak menjawab.
"Jadi... tetap... gue minta maaf ya."
"Boleh gue minta tolong sesuatu dari lo?"
"Anything."
"Jangan ganggu Sakura lagi ya? Untuk kali ini, hargai apa maunya dia. Bisa kan, Kak?"
"It will be hard." Alfa menghela napas panjang untuk yang kesekian kalinya. "Tapi, gue akan coba."
"Thanks."
Obrolan mereka terhenti sejenak karena giliran Rei membayar barang-barang belanjaannya telah tiba. Alfa ikut membantu mengeluarkan belanjaan Rei dari troli dan meletakannya di meja kasir, berhubung banyaknya belanjaan tampaknya membuat Rei cukup kerepotan. Nggak hanya sampai di sana, Alfa bahkan menyertai Rei menuju parkiran. Lagi-lagi membantu menurunkan belanjaannya dari troli dan meletakkannya di bagasi.
"Kak, makasih ya."
"Nah, it's okay." Alfa berujar usai memastikan Wuje sudah duduk dengan tenang dan aman di car seatnya yang ditempatkan di jok belakang. "I am relieved, somehow."
"Lega kenapa?"
"Lo kelihatan happy, even though dulu, nggak pernah kepikiran sama gue kalau lo bakal jadi ibu yang benar-benar... ibu. You know what I mean?"
"Emangnya ada ibu yang nggak benar-benar ibu?" Rei nggak bisa menutupi nada geli dalam suaranya.
"Bukan gitu maksud gue. Kayak... seorang Regina, yang megang kucing nggak bisa, yang megang kelinci aja ogah, ternyata bisa ngurusin bayi manusia."
"Kadang, gue juga masih nggak percaya, Kak." Rei menjawab. "But Arganata is love at first sight. I am willing to do anything to make sure he's well and happy."
"It's great to see. Motherhood looks gorgeous on you."
Rei hanya bisa membalasnya dengan senyum hangat.
Alfa tetap berdiri di parkir basement supermarket hingga mobil yang Rei kemudikan meluncur menuju pos keluar area parkir. Gesturnya, entah kenapa membuat Rei merasa kalau Alfa masih orang baik yang dia kenal dulu. Cuma, namanya hidup, ada saatnya seseorang bikin keputusan-keputusan yang salah.
Rei hanya bisa berharap, setelah ini, Alfa bisa menemukan bahagianya sendiri tanpa mesti menyakiti atau mengorbankan perasaan orang lain.
*
Matahari belum benar-benar terbit ketika Wirya terbangun lebih dulu.
Dia mengernyit, tadinya bermaksud melakukan sedikit peregangan, tapi batal bergerak ketika tersadar ada yang tengah membenamkan wajah di dadanya. Napas pemilik wajah itu hangat, menerpa kulitnya. Wirya merunduk, mendapati Rossa masih terlelap. Hela napasnya teratur. Matanya terpejam. Dan melihatnya seperti itu membawa ingatan Wirya ke sekian tahun ke belakang, saat Rossa menginap di kosannya gara-gara listrik kosan Sadewo yang bermasalah.
Perempuan itu masih seperti dulu—Rapunzel yang entah bagaimana tersesat lalu kini berada dalam dekapannya.
Wirya bergerak sedikit, membuat Rossa otomatis mengeratkan genggamannya pada bagian depan baju tidur yang Wirya pakai. Perempuan itu belum terbangun. Sepertinya, instingnya yang mendorongnya bertindak begitu.
"Rosie, baby—I need to make you your morning coffee."
"Mmm?" Rossa bergumam dalam tidurnya.
Wirya tertawa kecil sebelum perlahan melepaskan kepalan tangan Rossa pada bagian depan pakaiannya. Gerakannya lembut, jadi nggak sampai bikin Rossa terbangun. Setelahnya, lelaki itu melangkah keluar dari kamar menuju dapur. Niatnya sih bukan hanya bikin kopi, tapi sekalian bikinin sarapan buat Rossa.
Selepas liburan bareng mereka yang mendadak di Bali, tampaknya semua teman-teman mereka sudah tau kalau mereka punya hubungan khusus. Rossa bilang, cewek-cewek yang dulu satu kosan sama dia di Sadewo bahkan sampai bikin grup WhatsApp buat ghibah bareng.
Wirya no comment buat yang satu itu, soalnya dia pun turut dimasukkan ke grup berisi cowok-cowok yang sebagian besar diantaranya sudah pada jadi bapak muda—kecuali Johnny yang masih on the way, sama Milan, yang nggak tau deh, kalau kata Yuta, nasib percintaannya agak nggak jelas. Karenanya, wajar kalau Milan jadi sering diledekkin di grup. Kadang, Wirya merasa mereka agak keterlaluan sih. Kalau dia jadi Milan, pasti dia sudah blokir tuh para anggota grup WhatApp.
Wirya baru mau bikin french omelette saat ponselnya mendadak meraung. Ternyata, yang menelepon itu ibunya. Tumbenan banget, ibunya menelepon jam segini. Namun yah, Wirya tetap mengangkatnya.
"Morning, Mi."
"Tumben sudah bangun."
"Aku kan selalu bangun pagi, Mi."
"Lagi masak apa?"
"Kok tau aku lagi masak?"
"Kedengeran suaramu lagi ngocok telur."
"Oh." Wirya tertawa lepas. "What's wrong, Mi?"
"Emang Mami nggak boleh telepon kamu tanpa alasan?"
"Nggak gitu. Tumben aja."
"Kamu kedengarannya happy banget."
"Salah ya?"
"Nggak salah. Tapi biasanya orang happy karena alasan tertentu."
"Contohnya?"
"Punya pacar baru."
Wirya batuk-batuk. "Mami!"
"Loh, Mami cuma nebak saja. Mana tau tebakan Mami benar?"
Wirya hanya bisa sighing.
"Jadi kapan mau dikenalin ke Mami, Koh?"
"Kayaknya Mami udah kenal."
"Jadi betulan cewek yang di Instagram kamu itu?"
"Mm-hm." Wirya bergumam sekenanya.
"Cewek yang sama dari jaman kuliah kamu dulu itu?"
"Mm-hm."
"Dia lagi?"
"Namanya Roseanne, Mi."
"Iya. Dia lagi?"
"Iya."
"Masih belom move on juga?"
"Kayaknya dalam kehidupan ini, aku cuma mau dia."
"Hm."
"Mami nggak suka? Nggak apa-apa sih."
"Suka atau nggak suka-nya Mami sekarang tuh kayaknya nggak penting lagi deh."
"..."
"Asal kamu sama cewek, Mami udah bersyukur banget, Koh."
"..."
"Jadi kapan, kamu mau bawa dia ke rumah?"
"Namanya Roseanne, Mi. Bukan 'dia'." Wirya mengoreksi.
"Iya, jadi kapan kamu mau bawa Rose ke rumah?"
"Kapan-kapan."
"Mami serius, Koh."
"Biar apa sih, Mi, mesti dibawa ke rumah?"
"Biar jelas."
"Jelas apanya?"
"Hubungan kalian mau dibawa kemana."
"Nggak kemana-mana."
"Koh—"
"Aku sama dia sepakat untuk nggak melibatkan siapa-siapa dalam hubungan ini selain kita berdua. Termasuk keluarga."
Suara ibunya Wirya agak meninggi. "Wah, nggak bisa begitu dong, Koh!"
"Mi,"
"... iya?"
"Aku udah gede loh."
"Mami tau—"
"Sure, I want something more than this, to be honest. Bukan hubungan yang kayak gini. Tapi dalam suatu hubungan, kalau aku mentingin mauku itu sendiri, itu namanya egois. Aku harus mentingin perasaan dia juga. Dan dia punya pertimbangannya sendiri. We want to take things slow, and it's just us. Cuma kita, nggak ada yang lain. Kalau ke depannya Rosie berubah pikiran, aku bakal happy. Namun kalaupun nggak, aku nggak akan bisa memaksa."
"Koh..."
"She's the only one that I want, Mi. Untuk kali ini aja, biarin aku egois ya?"
Maminya Wirya nggak menjawab.
*
Rei nggak pernah sadar kalau waktu bisa berjalan dengan cepat, hingga dia melihat gimana si bocil, dari yang tadinya cuma bayi kecil yang hanya bisa menangis ketika ingin diperhatikan, ingin diberi makan atau ingin bekas bokernya dibersihkan bertumbuh jadi batita yang jago lari-lari kesana-kesini hingga jadi bocah berumur empat tahun yang sudah jago berceloteh ini-itu, juga melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang suka bikin Rei maupun Jenar dibuat pusing kepala.
Apa ada banyak yang terjadi dalam waktu dua tahun lebih?
Rei bisa bilang iya, juga nggak.
Bagian iyanya, mungkin karena dalam rentang waktu dua tahun lewat, ada beberapa peristiwa yang terjadi; seperti Johnny dan Gianna yang akhirnya menyambut kehadiran anak pertama mereka, Dhaka dan Juno yang pindah ke rumah baru, Yuta yang menang undian Alphard dari Bank BCA hingga Milan dan Sakura yang pada akhirnya, pacaran betulan.
Bagian nggak-nya, bisa jadi sebab ada beberapa hal yanng tetap sama; Rossa dan Wirya yang nggak menunjukkan tanda-tanda bakal membawa hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius, Jaka yang masih saja betah melajang (sampai-sampai Jenar dan bapak-bapak Pejantan Tangguh berspekulasi kalau sebetulnya, Jaka sudah ganti selera dan suka beradu pedang sekarang), Lanang yang masih tetap jadi Youtuber (walau kini dia sudah punya franchise restoran yang jualan ikan crispy di sejumlah kota di Indonesia) serta hubungan Rei dan kedua orang tuanya yang masih saja dingin.
Rei nggak pernah bilang ke Jenar, namun beberapa kali, tanpa sengaja, dia sempat ketemu sama ayahnya. Biasanya, di tempat ramai, dan dari jarak yang lumayan jauh. Lelaki itu lebih sering sendirian, walau kalau ada yang bisa Rei syukuri, lelaki itu tampak sehat-sehat saja. Ibunya jarang berada di Jakarta, lebih banyak menghabiskan waktu untuk travelling kesana-kemari.
Yah nggak apa-apa.
Rei tau, dia nggak bisa memaksa orang untuk tetap berada dalam hidupnya, apalagi kalau mereka nggak mau.
Lagipula untuk saat ini, dia sudah cukup sibuk mengurusi keluarganya, juga menjalani hobi yang makin lama, sepertinya makin menuju ke ranah yang lebih serius.
Hidup kelihatannya baik-baik saja, hingga suatu hari, terjadi kehebohan di grup teh tumpah special edition (karena ada Rossa-nya, dan sekarang bertambah, ada Sheza juga Juno).
Teh Tumpah VVIP 🍵 (10)
jella: HEH LO DI MANA @jinny
rossa: what happened?
rei: ini kenapa?
jella: JINNY KABUR DARI RUMAH
jella: jinny, laki lo nelepon gue
jella: panik banget
jella: lo sebenernya kemana?
jella: kata si seno, lo gak balik ke rumah orang tua lo @jinny
yumna: wah ada apa nih
yumna: lo berantem ama si Hamba Allah? @jinny
jinny: TEH TT.TT
rossa: jinny, what's wrong? @jinny
sakura: tumben rame
sakura: EH LO KENAPA @jinny
harsya: lo berantem sama seno?
delta: jinny, coba lo tenangin diri dulu @jinny
delta: terus sekarang lo di mana? @jinny
jinny: di hotel TT.TT
jinny: urang kabur teh TT.TT
yumna: berantem? @jinny
jinny: ieu teh lebih parah dari berantem TT.TT
jella: naha atuh coba jelaskeun
rossa: GUE GAK TAU KALO LO BISA SUNDAAN? @jella
jella: gue fleksibel
jinny: si borokokok eta jahat, teh :*
jinny: *:(
jinny: ATUHLAH LAGI SEDIH GINI MASIH MESTI SALAH EMOT
yumna: borokokok tuh siapa?
jinny: seno
delta: wah parah nih kayaknya ributnya
jinny: BUKAN PARAH LAGI AIHSIAH
rossa: terus kenapa?
juno: sori, baru on
juno: gue scroll dulu ya
jinny: SENO MAU POLIGAMI TEH TT.TT
jinny: gue kurang semlohay apa coba
jinny: sampe dia mau cari istri lagi TT.TT
sheza: wah
sheza: laki kayak gitu halal disate
rei: astaga...
rei: ini beneran, dia yang bilang sendiri ke lo? @jinny
jinny: engga
jinny: sebelom bilang, gue udah tau duluan kalau dia mau poligami
juno: terus anak lo sekarang gimana? @jinny
jinny: gue bawa sama gue
jinny: lagi ibak jeung bebek-bebek-an di bathtub hotel
rossa: ibak tuh apa?
jella: mandi
rossa: oh...
jella: lo di hotel mana? @jinny
jinny: kalo gue kasih tau, lo pada janji ya
jinny: jangan kasih tau si borokokok
jella: engga
jella: gue mau samperin lo
jinny: oke, ngke heula urang serlok
rossa: serlok apa?
jella: share location
rossa: oh...
to be continued
***
[sepotong kisah para pejantan]
***
"Pulled me by my necklace and kiss me." --bapaknya Wuje kalau lagi mau 'kreatif'.
***
a/n:
yak, kita sudah memasuki bagian di mana wuje dkk berumur empat taon menuju lima. karena udah pada mayan gede-gede, maka perseteruan kwinsa-wuje akan semakin sengit.
tar bagian wuje iri perkara buburnya lila juga bakal masuk kesini.
cuma yang dijelasin lebih detail di chapter depan kayanya bagiannya mba karol sama jinny kabur kali ya.
soal gianna johnny kenapa cere... itu anaknya johnny kok wkwkwkwkwkwkwkw
dah itu aja dulu.
met malem.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top