33 | kinderjoy

Waktu pertama kali family trip bertiga dulu, Wuje masih kecil banget.

Otomatis, kemana-mana dia lebih sering digendong atau duduk di stroller. Dalam perjalanan mereka kali ini, Jenar sama Rei seperti lupa memperhitungkan kalau sekarang, anaknya sudah lancar lari-lari. Nggak perlu menunggu sampai mereka tiba di Kyoto, dari masih di bandara saja, Wuje sudah pecicilan banget. Dikit-dikit lari kesana. Dikit-dikit lari kesini. Kalau ada bule lewat, anaknya langsung mangap ngelihatin. Ketika ada pramugari melintas, anaknya kepingin ngikutin.

Mengekori Wuje sekaligus meladeni pertanyaan-pertanyaan absurd khas batita-nya cukup menghibur—terus mungkin saking lucunya, jadi banyak sesama calon penumpang yang juga lagi menunggu boarding pada minta foto sama Wuje. Tapi lelahnya baru terasa ketika mereka sudah berada di dalam pesawat. Apalagi buat Jenar dan Rei yang biasanya tidur saat long flight.

Wuje nggak menunjukkan tanda-tanda mengantuk setelah flightnya berjalan beberapa lama.

"Mama, Mama," Rei sudah hampir ketiduran saat Wuje yang berada di pangkuannya memanggil. Anak itu sedang menatap dengan mata melebar ke luar jendela pesawat yang menampilkan awan putih nan terang.

"Iya?"

"Mama, Mama, Mama,"

Rei menghela napas. "Iya, Sayang?"

"Mau buka ini." Wuje menunjuk pada jendela pesawat dengan tatapan polos.

"Nggak boleh dibuka, Sayang."

"Mau buka..." Wuje merengek.

"Jendela pesawat nggak bisa dibuka."

"Mau buka..." Wuje masih ngotot.

Rei mengembuskan napas, melirik pada Jenar yang duduk di sampingnya. Jenar yang lagi nonton film dengan earphone menyumpal telinga nggak sadar, hingga Rei mesti menyikutnya. Lelaki itu tersentak, menoleh ke samping.

"Kenapa?"

"Anaknya rewel."

"Rewel kenapa?" Jenar beralih pada Wuje yang kini wajahnya mulai mengerut, kayak bayi pada umumnya kalau mau menangis. "Wuje, boy, kenapa mukanya gitu? Kita kan mau jalan-jalan, masa kamu malah mau nangis sih?"

"Mau buka..." Wuje lagi-lagi menunjuk pada jendela pesawat.

"Nggak boleh, Wuje."

"Mau... hiks... mau..." tanpa bisa dihindari, tangis Wuje pun pecah.

Rei langsung merasa nggak enak sama penumpang yang lain. Apalagi ini penerbangan panjang yang terjadwal dari pagi hari. Mungkin ada penumpang yang belum sempat tidur. Pasti bete banget kalau mereka berencana tidur selama flight, dan justru terganggu gara-gara tangisan si bocil.

"Wuje, Sayang, jangan nangis dong—"

Jenar menghela napas, berujar dan mengulurkan tangannya. "Here, let me handle him."

"Bisa?"

"Bisa dong, Regina. Aku kan papanya."

Rei masih terlihat agak nggak yakin, namun dia memindahkan Wuje ke pangkuan Jenar. Anaknya masih saja meraung. Air mata jatuh berkejaran di pipinya yang gembil.

"Arganata, dengerin Papa. Boy, Papa barusan ngomong sama kamu loh."

Mendengar namanya disebut seserius itu, Wuje menatap ayahnya masih dengan bahu yang berguncang. Tangisannya telah mengundang seorang pramugari mendekat, yang justru dibikin gemas melihat wajahnya yang lagi basah karena air mata.

"Kamu mau apa?"

"Buka itu..."

"Buka jendela?"

Wuje mengangguk sembari mengucek satu matanya yang basah pakai jari tangan.

"Nggak boleh, Sayang."

"Mau..." Wuje tetap ngotot merengek dan kini, suaranya kian memelas.

Jenar menoleh pada pramugari yang sudah berada di samping kursinya. "Sori, Mbak, ini anak saya agak rewel. Kalau saya ajak jalan sebentar di aisle boleh nggak ya?"

"Oh ya, silakan, Pak."

Rei tercengang sebentar. "You sure—"

"It's okay." Jenar menenangkan sembari melepas sabuk pengamannya dan beranjak dengan si bocil dalam gendongan.

Jenar sudah sering melihat keluhan orang-orang di medsos soal gimana mereka ngerasa sangat terganggu ketika ada bayi yang rewel dalam penerbangan, tapi untungnya, para penumpang yang berada sepesawat dengannya tampak bisa memahami—seorang ibu-ibu paruh baya bahkan menawarkan biskuit pada Jenar, berkata itu mungkin saja bisa bikin si bocil tenang. Benar juga sih. Begitu diberi biskuit, Wuje langsung sibuk memegang biskuit tersebut sambil menggigiti ujungnya.

"Enak?" Jenar bertanya ketika Wuje sudah lebih tenang, meski matanya masih merah dan berair.

Wuje mengangguk seraya mengunyah biskuit yang sudah dia gigit. "Enak."

"Kalau naik pesawat, nggak boleh buka jendela, Wuje."

"Napa?"

"Di luar pesawat, anginnya kenceng."

"Angin nceng?"

"Iya." Jenar mengangguk. "Inget nggak dulu, waktu Wuje berenang sama Papa, terus tau-tau ujan dan ada angin kencang? Saking kencangnya, ada dahan pohon yang patah, terus jatoh."

Wuje manggut-manggut, walau Jenar nggak yakin kalau Wuje ingat momen yang dia maksud.

"Nah, kalau jendelanya dibuka, nanti anginnya masuk. Kalau anginnya kenceng, nanti yang ada dalam pesawat ketiup angin. Nanti jatoh, kayak dahan pohon waktu itu."

"Oh..."

"Makanya, Mama bilang nggak boleh."

"Oh..."

Setelah Wuje sudah lebih tenang, barulah Jenar kembali ke kursinya. Tak lama setelah ayahnya kembali duduk, Wuje cepat-cepat mengulurkan kedua tangan pada Rei.

"Mau Mama..."

"Udah nggak kesel lagi?" Rei bertanya.

Wuje menggeleng. "Nda."

"Terus sekarang mau apa?"

"Mau Mama."

"Alright, there you go. Get your Mama." Jenar membiarkan Wuje merangkak ke pangkuan Rei. Usai berada di pangkuan ibunya, Wuje masih nggak bisa diam. Anak itu bergerak mendekati jendela, terus menarik penutupnya.

"Kamu ngapain, Sayang?"

"Angin nceng." Wuje menjawab singkat.

*

Meski nggak se-chaotic kedua orang tuanya Queensha, sealim keluarga Kun sama Sheza, setajir papa-mamanya Arganata atau se-eksis Lanang sama Delta, sesungguhnya Juno dan Dhaka punya strugglenya sendiri.

Dulu, ketika pertama kali melihat Dhaka di resepsi pernikahannya Rei sama Jenar, Juno langsung membatin dalam hati, "wah nih cowok yang nganterin pengantin wanita ke altar kelihatannya lezat juga ya". Nggak heran sih, soalnya hari itu, sebagai sosok yang menemani Rei melangkah menuju kehidupannya yang baru, Dhaka juga tampil all-out. Malah kayaknya ya, treatment yang Dhaka terima dari stylist keluarganya Jenar sebelas-dua belas sama treatment mereka ke pengantin pria.

Begitu juga dengan Dhaka. Saat nggak sengaja tatapan matanya menemukan Juno, benaknya sontak berteriak keras-keras, "ANJING, ADA BIDADARI!". Lagi-lagi, masih wajar. Sebab Juno memang cantik banget di acara resepsi kala itu.

Tentu saja, setelah mereka saling kenal, keduanya saling menemukan kekurangan masing-masing. Tapi yah, namanya juga masa-masa pedekate. Konon katanya mah, tai ucing saja bisa terasa seperti cokelat. Dhaka dan Juno nggak merasa kekurangan pasangan mereka itu sesuatu yang nggak bisa mereka tolerir. Makanya tuh, nggak butuh waktu lama bagi keduanya dalam memutuskan untuk menikah sekalian jadi partner kerja kelompok—yang niatnya sih, untuk seumur hidup.

Kayak apa yang pernah Dhaka ceritakan di grup Pejantan Tangguh, Juno memang mengajarinya banyak hal, apalagi yang berhubungan sama urusan kasur.

(urusan kasur di sini bukan sebatas rebahan doang ya, soalnya kalau untuk urusan rebahan, Dhaka sih sudah bisa dibilang punya gelar professor).

Di malam pengantin mereka setelah resmi jadi suami-istri, mereka nggak serta-merta capcus slebew-slebew asyik. Kenapa? Selain karena kecapekan, juga karena maghnya Juno kambuh. Terus cukup parah gitu.

Mereka berdua baru masuk ke kamar yang sudah dihias sedemikian rupa, lengkap dengan wewangian dan taburan kelopak mawar ketika Juno cepat-cepat berlari menuju kamar mandi. Dhaka yang heran bercampur khawatir mengikuti, hanya untuk mendapati Juno lagi muntah. Lelaki itu menatap takjub, masih tetap melongo hingga Juno selesai mencuci mulutnya pakai air yang mengalir dari keran.

"Kenapa sih ngelihatinnya begitu banget?" Juno bertanya pada suami barunya.

"Lagi mikir, padahal kan kita belom slebew slebew, tapi kok kamu udah mual-mual."

"Maghku kambuh! Bukan karena hamil!"

"Oh..."

"Cuma 'oh' doang?"

"Terus aku harus apa, Sayang?"

"Masih nanya?"

"... serius. Apa?"

"BELIIN MILANTA!!"

Balik-balik, Dhaka bawanya Promagh—walau ya nggak apa-apa, sebab untungnya masih sama-sama obat magh. Coba kalau bawanya Oskadon. Kayaknya malam pertama mereka sebagai suami-istri bakal berakhir dengan Dhaka jadi korban smack down Juno. Literally, bukan smack down nakal ala-ala.

Berhubung Juno lebih berpengalaman dalam beberapa hal, Dhaka jadi belajar banyak dari Juno. Tapi ada juga beberapa hal lain yang benar-benar nggak becus Juno lakukan. Misalnya? Juno nggak bisa baca Google Maps.

Waktu itu, mereka berdua lagi mau ke kondangan salah satu temannya Dhaka. Dhaka dan Juno sendiri baru sekitar dua minggu menikah, jadi masih berdua. Juga belum punya penumpang gelap dalam perut. Kebetulan, tempat pesta pernikahan diadakan cukup jauh dari pusat kota Jakarta. Agak ke pinggiran gitu deh, rada ke Parung sonoan dikit.

Dhaka dan Juno berangkat hanya berbekal kenekatan, juga share location dari pengantin pria di grup WhatsApp kantornya Dhaka.

"Kamu yang ngarahin, aku yang nyetir ya?" Dhaka membagi tugas.

"Oke."

"Bisa kan baca Google Maps?"

"Kamu ngeremehin kemampuan aku?"

"Nggak. Mastiin aja."

Turned out, dari sekian banyak keahlian yang Juno punya, membaca Google Maps nggak termasuk ke dalamnya.

Dhaka sudah curiga dari awal, soalnya kok kayaknya mereka seperti berputar di jalan yang itu-itu lagi. Makanya, dia sempat bertanya.

"Babe, sebenarnya kamu tau nggak sih kita kudu lewat jalan yang mana?"

Juno nyengir.

Dhaka menatap horor seraya sesekali memandang ke jalan. "Juno, jangan bikin aku takut!"

"Hehe."

"Kamu tau nggak jalan kita tuh bener atau salah?"

"Nggak, tapi kayaknya salah deh, abisnya nggak nyampe-nyampe."

"YEUUUU, HAYATI, BILANG KEK DARI TADI!!"

"Lo-nya yang kagak nanya dari tadi, Suryadi!"

Dhaka pun nggak lagi mengandalkan Juno. Dia letakkan begitu saja ponselnya di dashboard, lalu membiarkan asisten dari Google Maps memandunya menggunakan suara. Juno santai-santai saja, malah sempat membuka Pringles dan ngemil sendiri. Tapi yah, ternyata bukan hanya skill Juno yang diragukan, kemampuan Google Maps menunjukkan jalan juga nggak terlalu meyakinkan.

Akibat terlalu serius mengikuti arahan Google Maps, mobil yang Dhaka dan Juno tumpangi terjebak di jalan kecil, yang ternyata hanya muat untuk dilalui motor.

Masalahnya, jalan kecil ini berada diantara dua tembok dan tipe bentuknya adalah yang makin ke ujung makin menyempit. Alhasil, begitu mobil Dhaka terjebak, mobilnya nggak bisa maju atau maupun mundur. Bahasa Vrindavannya; nyangkut.

Dhaka bete banget sih, soalnya selain mobilnya jadi penuh baret-baret, dia juga jadi omongan orang kantor karena nggak datang ke acara pernikahan temannya. Apalagi, alasannya konyol banget; gara-gara mobilnya nyangkut di jalan kecil. Kenapa bisa nyangkut? Soalnya terlalu percaya sama Google Maps.

"Percaya tuh sama Allah makanya, Bang." Lanang sempat berkomentar begitu, yang bikin Dhaka melempar bakiak refleksi ke arah tuh orang tanpa tedeng aling-aling.

Namun yah, seperti apa yang dikatakan buku tulis keluaran Sinar Dunia, pengalaman adalah guru yang terbaik.

Sejak hari itu, Dhaka berikrat untuk nggak terlalu percaya sama Juno maupun Google Maps perkara urusan tunjuk-menunjukkan jalan.

Itu kekurangan Juno, yang masih cukup termaafkan oleh Dhaka.

Terus, apakah Dhaka punya kekurangan yang meski tergolong parah, masih bisa dimaklumi oleh Juno?

Tentu saja ada.

Dhaka tuh orangnya gampang banget terdistraksi. Pernah suatu kali, pagi-pagi di akhir pekan, Juno sudah niat banget mau bikin es pisang ijo pakai potongan nangka dan kacang sangrai. Dia bahkan telah kabar-kabari sama para mama yang lain, untuk stand-by, karena Juno bakal mengirimi mereka es pisang ijo pakai go-send.

Pagi itu, Juno salah ingat sedikit. Dia mengira dia sudah membeli nangka untuk pelengkap es pisang ijo-nya. Tapi ternyata dia salah. Nangkanya belum ada. Makanya, sehabis menidurkan anaknya yang paling kecil kembali ke crib di kamar bayi, Juno bicara sama Dhaka yang sedang main leggo bareng anak sulung mereka.

"Babe, boleh minta tolong nggak?"

"Nggak boleh."

"Dhaka."

Dhaka langsung sigap. "Bercanda, Sayang. Mau minta tolong apa?"

"Ke Superindo ya? Dikit doang kok. Beli nangka. Sekalian sama selada juga deh, soalnya si Kakak sama kamu kemarin minta kebab kan? Aku mau bikin semuanya hari ini, biar beres. Oh ya, sama beli pantyliner juga. Terus mayones—"

"Itu mah sama aja kayak kamu nyuruh aku belanja bulanan, Juno."

"Terus kamu nggak mau?"

Dhaka buru-buru menjawab. "Aku nggak bilang gitu."

"Beliin ya? itu aja deh. Nangka. Selada. Pantyliner. Mayones. Udah deh itu aja kayaknya."

"Beneran?"

"Iya."

"Oke." Dhaka beranjak, sudah siap mau mengambil jaket dan kunci mobil, tapi suara Juno kembali menghentikannya.

"Ajak si Kakak juga ya."

"HAH?!"

"Ajak si Kakak."

Si Kakak yang dimaksud sontak berhenti main leggo dan menengadah untuk menatap ayahnya dengan senyum lebar menghias wajah.

"Kenapa mesti ajak si Kakak?"

"Kakak nggak ada yang liatin, soalnya aku kan masih harus masak-masak di dapur."

"... hng,"

"Lagian cuma ke Superindo doang kok." Juno berpaling pada anak sulungnya. "Kak, Ayah mau ajak Kakak jalan-jalan."

"Jalan-jalan?"

"Iya. Seru deh."

"Celu, Yah?"

Dhaka meringis. Bukan apa-apa sih, tapi si Kakak terkadang bisa sangat rewel di supermarket, apalagi kalau sudah menginginkan sesuatu. Walau begitu, jika Juno sudah bertitah, tentu saja Dhaka nggak mampu membantah.

Jadi deh, Dhaka dan si Kakak belanja bareng.

Gayanya Dhaka casual banget, hanya kaosan yang dipadu dengan jaket di luarnya, celana pendek terus sandal gunung. Penampilannya lebih mirip kayak kakak himpunan yang hobi naik gunung dan berpetualang ke alam bebas ketimbang papa muda dengan dua buntut yang masih ucrit-ucrit. Untungnya, si Kakak tampak tenang di tempat duduknya, sibuk memakan permen jelly sementara Dhaka mendorong troli.

"Hm... apa tadi ya..."

Si Kakak nggak menjawab.

"Kak, inget nggak Bunda minta dibeliin apa aja?"

"Cokelat yang banyak, Yah."

"Ye, itu sih maunya Kakak."

Si Kakak ketawa. "Mau cokelat, Yah!"

"Itu kan udah ada permen."

"Pelmen beda sama cokelat, Ayah..."

"Ntar, beli belanjaan Bunda kamu dulu. Hng..." Dhaka berhenti di bagian buah, terus mengambil sepotong besar buah yang sudah ditimbang dan dilapisi plastik. Dia memasukkannya ke troli. Dilanjut beberapa benda lainnya. Sehabis itu, Dhaka berpindah ke bagian barang-barang kewanitaan. Sempat cukup lama, dia berdiri di depan rak.

Dhaka nggak menyangka, perkara dunia pembalut perempuan ternyata isinya se-beragam ini. Mulai dari yang bungkusnya hijau sampai yang bungkusnya hitam. Mulai dari yang ukuran biasa saja, yang tipis banget kayak adonan crepes hingga yang bentuknya kayak Pampers lansia. Daripada bingung lama-lama, akhirnya Dhaka nge-chat Juno.

dhaka:
kamu ukurannya apa?

juno:
pas masih gadis apa pas udah punya kakak sama adek?

dhaka:
lah emang beda?

juno:
BEDA LAH.

dhaka:
di aku rasanya sama aja...

juno:
bentar, ini ukuran apa yang kamu maksud?

dhaka:
soptek.
kamu kira apa?

juno:
nenen.

dhaka:
oh, kalo itu emang beda sih.

juno:
TAPI BENTAR DEH KOK SOFTEX SIH

dhaka:
lah emang?

juno:
aku nitipnya pantyliner.

dhaka:
beda ya?

juno:
astaga, sayang.
beda.
lebih kecil.

dhaka:
oh, oke.

juno:
titipan yang lain udah?

dhaka:
udah.

juno:
makasih, sayangku.

dhaka:
y
*yaaaa.
tadi belom selesai ngetik udah kepencet.

Dhaka pun mengambil apa yang dibilang Juno paling kecil, memasukkannya begitu saja ke dalam troli. Setelahnya, dia bergerak menuju kasir. Dhaka sudah berupaya mencari kasir yang nggak dekat dengan rak tempat Kinderjoy berada, tapi ternyata mata si Kakak jauh lebih awas. Si Kakak layaknya hiu, yang bisa menemukan Kinderjoy dari radius sekian meter.

"Mau itu..." si Kakak mulai merengek.

"Nggak boleh, nanti dimarahin Bunda."

"Mau itu..."

"Nggak boleh, Kakak."

Si Kakak pun menangis. Awalnya, Dhaka membiarkan saja. Namanya juga anak kecil yang lagi rewel. Kalau Dhaka turuti, bisa-bisa nantinya si Kakak malah kebiasaan dan begitu terus sampai gede. Tapi tangisan si Kakak makin lama makin keras, hingga memicu tanda tanya dari orang-orang di sekelilingnya.

"Mas, adeknya kenapa?" salah satu ibu-ibu yang mengantre di kasir sebelah sepertinya nggak bisa menahan diri lebih lama untuk nggak bertanya.

"Hah? Ini bukan adik saya, Bu—"

"Bundaaaa!! Hiks... Bundaaaaa!!!" Si Kakak mulai meraung, menarik perhatian lebih banyak orang.

"Lah, kalau bukan adiknya Mas, terus siapa?"

"Ini anak saya—"

"Masa?" si Ibu tampak seperti nggak percaya. "Mas jangan bohong! Muka mas-nya nih masih muda banget, terus nggak mirip sama anaknya."

"..."

"Atau jangan-jangan Mas penculik ya?"

"..." Dhaka kian speechless.

"Pak, Pak!!" si Ibu malah tergerak memanggil petugas keamanan berseragam untuk mendekat. Petugas yang dipanggil pun melangkah menghampiri mereka, dengan gaya sigap dan wajah sangar.

"Ada apa, Bu?"

"Ini saya curiga, deh. Anaknya nangis terus dari tadi. Waktu saya tanya ini adeknya apa bukan, kata Mas-nya ini bukan adeknya. Malah ngakuin ini anaknya. Tapi masak iya? Gayanya Mas ini lebih kayak mahasiswa nggak keurus. Muda banget. Mana muka mereka nggak mirip!" si Ibu berteori dengan gaya yang lebih songong dari Shinichi Kudou saat lagi melakukan deduksi untuk memecahkan kasus. "

"Anak ini emang lebih mirip sama ibunya, Bu. Kalau yang bungsu tuh baru lebih mirip saya—"

"Mas, Mas bilang punya satu anak aja saya nggak percaya, apalagi kalau Mas bilang punya anak dua! Bohong banget!"

"Bu—"

"Kita tanya aja ke anaknya." Petugas keamanan Superindo mencoba jadi penengah, menatap pada si Kakak yang wajahnya masih berkubang jejak tangis. "Adek, ini bener ayahnya Adek?"

"Kakak, bilang kalau Kakak anak Ayah."

Si Kakak yang masih ngambek gara-gara nggak diizinin beli Kinderjoy hanya diam membisu.

"Tuh kan!" si Ibu yang curigaan merasa menang.

"Kakak—"

Si Kakak tetap bergeming, membuat pihak keamanan Superindo nggak punya pilihan lain untuk membawa Dhaka dan si Kakak menuju pos keamanan untuk dimintai keterangan, sekalian untuk membuktikan kalau memang benar si Kakak ini anaknya Dhaka.

Maka, Dhaka pun ngirim chat ke Juno.

dhaka:
juno.
aku ditangkep security superindo.

juno:
KOK BISA?
JANGAN BILANG KAKAK DIEM-DIEM NGANTONGIN PERMEN LG?

dhaka:
aku dituduh nyulik si kakak.

juno:
KOK BISA?

dhaka:
gak tau :(
nih sekarang pihak security-nya mau video call sama kamu.

Agak awkward sih ya, masa video call sama security Superindo. Apalagi ini tuh posisinya, Juno lagi in action di dapur. Otomatis, rambutnya cuma digelung asal dan dia pakai daster doang. Cuma ya sudah, daripada Dhaka ditahan lama-lama di Superindo, akhirnya Juno video call sama pihak keamanannya untuk meng-klarifikasi sekaligus membuktikan kalau si Kakak ini betulan anaknya Dhaka.

"Maaf ya, Pak." Pihak keamanan yang terlanjur malu akhirnya hanya bisa meminta maaf sembari melepaskan Dhaka sekaligus menginstruksikan pihak kasir untuk mentotalkan semua belanjaan Dhaka yang sempat ditinggal begitu saja dalam troli secepat mungkin. "Tapi istrinya Bapak cantik banget, loh. Bapak nikah umur berapa sih?"

"DIH, KEPO?" Dhaka salty maksimal, bikin petugas keamanan yang dia ajak bicara kicep seketika. Kasihan sih, toh namanya juga beliau hanya menjalankan tugas. Namun, Dhaka terlanjur sebal.

Saat Dhaka dan si Kakak kembali ke rumah dalam keadaan selamat, Juno langsung menyambut dengan wajah lega.

"Gimana?"

"Gitu deh."

"Belanjaannya dapet?"

"Dapet."

"Makasih, Sayang—" Juno mengambil alih kantung plastik dari tangan Dhaka dan mulai mengeluarkan isinya. "Loh, kok sawi sih?! Kan aku nitipnya selada—"

"Oh ya? Aku ingetnya sawi. Lagian sama aja, Juno. Mirip-mirip."

"SELADA SAMA SAWI MIRIP DARI MANANYA?!"

"... sama-sama sayur."

"Terus ini... Dhaka, kenapa malah semangka?"

"Lah emang?"

"Aku nitipnya nangka! Mana ada es pisang ijo pake semangka?!"

"..."

"Dhaka—astaga, mana beli sawinya banyak banget! Emangnya kita mau dagang mi ayam?!"

"..."

"Yang bener cuma pantyliner doang!"

"..."

"Terus mayones-nya mana?"

"..."

"Dhaka—"

"MAYONESNYA KELUPAAN GARA-GARA SI KAKAK SIBUK MINTA BELIIN KINDERJOY, JUNO!"

Si Kakak cuma bisa melongo dengan bibir belepotan cokelat Kinderjoy.

Sejak hari itu, nggak pernah sekalipun Juno minta tolong Dhaka lagi buat belanja sesuatu.

*

"Kamu sama Jaka tuh ada hubungan khusus nggak sih?"

Rossa baru saja selesai mengeringkan rambutnya menggunakan hairdryer milik hotel tempat mereka menginap ketika sosok Wirya tau-tau muncul di sebelahnya. Wajah serius lelaki itu terpantul di cermin panjang yang senada dengan meja marmer tempat wastafel melekat, sekaligus tempat Rossa meletakkan barang-barangnya.

"Emang kenapa?"

"Kayaknya dia shock karena komentar aku di Instagram kamu."

"Komentar apa?"

"Aku kan balas komentarnya di postingan kamu yang itu. Jaka nanya siapa yang motoin. Aku jawab, aku yang motoin. Terus dia nggak balas lagi."

"Lucu deh, Wirya." Rossa berbalik, menatap Wirya yang kini mengenakan heavy tank sebagai atasannya. Otot lengannya terlihat jelas, tampak lebih cokelat dari sebelumnya sebab Wirya menghabiskan cukup banyak waktu main air di laut dan pantai hari ini. Rambutnya agak berantakan, membuat dahinya terekspos dengan jelas. "I am right here, right in front of you, dan kamu masih cemburu soal Jaka?"

"Justru aku nanya, biar aku tau, sebenarnya dia cemburu atau nggak."

"Dan kenapa kamu peduli Jaka cemburu atau nggak?" Rossa mengulurkan kedua lengannya, mengalungkan lengan tersebut di leher Wirya dan memaksa lelaki itu merunduk agar jarak diantara wajah mereka bisa lebih dekat. "Jaka cemburu atau nggak, itu nggak ngaruh buat kita, kan?"

"Truth be told, yes. But—"

"You said it yourself. Hubungan ini... cuma tentang kita. Dalam hubungan ini... cuma ada kita. Kenapa harus mikirin yang lain?"

Wirya sighing. "Rosie,"

"Hm?"

"You smell so good."

Rossa tersenyum lebar. "Define your 'so good'."

"Sweet. Like my favorite dessert."

"..."

"I wonder, do you taste as sweet as you smell?"

"Dip in, so you'll find out."

Lagi-lagi, Wirya sighing, namun dia tetap jadi yang pertama menutup jarak diantara mereka, untuk mencium Rossa. Ciuman yang dilakukan dengan penuh hati-hati. Apakah ini kali pertama Wirya menciumnya? Mungkin saja iya. Atau mungkin nggak. Entahlah, kepala Rossa terlampau ringan untuk dipaksa memikirkan apa yang telah terjadi sekian tahun lalu sekarang.

Wirya merengkuh tubuhnya untuk makin mendekat, sebelum mengangkat Rossa dengan kedua lengannya yang kuat, mendudukkannya di atas meja marmer hingga dia nggak perlu menunduk terlalu dalam hanya untuk mencium perempuan itu.

Ciuman mereka memanas, lalu perlahan mereda, seperti badai yang sudah usai. Wirya mengakhirinya dengan kecupan-kecupan kecil di bibir Rossa, sementara satu tangannya mengelus helai rambut perempuan itu, menyelipkannya ke belakang telinga agar dia bisa menatap Rossa lebih jelas.

"How was it?" Rossa tertawa seraya menatap Wirya.

"Sweet like cherry."

"That's my lipbalm."

Wirya tergelak dengan kedua lengan masih melingkar protektif di pinggang Rossa.

"So... ini yang akan kita lakukan seterusnya?"

"Maksudnya?"

"Pacaran, selama yang kita mau. Cuma ada aku sama kamu. Nggak ada yang lain."

Wirya mengangguk. "Tanpa melibatkan siapapun."

"Yakin bisa?"

"Kenapa harus nggak bisa?"

"I don't know, mungkin karena nggak selamanya manusia mau terus berada di tempat yang sama? Dalam situasi yang kayak jalan di tempat. Stagnan. Sama aku, nggak akan pernah ada kemajuan. Kita akan selalu tetap ada di tahap ini, nggak pergi kemana-mana."

"Aku nggak perlu kemana-mana, selama ada kamu."

"Oh, Wirya," Rossa mengulurkan tangan, menyentuh sisi wajah Wirya dan merasakan titik-titik kasar dari janggut yang baru mau tumbuh. "You're so in love."

"With you."

"Em-hm."

"You're in love with me too, right?"

"Aku nggak akan ada di sini kalau aku nggak sayang sama kamu."

"Good answer." Wirya tergelak. "Come closer, let me kiss you again—"

"Nah—" Rossa menggeleng seraya menempatkan satu jarinya di depan bibir Wirya. "Kayaknya barusan aku dengar suara handphone. Kalau aku boleh nebak, ada chat baru yang masuk."

"Dan kenapa chat baru itu lebih penting dari ciuman sama aku?" Wirya memberengut.

"Wait." Rossa tergelak dan mengambil ponselnya dari dalam tas. Betul saja, ada chat baru dan ternyata itu dari Jaka. Wirya hanya memperhatikan dengan wajah dimiringkan, sementara Rossa mengetikkan balasan.

"Siapa?"

"Jaka."

"Jaka bilang apa?"

"Nanya, lagi di Bali apa nggak."

"Terus?"

"Kalau lagi di Bali, dia nitip kaos Hard Rock Café."

"Terus?"

"Udah."

"Nggak nanyain aku?"

"Nggak."

"Agak sulit dipercaya."

"Well, now forget Jaka." Rossa tersenyum lebar. "Tau apa yang seru dilakukan di jam-jam segini ketika lagi staycation?"

"Apa?"

"Keringetan bareng."

*

Jika dibandingkan sama hawa di Jakarta, suhu udara di Kyoto tergolong sejuk menuju dingin, tapi bukan tipikal yang terlalu dingin hingga bikin mereka repot sendiri karena mesti memakai baju yang berlapis-lapis.

Untungnya, pada hari pertama family trip Jenar di sana, cuacanya tergolong cerah tanpa terselingi oleh turunnya hujan. Mereka beruntung datang ke sana di bulan Februari, sebab musim semi baru saja dimulai dan plum blossoms telah mulai bermekaran. Plum blossoms sendiri mirip dengan sakura, tapi sebenarnya berbeda. Bunga sakura punya kelopak yang agak memisah di bagian ujung, sedangkan plum blossoms tidak. Tapi jika dilihat dari jauh, keduanya sama-sama indah dan mencipta suasana yang betul-betul berbanding terbalik dengan suasana di Indonesia.

Ini pertama kalinya Wuje kembali ke Kyoto, di usia yang sudah lebih besar di mana dia telah lebih bisa mengenali sekelilingnya. Anak itu nggak henti-hentinya ternganga ketika Jenar menggandengnya melangkah di bawah rentangan dahan plum blossoms yang sarat bunga. Lalu, ketika angin bertiup dan ada kelopak yang berjatuhan, Wuje buru-buru mengulurkan tangan ke udara untuk menangkap salah satu.

"Papa! Dapet ini!"

"Mm-hm. Apa tuh?"

"Bunga."

Rei tertawa. "Cantik?"

Wuje mengangguk. "Cantik."

Jawaban Wuje bikin Rei dan Jenar sama-sama tersenyum, hingga detik berikutnya, Wuje melakukan sesuatu yang nggak kedua orang tuanya terka sama sekali; dia memasukkan bunga plum blossoms di tangannya ke mulut.

"Wuje—"

Muka Wuje mengerut seketika, sebelum dia melepehkan bunga dalam mulutnya. "Nda enak..."

"Emang bukan makanan, Nak."

"Mau mam, Mama."

"Makan apa?"

"Mam enak."

"Yuk, cari mam enak." Jenar mengulurkan tangannya, yang balik Wuje gandeng.

Mereka meneruskan langkah, hingga berhenti di sebuah kios pinggir jalan yang menjual taiyaki. Taiyaki adalah street food khas Jepang, berupa kue berbentuk ikan yang diisi beragam fillings. Kali ini, mereka membeli yang isi custard. Setelahnya, ketiganya berhenti untuk duduk sejenak di sebuah bangku kayu yang berada di tepi jalan, tepat di bawah rentangan dahan plum blossoms.

"Wuje," Jenar memanggil ketika anaknya lagi sibuk mempreteli bagian kue ikan pakai jari—yang lalu bagian pretelan tersebut akan dia masukkan ke mulut.

"Hng?" Wuje menoleh ke arah Jenar sambil mengunyah.

"Mama ulang tahun loh kemarin-kemarin."

"Lang taun?"

"Iya."

"Kayak aku ya?"

"Iya."

"Kok nda ada kue?"

"Ada nih, kue ikan." Rei menunjukkan taiyaki di tangannya.

"Bilang sama Mama, gih."

"Bilang apa?"

"Selamat ulang tahun, Mama."

"Hng..." Wuje justru melongo, tampak bingung.

"Kok malah diem?"

"Hng..." muka Wuje makin bingung dan kini anaknya melongo, memasang ekspresi layaknya mahasiswa kurang belajar yang lagi ditanyai dosen.

"Mamanya nungguin loh itu." Jenar terus saja meledek.

"Hng........."

"Je, anaknya jangan diledekin terus! Nanti nangis!" Rei berkata, membuat Jenar terkekeh.

"Salahin anaknya harusnya, kenapa mukanya polos banget gitu. Aku kan jadi makin seneng ngeledekin." Lelaki itu tersenyum lebar, mencetak lesung pipi nan dalam di wajahnya, sebelum dia berpaling pada Rei yang duduk di sebelahnya dan berkata. "But happy birthday, Love of my Life."

"Happy birthday to you too."

"Kok nggak pake Love of my Life juga sih?" Jenar protes.

"Kan Love of my Life cuma..." Rei berpaling pada Wuje yang sekarang ternganga menyaksikan interaksi kedua orang tuanya. "... Arganata aja. Iya kan, Sayang?"

"Hng?"

"Too bad, the love of your life can't do this—" Jenar merunduk, mencium Rei di pipi tanpa bilang-bilang.

Rei memekik terkejut. "Jenar! We're in public."

"So what? They know we're in love."

"Ck."

"Mama..." Wuje memanggil.

"Mm-hm?"

"Mau cium juga..."

"Wuje mau dicium?"

Wuje mengangguk.

"Sini deh, cium."

Wuje melepaskan begitu saja kue di tangannya, yang dengan cekatan langsung Jenar ambil alih sebelum jatuh ke bawah bangku yang mereka duduki. Anak itu berpegangan pada bagian depan baju Rei agar bisa berdiri, kemudian dia merunduk, mencium ibunya di bibir sebelum lanjut memeluk leher Rei.

"Wuje sayang Mama nggak?" Jenar bertanya.

Wuje mengangguk sambil masih memeluk leher ibunya.

"Mana? Jawabannya nggak kedengeran."

"Sayang."

"Bilang dong ke mamanya."

"Mama..."

"Iya, Sayang?"

"Uje sayang Mama." 

to be continued

***

Ayah, kakak, adek

Papanya Wuje di Kyoto

Kue ikan

***

a/n:

chapter ini lebih lama naiknya karena tiga harian ini, gue gak enak badan banget wkwkwk (makasih buat semua yang gws gws in wkwk jujur gue rada malu tapi ya gimana ya kalo gak memberitahu nanti terkesan menghilang tanpa kabar cailaaaaaaaaa sok penting lu ren) 

dah ya kayanya yang tinggal dikasih teaser sedikit di timeline yang ini adalah milan-sakura. problem lainnya nanti, beberapa tahun lagi. 

btw yang nebak anaknya  johnny sama gia gak lahir, suuzon aja dih 

lahir kok 

tapi.... 

ya gitu deh. 

sampai ketemu di chapter selanjutnya. 

ciao. 


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top