30 | yuta ngungsi

Rossa terdiam sejenak, sementara Wirya masih menatapnya penuh harap.

Lalu, dia menarik napas, sedangkan Wirya tampak mulai gugup.

"Gue nggak ngerti maksudnya, Wirya."

"Ayo kita pacaran—"

"Gue paham yang itu." Rossa memotong. "Yang gue nggak ngerti adalah ketika lo bilang untuk nggak membiarkan siapapun ikut campur selain kita berdua. Nggak pake mikirin apa kata orang. It sounds too good to be true, you know?"

"Gue tau." Wirya membenarkan, lalu menyambung. "Lo tau ekspektasi-ekspektasi apa yang dipunya keluarga gue buat lo, tapi gue nggak tau ekspektasi-ekspektasi apa yang lo punya untuk pasangan lo. Boleh gue tau?"

"Are we talking about ideal type here? Cause if we are, then you already know very well that you're my type." Rossa tersenyum, ada geli melekati suaranya, yang bikin dia terkesan kayak lagi bercanda.

Wirya menggeleng. "Bukan itu. Let me ask you ya? Apa lo mengharapkan pasangan yang bisa lo nikahi dalam waktu dekat?"

Rossa terkekeh. "Gue nggak ada rencana mau menikahi siapapun dalam waktu dekat. Not even you."

"Lo tau, kita bebas punya hubungan tanpa melibatkan keluarga selama kita nggak masuk ke fase di mana secara etis, kita mesti melibatkan keluarga."

"..." Rossa sontak membisu.

"Be with me? Tanpa mikirin ekspektasi dari siapapun kecuali kita berdua."

"Wirya, lo anak cowok satu-satunya dari keluarga gue—"

"So what? I'd rather have nothing than anything else but you."

Lagi-lagi, Rossa kehabisan kata-kata.

"Roseanne, give me a chance. Please?" Wirya memandang Rossa dengan tatapan penuh permohonan.

Rossa bingung sejenak, tetapi ketika dilihatnya Wirya tampak mengambil ancang-ancang untuk bertekuk lutut, perempuan itu buru-buru berkata galak dan penuh penekanan. "Wirya, kalau lo sampai berlutut di sini, gue nggak akan mau ketemu lo lagi untuk yang seterusnya!"

Wirya mengerjap. "Tau dari mana kalau gue mau berlutut?"

"Ketebak!" Rossa sewot.

"Yaudah, kalau gitu kasih gue jawaban lo."

Rossa membuang napas. "Lo nggak akan pernah berhenti ya?"

"It's been years. Kalau gue bisa terus mengejar lo selama bertahun-tahun ini tanpa sekalipun jalan sama cewek lain, menurut lo, gue bisa berhenti?"

"Mungkin."

"Rem gue udah blong. Gue nggak bisa berhenti sekalipun gue mau."

"Silly."

"Better be silly than be cruel." Wirya membela diri.

Rossa menelan saliva, lalu berujar dengan nada hati-hati. "Just us? No one else?"

"No one else."

Rossa nggak tau pasti, apakah hubungan macam itu bisa bekerja. Dia belum pernah melihat contoh nyata hubungan yang seperti ini sebelumnya. Orang-orang terdekatnya punya timeline hidup yang lebih 'pasti'. Ada yang pacaran, menikah, lalu punya anak seperti Jella atau Rei. Ada juga yang memutuskan nggak menikah sama sekali. Tapi hubungan seperti ini... dengan seseorang yang juga adalah anak tunggal laki-laki satu-satunya dalam keluarga...

Rossa nggak tau, apa hubungan macam ini bisa berhasil atau nggak.

Namun mendapati Wirya berdiri di sana, menatapnya dengan sorot mata sarat harap, Rossa tau, dia nggak akan bisa melontarkan jawaban lain.

Dia nggak bisa melukai perasaan Wirya lebih dari yang sudah dia lakukan selama ini.

Terutama, saat hatinya nggak pernah sekalipun berhenti menyayangi Wirya.

"Oke."

Wirya memburu, merasa butuh kepastian lebih. "Oke apa?"

"Ayo pacaran, sesuai dengan kata-kata lo tadi. Tanpa melibatkan siapapun, kecuali kita berdua. Nggak pake melibatkan keluarga."

Apa yang Wirya lakukan selanjutnya nggak Rossa terka sama sekali.

Lelaki itu merengkuhnya, menariknya ke dalam dekapan hangat. Ada deru dalam dadanya, bergemuruh kencang layaknya gunung es yang tiba-tiba runtuh. Jemari Wirya tenggelam di rambutnya, napas lelaki itu terembus di dekat telinganya.

Aneh sekali.

Untuk pertama kalinya dalam sekian tahun, Rossa merasa menemukan tempat yang selama ini dia rindukan.

Tempat yang familiar dan terasa aman.

Tempat yang kerap diumpamakan seseorang sebagai rumah.

Jauh dalam hatinya, dia berharap kalau apa yang dibisikkan benaknya itu bukan hanya angan, tapi definisi dari kenyataan.

Bahwa dekapan Wirya, memang tempat yang ditakdirkan buatnya untuk pulang.

*

Nggak butuh waktu lama buat Yumna untuk tahu dampak dari tindakan impulsif Yuta yang main crypto tanpa kira-kira.

Bukannya Jella mau ikut ngerusuhin rumah tangga orang, cuma menurutnya, apa yang Yuta lakukan itu sudah parah banget. Bisa-bisanya Yuta main crypto sampai puluhan juta tanpa memberitahu istrinya. Idealnya, dalam rumah tangga, urusan finansial terutama yang sifatnya "milik bersama" kayak tabungan keluarga itu mesti didiskusikan bareng. Bukan sepihak doang. Kalau kayak gini, urusannya kan jadi runyam.

Ibarat kata, Yuta yang mainan selang air, Yumna yang lagi diam saja turut-serta kena cipratannya. Mending kalau hanya cipratan. Dengan kasus yang sebesar ini, menurut Jella, Yumna lebih pantas dibilang kena siraman.

"Tapi kalau Yumna marah gimana, Jella?" Tigra terlihat khawatir sehabis Jella memberitahu Yumna.

Dia agak takut kalau Yumna kelewat batas. Kan nggak lucu kalau besok pagi, Yuta masuk koran lampu merah dengan tulisan headline; PERKARA CRYPTO SUAMI BANJIR DARAH, KESABARAN ISTRI TINGGAL SETENGAH. ISTRI KZL LALU SUAMI DIHAJAR PAKAI GALON AKUA, MATI.

"Nggak usah pake tapi, Ti. Emang pasti bakal marah!"

"Kasihan Yuta loh."

Mata Jella menyipit tajam ketika dia menoleh pada suaminya, bikin Tigra tersentak sedikit di tempat duduk. "Jangan-jangan, kamu main crypto juga ya!?"

Tigra langsung beranjak, nyaris bersumpah. "Demi Tuhan, nggak, Jella!"

"Bagus. Soalnya kalau kamu main crypto tanpa bilang-bilang aku dulu, kamu bakal aku larang ketemu Cherry seminggu penuh."

Tigra meneguk saliva.

Jella ini jarang banget nyolot apalagi marah, paling ngomel-ngomel dikit—dan kata Jenar, itu wajar soalnya Rei pun begitu. Nggak tau kenapa, begitu nikah, konon katanya bakat perempuan untuk merepet panjang-pendek jadi teraktivasi dengan sendirinya. Mereka jadi lebih bawel kalau dibandingkan mereka sebelum jadi istri atau ibu.

Jadinya, Tigra hanya bisa memantau dari grup WhatsApp.

pejantan tangguh (8)

tigra: kacau

tigra: bini gue ngasih tau bininya yuta

lanang: kalo gini ceritanya, bukan cuma crypto chart bang yuta yang kritis

lanang: nyawanya bang yuta juga ikut kritis

kun: ini gimana ya

kun: kita mesti apa?

jenar: bentar, gue tanya

jenar: yut, lo mau dikubur secara apa? @yuta

dhaka: orang lagi susah lo ketawain @jenar

jenar: kayak lo gak pernah ngetawain orang susah aja @dhaka

dhaka: woiya

johnny: tapi yuta kasihan juga ya

dhaka: jangan kasian-kasian doang

dhaka: pinjemin duit tuh

lanang: kenapa gak lo aja bang yang minjemin bang yuta duit? @dhaka

dhaka: lo pada ngaca lah

dhaka: di sini banyak yang lebih tajir daripada gue

dhaka: anak gue dua

dhaka: anak lo-lo pada baru satu

dhaka: johnny baru mau otw jadi bapak

dhaka: mau ditaro mana muka lo-lo pada kalau gue yang minjemin yuta duit?

jenar: halah

tigra: tuy @yuta

tigra: aduh

tigra: yuta gak read nih dari tadi.

tigra: gue khawatir beneran.

lanang: sama :)

lanang: *:(

lanang: sori, salah emot

dhaka: gue jadi ikut-ikutan khawatir

dhaka: sampis-sampis gitu, kwinsa masih butuh bapaknya

kun: tumben, biasanya lo suka sewot sama queensha @dhaka

dhaka: justru itu

dhaka: ADA BAPAKNYA AJA LIAR

dhaka: APALAGI KALAU GAK ADA

johnny: tp btw dari tadi, milan juga belum nongol

johnny: dia gak read

jenar: apa dia udah ke rumah yuta duluan?

kun: minta maaf lo semua sama milan

kun: dia sering dikatain di sini

kun: tapi pas ada masalah sama anggota grup, dia gercep bertindak

dhaka: KAYAK LO GAK SUKA LEDEKIN DIA AJA, NYET @kun

kun: gue kan bercanda doang

dhaka: muncung bapak kau bercanda

tigra: apa kita ke tempatnya yuta aja?

tigra: lo paham kan mereka berdua ganas banget

tigra: dulu pas mau balikan aja, bikin satu jalan macet dua jam penuh

lanang: pas mau nikah juga tuh

lanang: bang yuta masuk rumah sakit

lanang: takut gue kalau kali ini bang yuta gak selamet :)

lanang: *:(

lanang: maap salah emot lagi

jenar: yaudah yuk ke tempatnya yuta

johnny: sekarang?

dhaka: kagak, besok @johnny

dhaka: YAIYALAH SEKARANG

dhaka: kalau besok, yuta udah keburu jadi bangke duluan

johnny: oke

jenar: pada jalan nih ya?

dhaka: gak

dhaka: naik mobil

dhaka: yakali jalan ke rumah yuta

dhaka: meninggal aja

jenar: YE MAKSUDNYA ITU PAK @dhaka

jenar: nyolot banget ini karburator ninja @dhaka

tigra: gue siap-siap

kun: gue solat isya dulu ya

tigra: tuh lo berdua juga solat dulu sono @lanang @dhaka

dhaka: gak usah dikasih tau gue mah

lanang: nitip, bang @kun

kun: nitip apaan?

lanang: wakilin solat

dhaka: goblok

lanang: AWOKWKWKWKWK

jenar: oke, gue manasin mobil

lanang: btw, ini butuh bawa ustadz gak?

dhaka: hah buat apaan?!

lanang: kali aja kak yumna bakal butuh di-rukyah saking kalapnya

jenar: bawa aja buat jaga-jaga.

dhaka: emang setan crypto mempan di-rukyah?

*

Sepanjang perjalanan dari Indomaret ke apartemen Milan, nggak ada dari mereka yang bicara. Untungnya, jarak Indomaret-nya dekat, jadi Milan yang terlalu malas mengeluarkan mobil dari basement memutuskan jalan kaki. Sakura nggak bawa mobil hari ini, karena terhalang aturan ganjil-genap. Coba kalau Milan bawa mobil, Milan pasti akan jadi yang menyetir, terus Sakura duduk di sampingnya.

Ujung-ujungnya, dia justru bakal flashback ke hari-hari ketika mereka masih suka pulang-pergi kantor bareng.

Bergantian, satu hari Sakura yang jemput, lalu keesokan harinya Milan, kemudian siklus itu berlanjut.

Terus terang, kalau ditanya suka atau nggak sama Sakura, Milan akan jawab dia suka. Meski demikian, menurut Milan, ada batas-batas yang jelas antara kagum, suka, sayang dan cinta. Milan baru berada di tahap suka. Sakura itu baik—di luar tindakannya ngejadiin Milan alat untuk bikin Alfa cemburu—juga teman ngobrol yang asyik. Selera musik dan film mereka juga nyambung. Soal cantik, nggak perlu ditanya lagi.

Tapi setiap Milan lihat Sakura, dia nggak bisa mengusir pikiran itu dari benaknya.

Pikiran kalau dia cuma cowok yang Sakura manfaatkan untuk bikin jealous lelaki lain—dan parahnya, laki-laki itu juga sudah menikah.

Mereka berjalan beriringan berdua menyusuri trotoar, hingga tiba-tiba, Milan menarik lengan Sakura. Tubuh Sakura tersentak mundur dan bahunya menabrak lengan Milan. Sakura memekik kecil, tapi cukup untuk bikin Milan khawatir kalau dia baru saja melukai perempuan itu secara nggak sengaja.

"Lo nggak apa-apa?!"

"Eh—hng—nggak apa-apa." Bahu Sakura agak sakit karena membentur lengan Milan dengan cukup keras. Tapi dia terlalu canggung buat mengusapnya. Milan yang nggak menyadari itu refleks saja menyentuh bahu Sakura, mengusapnya pelan.

Sejenak, mereka saling diam.

Terus Milan batuk-batuk awkward seraya melepaskan lengan Sakura. "Sori, tadi ada lubang di trotoar. Takutnya nggak kelihatan, soalnya bagian lubangnya rada gelap karena nggak kena cahaya lampu jalan. Gue takut kaki lo nyemplung."

"Oh—hng—iya, makasih."

Kecanggungan itu nggak kunjung mencair hingga mereka tiba di apartemen Milan. Milan berlagak menunjukkan kamar tamu yang bakal ditempati Sakura malam ini, lalu tergesa melesat ke kamarnya sendiri. Dia kembali lagi dengan kaos longgar dan celana piyama miliknya sendiri nggak lama kemudian.

"Just in case... lo mau pake baju tidur yang lebih nyaman."

Sakura menatap sejenak pada kaos dan celana piyama yang Milan sodorkan, membuat Milan seketika diserang déjà vu.

Dulu, reaksi serupa juga Jella tunjukkan pada kali pertama perempuan itu menginap di tempatnya. Milan bukan tipe cowok yang bisa punya inisiatif meminjamkan bajunya pada perempuan, sekalipun perempuan itu adalah pacarnya. Kadang, dia suka nggak ngerti kenapa Jenar ngebiarin Rei (yang mana saat itu mereka masih pacaran) mengutil isi lemari Jenar. Jella memahami itu, makanya dia nyaris nggak pernah meminjam baju Milan.

Namun malam itu sempat hujan dan baju Jella basah.

"Milan, lo mikirin sesuatu?"

Suara Sakura menyentak Milan, menariknya kembali ke kenyataan. Dia cepat-cepat menggeleng. "Nggak kok."

"Oke..." ragu, Sakura menerima kaos dan celana piyama dari Milan. "Makasih banyak ya. Maaf ngerepotin."

"Nggak apa-apa."

"..."

"..."

"Milan."

"Iya?"

"Kayaknya gue mandi dulu aja kali ya?"

"Oh... oke..." Milan menggaruk lehernya yang nggak gatal, lantas berjalan menuju pintu kamar dan meninggalkan Sakura sendirian di kamar.

Di depan televisi, Milan merutuki dirinya sendiri dalam hati sambil memasang batre yang tadi dia beli ke remot.

Bisa-bisanya, dia setegang itu di depan Sakura.

Tapi kalau diperhatikan, setelah beberapa lama nggak melihat Sakura (alasan utamanya karena Milan memang menghindari perempuan itu), dia baru sadar kalau penampilan Sakura agak berbeda dibanding beberapa bulan lalu.

Rambut Sakura nggak lagi di-cat cokelat terang, melainkan telah sepenuhnya jadi hitam dan sudah tumbuh panjang, melewati dada. Poni tipisnya turut memanjang, yang dia sisir ke samping, bikin jidatnya cukup terekspos dengan wajah terbingkai helai rambut yang jatuh halus. Perubahan yang cukup bikin Milan pangling. Dia bertanya-tanya, apa perubahan itu ada hubungannya sama Alfa.

Milan sedang duduk bersila di atas sofa sambil memegang mangkuk berisi koko krunch yang tenggelam dalam susu vanilla hangat ketika Sakura keluar dengan handuk tersampir di pundak. Kaos dan celana Milan melekat di badannya, membuatnya tenggelam. Milan melongo sejenak dengan mulut penuh koko krunch.

"Something wrong?"

Milan mengerjap, terus menggeleng. "Hng... nggsk—" Milan sadar dia kelihatan tolol banget sekarang, makanya dia segera mengunyah makanan dalam mulutnya dan menelannya cepat-cepat hingga hampir tersedak. "Butuh hairdryer?"

"Nggak perlu. Kalau keseringan kena panas, nanti rambut bisa rusak."

Milan membuang napas, terus menunjuk mangkuk di tangannya. "Mau koko krunch? Kalau nonton bola bareng, gue sama Jenar suka ngemilin koko krunchcrap, kenapa juga gue ngomongin soal Jenar?!" Milan geli sendiri.

Sakura menarik senyum tipis. "Nggak usah. Makasih."

Milan memiringkan wajah. "Rambut lo berubah."

"Oh ya? Hng... iya."

"..."

"Jelek ya?"

Milan menggelengkan kepala, sementara Sakura duduk di atas karpet, berjarak sedikit dari Milan yang bersila di atas sofa. "Bagusan gitu."

"Really?"

Milan menganggukkan kepala.

"Gue juga lebih suka gini. Gue nggak pernah suka kudu ke salon tiap bulan cuma buat retouch rambut dan poni."

"... kalau nggak suka, kenapa dilakuin?"

"Because he likes it."

Milan nggak perlu penjelasan lebih soal siapa 'he' yang dimaksud Sakura.

"Oh..."

"Dia lebih suka rambut gue cokelat, dipotong sebahu, pake poni."

Milan batal menyuapkan sisa koko krunch di mangkuknya, justru meletakkan mangkuk tersebut di atas meja. "Lo sama Alfa... I don't know... gue dengar dia cerai sama istrinya?"

Sakura mengangguk. "I heard that too."

"Dan lo—sori." Milan batal bertanya. "Nggak usah dijawab. Anggap aja gue nggak pernah nanya. Tadi gue cuma salah ngomong."

"I broke up with him, Milan."

"Kenapa? Bukannya sekarang udah nggak ada lagi rintangan buat hubungan lo sama dia?"

"Gue nggak ngerasa gue bisa sama-sama dia lagi." Sakura mengedikkan bahu, lalu bibirnya menyunggingkan senyum pahit. "Gue banyak berpikir selama beberapa bulan ini, terutama setelah gue sering pulang-pergi kantor sama lo. Somehow, pertanyaan-pertanyaan itu muncul dalam kepala gue. Kayak... apa iya seseorang yang sayang gue bakal membiarkan gue menyandang status yang sering jadi bahan cemooh orang banyak selama bertahun-tahun? Apa iya, dia lebih memilih menyembunyikan keberadaan gue ketimbang ngambil resiko untuk ngasih tau dunia soal perasaannya buat gue? Butuh waktu lama banget buat gue untuk mengakui ke diri gue sendiri, kalau nggak seharusnya seperti itu."

Milan membisu, tak tahu harus membalas apa.

"Gue rasa, gue udah lama tau. Cuma, gue yang nggak cukup berani buat mengakui. Dan untuk itu, gue mau minta maaf sekaligus bilang terimakasih sama lo."

"... terimakasih?"

"Maaf, karena gue sudah mencoba memperalat lo dan kebaikan lo. Makasih, karena dengan sering pulang-pergi kantor dan ngehabisin waktu sama lo, gue sadar, di luar sana ada banyak cowok yang bisa nge-treat gue lebih baik."

"..."

"He's my first love. I have no idea tentang gimana cara laki-laki sayang sama seseorang kecuali gimana dia sayang ke gue. Kayak... ketika seseorang lebih sering dikasih pisau, saat akhirnya dia dikasih bunga, dia bakal butuh waktu mengenali bunga itu. Sebab dia nggak terbiasa. Tapi setelah dia paham, dia akan tau kalau bunga itu jauh lebih baik dari pisau."

Milan menelan saliva. "Glad to hear that."

"Apa lo udah maafin gue?"

Milan mengangguk.

"Makasih banyak."

"Lo udah bilang ke dia? Kalau lo nggak mau getting together sama dia."

"Udah."

"And then?"

"Dia masih maksa ketemu gue, nunggu di apartemen gue. Makanya, gue memilih untuk nggak pulang dulu."

"I think he won't stop."

Sakura mengangguk. "Dia udah hampir resmi cerai dari istrinya, menurut apa yang gue dengar. Gue nggak melihat tanda-tanda dia bakal bosan dalam waktu dekat."

"I can help you, you know."

Sakura mengerjap. "What?"

"Gue rasa, laki-laki kayak dia nggak akan berhenti, unless, dia dibikin patah semangat tiba-tiba."

"Dengan cara?"

"Lo punya pacar baru."

Tawa Sakura meledak. "Menarik. Shall I get on Tinder again?"

"That's why I said I can help you."

"Hm?"

"Gue bisa pura-pura jadi pacar lo di depan Alfa."

*

Situasi di rumah Yuta sudah sangat serius ketika para bapak-bapak grup Pejantan Tangguh tiba di sana.

Mereka baru saja turun dari mobil ketika Yuta keluar dari rumah sambil lari tunggang-langgang. Yumna mengejar di belakangnya seraya membawa galon kosong yang nggak tahu dicabutnya dari dispenser mana. Muka Yuta sudah pucat pasi. Rambutnya berantakan. Dia hanya mengenakan kaos singlet warna hitam dan bokser bermotif Doraemon.

"ATUY!! ANJENGGGG!! ATUY!!! SINI LO!!!"

Secepat kilat, Yuta buru-buru berlindung di balik badan Jenar. Dalam hitungan detik, Jenar telah terjebak di medan perang tanpa dia niatkan. Yuta bertahan di belakangnya, berpegangan pada bagian punggung kemejanya, sementara Yumna ngamuk, berusaha menyingkirkan sambil mencengkeram bagian depan kemejanya.

"YUTA!! SINI LO!! YUTA!!"

Jenar sering ngerasa kalau repetan dan omelan Rei tuh kerap bikin puyeng kepala, tapi kalau dibandingkan sama teriakan menggelegarnya Yumna sekarang, betulan deh Jenar mending diomelin Rei satu jam daripada diteriakkin Yumna semenit.

"Ngomong anjingnya jangan ke gue dong!!" Jenar protes.

"LO MINGGIR!!"

"... Yumna, sabar. Kita bisa beresin ini baik-baik."

"ILANG ENAM PULUH JETI, MANANYA YANG BISA GUE BICARAIN BAIK-BAIK COBA HAH?!" Yumna membentak. "Jenar, ini gue masih baik ya karena lo lakinya temen gue, tapi kalau lo masih terus ngotot ngelindungin itu kunyuk satu—"

Jenar memotong dengan sepenuh napsu. "SIAPA YANG NGOTOT MELINDUNGI, ANJIR?! DIANYA PEGANGAN AMA BAJU GUE!!"

"MINGGWIIIIRRRRRR!!"

"Kak, istigfar, Kak!" Lanang berteriak sambil pakai helm—yang nggak tau dia dapatkan dari mana, berhubung dia datang kesana disupiri Hendra.

"LO NGGAK USAH BANYAK BACOT, NANG!!"

Lanang kicep seketika.

"AMPUN, RO!! AMPUN!! NGGAK LAGI-LAGI!! SUMPAH!!"

"Gimana mau lagi-lagi kalau lo udah gue bikin almarhum duluan, hah?!!"

Jenar stress berat. Mana kemejanya ditarik-tarik dahsyat dari dua penjuru. Di bagian belakang, ditarik Yuta yang masih ngotot berlindung. Di bagian depan, ditarik Yumna sampai ada kancing yang nyaris copot. Menyaksikan keributan itu, Johnny dan Kun selaku orang-orang terwaras di circle pertemanan mereka pun saling pandang. Mereka lalu memberi kode pada Tigra melalui tatapan mata, yang Tigra balas dengan anggukan.

Sedetik kemudian, Johnny telah menarik Yuta hingga pegangan tangan Yuta dari kemeja Jenar terlepas diikuti bunyi breeettttt yang khas. Yuta melotot, mau protes, namun Johnny dan Kun segera menggeretnya menuju mobil Kun.

Yumna makin kalap.

Tigra yang sudah sepakat dengan Johnny dan Kun lantas mengorbankan dirinya sendiri untuk menahan Yumna hingga mobil Kun melaju pergi dari sana. Malangnya, Jenar yang nggak ikutan setuju ikutan jadi tumbal. Mana kayaknya Yumna lebih napsu narik baju Jenar daripada bajunya Tigra. Otomatis, ketika akhirnya Yuta dibawa pergi, Jenar telah berada dalam kondisi yang memprihatinkan.

Kalau bajunya Tigra hanya sebatas kusut gara-gara diremek-remek, maka Jenar harus pasrah tampak serupa gelandangan dengan dua kancing kemeja yang sudah terlepas dan bagian jahitan samping kemeja yang telah robek. Lengannya memerah. Dadanya juga. Tampak jelas di kulitnya yang terang.

Yumna mendesis kesal, kemudian masuk lagi ke dalam rumah tanpa bilang apa-apa, meninggalkan Lanang yang melongo dengan helm masih bertengger di kepala, Hendra yang jadi pengamat di dekat mobil, Dhaka yang berlindung di balik pagar sambil minum jus kotakan dan Tigra serta Jenar yang napasnya ngos-ngos-an.

"Bang, edan banget, lo kayak barusan bertempur sama macan." Lanang berujar pada Jenar.

"Emang barusan diuwel-uwel siluman macan!!" Jenar sewot.

Setelah Tigra memastikan pada Johnny dan Kun jika Yuta sudah dibawa ke tempat yang aman, mereka pun membubabarkan diri dari halaman rumah Yuta.

Sesuatu yang nggak Jenar terka adalah...

... ternyata tempat yang aman yang dimaksud Johnny dan Kun itu... adalah rumahnya sendiri.

Iya, rumahnya. Istana keluarga kecilnya. Tempat di mana Wuje dan Regina berada.

Jenar bete banget ketika dia masuk ke ruang tamu rumah dan mendapati Yuta sedang duduk dengan selimut tersampir di bahu dan tangan memegang cangkir teh manis—yang pasti dibuatkan oleh Rei.

"NGAPAIN ELU DI SINI?!!" Jenar hampir emosi.

"Je, kita bisa jelasin—" Kun mau bicara, tapi sudah diputus ketika Jenar menghambur mendekati Yuta dan memaksa merebut sehelai selimut yang tersampir di bahunya.

"INI KAN SELIMUT YANG DIBELIIN BINI GUE BUAT GUE!! BISA-BISANYA LO PAKE!! BALIKIN!!"

Rei muncul dari arah ruang makan diikuti Wuje yang melangkah sambil minum susu kotak pakai sedotan. "Jenar, kamu kok childish banget—ASTAGA, BAJU KAMU KENAPA?!"

"Kelakuan bininya dia!!"

"Ya ampun..." Rei mendekat, mengecek dada dan lengan Jenar yang merah. "Bisa sampe merah gini..."

"Temen kamu buas banget."

Rei mengembuskan napas, terus bilang ke Wuje yang setia mengikutinya kayak anak ayam mengekori induk ayam. "Wuje, jagain papanya bentar ya?"

Bocah dua tahun itu melepaskan mulut dari sedotan. "Jaga Papa?"

"Iya."

Wuje pun mengangguk, ganti melangkah mendekati ayahnya seraya lanjut menyedot susu, terus dilanjut bertanya. "Papa napa?"

"Abis ketemu orgil." Jenar menyahut asal.

"Olgil?"

Rei muncul lagi, bawa kaos yang langsung dipakai Jenar.

Setelahnya, mereka rembukan sejenak. Dalam situasi panas kayak sekarang, jelas Yuta nggak mungkin pulang ke rumah. Yuta juga salah sih, cuma kalau nasi sudah menjadi bubur seperti ini, mau diapain lagi? Untuk sementara, Yuta nggak bisa balik dulu. Jadi deh, mereka berdiskusi, kira-kira Yuta akan stay sementara di mana.

Pilihan akhir jatuh di tempat Jenar, karena Dhaka menolak. Kata Dhaka, rumahnya nggak punya kamar lebih. Anak-anaknya juga pecicilan. Apalagi yang satu masih orok, jadi kerjaannya nangis melulu. Lanang sempat menawarkan, tapi Yuta nolak, soalnya nggak enak hati sama Delta. Stay di tempat Johnny jelas nggak mungkin, nanti Yuta bakal ngerasa kayak pembantu dadakan. Kalau di tempat Kun... nggak deh, sejak dengar cerita Sheza soal kuntilanak merah yang bisa ngaji, Yuta sudah parno duluan sama rumah Kun. Kalau di tempat Tigra, yang ada Yuta jadi korban semprotan Jella. Sempat kepikiran di tempat Milan, tapi ditelepon pun orangnya nggak ngangkat.

Ujung-ujungnya di tempat Jenar.

Jenar sempat sini. "Lo nggak ngerasa nggak enak gitu sama istri gue?"

"Regina baik." Yuta menukas. "Dateng-dateng aja dia langsung bikinin gue teh. Dia orangnya juga nggak emosian. Kalau di tempatnya Tigra, gue takut nyawa gue terancam."

Tigra manggut-manggut setuju.

Untungnya, rumah Jenar gede sih, jadi ada banyak kamar yang bisa Yuta tempati.

Solusi sementara sih begitu.

Dikarenakan hari sudah malam, selepas mereka semua makan malam—all thanks to jasa delivery makanan—anggota grup Pejantan Tangguh pun pada membubarkan diri.

"Je, buat besok, gue boleh pinjem work attire lo nggak? Ukuran badan kita kan nggak jauh beda tuh."

"Idih." Jenar ketus.

"Je, jangan gitu! Work attire kamu kan banyak." Rei membuang napas, terus menoleh ke Yuta. "Ada kriteria warna khusus?"

"Abu-abu atau item aja sih."

"Oke, nanti gue siapin ya."

"NGAPAIN KAMU SIAPIN." Jenar menyambar. "Dia bukan suami kamu. Nggak ada siap-siapin!" Jenar menyambungnya dengan mengomel.

"Siap-siapin!!" Wuje meniru kata-kata ayahnya.

"Jenar, jangan ngomel gitu di depan Wuje. Dia kan lagi rajin-rajinnya nge-beo omongan orang." Rei berkata seraya mengusap kepala Wuje. "Udah malem juga. Wuje, bobo yuk?"

"Yuk!" Wuje membalas.

Nggak lama kemudian, Yuta pun masuk ke kamarnya yang memang sudah rapi. Tadi waktu para pria lagi makan, Rei telah mengganti seprei kasur dan menyediakan selimut di sana. Meski seringnya kosong, kamarnya berperabot lengkap, kayak kamar hotel. Yah, namanya juga orang kaya.

Terus terang, Yuta sempat amaze sih, karena di rumah sebesar ini, nggak ada asisten rumah tangga yang menginap. Kata Jenar, selalu ada orang yang datang seenggaknya seminggu dua kali untuk bersih-bersih bagian rumah yang jarang mereka gunakan dan otomatis nggak sempat Rei bersihkan. Sebulan sekali, tukang kebun khusus buat merapikan halaman belakang yang luasnya minta ampun. Kalau security sih, ada di pos depan kluster.

Rei melakukan semuanya sendiri—mulai dari siapin sarapan, bekal makan siang, lalu makan malam untuk suaminya, ngurus anaknya, mastiin work attire sama dasinya Jenar siap dipakai setiap pagi, ngatur urusan bayar-bayar utilitas kayak listrik, air dan sebagainya.

Tentu, Yuta nggak meragukan kalau perempuan itu bisa jauh lebih multi-tasking daripada laki-laki, tapi kalau ingat gimana Rei ketika kuliah dulu, Yuta nggak mengira jika perempuan itu mau sebegitunya memberikan nyaris seluruh waktunya buat ngurus keluarga.

Yuta lagi berbaring di atas ranjangnya ketika dia mencium aroma melati.

Aneh banget.

Yuta mengangkat alis, menatap pada aroma terapi yang ditinggalkan di atas nakas. Perlahan, lelaki itu meraihnya, terus mengendusnya. Wangi, tapi bukan wangi melati.

Lalu, dari manakah harum bunga itu berasal?

Yuta memiringkan wajah, hingga dia mendengar bunyi decitan dari atas lemari.

Refleks, Yuta memandang ke atas lemari.

Ada perempuan berwajah pucat sedang duduk di sana dan balik nyengir padanya. 

to be continued

***

"Ti, liat sini."

"Je, liat sini."


***

a/n:

kasian yuta :(

lepas dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya :( 

dah ributnya alfa sama milan chapter depan yah. 

wkwkwk

met malem. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top