3 | ngidam
Tentang Tigra dan Jella, kalau harus jujur, Rei juga kaget banget.
Kayak... loh, kok tau-tau Jella sama Tigra mau nikah dan nikahnya bukan karena terpaksa, melainkan karena mereka memang mau, terus Rei nggak ada bayangan apa-apa soal itu? Tapi setelah Rei pikir lagi, selama setahun belakangan ini, dia memang lebih sibuk dari tahun-tahun sebelumnya. Ada banyak urusan di kantor yang mesti dibereskan, terutama karena Rei telah diberi kepercayaan lebih. Mungkin, karena dia tak lagi dipandang sebagai anak bawang sebab telah mampu membuktikan kinerjanya.
Dia masih berteman baik sama teman-temannya semasa kuliah, mau itu anak-anak selantai dua kosan Sadewo maupun anak-anak cowok kayak Tigra, Dhaka (duh, mereka sudah bersahabat selama belasan tahun, bisa-bisa Rei kena maki Dhaka kalau mereka jadi putus hubungan hanya gara-gara sudah lulus kuliah), Milan atau bahkan Wirya—yang lebih banyak menghabiskan waktunya di luar negeri. Di luar pekerjaannya sebagai kokoh-kokoh kaya-raya pemilik toko emas—yang kini sudah merambah ke bisnis dagang berlian—Wirya juga kerap menyutradarai film dokumenter yang mengangkat isu-isu serius
Tapi tentu saja, mereka tak bisa sering kumpul-kumpul kayak waktu masih kuliah. Ibarat kata, ya begitu gelar sarjana berhasil diraih, sama saja artinya dengan meninggalkan masa remaja dan menghadapi realita. Rei tergolong beruntung, sebab dia tidak perlu menanggung hidup siapa-siapa selain dirinya sendiri—dan tambahan lainnya, ada Jenar yang selalu mendukungnya. Namun belum tentu yang lain. Dan lagi, seiring dengan berkembangnya jaman, kebutuhan-kebutuhan yang mesti dipenuhi kian bervariasi. Waktu berlalu seperti sekelebat angin, tanpa terasa, weekend kembali bertemu weekend.
Rei merasa kayaknya terlalu canggung buat nanya langsung ke Tigra soal rencana pernikahannya dengan Jella, jadi dia iseng nge-chat Dhaka. Kali saja, yang clueless hanya dia dan anak-anak kosan Sadewo. Apalagi, setahu Rei, Dhaka tuh pernah berapa kali satu project dengan Tigra.
rei:
uy
dhaka:
nih cowok lo tau gak lo chat gue?
rei:
dhaka, kok responnya gitu? :(
dhaka:
takutnya lo lagi nyari selingkuhan.
rei:
HEH
dhaka:
canda, sayang.
kenapa?
rei:
lo udah terima undangan tigra?
dhaka:
udah.
rei:
kaget ngga?
dhaka:
kaget.
rei:
lo kayak ngga kaget.
dhaka:
OMG KAGET BANGET!!
rei:
tuh kan lebay.
dhaka:
ya kaget, tapi yaudah gitu loh.
emangnya kenapa?
rei:
buat gue, kayak unexpected bgt ngga sih?
tau-tau sama jella.
dhaka:
kalo lo gak rela tigra nikah sama yang lain, kenapa lo masih sama jenar?
rei:
GUE NGGA BILANG GITU.
dhaka:
kalo gak gitu, terus masalahnya apa, regina?
tigra cowok. jella cewek.
harusnya lo justru kaget kalau tigra nikahnya sama lanang.
rei:
tapi jujur ya?
did you see this coming?
dhaka:
gak. jujur.
rei:
gue bingung aja...
kapan mereka deketnya?
dhaka:
tahun kemaren kali.
waktu jella operasi usus buntu, yg nemenin kan tigra.
rei:
oh iya ya?
jella ngga pernah cerita.
dhaka:
ya gue juga tau karena pas gue besuk, lg ada tigra sih.
terus karena mereka kayak ketangkap basah gt, gue tanya.
cuma ya kayanya waktu itu blm pacaran.
rei:
oh...
dhaka:
tapi kalo lo sekepo itu, kenapa gak langsung tanya ke tigra aja?
rei:
gapapa, gue cuma curious aja.
dhaka:
pure curiousity kan?
bukan karena masih ada rasa yang tertinggal?
Tentu saja, Rei bisa menjawab tanya Dhaka itu tanpa berpikir berlama-lama.
Dulu, sebelum kenal Jenar, Rei suka berpikir, kayaknya dia akan lebih suka hidup sendirian saja. Bukan apa-apa ya, namun dia sudah terlalu sering melihat orang-orang yang ngakunya saling sayang hingga ke poin di mana mereka merasa nggak bisa hidup tanpa satu sama lain, perasaannya berubah seiring dengan waktu yang berlalu. Kemudian, kata-kata sayang mulai terganti oleh hubungan yang renggang, lalu konflik, lalu ucapan-ucapan kasar, lalu tindakan yang saling menyakiti.
Kayaknya nggak ada yang lebih menyakitkan selain melihat seseorang pelan-pelan membenci lo karena alasan yang sama dengan alasan kenapa dia pelan-pelan mencintai lo.
Tapi Jenar itu... one of a kind.
Rei nggak tahu, sampai kapan mereka akan bareng-bareng, namun sejauh ini, buatnya pelukan Jenar masih jadi tempat paling nyaman untuk menutup hari yang melelahkan.
Namun semesta tuh memang suka ada-ada saja.
Seminggu setelah menerima undangan dari Jella, begitu bubaran jam kantor, Rei sengaja mampir ke Auntie Anne's yang berada di Grand Indonesia. Niatnya mau jajan, sekalian makan malam. Jenar sudah bilang mau lembur, which means, dia baru akan pulang menjelang jam sebelas malam. Rei malas buru-buru pulang hanya untuk disambut apartemen yang kosong. Jenar juga bilang, dia bakal makan makanan delivery di kantor bareng beberapa rekan se-divisinya yang juga lembur, jadi mendingan sebelum pulang, Rei makan malam dulu.
Eh, waktu lagi lihat-lihat menu pretzel, tiba-tiba, terdengar suara seseorang menegurnya.
Spontan Rei menoleh, langsung disambut oleh senyum lebar Tigra. Cowok itu kelihatan casual tapi stylish dengan turleneck hitam dan bawahan jeans bernuansa senada.
"Regina?!"
"Eh, lo?!"
Mereka saling menyapa, terus ujung-ujungnya malah jadi makan malam bareng. Tigra baru selesai meeting bersama timnya di Grand Indonesia. Jella lagi di luar kota, baru balik besok sore. Makanya, sama kayak Rei, dia juga nggak punya alasan untuk buru-buru balik. Tempatnya Jella susah sinyal, rada sulit kalau mau diajak video call atau bertelepon lama-lama.
"Tumben sendirian aja." Tigra yang pertama kali bilang begitu.
"Tuan Besar lagi lembur. Terus gue disuruh makan sendiri."
"Surprising."
"Apanya?"
"Kalau lihat dari wataknya Jenar, gue kira dia bakal nyuruh lo nyusulin ke kantornya."
"Maunya dia gitu kali ya? Tapi mending nggak usah, katanya. Dia takut teman-teman kantornya naksir gue."
"Bisa dimengerti." Tigra manggut-manggut.
"Nggak lah, itu sih dianya aja yang lebay!" Rei membantah sambil terkekeh. "Tapi setelah gue pikir-pikir, kita udah lama juga yah nggak in-touch? Maksud gue, ya paling gue cuma lihat update-an lo sesekali aja di medsos. Itu pun seringnya work-related. Makanya jujur, waktu Jella kirim undangan, gue sempat kaget."
"Kayaknya semua orang pada kaget ya..."
"Soalnya kayak nggak ada angin nggak ada hujan gitu."
"Gue udah mau setahunan ini sama Jella, Rei."
"Makin unexpected, karena kita semua clueless. Kayak, lo sama Jella nggak pernah update apa-apa di medsos, nggak pernah kelihatan bareng juga..." Rei berterus-terang dengan nada separuh bergurau.
"Mungkin karena gue sama Jella bukan tipe yang aktif banget di medsos. Lagian, lo juga sama aja, anjrit! Posting foto di Instagram juga paling sering sebulan sekali doang!"
"Nggak ada waktunya, Gra."
"Sama, gue pun gitu." Tigra menyedot es teh pesanannya. "Tapi selain itu, karena apa ya, tiap gue sama Jella, gue terlalu happy dan menikmati presence dia. Tau kan kata-kata yang bilang, kalau lo lagi sama orang yang bikin lo nyaman, lo akan lupa buka handphone lo. Gue sama Jella juga gitu."
Rei manggut-manggut. "Gue ngerti. But still... it's quite unexpected, makanya pada heboh."
"Sama sih, gue juga nggak expect." Tigra terkekeh. "Kayak... out of everyone... orangnya Jella. Tapi yah, dulu juga gue terlalu fokus sama lo kan? Seringkali, apa yang kita ingin belum tentu apa yang kita butuh atau apa yang emang ditakdirkan buat kita. Gue terlalu fokus sama yang gue ingin, hingga gue nggak sadar kalau apa yang gue butuh, yang emang ditakdirkan buat gue, sebenarnya sudah ada di dekat gue sejak lama."
Rei mengangguk lagi. "Benar juga sih..."
"Lo sendiri sama Jenar gimana?"
"Nggak gimana-gimana."
"Still living together?"
"Iya."
"Udah mau dua tahun loh, Regina."
"Emang."
"Terus tunggu apa lagi?"
Rei mengangkat alis. "Tunggu apa lagi gimana?"
"Kapan lo mau sebar undangan juga?"
Spontan, Rei tertawa kecil. "Gue nggak tau, Gra..."
"Lo udah tinggal sama dia hampir dua tahun. Pacaran, mungkin lebih dari itu. Empat tahun kali ya, kalau dihitung dari sejak Jenar lulus duluan? Kalau dihitung dari jaman dia masih suka sama lo tapi nggak ternotis, malah jauh lebih lama lagi. Mau nunggu apa?"
Rei menelan saliva, tiba-tiba kehilangan kata-kata.
"Rei, kok malah bengong?"
"Nggak apa-apa." Rei menarik napas, teringat pada Jenar yang telah mengajaknya menikah hingga belasan kali. Caranya pun beragam, mulai yang romantis pakai candlelight dinner segala, sampai yang sederhana tapi mendadak seperti menembak Rei dengan kata-kata "nikah yuk?" begitu Rei keluar dari toilet sehabis menyikat gigi.
"Masih takut?" Tigra menerka.
Ragu-ragu, Rei mengangguk.
"Regina, lo bukan nyokap lo dan Jenar bukan bokap lo."
"... gue tau, Gra."
"Terus kenapa masih takut?"
Rei terdiam.
"Dulu, lo suka skeptis kalau ada orang yang suka terus mau coba sayang sama lo. Nggak gue. Nggak Jenar. Lo suka mikir, kalau pada akhirnya nggak akan berakhir bahagia, kenapa harus dimulai? Tadinya, gue mikir kayak gitu juga. Kayak... kalau ujung-ujungnya patah hati, kenapa masih juga nekat mencintai?" Tigra berujar dan Rei mendengarkannya. "Tapi sekarang, gue sadar, kalau pikiran kayak gitu tuh salah. Sama aja kayak naik sepeda, lo nggak bisa expect lo langsung berhasil dalam percobaan pertama lo jatuh cinta. Ada waktunya lo kerepotan. Ada saatnya lo kehilangan keseimbangan. Mungkin lo bakal jatuh, terus luka. Namun hanya dengan gitu, lo bisa belajar. Lo bisa tau salah lo di mana, jadi setelahnya, lo bisa mencintai dengan lebih baik lagi, sampai lo menemukan orang yang benar-benar tepat, yang membuat lo nggak keberatan menghabiskan sisa umur lo sama dia."
Rei hanya bisa tertunduk, menatap jari-jarinya sendiri.
"Menunda-nunda kebahagiaan tuh nggak baik loh, Regina. Gue nggak bermaksud nge-push lo, karena kan yang punya hubungan tuh lo sama Jenar. Cuma, saat ini gue ngerasa gue udah nemuin kebahagiaan gue, udah nemu orang yang bisa bikin gue yakin, dan gue berharap, lo juga bisa merasakan sesuatu yang sama."
"Iya, Tigra. Makasih..."
"Jadi habis gue... nih lo bakal nyusul ya?"
"Gue nggak bilang gitu!"
"Kalau ada kata-kata baik tuh diaminin aja, Rei. Jangan dibantah."
"Iya, amin."
"Amin nikah sama Jenar?"
"NGGAK GITU MAKSUD GUE!"
"Tadi lo bilang amin."
"Ya kan lo sendiri yang bilang, kalau ada kata-kata baik tuh diaminin aja—"
"Pokoknya lo nikah habis gue."
"Yailahhhhhhh!!"
*
Nggak tahu nih Tigra punya bakat jadi cenayang, atau memang takdir berpihak sama Jenar, betulan... diantara anak-anak selantai dua kosan Sadewo lainnya, yang menikah setelah Jella tuh... Rei.
Yumna sempat bete banget, katanya apa-apaan nih yang nikah berikutnya malah jadi Rei, padahal di kawinannya Jella sama Tigra, dia yang dapat bunganya ketika sesi pengantin wanita melemparkan buket bunga. Katanya, Rei mencuri start, terus diam-diam saja waktu banyak yang nanyain siapa yang bakal nikah duluan sehabis Jella ketika mereka kumpul-kumpul buat acara bridal showernya Jella—yang lebih mirip acara penistaan karena mayoritas bagian acara diisi dengan mereka mengerjai Jella sekalian foto-foto sama kue berbentuk sangat tidak patut yang tidak akan lulus sensor Komisi Penyiaran Indonesia.
Kira-kira, gini reaksi Yumna setelah nerima undangan pernikahannya Rei sama Jenar;
yumna:
HEH WANITA ULAR
rei:
apaan dah?????
yumna:
lo beneran mau nikah???
rei:
iya...
yumna:
WAH APA-APAAN INI
rei:
... ya emangnya knp, na?
yumna:
lo kebobolan ya?
rei:
kayaknya semua yang mau nikah lo curigain kebobolan.
Padahal sih memang iya.
yumna:
:(
nggak gitu...
rei:
terus ngapa?
lagian kan gue nikahnya sama cowo gue, bukan cowo lo ih!!
yumna:
kan yang dapet bunganya jella tuh gue... :(
lah ngapa lo yang dilamar duluan :(
rei:
ngga tau sih, kalau lamar-melamar mah urusan jenar.
yumna:
rei, gue kapan ya dilamar juga? :(
rei:
na...
yumna:
pengen dilamar juga :(
rei:
bilanglah ke cowo lo.
yumna:
IH MALES.
NANTI GUE DISANGKA PENGEMIS CINCIN.
rei:
ya kan memang?????
yumna:
seenggaknya jangan keliatan banget.
rei, tips dong :(
rei:
tips apa?
yumna:
tips biar dilamar...
rei:
lo ke K-24
yumna:
terus?
rei:
beli testpack.
kasih ke dia.
terus bilang, "gue hamil."
yumna:
tapi kan gue nggak hamil, coy.
rei:
ya hamilin dulu makanya.
yumna:
yeuuuu bangsat.
Rei cuma ngakak, tapi ya dia juga bingung kalau ditanya tips supaya cepat dilamar pacar.
Soalnya, dia juga kan nggak nebak dia bakal menikah secepat itu sama Jenar...
Semuanya karena Wuje yang terlalu tangguh berenang, terus tau-tau menjadi. Alhasil, karena Rei juga nggak mau anaknya jadi bahan hujatan massa sebab lahir tanpa punya bapak yang sah, jadi deh dia menerima lamaran Jenar yang ketujuh belas kali. Untungnya diterima. Kalau ditolak, kayaknya Lanang sudah siap gelar pesta buat meng-konversi penderitaan Jenar jadi AdSense Youtube.
(by the way, iya, sekarang Lanang sudah fokus jadi youtuber. Terakhir Rei tau sih, subscribernya Lanang sudah mau menyentuh angka dua juta. Terus, selain jadi youtuber, Lanang juga jualan sweater, kaos, hoodie dan liquid vape. Influencer banget deh tuh anak, makanya Rei sangat menghindari kamera vlognya Lanang. Dia tipe orang yang gampang demam panggung dan paling nggak bisa berada di bawah spotlight).
Kelihatannya sih, persiapan pernikahan Jenar sama Rei tuh lancar-lancar saja, karena keluarga Jenar sama Hyena tangkas membantu kan. Cuma... nggak ada yang tau kalau seminggu sebelum tanggal pemberkatan, Jenar sama Rei sempat ribut.
Iya, mereka berantem.
Jadi, waktu itu Rei masih ngantor, karena bosnya cuma ngasih jatah cuti lima hari, dua hari sebelum hari pernikahan, satu hari di hari pernikahan dan dua hari setelah hari pernikahan. Paginya, mereka sudah janjian mau dinner bareng. Makanya, menjelang sore, Jenar nge-chat Rei tuh buat memastikan.
tuan besar:
regina, nanti malem mau dinner di mana?
rei:
je, gue mau jujur tp jangan marah ya?
tuan besar:
kalau udah gini, biasanya sih bakal bikin marah :)
rei:
jangan gitu emojinya...
tuan besar:
apa?
rei:
kayaknya malem ini mesti lembur
tuan besar:
:)
rei:
dadakan. beneran deh.
tuan besar:
bos lo ngajak ribut banget sih.
rei:
emang :(
tuan besar:
gue ajak ribut beneran aja apa yak
rei:
jangan :(
tuan besar:
ck, baliknya jam berapa kalau lembur?
di atas jam delapan, fix gue ajak ribut bos lo.
rei:
jam sembilan kayanya...
tuan besar:
wah.
rei:
gue makan tepat waktu kok.
beneran deh.
tuan besar:
lo tuh lagi bunting.
inget gak sih?
rei:
inget. tp kan bos gue ngga tau...
tuan besar:
kasih tau.
rei:
jangan dong, kasian nanti si bayi :(
tuan besar:
jam sembilan, gue jemput.
rei:
iya.
tuan besar:
yaudah.
Harusnya sih nggak ada masalah. Sesuai janjinya ke Jenar, Rei makan malam menjelang jam tujuh, meski sedikit, karena akhir-akhir ini, dia sudah mulai mudah mual dan muntah. Terus persis seperti apa yang dibilang Jenar, cowok itu menjemput menjelang jam sembilan. Waktu Rei ke lobi, dia sudah menunggu, duduk macam tuan raja lagi nungguin ajudannya.
"Cepet banget udah sampe—"
"Iyalah, kan lo bilang selesai jam sembilan." Jenar menyahut, diam-diam mendelik pada salah satu co-worker Rei yang dia tahu pernah flirting sama Rei sebelum cowok itu tau kalau Rei sudah ada pawangnya.
"Je, nggak boleh gitu, ih!"
"Biarin, gue masih bete sama dia." Jenar membalas cuek, lantas membuka jaketnya. "Pake. Tadi sempat hujan sebentar, udaranya jadi agak dingin."
"Nggak ngaruh dong? Kan naik mobil..."
"Sama aja, kalau lagi keluar mobil, bisa kena angin."
Rei nyengir, membiarkan Jenar menggandengnya sementara mereka berjalan menuju pelataran parkir kantornya. Karena sudah malam, jalanan tidak seramai ketika lagi rush hour. Lalu-lintas terhitung lancar. Jenar menyalakan musik, lagunya Blue yang judulnya Best in Me.
"Tadi makan apa?"
"Caesar salad."
"Itu bukan makan. Itu namanya ngemil."
"Nggak tau mau makan apa. Takut muntah."
Jenar mendesah. Jujur banget, dia paling bete kalau Rei mesti lembur. Apalagi di saat-saat kayak sekarang. Bukan hanya karena tanggal pernikahan mereka tinggal menghitung hari, tapi juga karena kondisi Rei. Jenar kepingin Rei resign, namun dia juga paham, itu permintaan yang egois. Dia nggak bisa memaksa Rei tetap tinggal di rumah hanya untuk memenuhi keinginannya.
Mereka saling diam sebentar, hingga tahu-tahu Rei berkata dengan mendesak. "Je, nepi di depan bisa nggak? Kayaknya gue mau muntah—"
"Hah?" Jenar mangap kaget, tetapi dia mengikuti keinginan Rei. Dia menepikan mobilnya. Tak lama setelah mobilnya berhenti, Rei buru-buru membuka seatbelt, terus keluar dari mobil dan membungkuk di dekat selokan di pinggir jalan untuk muntah.
"Kita ke dokter aja ya?" Jenar bertanya dengan nada khawatir sambil merangkul pundak Rei yang sudah berkeringat dingin dengan wajah pucat.
"Nggak usah..." Rei menggeleng. "Akhir-akhir ini emang suka begini..."
"Gue nggak bisa banget lihat lo begini..."
"Gue nggak apa-apa."
"Nggak apa-apa gimana? Badan lo gemeteran gini. Kita ke dokter aja."
"Udah malem..."
"Ya emang udah malem."
"Nanti kelamaan di dokter, ujung-ujungnya kita pulang kemalaman. Besok kan masih harus ke kantor lagi."
Maksud Rei, yang masih harus ke kantor besok itu Jenar. Tapi Jenar salah paham, mengira Rei menujukan kata-kata itu untuk dirinya sendiri. Otomatis, dia jadi kesal.
"Di saat yang kayak gini, lo masih mikirin kantor?"
"Je, jangan di sini kalau mau berantem. Plis. Gue pusing dan lemas banget."
"Exactly. Makanya, gue bilang, ayo ke dokter!"
"Nggak usah. Dibawa tidur aja bakal mendingan kok—"
"Keras kepala banget sih?! Yaudah, terserah lo aja!!"
Rei kaget terus kesal karena dibentak. Jenar kesal karena Rei seakan-akan mendewakan urusan kantor lebih dari kesehatannya sendiri. Sepanjang sisa perjalanan, dua-duanya saling diam. Jenar cemberut dengan ekspresi muka yang nggak ada bagus-bagusnya. Rei yang capek, mual dan perasaannya lagi sensitif pun mellow sampai wajah memerah hampir nangis.
Setibanya di apartemen, mereka tetap tidak bicara. Jenar langsung masuk kamar. Rei yang kepalang capek menyempatkan diri buat mandi, terus mengganti pakaiannya dengan celana longgar dan salah satu kaos Jenar yang jelas kebesaran di badannya. Dia kira, saat dia selesai mandi, marahnya Jenar sudah selesai. Tapi dia salah. Jenar justru telah berbaring di atas kasur, memunggungi tempat di mana Rei biasa berbaring.
"Je, masih marah?"
"Nggak tau."
"Oh. Masih."
"Terserah."
"Yaudah, kalau lo masih semarah itu. Gue tidur di kamar satunya aja."
"Terserah."
Rei menggigit bibir, rasanya kayak mau menangis.
Ujung-ujungnya, dia memang menangis sih. Tapi nggak di depan Jenar, melainkan ketika dia sudah sendirian di kamar lainnya yang berada di unit apartemen itu. Katanya, menangis itu bisa melegakan perasaan. Namun nggak ketika lo menangis diam-diam biar nggak terdengar oleh orang lain, sebab kini, dada Rei justru kian terasa sesak.
Rei masih sesenggukan tanpa suara ketika dia mendengar suara pintu kamar yang memang nggak dia kunci dibuka.
"Regina?"
Rei nggak menjawab, malah terisak makin dalam hingga kini tangisnya jadi bersuara.
"Regina, are you crying?"
Jenar mendekati kasur tempat Rei berbaring menyamping, memunggunginya. Sesaat kemudian, tangannya menyentuh bahu Rei, memaksa pacarnya menghadap padanya. Napas panjangnya terhela waktu lihat wajah Rei sudah banjir air mata.
"Oh come on—" Jenar menatap Rei. "Kenapa malah jadi lo yang nangis?"
Rei tidak menjawab.
"Gue begitu karena gue khawatir sama lo, tapi lo malah mikirin ngantor melulu. Look, lo nggak mesti ngantor pun, gue bisa nanggung semuanya—"
Dengan suara tersendat, Rei memaksa menyela. "—bu—bukan gitu..."
"Terus apa, hm?"
"Besok lo harus ke kantor pagi-pagi kan?"
"..."
"Kalau anter gue ke dokter, nanti waktunya abis di dokter dan di jalan..."
"Mau kesal tapi nanti tambah mewek." Jenar menghela napas. "Masih mual?"
Rei menggeleng.
"Yaudah, ayo tidur..."
"Katanya tadi nggak mau tidur sama gue..." Rei terisak lagi.
"Gue nggak ngomong gitu, gue cuma bilang terserah."
"Sama aja!"
"Oke, sekarang gue mau lo tidur sama gue."
Rei menurut waktu Jenar menggiringnya meninggalkan kamar itu untuk masuk ke kamar lainnya. Jenar agak heran sih, soalnya nggak biasanya Rei secengeng itu. Apalagi setelahnya, Rei minta dipeluk sampai ketiduran. Jenar jadi makin bertanya-tanya, kira-kira nih ada apa gerangan. Makanya, ketika Rei sudah tidur, dia iseng nge-chat Jella.
Ternyata, orangnya masih bangun.
jenar:
jella.
jella:
sopankah nge-chat istri orang jam segini?
jenar:
penting nih
jella:
apa?
jenar:
td gue berantem sama rei.
jella:
udah mau nikah msh aja diajakkin berantem.
jenar:
sebel.
udah tau lg mual, malah lembur.
terus gak sengaja, gue bentak.
dia nangis.
jella:
BENER-BENER YE KELAKUAN LO.
jenar:
salah paham sih.
salah gue jg.
jella:
makanya, pastiin dulu, jangan buru-buru nge-gas.
jenar:
ya kan kirain.
jella:
jangan suka ngira-ngira.
pasangan lo dan lo bukan cenayang yang bisa baca pikiran.
komunikasi.
jenar:
iye. tapi orangnya jadi manja bgt gini.
kenapa ya?
jella:
oh, baru permulaan itu mah.
jenar:
permulaan?
jella:
orang hamil emang suka aneh-aneh.
jenar:
SUMPAH?
jella:
siap-siap aja ngadepin fase ngidamnya.
jenar:
ANJRIT.
lo ngidam jg gak?
jella:
YAEYALAH.
jenar:
ngidam apa?
siapa tau bisa jd referensi gue.
jella:
megang uler.
jenar:
uler?
jella:
uler kasur.
jenar:
ulernya laki lo?
jella:
ye si brengsek malah diperjelas.
jenar:
yha... kalo ngidamnya kayak gituan...
jella:
KENAPA?
jenar:
gue juga mau...
to be continued
*
jella, tigra's and mother of one
*
a/n:
bapaknya kwinsha besok aja kali yak.
tebak siapa mamaknya kwin.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top