28 | ivory
Reaksi kaget dari teman-temannya membuat Johnny menarik senyum kian lebar.
"Yes, you heard it right, people. I am gonna be a father in a few months." Johnny memberitahu sekalian mengumumkan, membuat ruangan itu dikuasai keheningan selama sejenak, hingga Rei jadi yang pertama bertepuk tangan.
"Oh my God, congratulations!" seruannya sekalian menyadarkan yang lainnya dari kekagetan.
"Nggak keduga banget..." Yuta berkomentar. "Tapi selamat, bro! Traktiran nggak nih?"
"Traktiran melulu otak lo!" Dhaka berseru.
"Lah, lo nggak tau? Itulah salah satunya punya teman tajir! Buat diporotin!"
"Tapi kalau sama Wirya, lo kok nggak pernah minta traktiran sih, Tuy?" Milan bertanya penasaran.
"Soalnya Wirya tuh sebaik-baiknya spesies orang kaya. Nggak usah dikode juga dia udah neraktir!"
"Bentar deh, Bang..." Lanang baru terpikirkan, makanya dia bertanya ke Johnny. "Ini orang-orang udah pada tau belum sih, kalau lo sama Kak Gia lagi expecting?"
"Lo-lo pada udah, kan? Barusan."
"Nggak, maksudnya tuh orang lain di luar circle kita di sini, Bang!"
"Oh..." Johnny berpaling pada Gia. "Belum ya, Gi?"
"Paling orang tua kita aja sih yang baru tau. Lainnya belum, soalnya emang baru ketauan baru-baru ini."
"Circlenya Kak Gia juga belum tau?" Lanang merasa perlu memastikan.
"Belum."
"Emangnya kenapa sih, Nang?" Johnny jadi penasaran.
"Bang, boleh nggak gue minta tolong info ini nggak bocor dulu sampai video konten ini naik di Youtube gue?"
"... tujuannya?"
"Biar jadi ekslusif gitu, Bang! Revealnya di Youtube gue! Apalagi Kak Gia ini kan famous ya, otomatis bakal dapet perhatian dong nih berita! Hehe, firasat gue kuat sih, ini bakal trending."
"Gimana, Gi?" Johnny lagi-lagi meminta pendapat Gia.
"Aku sih nggak keberatan."
"Me too, kalau kamu fine-fine aja, aku pun setuju."
"Serius, Bang?"
"Iya."
"HEHEHE..." senyum Lanang makin lebar.
Tadinya dia mau sekalian nawarin Johnny sama Gia untuk dapat benefit finansial karena sudah mau share berita bahagia soal mereka yang bakal menjadi orang tua di channelnya secara perdana, tapi dipikir lagi... Lanang jadi tengsin sendiri.
Johnny sama Gia tuh jauh lebih kaya dari dia. Kalau dia nawarin share benefit finansial, yang ada malah kelihatannya dia nggak tau diri banget. Macem nawarin mau beliin sedang Lamborghini untuk CEO Lamborghini gitu loh.
"Terus ini gimana, Nang? Bisa langsung ambil pertanyaan berikutnya atau apa?"
"Oh ya, lo announce aja dulu, Bang, soal kabar baik dari lo sama Kak Gia."
"Oke." Johnny menganggukkan kepala, terus dia menatap pada Gia seraya meraih satu tangan perempuan itu ke dalam genggamannya sebelum beralih menatap ke kamera. "Kalau ditanya apakah saat ini gue lagi senang, jawabannya adalah iya! Senang banget! Dan walau gue nggak bisa baca pikiran, gue yakin, istri gue pun begitu. Because we're now expecting a baby."
"We've been trying for a while. Jujur, gue sempat ngerasa putus-asa dan mikir, apa gue seburuk itu ya, sampai-sampai Tuhan nggak mau kasih gue kepercayaan buat dititipin anak. But apparently, God is truly good. Makasih banget juga buat suami gue yang nggak pernah maksa atau bikin gue merasa ditekan. I swear, he's like one of the best things I've ever found."
Kata-kata Gia bikin Johnny kaget sedikit, sebab terus terang, Johnny nggak mengira kalau ternyata dirinya se-berarti itu untuk Gia.
Selama ini, Gia lebih sering bersikap kalem ketika menghadapinya; nggak pernah terlihat cemburu, nggak pernah marah ketika dia pulang telat dan nggak punya masalah saat dia mengantar teman sekantornya pulang karena kebetulan mereka satu project dan waktu itu, hari sudah menjelang tengah malam.
Johnny menghela napas, menarik senyum sekali lagi pada Gia, lantas ujarnya, "I love you."
Gia membalasnya juga dengan kata-kata yang diiringi senyum lebar. "I love you too, Husband."
"Gaya banget si Ojon." Jenar geleng-geleng kepala. "Dia kira ini panggung drama apa ya?"
"Kayak tadi lo nggak aja!" Milan berkata pada Jenar.
"Bujang lapuk diem aja." Jenar menukas jahat.
"Kayak masih bujang aja." Tigra menimpali, separuh bergurau.
"Saran gue sih lo diem aja ya, Lan." Kun berujar prihatin sambil menepuk-nepuk bahu Milan, sementara Rossa tertawa kecil seraya menyedot jus kotak yang dia ambil dari atas meja—salah satu produk konsumsi yang disediakan Lanang.
Gia berdeham. "Next question?"
"Whenever you're ready, Wifey."
Gia mengambil gulungan pertanyaan selanjutnya dan membaca apa yang tertera di sana. "Gimana lo ketemu sama pasangan lo yang sekarang?"
"Hm, waktu itu kita lagi donor darah nggak sih?"
Gia mengangguk. "He was placed next to me. I've been there multiple times, soalnya emang udah rutin donor darah sejak kuliah. Tapi buat Johnny, itu pertama kalinya."
"Aku sempat deg-deg-an dan clueless."
"Kelihatan dari muka kamu, waktu itu pucat banget, udah kayak orang mau disuntik mati." Gia tertawa. "Which is very funny, karena postur dan tinggi badan kamu cukup intimidating buat orang-orang PMI. You all know he is a big man."
Jenar mengedikkan bahu. "Tall, yes. Big? Not really."
"Je, stop being competitive over smallest things." Rei berujar pada suaminya, terus kembali memandang Johnny. "But he's a really fine man ya. Johnny, maksudku."
"No wonder, dulu lo nge-crush banget sama dia, sampai-sampai nyimpan fotonya di grid besi dinding kamar kosan." Jella menambahkan, sengaja mau manas-manasin Jenar.
"Regina, kamu sadar nggak barusan kamu thirsting over suami orang?" Jenar merengut.
"Kan mengagumi ciptaan Tuhan."
"I heard that." Johnny terkekeh. "Thankyou."
"Hehe."
Gia melanjutkan ceritanya. "Dia kayak anak SD yang ditinggal mamanya sendirian di klinik gigi. Sekikuk itu. Akhirnya, gue ajak dia ngobrol. Soalnya kasihan, walau bodynya tinggi, gesturnya kayak bocah ilang."
"Wah, terimakasih banyak ya Giana, for being soooo considerate back then." Johnny setengah menggerutu.
"Jangan ngambek. Kalau bukan gara-gara itu, kita nggak akan ngobrol kan?"
"Iya, sih."
"Ngobrolin apa tuh, Bang, pas awal ketemu?"
"Kemungkinan Lucinta Luna hamil beneran apa nggak." Johnny membalas polos, tapi tak lama kemudian mengerjap. "Eh tolong yang barusan disensor ya. Pas bagian gue sebut nama aja. Gue takut kalau yang bersangkutan nonton, nanti gue dilabrak di Instagram."
Gia ngakak. "Kebetulan sebelumnya, gue pernah ketemu sama yang bersangkutan. Terus gue bilang, kalau secara fisik, jujur yang bersangkutan tuh bohay dan cakep banget. Kayaknya, cowok kayak Johnny bakal naksir."
"Terus?"
"Dia malah ngegombal."
Yuta hampir tersedak, nggak ngira seorang Johnny bisa ngegombal. "Ngegombal kayak gimana tuh?!"
"Katanya, 'nggak sih, soalnya daripada yang kayak Lucinta Luna, saya lebih suka yang kayak kamu'."
"Tapi dia cuma ketawa aja." Johnny merespon. "Abis itu, kita ngomongin film. Gue nyebut salah satu judul film action lokal yang baru gue tonton. Gue suka, tapi nggak merhatiin se-detail itu kalau ternyata director film itu ya Gia sendiri."
"Gue pura-pura nggak tau aja." Gia nyengir.
"Iya! Padahal kalau kamu ngomong, pasti aku bakal langsung minta—"
"—tanda tangan?" Gia menebak.
"Nggak. Minta nomor telepon."
"Kenapa waktu itu nggak minta nomor telepon?"
"Aku ragu perempuan secakep dan enak diajak ngobrol kayak kamu masih single."
"You enjoyed judging me so much from the cover, hm?" Gia menggoda.
"Ada buku yang saking bagusnya covernya, malah bikin orang ngerasa sayang buat buka kemasannya."
Gia tergelak. "Bisa banget ngelesnya. Tapi untung, nggak lama setelahnya, kita ketemu lagi."
"Di mana?" Lanang bertanya.
"Di depan tempat donor darah." Johnny menyahut. "Gia selesai duluan, jadi kita pisah. Gue masih mesti nunggu beberapa lama. Agak ngerasa nyesal sih, karena nggak minta kontak Gia. Gue cuma tau namanya Gianna. Udah. Tapi nggak tau ya, mungkin karena emang jodoh, pas gue keluar, Gia lagi di depan. Di trotoar. Hari itu, dia nggak bawa mobil."
"Karena emang lagi ada jadwal rutin servis di bengkel." Gia menerangkan. "I was waiting for a cab, waktu ada penjambret bermotor berhenti di dekat gue dan langsung narik tas gue."
Johnny mengangguk. "Gue langsung lari ke arah Gia. Niatnya mau bantuin, karena mereka masih tarik-tarikan tas. Gue cukup confident dengan skill martial arts gue, karena gue punya dasar dari THS waktu masih SMA dan rajin thai boxing juga. Tapi gue belum sempat bantuin waktu Gia... nge-handle dua laki-laki itu sendirian."
Gia tersenyum malu-malu.
"Dia jago banget! Pokoknya, tuh dua jambret langsung tumbang dan babak-belur gara-gara Gia. Jujur, gue speechless abis. Edan banget nih cewek, despite of badannya yang mungil dan garis mukanya yang feminin, ternyata dia bisa sesantai itu banting-banting orang ke jalan. Abis itu, gue temenin dia ngurus soal si jambret ini di kantor polisi. Di sana, kita kenalan lebih jauh dan... yah."
"It was dramatic."
"It was."
"But it was cute." Rossa berkomentar. "Genuinely happy for you two. Selamat ya! And anyway, kita belum sempat kenalan, tapi filmnya Gia juga termasuk ke dalam daftar film produksi lokal favorit gue."
Gia menjawab tulus kata-kata Rossa. "Thankyou, Roseanne."
"Anytime."
"Next question..." Johnny berlanjut ke gulungan berikutnya. "Menurut lo, diantara kalian, siapa yang jatuh cinta duluan?"
"Gue."
"Gue."
Johnny dan Gia mengatakan jawaban yang sama juga di saat yang berbarengan.
"Really, Gianna?"
"Loh, bukannya aku duluan?"
"No, kayaknya aku."
"Nggak deh, aku."
"Aku udah jatuh cinta sama kamu sejak kamu banting-banting penjambret itu ke trotoar!"
"Tapi kan nggak langsung 100%."
"Hah?"
"Kamu jatuh cintanya bertahap. Nggak langsung totally kamu mau nikahin aku on the spot pas kejadian jambret itu, kan?"
"Lah, terus apa bedanya ama kamu?"
"Aku jatuh cinta tuh slowly... but then all at once. Misalnya nih gini, dari dua puluh persen... ke dua puluh lima persen... terus langsung ke seratus persen. Sedangkan kamu nggak! Kamu konstan... dua puluh... empat puluh... enam puluh... terus sampai ke seratus. Otomatis, aku duluan yang jatuh cinta."
"Sejak kapan cinta bisa dipersenin?"
"Kan perumpamaan, John!"
"Still—"
"Mending kalian suit deh, daripada ribut nggak ada ujungnya." Jella menyarankan.
"As expected from Jella." Jenar menyindir. "Apa pun masalahnya, suit solusinya."
"Terus kenapa?"
"Padahal tiap suit sama gue, lo kalah mulu."
"Sekarang mau suit?!" Jella menantang.
Jenar meladeni. "Hayo!"
"Gunting, batu, kertas!"
Jella mengeluarkan batu dan Jenar mengeluarkan kertas.
"See?" Jenar mengejek.
"Belum tiga kali!" Jella membela diri.
"I won."
"Ayo suit lagi!"
"Males!"
"Jenar!!"
"Jella, Sayang, udah, jangan diladenin." Tigra mengusap-usap pundak istrinya. "Jenar kan emang gitu, suka ngeledekin orang."
Jenar menoleh pada Jella yang duduk di belakangnya, terus menjulurkan lidahnya dengan ekspresi songong luar biasa.
"Je, jangan gitu!" Rei memperingatkan. "Kamu kok kayak anak-anak gini sih?"
"Dianya kan kalah suit, Regina."
Rei membuang napas, kembali fokus pada Johnny dan Gia yang... sekarang suit beneran.
Mereka ngikutin sarannya Jella.
"Aku menang!" Johnny tersenyum puas.
"Still, aku tetap ngerasa aku yang jatuh cinta duluan!" Gia tetap ngotot, kemudian mengambil gulungan pertanyaan berikutnya. "Pernah cemburu gara-gara mantan?"
Mendengar pertanyaan yang dibanyakan, sontak Johnny menolehkan kepala ke arah Lanang yang refleks meringis.
"Semua dapet pertanyaan menohok kok, Bang."
Johnny berdeham. "Mau kamu atau aku duluan?"
"Kamu deh."
"Gianna punya satu mantan yang sampe sekarang, masih temenan dekat sama dia."
"Cara kamu ngomong dekat tuh rada beda loh, John." Gia menyela.
"Sengaja." Johnny membalas, terus menyambung jawabannya. "Mantannya Gia ini aktor. Jadi, dulunya dia musisi. Katanya sih bassist di sebuah band ngetop. Gue nggak terlalu paham, soalnya kan emang nggak merhatiin perkembangan musik dalam negeri. Kebanyakan aktor yang jadi idola banyak perempuan, biasanya ganteng tuh kan. Mana sampe sekarang, si mantan ini nggak nikah-nikah. Jujur aja, gue sempat rada cemburu sama dia. Jangan-jangan, dia nggak nikah-nikah karena dia patah hati gara-gara Gia."
"Drama banget!" Gia tertawa keras. "Dia cemburu karena gue pernah foto bareng sama mantan gue ini di salah satu premiere film terbarunya. Semua orang tau kita pernah mantanan dan gue juga bukan tipe yang sering pacaran. Terus ya, gitu deh. Sempat heboh, diberitain di banyak portal berita, pake narasi kontroversial yang agak mesra. Johnny jadi bete."
"Udah itu doang, Kak?"
"So far itu sih, yang annoying banget sampe bawaannya gue pengen protes ke jurnalis-jurnalis yang bikin berita-berita seakan-akan Gia mau CLBK ama tuh orang." Johnny membenarkan. "Your turn, walau aku nggak yakin pernah."
"Kenapa mesti nggak yakin?"
"Kamu kayaknya bukan tipe yang suka cemburu."
"Is that bothering you?"
Johnny terdiam.
"Come on, John, you can be honest with me."
"Kalau kujawab iya?"
"Sejujurnya, aku juga nungguin kamu bilang begitu. Tapi kamu nggak pernah bilang. Sampai sekarang." Gia berujar. "Of course, aku bisa jealous. Aku manusia. Cuma, aku nggak ngerasa kalau perasaanku boleh aku tunjukkin ke kamu."
Johnny mengernyitkan dahi. "Kenapa gitu?"
"Aku nggak punya alasan untuk bikin perasaanku kerasa valid, bukan sesuatu yang emosional aja."
"Tapi kan perasaan sama emosi tuh saling berkaitan."
"Aku suka ngerasa, cemburu sama kamu tuh nggak beralasan."
"Maksudnya?"
"Kamu pernah pulang telat tanpa bilang-bilang aku." Gia mengawali dengan nada hati-hati. "Kamu nggak menjelaskan lebih jauh, tapi aku tau kenapa kamu pulang telat hari itu."
"Gianna, waktu itu—"
"Peringatan hari kematian mantan kamu. Iya, kan?"
Suara Johnny berubah pelan. "Sona nggak pernah jadi mantan aku."
Gia menghela napas. "Jujur, aku cemburu. But somehow, my jealousy felt wrong. Mantan kamu sudah nggak ada. Kenapa aku mesti cemburu sama orang yang sudah nggak ada? Kamu nge-treat aku kelewat baik, lebih dari ekspektasi aku. Aku takut kalau aku cemburu, nanti kamu dapet kesan kalau aku nggak percaya sama kamu atau ngeraguin kamu."
"Sebenarnya, malah kebalikannya." Johnny menanggapi. "Kamu nggak pernah jealous, nggak pernah banyak tanya kalau aku bilang aku mau kemana atau kemana, rasanya kayak... aku nggak sepenting itu buat kamu, jadi kamu nggak ngerasa perlu banyak nanya."
"No, it's not like that!" Gia membantah, meraih tangan Johnny. "You're important for me. Really."
"Then, sesekali jealous juga nggak apa-apa."
"Walau kadang nggak logis?"
"Perasaan itu bukan dipikirin, Gia. Tapi dirasain."
"I'll try ya?"
Johnny tersenyum. "I'll look forward to it."
Gia tertawa, sedangkan Johnny berpindah ke pertanyaan berikutnya. "First time sama siapa?"
Gia mengerjap. "Kayaknya bagian pertanyaan sintingnya udah mulai ya?"
"Khusus buat Bang Johnny sama Kak Gia, pertanyaannya masih masuk akal soalnya gue takut didemo sama khalayak ramai yang menghormati Kak Gia." Lanang meringis.
"DIH CURANG!" Tigra protes.
"Reputasi Kak Gia perlu dilindungi, Bang Tigra."
"REPUTASI GUE APA KABAR?!" Milan menukas. "Nggak adil beneran ya dunia ini! Dunia ini baiknya cuma sama yang good looking dan berduit aja!"
"Gue mau bully lo, tapi nggak tau kenapa, gue setuju!" Yuta manggut-manggut dengan salah satu pipi menggembung karena dia habis menggigit lemper.
"Yang bikin pertanyaan Lanang, yang lo salahin dunia!" Jenar memutar bola matanya. "Dijawab tuh pertanyaannya! Durasi!"
Johnny berdeham, kemudian katanya. "It was with my ex. She was my first girlfriend."
"Aku belum pernah dengar cerita kamu soal ini deh, John. Itu waktu kapan?"
"SMA." Johnny menyahut singkat, membuat airmuka Jenar kontan berubah.
"Wah, tipikal anak bejat nih." Yuta berkomentar.
"Bukan bejat lagi." Jenar terdengar agak sinis.
Johnny mengabaikan respon Jenar. "Kalau naksir-naksiran sih udah pernah sebelumnya, cuma baru pacaran beneran waktu SMA. Namanya Ivory."
Rei mengangkat alis, menatap pada Jenar yang kini mengatupkan rahang. Dia mau bertanya, kenapa reaksi Jenar sampai segitunya soal mantan pacarnya Johnny, tapi Rei menahan diri. Nggak tau kenapa, instingnya mengatakan problem ini lebih serius, jadi dia hanya bisa mencoba menenangkan Jenar dengan meraih tangan lelaki itu.
Jenar menoleh ke arah Rei, hanya untuk mendapati perempuan itu lagi mengusap punggung tangannya menggunakan telapak tangan.
Dia tampak tenang dan penuh pengertian, bahkan nggak menanyakan apa-apa.
"How was it?" Gia tergelitik untuk bertanya.
Johnny mulai kelihatan nggak nyaman. "Not so memorable. We were too young."
"Oh." Gia menjawab paham. "My first time... I think not long after I graduated from university. Random guy that I met outside a pub in Dublin. I was a little bit wild back then. Sama aja kayak kamu, nggak memorable. But he was okay."
"Kalau Bang Johnny, masuknya kategori okay atau apa, Kak?" Lanang memancing.
"My husband? He's outstanding performer... in bed."
Johnny tergelak. "Go get the last question, Wifey."
Gia mengangguk, mengambil gulungan terakhir dan membacanya. "Cuddle or kisses? Pilih satu aja."
"Cuddle." Johnny menjawab yakin.
"Yakin banget?"
"Soalnya bisa sentuh-sentuh nakal."
"..."
"Dari sentuh-sentuh nakal, kan bisa nakal yang lebih serius."
"..."
"Hehehe."
"Dasar." Gia geleng-geleng kepala. "For me... it's kisses."
"What kind of kisses? Jenis ciumanku kan banyak."
"JENIS, LO KATA MENU A LA CARTE MEKDI!!" Dhaka berdecak. "Pasangan sekarang, aneh-aneh aja."
Johnny cuek saja. "Come on, Gianna. Give me details."
"Ciuman kamu yang mana aja, semuanya aku suka. Mau forehead kiss, nose kiss, hand kiss, peck, cheek kiss, aku suka."
"French kiss?"
"Absolutely my favorite."
*
"Nang, ini kalau banyak pertanyaan nggak warasnya, lo gue tuntut ya?"
"Emang punya duit buat bayar pengacara, Bang?"
Dhaka yang sudah berada di dekat kursi batal duduk, malah melangkah cepat menghampiri Lanang yang refleks langsung mengambil baskom bekas wadah lemper yang sudah habis buat digunakan melindungi kepalanya.
"Ampun, Bang! Cuma bercanda!"
"Sayang, jangan gitu, ah! Lihat tuh Lanang sampai takut!" Juno meraih lengan Dhaka.
"Nih untung ya bini gue narik gue, kalau nggak, udah abis lo, Nang!" Dhaka sok galak.
"Narik apaan, njrit, gue cuma pegang lengan lo doang ini!" Juno membantah.
"YANG, IH NGGAK BISA DIAJAK KERJA SAMA!!"
"Lagian, kalau kamu berantem sama Lanang, yang jadi daging geprek justru kamu! Nggak nyadar, kemana-mana lebih gedean badan Lanang?"
"Ah, dia mah badannya doang yang gede, jiwanya mah jiwa Dora The Explorer!"
"Durasi, anjir! Anak gue nangis nih di rumah!" Jenar menyela, membuat Dhaka mendelik.
"Tau dari mana kalau dia nangis?!"
"Ikatan batin! Gue bapaknya!" Jenar membalas galak.
"Kagak syuting-syuting nih kalau gini ceritanya, Bos!" Tigra menengahi. "Dhaka, buruan duduk! Dari semua orang, yang makannya paling banyak tuh elu! Balas budi dikit kek sama Lanang. Makanannya nggak murah nih."
"Tuh dengerin, babe, apa kata Tigra." Juno manggut-manggut setuju.
Dhaka masih manyun ketika dia duduk bersebelahan dengan Juno.
"Perkenalan, babe."
Dhaka menatap ke kamera, memasang wajah sok cool, terus katanya. "Halo semuanya. Nama gue Dhaka. Ini istri gue Juno."
"Anjing, kayak google translate!" Yuta berseru terus ngakak.
"Bang, relaks aja, Bang. Tarik napas. Embuskan. Ngomongnya biasa aja, nggak usah tegang-tegang amat kayak gitu."
"Nang, tadi itu udah style gue."
Juno geleng-geleng kepala. "Oke, gue aja yang bikin intro."
"Dih, kan tadi semuanya lakinya yang bikin intro?! Kok pas giliran kita, malah kamu yang intro?!"
"Abisnya kamu kayak google translate gitu."
"Yaudah, aku ulang!"
"Yang bener ya?"
"Iya."
Dhaka pun mengulang. "Halo semuanya!! Nama gue Dhaka dan hari ini gue ditemani istri gue, namanya Juno!!"
Hening sejenak.
"Kurang apa lagi?!" Dhaka nyolot.
"Lo kayak guru TK abis ngeganja, Ka. Riang gembira tapi nggak wajar." Kun berujar dengan nada hati-hati.
"TERUS GUE KUDU GIMANA?!" Dhaka mulai sewot.
"Santai, Sayang. Biasa aja. Jangan tegang, tapi juga jangan lebay." Juno mencoba mengarahkan.
"Gue contohin, mau nggak?" Jenar menawarkan diri.
Dhaka makin nyolot. "Nggak usah!!"
"Coba lagi ya, Bang? Sekali lagi." Lanang menyela.
Dhaka berdeham, lantas mencoba sekali lagi. "Hai, semua subscribernya Lanang! Gue Dhaka dan gue lagi sama istri gue di sini, namanya Juno."
"Emang pasti semua yang nonton tuh subscribernya Lanang?" Milan bertanya dengan dahi berlipat.
"Salah mulu gue, Sat!" Dhaka menyambar.
"Namanya juga hidup, Say!" Jenar meledek.
"LU DIEM!"
"Oke, nggak apa-apalah gitu juga." Lanang menyerah. "Silakan, Bang, diambil gulungan pertama!"
"Santai aja, Nang, nggak usah nyuruh-nyuruh!"
Dhaka nih kayaknya memang harus disumpal makanan dulu biar nggak rese.
"Khusus untuk Juno, pernah nggak tersinggung gara-gara mulut pedasnya Dhaka?" Dhaka menatap Juno. "Jujur aja, Yang."
"Nggak."
"Kuat banget mental lo." Jenar geleng-geleng kepala.
"Lo aja dicuekkin Rei bertahun-tahun kuat, nggak usah sok lemah gitu, deh!" Dhaka mencibir.
Rei tertawa. "Haha good old times."
"GOOD APAAN?!" Jenar protes.
"Good, soalnya kalau aku pikir-pikir, dulu kamu mengenaskan banget. Padahal ganteng, tajir, tapi sad boy." Rei menyahut ringan.
Jenar langsung cemberut sambil menggerutu.
Juno menjelaskan jawabannya. "Terus terang nggak pake bohong nih ya, nggak. Menurut gue, Dhaka ini orangnya unik dan bawaannya bikin gue pengen ketawa melulu. Dhaka juga enak diajak bercanda, juga ngejulid. Kayak... kalau nonton drama Korea terus orang jahatnya ngeselin, kita bisa ngata-ngatain tuh orang tanpa pake mikir. Soal bercanda, Dhaka lucu dan nggak gampang tersinggung."
"NGGAK GAMPANG TERSINGGUNG APAAN, SENSITIFNYA KAYAK PANTAT LAGI BISULAN GITU!" Yuta menyambar heboh.
Kun manggut-manggut. "Bener. Senggol dikit ngamuk."
"Ya elu-elu siapa anjir bandingin diri sama Juno yang bini gue? Sori ya, kalian semua nggak spesial!"
"Martabak kali pake spesial segala."
"Jangan salah, kalau Juno martabak keju dari Pecenongan, dia ini martabak paling istimewa yang susunya sampe tumpeh-tumpeh!"
"KOK AMBIGU SIH?!" Tigra ngakak.
"Otak lo doang yang kotor itu mah! Di mana-mana, martabak keju tuh pake susu!"
Juno tergelak. "Lagian kalau Dhaka udah mulai nyerocos, ya gue tinggal balas nyerocos aja sih. Cuma Dhaka baik banget kok sebenarnya. Suka rada asin, tapi ya gimana ya, gue suka yang asin-asin. Hehe."
"Aduh, emang jodoh tuh kayaknya cerminan diri." Milan manggut-manggut.
"Kalau nggak ada jodoh, berarti nggak ada cerminan diri ya, Lan?" Yuta meledek.
"Udah gue bilang, mending lo diem." Kun berujar pada Milan, lagi-lagi dengan wajah prihatinnya.
"Kebanyakan komentar aja para monyet ini." Dhaka berdecak. "Juno, ambil pertanyaan berikutnya deh, abaikan bacot mereka!"
Juno nyengir, terus membuka gulungan pertanyaan berikutnya. "Pernah cemburu gara-gara lawan jenis yang dekat sama pasangan lo nggak?"
"Cemburu? Sering!!" Dhaka berseru.
Juno terkekeh. "Napsu banget jawabnya."
"Wajar, laki-laki jaman sekarang banyak yang ganjen." Dhaka berkata. "Udah jelas-jelas kamu lagi sama aku, jelas-jelas udah pake cincin di jari manis. Masihhhhhhh aja ada yang ganjen mepet-mepet atau godain di depan umum! Apalagi pas awal-awal nikah. Hih, sampe bete deh, pernah clubbing berdua, baru juga gue tinggal nih bini gue buat ke toilet, udah ada yang mepet aja!"
"I can relate, tho." Jenar manggut-manggut.
"Makanya, sengaja gue langsung hamilin tuh Juno, biar orang-orang beneran nyadar, meski dia cakep, dia udah ada yang punya."
Juno tergelak. "Kalau aku ya, kayaknya aku cuma pernah cemburu sama Regina."
Rei kaget sebentar. "Gue?"
Juno menatap pada Rei. "Iya. Lo."
"But—"
"It's okay. Gue ngerti, lo sama Dhaka udah temenan lama. Dan di situlah gue ngerasa iri. Kayak, lo berdua udah kenal belasan tahun, jauh lebih dulu sebelum gue ketemu Dhaka. Kalian punya kenangan-kenangan sendiri, memori-memori sendiri, kayak ketika ngerayain ulang tahun bareng, apalagi kalian sama-sama lahir bulan Februari—"
"Regina doesn't like birthday, Sayang."
Juno mengerjap heran. "Really?"
Rei mengangguk. "Iya."
"Come to think of it," Tigra ikut angkat bicara. "Walau kita sama-sama lahir bulan Februari, kayaknya kita nggak pernah rayain ulang tahun bareng ya?"
"Emang yang Februari tuh siapa aja sih?" Milan kepo.
Jenar menjawab. "Gue, Regina, Dhaka, Tigra, Johnny."
"Rossa juga." Jella menambahkan.
"Gianna too." Johnny mengangkat bahu.
"PANTESAN ELU PADA ANEH SEMUA!!" Lanang melotot. "Sebagian besar dari lo pada tuh Aquarius!"
"Emang kenapa sama Aquarius?"
"Katanya sih, Bang, otaknya rada geser."
"Sadar diri, Nyet! Lo juga Aquarius!" Hendra menukas.
Lanang mengerjap. "MASA IYA?!"
"IYA!"
"Anjrit, ada ya orang yang amnesia ama zodiak sendiri?" Milan geleng-geleng kepala.
"Then, kalian semua mesti luangin waktu buat bikin acara makan-makan gede-gedean one day!" Juno tertawa ringan. "But why, tho?"
Dhaka memiringkan wajah. "Apanya?"
"Why Rei doesn't like birthday?"
"Karena—" Jenar tau, ngomongin kayak ginian tuh bukan sesuatu yang nyaman untuk istrinya, tapi sebelum dia bisa selesai bicara, Rei sudah lebih dulu memotong.
"I stopped celebrating my birthday when I turned 15." Rei membalas dengan tenang. "That day, my parents fought and my father slapped me in the face. Terus setelahnya, I didn't see the point to celebrate my birthday. Dhaka tau kalau gue nggak suka ngerayain, jadi mereka respect itu dan nggak pernah bener-bener ngerayain. Mark was different tho. Mungkin karena dia nggak tau, makanya dia tetap ngotot bawain kue."
"Oh." Juno jadi merasa agak bersalah. "Sorry—"
"Nggak apa-apa. Udah lewat juga. Tapi ya, emang, gue dan Dhaka punya banyak memori bareng-bareng, walau gue ragu, memori-memori itu akan se-memorable memori-memorinya sama lo."
"I know." Juno mengangguk. "Kita berdua ketemu di acara pernikahannya Rei sama Jenar. Otomatis, gue tau kalau Dhaka itu yang nganter Rei ke altar. I was curious, terus Dhaka jujur soal Rei yang katanya temannya dari kecil. Of course, awalnya gue ngerasa jealous. Tapi sekarang sih udah nggak."
"Karena udah nikah ya, Kak?" Lanang menerka.
"Itu salah satunya." Juno mengangguk. "Kalau dipikir pake logika ya, setelah belasan tahun nggak ngapa-ngapain dan tetap stay as friends sama Rei, kenapa juga gue harus takut Dhaka ngapa-ngapain sekarang? Besides, Rei juga happy dengan keluarganya sendiri."
"Kan bisa selingkuh, Kak." Hendra nyeletuk jahil.
"Gue sempat hang out beberapa kali ama Rei. Ama Jella juga. I think she's not that kind of person. Selain itu, gue juga cukup pede sama skill gue sendiri."
"Skill apaan tuh?"
"Skill to keep my husband's stomach full and his balls empty."
"Damn, girl." Jella tertawa seketika.
"I keep his stomach full, jadi dia nggak akan makan di luar. I keep his balls empty, jadi dia nggak akan jajan di luar." Juno nyengir.
"Bener, Bang?"
Dhaka terkekeh. "Hehe. Next question aja yah?"
"Mengalihkan ya?"
"Iya." Dhaka mengangguk, kemudian membaca pertanyaan berikutnya. "Punya sesuatu yang lo sesali dalam hidup nggak?"
Juno menggeleng. "Nggak, sih. Sebagai manusia, kita punya momen happy dan momen down kita sendiri-sendiri. Gue rasa, kita harus menerima semuanya, nggak bisa memilih salah satu. Kayak, coba lo bayangin aja, dunia nggak akan seimbang kalau sepanjang tahun hujan melulu atau sepanjang tahun panas melulu. Sama aja kayak hidup. Tears and laughter, we need both for balance. Apa yang gue alami itu yang udah bawa gue ke tempat gue berada sekarang, dan karena gue bahagia bareng Dhaka juga anak-anak kita, gue rasa nggak ada yang mesti disesali."
"Kalau aku sih ada."
Juno tersentak sedikit. "Apa?"
"Nggak ketemu kamu lebih cepat."
"Heh, gombal!" Juno berseru, walau tak lama, tawanya pecah. "Oke, next question. Hm... kayaknya pertanyaan sintingnya udah mulai."
"Apa tuh?"
"If you could have sex anywhere in the world, where would it be?"
"In the world ya?" Dhaka mengusap dagunya, terlihat berpikir. "Puncak Gunung Everest bisa nggak sih?"
"YANG ADA OTONG LO JADI ES KIKO DULUAN!" Yuta menyambar, ekspresi wajahnya kaget campur ngeledek.
"Apaan sih random banget kok Gunung Everest?"
"Banyak es-nya." Dhaka refleks saja menyahut.
"Terus apa hubungannya, Sayang?"
"Nggak tau. Kepikiran aja. Abis, kayaknya kalau untuk tempat normal di rumah, semua udah kita cobain nggak sih?"
"DI MANA AJA?!" Jenar memburu.
"Kok kepo?" Dhaka mencibir.
"Biar gue tau, tempat mana yang nggak boleh gue sentuh kalau gue main ke rumah lo!"
"Tebak aja."
"Anjrit, rumahnya udah nggak suci lagi." Milan berdecak tak percaya. "Kagak bakal main deh gue!"
"Gue juga ogah nerima lo di rumah gue!" Dhaka nyolot, berpaling pada Juno. "Kamu?"
"Loh, kamu udah jawab?"
"Ya itu, di puncak Gunung Everest. Namanya pertanyaan dari orang gila, ya kudu dijawab gila juga, Juno."
"Hm... di pesawat jet pribadi kali ya?"
Dhaka terbatuk. "Di pesawat?"
"Yoi. Unik kan? Nggak semua orang bisa."
"Itu kode, Ka." Tigra menyela.
"Kode apaan?"
"Kode biar lo beliin pesawat jet pribadi."
"Anjir, mau kerja sampe muntah-muntah juga mana bisa gue beli pesawat jet pribadi!" Dhaka sewot, tapi tatapan dan nada suaranya berubah lembut ketika dia bicara pada Juno. "Next question ya." Dhaka membuka gulungan selanjutnya, terus mukanya langsung asem. "Nang—"
"Ampun, Bang. Baca aja, Bang..."
Dhaka menghela napas. "Rough or romantic?"
"Kalau bisa dua-duanya, kenapa harus satu?" Juno balik bertanya.
"..."
"Lagian, selama ini kayaknya kamu seringnya rough deh."
"... JUNO—"
"Roughnya kayak mana tuh?" Sheza penasaran.
"Sampe susah jalan kalau mau ke kamar mandi."
"IH KOK TERDENGAR SERU?!" Rei terlihat excited.
"Lah, emang laki lo mainnya kayak gimana?" Jella jadi penasaran.
"He's soft almost all the time." Rei mengangkat bahu. "Je, sekali-kali coba gitu deh. Kalau selama ini ballad, next time kita coba genre rock-metal."
"Regina!" Jenar nggak siap membahas ini, because in a way, it turned him... on?
"Tapi dipertimbangin ya?"
Duh. "Iya, Regina."
"Yaay!"
"Lo kedengeran kayak anak SD yang seneng karena mau dikasih permen." Yumna mendelik pada Rei.
"Iya, kan mau dikasih perm—"
Jenar membungkam istrinya dengan menyuapi gummy bear dari kemasan permen yang baru dia buka. "Nah, sekarang aku kasih permen."
Juno tersenyum lebar. "Intinya ya gitu, tapi kalau harus milih satu doang... rough aja kali ya?"
"..."
"Dhaka juga lebih sukanya rough."
"Nggak ngerti lagi dah gue." Dhaka mendengus. "Next question. Last one."
Juno berdeham, mengambil pertanyaan yang tersisa dan membacanya. "What's your favorite time of day to have sex?"
"NANG IH!"
"Santai aja sih, Bang. Kak Regina aja professional. Masa lo yang laki-laki nggak?"
Dhaka manyun, dan Juno menyentaknya dengan tanya. "Sayang, dijawab dong."
"Kamu dulu."
"Aku kan selalu ikut jadwal kamu."
"Duh."
"Hehe."
"Malem Jumat kali ya?"
"Iya sih, tapi terutamanya hari libur kan ya?"
"Iya juga..." Dhaka baru tersadar.
"Kenapa hari libur?" Milan kepo.
Dhaka menatap satu-satunya jomblo dari grup Pejantan Tangguh, terus menyeringai sangar. "Because I can do that all day."
*
Perekaman konten Youtube Lanang hari itu ditutup dengan para bapak-bapak dan (calon) bapak-bapak kayak Milan balik mengerjai Lanang.
Tadinya, Lanang nggak berencana turut serta merekam konten buat valentine ini, tapi karena para anggota grup enggan jadi satu-satunya pihak yang dinistakan oleh Lanang lewat pertanyaan-pertanyaan nggak bermoralnya, maka mereka balik menyusun siasat.
Jadi, mereka kompak menghadirkan Delta ke studio pada waktu yang tepat, terus ramai-ramai menyusun pertanyaan nyeleneh untuk Lanang jawab.
Lanang sampai nyaris bersimpuh minta ampun sama para bapak-bapak, saking absurdnya pertanyaan yang mereka buat, diikuti rengekan;
"Bang... nanti haters gue makin banyak, Bang!" Lanang berujar pilu.
"Bagus dong, jadi makin anget." Yuta tersenyum jahat.
"Haters, Bang! Ha a te e er es, bukan heaters!"
"Gantian dong, Nang. Roda itu berputar."
"Bang, ampun, Bang!"
Ujung-ujungnya, Lanang hanya bisa jadi pasrah dan bikin Hendra kejang-kejang karena kebanyakan ketawa.
Setelahnya, tentu saja mereka rame-rame menjemput anak-anak yang dititipkan di apartemennya Hyena—yang mana Hyena syukuri, sebab ditinggal tiga jam oleh para orang tua, rasanya usianya seperti bertambah sepuluh tahun.
Punya anak tuh berat ya ternyata, mending gue pacaran aja terus, gitu kata Hyena.
Setelahnya... ya mereka kembali ke rumah masing-masing.
Malamnya, Wuje agak rewel. Anak itu menolak tidur di kamarnya sendirian, jadi Rei membawanya ke kamar tidurnya bareng Jenar dan membiarkan si bocah sibuk duduk di atas kasur sambil membuka halaman buku dongeng penuh warna ditemani Jenar yang duduk di dekatnya.
"Papa!"
"Iya?"
"Papa!!"
"Iya, Wuje?"
"PAPAHHHHH!!"
"'Sayang'nya ketinggalan, Je."
"Hadeh, bawel."
"PAPAHHHHHH!!"
"Iya, Sayang?"
"Ni apa?"
"Ini apa?"
"He-eh."
"Buaya."
"Aya?"
"Iya. Buaya. Dia suka gigit dan nyaplok."
"Plok?"
"Iya, gini." Jenar membentuk mulut buaya pakai tangannya, terus menggunakannya untuk mencaplok perut Wuje.
Anaknya ketawa keras-keras, langsung tumbang dan berbaring di atas kasur.
"Speaking of valentine, bentar lagi kamu ulang tahun." Rei berkata sembari mendekati ranjang dan duduk di tepinya, memicu Wuje untuk berguling dan merangkak cepat mendekati ibunya.
"Harusnya aku yang ngomong gitu, kan ulang tahun kamu duluan." Jenar membalas. "Any place you want to visit? Let's travel there."
"Disneyland? Wuje kayaknya bakal senang diajak kesana lagi."
"Regina, yang ulang tahun kamu, bukan Wuje."
"It's a family trip, then, karena kamu juga kan ulang tahun." Rei nyengir. "Tapi mana aja oke kok."
Jenar membuang napas. "Oke. Besok kita omongin ini."
"Je, aku pengen tanya sesuatu deh, tapi aku nggak tau kamu bakal mau jawab atau nggak." Rei menyahut, sementara Wuje berdiri dan mulai memeluk leher ibunya pakai kedua lengan.
"Tanya apa?"
"Tadi, di studionya Lanang, I don't know, kamu kayaknya bereaksi berbeda waktu Johnny ngomongin soal... pacar pertamanya."
"Oh... yang itu..."
"You were red. Kayak kesel banget. Kamu kenal mantannya Johnny?"
Jenar mengangguk. "Itu juga alasan kenapa aku nggak mau kamu dekat-dekat dia."
"Kenapa?"
"Ivory itu adiknya Ivonne."
"Sepupu kamu yang—"
"Iya." Jenar mengiakan cepat. "That night, when you almost died, Ivonne yang jadi donor untuk kamu. Itu balas budinya dia."
"Balas budi?"
"I saved Ivory from Johnny."
to be continued
***
Johnny pun..... pernah remaja.... dan punya rahasia... wkwkwk
Wuje jaman bayi
Masih Wuje jaman bayi
Wuje awal-awal baru bisa tengkurep.
wuje_bukan_rafathar
trims
***
a/n:
wkwkwk hm sesi lanang delta tuh ya...
gitu deh.
dah ah.
met malem.
mari kita saksikan, kenapa waktu wuje umur lima taon, johnny mau cere.
ciao.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top