27 | what?!

Lanang mengerjap takjub setelah dengar respon Jella dan Tigra buat pertanyaan nyeleneh yang ditulisnya last minute banget.

Iya, soalnya Lanang tuh sempat kehabisan ide, kira-kira pertanyaan ngaco macam apa yang mesti dia masukkan ke akuarium pertanyaannya Jella sama Tigra, terus Hendra bilang, "coba tanyain aja pengalaman seks yang paling memalukan" gitu.

"Sampe bingung gitu, saking banyaknya ya, Bang?" Lanang hampir lupa mingkem.

"Iya."

"Be grateful that I rescued you." Jenar membungkuk untuk berbisik pada Rei. "Kalau nggak, bisa-bisa kamu merana seumur hidup sama dia..."

"Merana apaan, laki gue jago ye!" Jella yang nggak terima langsung menyambar.

"Loh, emang yang bilang nggak jago tuh siapa?" Jenar mengangkat alis, memajang ekspresi wajah tanpa dosa.

Jella melotot makin galak pada Jenar. "Lo mau berantem?!"

"Asyik nih." Dhaka berpindah membuka bungkus kacang kulit.

"Bang Jenar, diem dulu!" Lanang berusaha melerai sekalian menyabarkan diri.

Demi AdSense dan trending Youtube! Begitu Lanang menekadkan dalam hati. Dia juga sudah memastikan, kalau video ini bakal dipecah-pecah jadi beberapa part sekaligus, sebagai tambahan untuk membayar lelahnya menghadapi para orang tua yang ternyata nggak paham-paham amat tata-cara syuting Youtube yang tertib no rusuh.

"Kak Jella, lo bebas mau tonjok-tonjokkan ama Bang Jenar, tapi please kita masih recording."

Tigra tertawa kecil. "Oke, mau kamu atau aku yang cerita?"

Jella berpaling pada Tigra. "Kamu mau ceritain yang mana?"

"Yang paling memorable yang tali itu nggak sih?"

"Bentar—kayaknya gue familiar—ANJING YANG TALI!!" Yumna menjentikkan jari, terus geleng-geleng kepala dengan mata melotot macam mau loncat keluar. "Udah gila lo berdua!"

"Apaan?!" Yuta memburu istrinya dengan berondongan pertanyaan.

"Ada lah! Gue ngiranya, Jenar sama Rei tuh udah paling sinting perkara kasur, ternyata ada yang lebih sinting lagi!!"

"KOK LO NGGAK PERNAH CERITA SAMA GUE SIH?!" Yuta protes. "GUE KAN SUAMI LO!"

"Lo nggak pernah nanya, padahal gue istri lo."

"Wah, kayaknya bakal parah nih..." Hendra menggaruk-garuk kepalanya yang nggak gatal.

"Tapi yang kayak ginian tuh emang boleh ya, Nang, dibahas-bahas gitu?" Rei bertanya, tampak agak khawatir.

"Bebas, Kak. Channel gue juga audiencenya mayoritas orang dewasa. Lagian, ntar kan Hendra turun tangan perkara sensor sama editing." Lanang nyengir.

"Gue mau minta bonus. Bodo."

"Iye, iye." Lanang berpaling pada Jella dan Tigra. "Silakan Bang, mulailah ceritanya!"

"Jadi, waktu itu tuh..."

"Gue sama Tigra lagi mau nyoba sesuatu yang baru." Jella berdeham.

Tigra mengangguk. "Jadi sebelum get in the act, gue nanya dong ke bini gue, hal baru macam apa yang pengen dia cobain."

"Gue terus bilang ke Tigra... kalau kita belum pernah main tali."

"WAH!!" Jenar mengusap dagu, terus menoleh ke Rei. "Kita juga belum pernah main tali nggak sih, Rei?"

"Bisa nggak ya, lo nggak mencuri screentime gue ama laki gue?!" Jella sewot, kemudian melanjutkan ceritanya. "Tigra setuju buat main tali."

"Nih main talinya dalam konteks yang gimana nih?" Yuta mengorek lebih jauh.

"You know... all tied up."

"APANYA YANG TIED-UP?!" Rei memandang horor.

"It's surprising hearing that from you." Yumna berpaling pada Rei. "Gue kira lo sama laki lo orangnya eksperimental..."

"Not really..."

"For me it's never sex, fellas. It's making love." Jenar menambahkan, kali ini dengan nada sombong dalam suaranya. "Elu-elu suka ngejekin gue napsuan, tapi sebenernya elu-elu lebih parah!!"

"Tapi kalau diiket gitu... emangnya bisa ya?" Sheza tau-tau nimbrung, bikin Kun sontak menoleh mendadak ke arah istrinya. Lalu, mukanya kelihatan berpikir keras.

"Diiketnya tuh ke..."

"... nih siapa ya yang pernah ke rumah gue terus masuk kamar gue?" Tigra melempar pertanyaan kepada para penonton.

"Pernah, waktu Wuje lari-lari sampe masuk kamar buat nyariin Cherry." Rei yang menyahut

"Kasur gue tuh ada empat tiang kan—"

"OHHHHH..."

Para penonton kompak bereaksi, kecuali Rossa yang lalu menarik senyum simpul, sementara Milan hanya bermuka masam. Yumna cuma memutar bola matanya, soalnya dia sudah tahu duluan kemana cerita ini akan bermuara.

"Jadi yaudah, he tied me up. All four."

"Terus?"

"Terjadilah." Tigra tertawa santai.

"Bagian memalukannya di mana, Bang?"

"Pas udahan, gue minta ke Tigra buat bukain ikatannya tuh. Kaget banget waktu ternyata talinya nggak bisa dibuka, karena ikatannya Tigra kuat banget, kayak ikat mati."

Para hadirin menyimak dengan serius.

"Panik sih ada ya, soalnya it was intense kan, otomatis tangan sama kaki gue pegal banget. Apalagi tangan yang lama keangkat ke atas gitu. Mana bekas ikatannya juga ninggalin bekas merah di tangan. Tigra akhirnya nyari gunting, tapi nggak ketemu-ketemu."

"Anjrit..." Dhaka ngakak. "Terus gimana?"

"Gue bilang ke Tigra suruh pakai pisau dapur aja, tapi Tigra ragu. Dia nggak comfortable make pisau dapur dekat banget sama lengan dan kaki gue, takut nggak sengaja keiris, nanti luka, atau lebih parahnya, di bagian lengan, takut kena nadi."

"TERUS?! NGGAK MUNGKIN KAN LO PANGGIL PEMADAM KEBAKARAN?!"

"Nggak lah!" Tigra tangkas menyergah.

"Posisinya juga susah sih, soalnya walau Tigra mau makein baju juga sulit, kagak bisa masuk." Jella meringis, terlihat malu karena kekonyolannya."

"Penyelesaiannya gimana?" Johnny ikut penasaran.

"SI TIGRA NELPON GUE!" Yumna menyambar. "Waktu itu kan gue belum jadi bininya si jamet Sudirman ini yah—" Yumna menuding pada Yuta yang kontan memasang wajah nggak terima. "—bayangin, malem-malem menjelang jam satu, gue ditelepon sama Tigra! Disuruh dateng buru-buru dateng sambil bawa gunting, katanya situasinya darurat!"

"Emang darurat ye!" Jella membela diri. "Lo biarin gue sampe pagi kayak gitu, tangan gue bisa-bisa mati rasa duluan!"

"Brengseknya, lo sama Tigra nggak nerangin situasinya kayak gimana, sampe gue nyampe!" Yumna nyerocos bete. "Ketika gue nyampe, gue dibukain pintu sama si Tigra. Orangnya udah kaosan, celana panjangan. Kelihatan normal aja, tapi mukanya khawatir abis. Gue tanya si Jella di mana, malah diajak ke kamar. Sempet suuzon tuh gue, apa jangan-jangan Tigra naksir gue—"

"NGIMPI." Jella menukas.

Tigra tertawa. "Tapi emang agak ambigu nggak sih? Yumna nanyain kamu di mana waktu itu, terus aku malah tarik dia ke kamar tidur. Mana malem-malem dan kondisinya juga lagi sepi..."

"Nah, pas gue nyampe di kamar, gue disambut konten deep web." Yumna menyindir.

"NGGAK DEEP WEB JUGA KALI!" Jella nggak terima.

"SAMA AJA!"

"Kaget ya, Juy?" Rei bertanya pada Yumna.

"Jumpscare The Conjuring kalah, Rei!" Yumna berseru secara berapi-api. "Mana si Tigra nih kagak ada inisiatifnya sama sekali! Diselimutin atau apa kek bininya, ini mah yailahhhhh nyampe-nyampe, gue disambut sama orgil!"

"Gue nggak gila ya!"

"Emangnya orgil yang gue maksud tuh orang gila?"

"Lah emang apa?"

"Orang bugil!!"

Tawa Jella meledak. "Kampret lo!"

"Harusnya lo bilang makasih sama gue!" Yumna mendengus. "Langsung istighfar gue. Beneran. Abis itu gue potong talinya pake gunting yang gue bawa. Malem itu, gue mimpi buruk pas tidur. Makanya, nggak heran nih dua orang berjodoh, dua-duanya sama-sama bangsyul!"

"Yah, kan gue mikirnya kalian sama-sama cewek, Na. Lagian, kalian tuh teman satu kos juga loh. Masa iya nggak pernah mandi bareng..." Tigra nyengir.

"NGGAK PERNAH!" Yumna menyambar.

"Loh, masa?!"

"Emangnya anak kos tuh selalu mandi bareng, Gra?" Rei bertanya.

"Anak-anak kosan sih pernah seenggaknya satu kali mandi berdua sama teman kosan yang lain." Tigra berujar dengan wajah polos. "Kayak gue sama Dhaka tuh ya... pernah mandi bareng karena keran kamar mandinya Dhaka rusak, jadi nggak bisa dinyalain. Kamar mandi bawah lagi dipake temannya Milan boker, terus kamar mandinya Milan lagi abis diguyur Vixal. Karena anak-anak kos lain lagi nggak di kosan, harapannya si Dhaka cuma gue. Posisinya gue juga mau ngampus. Otomatis biar hemat waktu, kita mandi bareng—"

Dhaka menyela dengan wajah memerah. "LENGKAP BANGET NYET JELASINNYA!!"

"Justru harus lengkap, biar orang-orang tau kalau kita mandi bareng karena dipaksa keadaan!"

"Lebih bagus kalau lo nggak cerita sama sekali sih, Gra."

"Yah, terlanjur..."

"Gross." Jenar berkomentar. "Untung gue tinggal sendirian di apartemen."

"Loh, kita kan juga pernah mandi bareng waktu SMA dulu, Je. Abis kelar latihan THS." Johnny nyeletuk, membuat Jenar menoleh cepat ke arahnya sambil menatap galak.

"KENAPA DIBAHAS, ANJRIT?!"

"Intinya gitu, jadi pelajaran aja kali ya buat yang lain... kalau mau main yang aneh-aneh, pastikan peralatannya lengkap, termasuk peralatan keselamatan." Tigra menutup ceritanya dengan pesan moral yang sungguh menyentuh.

"Oke, next question." Jella mengambil gulungan pertanyaan berikutnya. "Siapa yang paling boros diantara kalian?"

"Siapa lagi?" Tigra balik bertanya.

Jella mengangguk. "Tigra."

"Yap." Tigra mengiakan.

"Tigra nih boros banget orangnya. Yes I get it, dia emang dari keluarga yang nyaman secara materi, tapi kadang ya, ada waktunya buat slowing down gitu loh."

"Aku kan kalau belanja dikit, Sayang."

"Dikit tapi harganya nggak masuk akal. Nih kalau kamu public figure kayak Lanang, pasti comment section akun medsos kamu udah penuh sama komentar netizen yang nggak jauh-jauh dari, 'duit segitu cuma buat beli sepatu, kalau gue sih gue kasih ke anak yatim'."

Tigra terkekeh. "Honestly, I think we live humbly."

"Humble dari mananya?" Dhaka mencibir.

"Kalau mindset gue sih gini ya, harta tuh nggak dibawa mati. Jadi gunakanlah dengan baik saat masih hidup. Jangan pelit-pelit sama diri sendiri, juga sama keluarga. Kayak... gue tau Jella orangnya suka dress up yang cantik, punya fashion taste yang bagus, I can afford it, jadi yaudah, belilah fashion items yang emang dia pengen. Branded or not, nggak masalah buat gue. Atau kalau Jella mau spa bareng temen-temennya, silakan spa di tempat yang oke. Gue nikahin dia buat bikin dia happy, jadi whatever it takes, selama gue masih mampu, gue akan kasih apa aja yang bikin dia happy, mau itu yang bisa diukur pake materi atau nggak. Lagian, Jella juga bukan perempuan yang banyak mau. So, anything she wants, I want to give her the best of it."

Yumna mau buka mulut, tapi Yuta langsung menginterupsi. "Jangan bandingin gue ama dia, ye? Gaji kita beda jauh. Orang tua gue juga bukan turunan sultan kaya-raya tajir melintir tujuh turunan delapan tanjakan!"

"Terus kalau soal kasih anak yatim or whatever it is, gue punya alokasi sendiri untuk beramal kok. Tapi cobalah pikir gini, ketika apa yang lo mau udah terpenuhi, ketika simpanan lo sudah banyak, ketika lo sudah invest di mana-mana ketika berbagi sama orang lain pun sudah lo lakukan, terus setelah itu semua, uang lo masih cukup buat afford barang-barang yang meskipun mahal, tapi kualitasnya terjamin, ya kenapa nggak?"

"Bener juga sih."

"And it's easy to be generous with someone else's money." Tigra mengedikkan bahu, kemudian mengambil pertanyaan berikutnya. "Kalau ada zombie apocalypse, siapa yang peluang survivenya lebih gede?"

"Aku nggak sih?" Jella bertanya.

Tigra mengangguk. "Kamu."

"Karena Jella lebih bisa mikir daripada lo ye?" Jenar nyeletuk.

"Nggak, karena Tigra bakal ngelakuin apa pun buat mastiin gue survive, even though itu artinya dia mesti ngorbanin dirinya sendiri."

"Exactly."

"Sweet." Rei berkomentar, bikin Jenar refleks menoleh.

"Aku juga gitu kok, Regina."

"Tapi kan aku nggak nanya, Je..."

Jella tertawa, lantas mengambil pertanyaan berikutnya. "Dulu, sebelum ketemu pasangan yang sekarang, ada nggak mantan yang lo yakin mau lo nikahi?"

"Kamu dulu deh yang jawab."

"Nggak." Jella membalas lugas.

Milan yang baru menyedot Fruiteanya langsung tersedak sampai batuk-batuk, bikin orang-orang pada menoleh ke arahnya. Rossa memandang maklum, terus mengeluarkan sebungkus tisu dari dalam tasnya. Dia menggunakan sehelai untuk mengeringkan dagu Milan yang basah.

"You okay?"

Wajah Milan memerah. "Kaget doang gue, Cha!"

Jella tampak kalem. "No offense buat semua mantan gue, tapi dalam menjalani hubungan, biasanya gue seringnya mikir ya jalanin aja dulu, kita lihat ke depannya nanti gimana. Gue nggak tau ya kalau orang lain, kalau buat gue sih, gue pacaran ya karena gue mau kenal seseorang lebih jauh. Kira-kira, gue klop nggak ya sama dia? Gue soulmate dia bukan ya? Gimana caranya gue bisa tau dia sama gue cocok untuk saling menyayangi dan kerja sama buat seterusnya, kalau nggak pernah dicoba sama sekali?"

"Kalau nggak cocok, Kak?"

"Putus."

"Sesimpel itu?"

"Hubungan itu simpel. Suka dan sesuai ekspektasi, bisa dilanjut. Suka dan nggak sesuai ekspektasi tapi bisa saling kompromi, bisa dilanjut. Suka tapi nggak sesuai ekspektasi dan ketidaksesuaian itu nggak bisa diganggu gugat, kayak misalnya beda agama dan nggak ada yang mau ngalah, ya putus. Sederhana, cuma manusianya aja yang suka bikin ribet."

"Nggak takut buang-buang waktu?"

"Dalam hubungan, gue nggak pernah menganggap itu buang-buang waktu. Itu fase yang perlu gue lewati, untuk tau. Untuk bisa menentukan pilihan gue dengan penuh keyakinan, karena menyangkut sesuatu yang mau gue lakukan satu kali seumur hidup. Lagian, kayaknya lebih mending buang-buang waktu daripada memaksa yang nggak cocok untuk jadi cocok cuma karena udah pacaran lama, daripada terjebak sama orang yang salah seumur hidup."

"..."

"Terus, gue nggak 'nangkep' makna dari buang-buang waktu itu sendiri, soalnya apa ya... dalam hubungan di mana kita disayang dan menyayangi, kita dapet keuntungan emosional. Kita sempat ngerasain gimana rasanya disayang, gimana rasanya dipedulikan. I don't think it's a waste of time. Gue menghargai waktu-waktu yang gue lewati sama semua mantan gue, karena dari mereka, gue belajar dan makin tau apa yang sesungguhnya gue cari dan gue butuhkan... sampai gue ketemu suami gue yang sekarang."

"Harusnya kita tuh dikasih pertanyaan ini juga nggak sih, Regina?" Jenar berbisik pada Rei, tapi masih bisa kedengaran jelas, bikin Lanang memutar bola matanya.

"Your turn, Ti."

"Antara iya dan nggak." Tigra menjawab tenang. "Aku ngerasa, aku nggak keberatan sayang sama mantan aku untuk seterusnya, bahwa aku nggak akan pernah bosan. Aku nggak keberatan sama-sama dia untuk selamanya. Tapi aku juga tau, kalau kecil kemungkinan dia mau biarin dirinya bener-bener diikat dengan pernikahan, jadi ngajak dia nikah nggak pernah berani aku pikirkan, walau... mungkin aku inginkan."

"Understandable." Jella mengangguk, lanjut mengambil gulungan pertanyaan berikutnya. "Siapa yang paling gampang nyasar?"

"Aku."

"Mind to elaborate?"

"Diantara kita, aku yang jatuh cinta duluan, padahal aku nggak pernah meniatkannya."

"Nyet, malah gombal." Yuta geleng-geleng kepala.

"Nyasar itu artinya kan secara nggak sengaja, kita ada di tempat yang nggak kita niatkan sebelumnya, terus kita nggak tau gimana caranya kembali." Tigra menjelaskan, membuat senyum Jella perlahan terkembang. "Kalau kata lagunya Tangga sih, aku tersesat menuju hatimu."

"Tratak dung cesssss!!" Hendra memberi sound effect.

"Heh, yang boleh ngasih tratak dung cess cuma gue ye!" Yuta sewot.

Hendra kontan meringis. "Oiya... maaf, Bang..."

"Sori, yang tadi tratak dung cessnya nggak Yuta-approved."

"Iya, Bang. Maaf..."

"Oke... the last one..." Tigra mengambil gulungan berisi pertanyaan terakhir. "Di mana pertama kali lo ciuman sama pasangan lo? Hm, this is easy."

"Waktu aku baru pulang dari rumah sakit nggak sih? Habis operasi?"

Tigra mengangguk. "Gue baru nganter Jella balik abis dari rumah sakit. Terus saat itu, nyokapnya pamit mau ambil delivery kopi susu di lobi. Bokapnya Jella lagi di toilet. Kita belum pacaran, cuma ya... gitu deh. Tau-tau pengen cium."

"Hehe."

"Ketauan nggak?" Dhaka menyelidik.

"Nggak."

Jella berdeham. "Sebenarnya ketauan, cuma Papa nggak ngomong aja."

"HAH?! MASA?!"

"Iya."

"Kok respon Papa kamu gitu sih?!"

"Makanya, aku heran, terus pas kutanya, tau nggak jawaban Papa apa?"

"... apa?"

"Katanya... 'kalian ciumannya seru banget, Papa keasikan nonton'."

*

Pasangan berikutnya yang dapat giliran take adalah Sheza sama Kun.

Berhubung kayaknya mereka ini pasangan terwaras setelah Johnny sama Gia, maka wajar kalau keduanya minim drama. Mereka duduk dengan tenang, nggak banyak drama kayak Yuta atau banyak nge-gas kayak Jenar. Bajunya matching, kalem, meski Sheza kelihatan agak sangar dengan tato di bagian lengannya. Katanya sih, Sheza bikin tato itu nggak lama setelah lulus kuliah, dan Kun membiarkan saja.

"Oke, semuanya, nama gue Kun dan hari ini, gue main ke studionya Lanang bareng istri gue, Sheza."

"Nah, kalau openingnya waras dan lancar kayak gini kan enak!" Lanang mengacungkan jempol sekalian menyindir bapak-bapak sebelumnya. "Silakan, Bang, bisa dilanjutkan ke pertanyaan pertama."

"Kamu dulu apa aku dulu?" Kun bertanya ke Sheza.

"Kamu dulu aja, Mas."

"Oke kalau gitu." Kun mengambil gulungan pertanyaan pertama buatnya. "Apa yang lo lakukan ketika lo lagi marah sama pasangan lo?"

"Aku dulu yang jawab ya?" setelah melihat Kun mengangguk, baru deh Sheza melanjutkan ucapannya. "Waktu muda—"

"Sayang, sekarang juga kamu masih muda." Kun memotong.

"Oiya, maksudnya tuh waktu kuliah dulu, ketika masih teenager, gue nih orangnya rebel banget. I don't know, maybe it's because of my family's background? Orang tua gue divorce waktu gue baru umur delapan tahun dan gue punya dua abang, otomatis, gue lebih dekat sama abang-abang gue. Abang gue dua-duanya keras dan karena gue anak cewek satu-satunya, ada kalanya mereka nggak bisa ngertiin gue. I was a teenager full of anger." Sheza tertawa kecil. "Jadi kalau gue marah, marah gue biasanya violent. Nggak cuma ke mantan-mantan gue ketika SMA, tapi ke orang lain. I swore a lot, I shouted a lot. Dan gue nggak pernah mau diskusi soal sebab marah itu. I often shut people out."

Diantara para istri, Sheza ini adalah yang penampilannya paling gahar dan intimidating, tapi juga paling irit ngomong kalau mereka lagi ngumpul.

Makanya, nggak heran kalau bahkan Yuta pun diam tanpa komentar dan menyimak kata-kata Sheza dengan penuh perhatian, karena ini pertama kalinya dia lihat Sheza begitu.

Kun sependapat. "Dia ini emosional banget waktu kita baru pertama ketemu."

Sheza mengangguk. "Tapi setelah gue kenal suami gue, gue belajar banyak hal dari dia. Kalau gue marah, dia mau dengerin alasan kenapa gue marah. Dia nggak balas teriakan gue dengan teriakan lagi. Dia sabar banget dan responnya dia yang kayak gitu justru bikin gue mikir, lalu malu. Setelah kita nikah dan ada Lila, gue belajar makin banyak dari dia. Terus, jujur aja, Mas Kun jarang banget bikin gue marah. Malah, yang ada kayaknya sebaliknya, walau karena dia terlalu sabar, gue rasa marahnya suami gue bisa dihitung pake jari."

Kun tersenyum mendengarnya, bikin dekik tercipta di pipinya.

"Kata Mas Kun, kalau lagi marah, yang paling awal dilakukan tuh istighfar dulu, buat nenangin diri. Kalau marahnya nggak hilang, biasanya gue bawa tidur. Nah, saat udah bangun tidur, biasanya marahnya udah lebih reda, dan Mas Kun udah bisa ngajak ngomong. Tapi berhubung suami gue tuh orangnya pengertian banget, ya jarang sih kita berantem."

Kun mengiakan. "Kalau untuk gue pribadi, sebenernya nggak jauh beda. Dan istri gue tuh apa ya, kalau dikasih tau, mau ngedengerin—"

"Karena cara ngasih tau kamu nggak bikin aku ngerasa lagi diomelin, atau lagi digurui. Terus kamu juga ngomongnya nggak pake urat, tenang gitu, jadi ya aku juga nggak ada alasan untuk nggak ngedengerin."

"Aku seneng kalau kamu mikirnya gitu." lantas Kun menyambung. "Sebab Sheza ini orangnya mau ngedengerin dengan baik, ya gue jarang marah. Cuma kalau beneran lagi marah, biasanya gue bakal nenangin diri sendiri dulu, baru ngomong sama dia lagi. Dan dia ngerti, nggak maksa gue ngomong atau apalah itu. Dia nunggu. Soalnya gimana ya, kalau kita lagi marah, kadang kata-kata yang kita keluarin nggak bisa dikontrol. Gue bisa aja ngeluarin kata-kata yang sebenernya I didn't mean it, tapi kalau udah terlanjur keluar dan membekas, mau gue minta maaf kayak gimana pun, istri gue bakal terus inget."

"Pasangan yang ini vibesnya kalem banget..." Milan berbisik pada Rossa.

"Bener sih..."

"Beda jauh sama si—"

"APA LIAT-LIAT GUE?!" Yuta nyolot.

Milan buang muka. "Nggak apa-apa..."

"Pertanyaan selanjutnya ya?" Sheza beralih mengambil gulungan berikutnya. "Percaya hantu nggak?"

"... aku sih percaya mereka ada."

"Kalau aku sih percaya banget!! Apalagi sejak kasus Lila diganggu kuntilanak merah waktu masih bayi itu!!"

"Kuntilanak apaan nih, Bang?!" Lanang mencium bau-bau konten horor potensial.

"Ketika Lila bayi, dia pernah ditemenin sama kuntilanak merah. Sheza yang lihat. Untungnya, Sheza berani, jadi dia langsung ambil Lila dan baca doa. Tapi—"

"Ini kuntilanak yang pernah lo ceritain di grup waktu itu nggak sih?" Johnny mengernyit.

"Lo masih inget?! Iya, yang itu!" Kun berseru.

"Tapi apa nih? Kena tanggung!" Jenar mendesak.

"KUNTILANAKNYA BALES DENGAN NGELEDEK GUE!" Sheza heboh, bikin Dhaka sama Jenar nyaris terjungkal dari duduk. "Ngeledekin karena gue baca suratnya itu lagi-itu lagi! Abis itu mbaknya ngaji panjang banget, ampe gue minder!"

"Katanya, kuntilanak tuh emang demen sama bayi nggak sih?" Yumna berspekulasi. "Makanya waktu orang ket—Kwinsa baru lahir, gue dikasih kantung hitam gitu sama nyokap gue, isinya lidi, bawang putih sama rempah bangle buat dipenitiin ke bajunya si Kuin. Apalagi di halaman rumah gue kan ada pohon gede ya. Biasanya makhluk halus tuh demen pohon kayak gitu."

"Tinggal tambahin minyak, saos tiram sama kangkung, anak lo udah jadi tumisan." Milan meledek.

"Tapi nyatanya beneran ada kan yang gitu?!" Yuta membela diri.

"Hm... tapi Wuje kok nggak pernah diganggu ya?" Jenar jadi heran.

"LO MAU ANAK LO DIGANGGU KUNTI?!" Dhaka mengerjap tak percaya.

"Iya juga sih... apalagi belakang rumah udah kayak hutan kurang macannya aja gitu..." Rei ikut menimpali.

"REI!!" Dhaka speechless dibuatnya.

"Setannya beda server, terus minder duluan masuk sampe ke rumah lo, soalnya bajunya bukan merek Gucci!" Yuta berkata pada Jenar.

"Lo nggak mampu beli Gucci, tapi nggak minder ke rumah gue..."

"Sialan!"

Kun tertawa kecil, kemudian lanjut mengambil gulungan berikutnya. "Oke... lanjut. Pertanyaan berikutnya... siapa yang paling sering ngode kalau lagi pengen?"

"Pengen apa?"

"Pengen capcay!" Dhaka nyeletuk, kembali menebar garam. "Ya itulah! Pengen silaturahmi kelamin."

"Oh..." Sheza tertawa. "Kayaknya sama aja sih. Cuma Mas Kun bukan tipe yang ngode."

"Tipe yang langsung nerkam ya?" Tigra menebak.

"Nggak."

"Terus gimana?"

"Cuma nyamperin, terus senyum, terus bilang, 'Sheza, yuk?' gitu."

"Iya sih." Kun manggut-manggut. "Yang sering ngode malah kamu."

"Ngodenya gimana, Bang?" Lanang memancing.

"Mandi lama-lama, keluarnya wangi banget, terus pake baju dinas."

"Baju dinas tuh baju yang kayak gimana ya?"

"Baju haram." Sheza terkekeh. "Oke, lanjut. Kayaknya, anak lo sama anaknya Bang Jenar tuh dekat banget ya. Nah, pernah kepikiran nggak, kalian bakal gimana kalau seandainya anak kalian naksir anaknya Bang Jenar?"

Jeda sejenak, hingga Sheza jadi yang pertama bicara.

"I think it's very cute."

"Maksudnya tuh kalau kebawa sampe gede, Kak. Bukan naksir-naksiran bayi lagi."

"Hng..."

"I am going to tell her to find another one, apalagi kalau Arga nggak naksir balik sama Lila."

"Kalau naksir balik?" Lanang menukas.

"It's okay, cinta pertama itu nggak pernah berakhir baik."

"Kalau cinta pertamanya lanjut sampai mereka yakin mau terus sama-sama?" Lanang terus saja mendesak.

"It's gonna be hard, karena soal keyakinan, Arga sama Lila kan berbeda." Kun menjelaskan masih dengan suara yang amat terkontrol. "Gue akan menyarankan anak gue untuk naksir cowok lain aja, karena dalam suatu hubungan, menurut gue pribadi, persamaan iman itu penting."

"Kalau lo, Kak?" Lanang berpaling pada Sheza.

"Gue ngikutin apa pun keputusan yang dibuat suami gue."

Lanang nyengir, terus berpindah pada Jenar. "Kalau lo, Bang?"

"Lah, gue ditanya?!"

"Lo kan bapaknya Arganata, Bang."

"To be honest, jawaban gue sama dengan Kun. Dalam sebuah hubungan, yang Tuhan-nya sama aja suka ribet, apalagi yang Tuhan-nya beda. Besides, meski gue bukan orang yang religius banget, gue berharap anak gue akan stay satu iman sama gue hingga akhir. Emang sih, itu urusan pribadi, tapi harapan gue begitu. Walau kalaupun dia ngerasa panggilan imannya ada di tempat yang berbeda, gue akan menghargai itu, harapan gue ya tetap sama."

"Kalau lo, Kak?" Lanang bergeser ke Rei.

"Anything for my son's happiness. Apa pun yang bikin dia bahagia, selama itu nggak merugikan, menyakiti dan menjahati makhluk hidup lain, gue bakal menerimanya."

"Ngomongin bayi kok pada serius amat, anjrit!" Yuta geleng-geleng kepala. "Udah gila lo semua!"

"Namanya juga 'seandainya', Bang!" Lanang manyun, tapi terus katanya pada Kun. "Silakan dilanjutkan, Bang!"

"Pertanyaan terakhir..." Sheza menarik gulungan yang tersisa dan membukanya. "Morning sex for the rest of your life, or strictly sex at night?"

"Hm..."

"Mikir banget ye..." Yuta menimpali.

"Kenapa sih, pria mesti memilih? Apalagi dua-duanya sama-sama enak gitu." Dhaka ikut-ikutan.

"Kalau kamu sendiri gimana?" Kun bertanya pada Sheza.

"Anything will do. Aku ikut kamu."

"Hm... then... strictly sex at night."

"Alasannya?"

"Kalau pagi, waktunya terbatas."

"..."

"Sedangkan buat gue... kan nggak cukup satu ronde."

*

Saat tiba gilirannya Johnny sama Gia maju, nyaris nggak ada yang bersuara.

Bisa dimengerti sih, soalnya aura nih dua orang betulan tumpah-tumpah. Johnny adalah tipe lelaki serius nan rapi, yang sekalipun lagi pakai kaos, tetap dimasukkan dan pakai ikat pinggang. Gia apalagi, vibesnya wanita matang yang berwibawa. Dari jauh sama, bau duit dan hawa mahal sudah sangat terasa—dengan jenis yang berbeda sama bau duit dan hawa mahalnya Rossa sama Wirya.

"Nang,"

"I-iya, Bang?"

"Kok pada diam?"

"Speechless kayaknya, Bang." Lanang meringis, sementara Hendra yang sempat lupa mingkem pun manggut-manggut mengamini.

"Kalau gitu, kita mulai aja ya?"

"Sip, Bang."

"Ready, Wifey?"

"Yap."

Johnny berdeham, lalu mengawali. "Hello, everyone. Gue Johnny, yang hari ini diundang ke studionya Lanang untuk having fun dalam rangka menyambut hari valentine bareng istri gue, Gianna."

Gia tersenyum sedikit ke kamera, menyapa dengan keramahan yang tidak berlebihan. "Hai!"

Mengingat nama besar yang Gia miliki di bidangnya, Lanang sudah menerka, nih pasti viewers videonya bakal membengkak.

"Let's start with first question..." Johnny mengambil gulungan pertama, dan membacakan pertanyaan yang ada di dalamnya. "Are you happy right now?"

Jenar terbatuk.

Nih Lanang kayaknya memang sengaja memilihkan pertanyaan-pertanyaan yang damagenya mantulity untuk setiap pasangan.

Gia tertawa kecil. "Incredibly."

Johnny ikut tersenyum lebar. "Me too."

"Alasannya, Bang?"

"We're expecting a baby."

Yuta ngejengkang betulan, sementara Jenar refleks bangkit dari duduk. "EXPECTING—WHAT?!"

Dhaka mengerjap, lalu tanyanya polos. "UDAH GOL?!"

"Tell them, John."

"Tell them what?"

"That we're going to be parents." 

to be continued

***

"Oh..." 

"WOOOOOOWWWW!!" 

"BISA-BISANYA BUKAN GUE YANG JADI PENYEBAR GOSIP INI." 


***

a/n: 

hehehehehehehehehehehe 

met malem.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top