26 | sun

"Ini boleh gue jawab jujur nggak?"

Pertanyaan Milan itu nggak hanya menuai tatapan heran dari Tigra, tapi juga sikutan lengan Jenar di rusuknya Lanang.

"Anjir, Bang! Sakit!" Lanang protes.

"Lo tuh mau bikin konten apa mau bikin ribut?"

"Mau bikin konten keributan." Lanang menyahut ringan. "Justru itu poin serunya kita ngumpul di sini hari ini, kan? Pertanyaan-pertanyaan yang lo dapat nggak terduga, tapi gue pastiin, tepat sasaran. Makanya, gue bikin terpisah tuh. Lagian, dengan circle kayak circle kita gini yang mana si ini adalah mantannya si ini yang sekarang jadi suaminya si ini, kayaknya semua pertanyaan soal hubungan tuh bakal sensitif juga."

"Makanya, jangan nikah ama mantannya temen lo!" Yuta menyambar.

"Benar juga ya..." Jenar manggut-manggut.

"Je,"

"Iya, Regina?"

"Aku mantannya Tigra."

"Tigra bukan teman aku, Regina."

"Oke, next time lo adalah masalah rumah tangga lagi, nggak akan gue bantuin ya—" Tigra menukas, niatnya bergurau, namun Jenar cepat menyambar.

"BERCANDA, GRA! BERCANDA!"

Terus terang saja, Jenar juga nggak bisa membayangkan gimana situasi rumah tangganya sama Rei kalau waktu itu, Tigra sama Jella yang berkolaborasi jadi mediator mereka.

"Ini sesi gue woy!" Milan protes, sebab merasa nggak diperhatikan. "Gue nanya tuh barusan, dijawab belom?! Belom!"

"Bentar elah, lagi mikir." Jella menyahut. "Emang kita tuh putusnya kenapa sih, Lan?"

"Hah, lo lupa?!" Milan terlihat tersinggung berat.

"Duh, gimana ya..."

"Wajar." Yumna meledek. "Namanya udah bersama masa depan, ngapain masih inget-inget masa lalu? Apalagi, udah ada si Cherry."

Milan tersinggung berat.

"Nggak usah merengut!" Jella refleks berseru. "Oh—baru inget putusnya kenapa. Ini gara-gara kita berantem di depan Upnormal Fatmawati bukan sih?"

"Iya."

"Maaf, Kak, mau nanya aja." Hendra selaku pengendali kamera-kamera menyela. "Ini Kak Jella mau masuk frame nggak? Pas bagian jawab-jawabin mantan-mantanan ini doang sih, nanti kalau udah pindah ke question berikutnya, Kak Jella out dari frame lagi."

"Hah, emang boleh?!" Jella bertanya dengan mata terarah pada Tigra.

"Nanyanya ke Lanang, Sayang. Bukan ke aku, kan bukan aku yang punya channel Youtubenya." Tigra membalas.

"Tapi kan yang punya aku tuh kamu."

"TRATAK DUNG CESSSSSS!!" mulut Yuta tidak bisa tinggal diam.

Lanang nyengir. "Boleh sih. Biar lebih enak juga jawabnya, berhubung kedua pihak ada di sini. Lagian, kalau gue nggak salah inget, pertanyaan soal mantan tuh satu aja deh."

"Tau gitu, pas jawab memorable trip, Tigra mestinya ikut masuk aja ya ke frame tadi?" Rei iseng saja buka mulut, tapi kata-katanya berbuah manyun dari Jenar.

"Ngapain!? Regina, tau nggak, kalau ada orang udah berdua, terus ada yang ketiga, nah yang ketiga tuh setan!"

"Berarti gue setan?" Jella yang sudah beranjak dari kursinya kontan menghentikan langkah.

"DURASI ELAH!!" Milan protes lagi.

Jella nyengir, terus akhirnya duduk di kursi yang diambilkan Lanang. Dalam sekejap, Milan yang tadinya tampak seperti pengawalnya Rossa saking kaku gesturnya kini kelihatan kayak raja minyak beristri dua. Dia duduk di tengah-tengah, diantara Jella dan Rossa.

"Rasanya kayak mengenang masa lalu nggak sih?" Dhaka nyeletuk usil.

"Woiya, dulu kan Rossa sama Jella pernah ada gesekan gara-gara Milan."

"Kalau dipikir-pikir, lucu juga ya." Rossa senyum ke Jella. "Kita sempet drama banget cuma gara-gara cowok yang bahkan bukan jodoh kita."

Damagenya sampai ke usus dua belas jari Milan.

Sedangkan Lanang sama Hendra saling menatap, disusul Hendra yang diam-diam berbisik. "Nang, ini tuh tanda-tanda penolakan bukan sih?"

"Nggak tau, tapi kalau iya, wah harusnya kita calling si Sakura aja kali ya..."

Milan berdeham, walau sempat salah tingkah banget gara-gara ucapan Rossa. "Mantan gue yang terakhir sejauh ini tuh... Jella."

Jella mengangguk. "Iya, dia juga mantan terakhir gue sebelum gue nikah sama suami gue yang sekarang."

"Waktu itu, kita putusnya di depan Upnormal Fatmawati." Milan memulai, mengenang peristiwa bertahun-tahun lalu yang sejujurnya hingga sekarang, nggak bisa berhenti dia sesali. "Emang seenggaknya dua bulan sebelum putus, kita udah sering berantem. Gue capek sama kerjaan. Jella juga capek sama urusan di kantornya. Kalau ketemu—" Milan menghela napas. "—gue biasanya taking out stress gue ke dia."

Jella membenarkan lagi. "And it's very tiring. Setiap ketemu, kita selalu sama-sama ngeluh. Banyaknya soal kerjaan di kantor, tapi end up malah saling banding-bandingin beban masing-masing. Kayak, 'oh, kamu masih mending daripada aku' dan bukan cuma gue yang kayak gitu, tapi Milan juga. Ujung-ujungnya, saling cerita bukannya ngeringanin beban, justru nambah beban yang udah ada."

Milan mengangguk.

"Gue boleh ceritain sampai habis?"

Milan mengangguk lagi.

"Dan sometimes, nggak cuma soal itu doang, tapi stress juga berpengaruh pada gimana Milan nge-treat gue. Dia jadi kasar. Bukan hanya ngomongnya, tapi tindakannya yang lain. He held my hand too tight. When he kissed me, gue nggak lagi ngerasa disayang. Rasanya kayak dia cuma lagi taking out capek, stress dan marahnya ke gue."

"Di depan Upnormal Fatmawati itu sepenuhnya salah gue." Milan menambahkan. "Kita sama-sama capek, mau dinner. Gue tanya Jella, mau makan apa. Dia bilang terserah. Klasik, tapi karena gue lagi lelah banget, jatuhnya jawaban itu jadi nyebelin. Akhirnya gue bawa dia ke Upnormal. Dia protes, soalnya belum makan dari siang dan nggak mungkin banget makan Indomi. Kita berantem di mobil. I almost hit her. Jella kaget, abis itu langsung turun dari mobil dan pulang naik taksi."

"That moment I realized, that he's not the one." Jella turut berujar, bikin Milan menarik senyum pahit. "Bukan sepenuhnya salah dia. Salah gue juga. Tapi gue sadar, karakter kita dalam menghadapi tekanan tuh nggak jauh beda. Sama-sama keras. Sama-sama ngotot. Ibarat kata, dia api dan gue pun api. Kalau ketemu, yang ada bukannya reda, malah makin kebakar."

Tigra mendengarkan percakapan itu tanpa berkomentar, meski ekspresi wajahnya sukar dibaca. Selama ini, dia nggak pernah menanyakan sebab kenapa Jella putus sama Milan. Menurutnya, semua orang punya masa lalu. Dia juga punya masa lalu sama Rei, dan Jella menghargai itu, nggak mendesaknya dengan pertanyaan maupun rasa cemburu yang nggak perlu. Makanya, Tigra juga balik menghargai masa lalu Jella.

Dia ngerasa, kalau Jella mau cerita, perempuan itu pasti akan cerita.

"Setelah putus, gue sempat sendiri beberapa lama, hingga gue ketemu suami gue yang sekarang. Kita pacaran bentar doang. Paling juga cuma setahun, but in his own way, dia berhasil meyakinkan gue kalau 'oh, ini loh laki-laki yang gue rasa bisa gue jadiin teman seumur hidup'. Laki-laki yang bisa jadi air ketika gue lagi berapi-api. Laki-laki yang nggak taking out stress dan rasa kesalnya ke gue, terutama ketika gue nggak salah. Laki-laki yang bisa ngajarin gue banyak hal tanpa bikin gue ngerasa bodoh. Dan itu gue temuin di suami gue yang sekarang."

Milan diam saja.

"Bukan berarti Milan buruk banget, atau suami gue baik banget. Gue percaya, setiap orang punya sisi baik dan sisi buruk masing-masing, tapi ada orang-orang yang lebih cocok jadi teman, dan ada yang cocok jadi pasangan. In our case, gue dan Milan... kayaknya emang lebih cocok jadi teman aja. Sebagai teman, kita bisa saling mendukung tapi sebagai pasangan, bisa jadi kita akan saling menghancurkan."

Milan tidak menjawab.

"Dalam hidup, ada beberapa hal yang gue rasa, lebih baik dibiarkan nggak menjadi apa-apa."

Rossa menatap Milan dengan penuh simpati, sebelum tangannya terulur buat mengusap punggung Milan. Sentuhannya berhasil bikin cowok itu tersentak. Dia menoleh ke arah Rossa, yang balas tersenyum padanya, seperti lagi menyemangati.

Milan tertunduk, wajahnya terasa menghangat dan dia makin salah tingkah.

"Udah belom nih?" Jella bertanya ke Lanang.

"Mantul, Kak!"

Lanang mengacungkan jempol, yang jadi tanda bagi Jella untuk beranjak. Perempuan itu kembali duduk di samping Tigra yang lantas meraih tangannya. Jari-jari Tigra mengisi ruang kosong diantara jemarinya, sementara ibu jari lelaki itu menggambar pola lingkaran tak menentu di kulit punggung tangan Jella.

"Oke, Kak Ocha, bisa ambil pertanyaan berikutnnya!"

"Oh... oke!" Rossa mengambil satu gulungan pertanyaan dan membuka. "Masih ingat nggak, dulu waktu pertama kali ketemu gimana?"

Milan menatap Rossa. "Hm... pertama kali lo sama gue ketemu ya?"

"Kalau lo nggak inget, nggak apa-apa, Lan. Wajar. Kayaknya sih cuma gue yang dulu inget gimana pertama kali ketemu." Rossa nyengir. "Just fyi aja, buat penonton channelnya Lanang, dulu tuh gue beneran naksir sama Milan sampai ke tahap garis keras. Apa ya... udah macam cewek SMA ke cowok Kpop kali ya saking kerasnya?"

"Masa iya sih, Ros?"

"Iya! Lo nggak tau, gue pernah bela-belain bleaching rambut terus warnain rambut gue jadi lilac karena lo bilang warna lilac bagus untuk gue?!"

"Gue pernah bilang gitu?"

"Wah, parah banget!"

"Nggak apa-apa, Kak Ocha, yang penting Bang Milan udah kena karmanya."

Rossa menatap pada Lanang, kelihatan nggak ngerti. "Karma apa?"

"WOKEYYYYY!! GUE INGET GIMANA GUE PERTAMA KALI KETEMU LO!!" Milan memotong sebelum Lanang bisa cuap-cuap berlebihan.

Bisa berabe kalau sampai ada yang keceplosan bilang soal Milan yang mulai resah sama perasaannya sendiri gara-gara Rossa. Mereka kan belum dekat-dekat amat. Gimana kalau nantinya Milan malah bikin Rossa ilfeel?

"Lo inget?!" Rossa berpaling pada Milan.

Milan tampak nggak yakin. "Iya... inget... pas itu lo sama anak-anak Sadewo lagi ke kosan gue nggak sih?"

"Iya!" Rossa tampak girang bercampur nggak percaya. "Nggak nyangka, ternyata inget! Terus gimana, Lan?"

"Hng... lo lagi minum Sprite, duduk dekat tangga—"

"Kayaknya... kalau minum Sprite duduk dekat tangga sambil nungguin Tigra turun tuh gue deh, Lan. Bukan Rossa." Rei menyela.

MAMPUS, KETAUAN BOONGNYA.

Tapi Milan pura-pura sok cool. "Masa iya? Nggak sama Rossa juga? Pas itu kan rambutnya Rossa masih item, belum diapa-apain."

"Oh, kayaknya saat itu, Rei emang masuk duluan deh, Lan. Soalnya dia kan nyariin Tigra sama Dhaka. Gue masih rada di depan, sibuk ngeladenin basa-basinya Jaka apa ya kalau nggak salah. Dia juga lagi main ke kosan kalian kan." Rossa tampak seperti mengingat-ingat. "Terus... sempat ketemu Wirya juga, tapi dia cuma lewat doang sih, abis beli nasi goreng. Habis itu gue baru masuk dan papasan sama lo yang baru keluar dari kamar lo."

"Masa iya?"

"Iya. Lo abis cuci muka atau apa ya gitu, pokoknya rada basah, terus basahnya sampai ke bagian depan baju lo. Nggak tau karena refleks atau kebiasaan di kosan nggak ada anak cewek, lo main buka kaos aja di depan gue."

"... Nang, ini bisa sensor nggak?"

"Hah, kenapa mesti disensor?!"

"Malu gue, Ros." Milan mengakui.

"Nggak apa-apa. Jujur, gara-gara lo buka baju itu tuh ya, gue jadi naksir banget sama lo."

"..."

"Body lo manjiw banget ketika itu."

"Berarti sekarang nggak ya, Kak?" Hendra iseng nyeletuk.

"Nggak tau, kan kalau yang sekarang belum pernah buka baju depan gue."

"Wah, tantangan bukan tuh?"

Milan batuk-batuk, sementara Rossa tersenyum kalem. "Tergantung, Milan nganggapnya apa."

"Kalau dianggap tantangan?"

"Nang, lo bukan juru bicara gue!" Milan berseru.

"Makanya ngomong dong, Bang!" Lanang makin tergerak buat manas-manasin Milan.

"Kalau dianggap tantangan... Milan bisa kasih tau kapan siap buka baju di depan gue." Rossa menukas, yang membuat wajah Milan memerah.

"Kasih minum tuh anak orang, takutnya nggak bisa napas!" Jenar meledek, membuat Milan bersungut-sungut.

Kata-kata Jenar bikin Kun nyengir, walau sebagai orang yang baik hati, dia mengambil sebotol air mineral dan mengantarkannya pada Milan.

"Lan, gue cuma bercanda." Rossa jadi agak merasa menyesal. "Jangan dianggap serius gitu, njir! Muka lo merah banget!"

"Nggak, nggak merah." Milan menyergah.

"Tapi ya jujur, untuk ukuran mahasiswa, dulu badan lo tuh bagus banget. Kayaknya, dari semuanya, lo yang paling sixpack deh."

"Ros, lo belum aja lihat gue buka baju waktu itu!" Jenar berkata, yang ditambahkan oleh Yuta.

"Bener! Milan mah body doang bagus, Cha! Aslinya cemen tau! Urusan ngangkat galon sama masang gas di kosan tuh gue loh yang handle! Milan sama Dhaka mana bernyali, goreng ikan aja mereka pake helm! Wirya juga tuh, terlalu pangeran dia mah buat ngangkat galon!"

"Kagak ada yang nanya, Tuy." Yumna menyahut jahat.

"Deileh, dulu juga lo jatuh cinta sama gue karena gue ajarin buka kaleng sarden!"

"Oh... pantesan pas kalian nikah, suvenirnya sarden dipitain..." Kun berspekulasi.

"Kirain gue karena irit budget makanya sok-sok unik..." Jenar ikutan menimpali Kun. "Tapi intinya, Ros, kalau lo bilang badannya Milan jaman mahasiswa paling sixpack, gue nggak setuju."

"Harusnya dulu kamu buka baju di depan Rossa kali ya?" Rei membalas, bikin tawa Yuta sama Lanang pecah seketika.

"Nggak gitu, Regi—oh ya, nih! Tanya aja sama Regina! Dia udah pernah lihat gue nggak pake baju waktu jaman kuliah!"

Rei melotot. "Je—"

"Sixpack mana, Rei?" Jella sengaja meledek.

"Nggak tau, nggak bisa bandingin. Soalnya gue kan cuma lihat punyanya Jenar doang, nggak lihat punyanya Milan."

"Rei, sori berat tapi bahasa lo ambigu banget." Milan meringis.

"Oiya, maksudnya, gue cuma pernah lihat badannya Jenar doang, kalau badannya Milan belum."

"Mau dipernahin nggak, Kak?" Lanang iseng saja.

"NGGAK!" Jenar memotong. "Udah deh, daripada lo pada ngeledekin bini gue, kembali ke laptop aja! Kasihan nih Milan, masa di sesi interviewnya dia, dia masih tetap aja jadi figuran?!"

"Lo duluan yang nyela!!" Milan mendengus.

"Apa pun itu lah ya," Rossa mengedikkan bahu. "Mau ada yang nggak terima kalau gue bilang badan lo jaman mahasiswa dulu paling oke, intinya gue tetap mikir begitu. Mana dulu kan lo cokelat-cokelat gitu, jadi lebih seksi."

"Kayak sekarang udah putih aja." Dhaka kembali menebar garam.

Rossa ngakak, namun ya, ngakaknya Rossa masih tetap cakep kayak princess. "Terus wangi deh lo. Wangi cowok gitu, yang parfumnya tinggal nyisa dikit, nyampur ama bau tembakau yang manis-manis gitu. Di mata gue waktu itu, lo laki banget. Terus habis itu lo senyum."

"Pasti tengil banget." Johnny berkomentar.

"IYA!" Rossa membenarkan. "Tapi tengilnya itu yang bikin gue suka. Haha. Duh, masa labil jaman remaja tuh emang ya... memorable banget. Susah dilupain."

"Iya, sama. Susah dilupain."

"Kalau di kasus lo yang dulu, kayaknya lo lebih susah lupa sama Jella daripada sama gue ya?" Rossa meledek.

"Tapi kalau dibandingin, kayaknya lo masih lebih susah lupa sama Wirya daripada sama gue." Milan bergurau.

Rossa memiringkan wajah. "Nggak usah ngomongin Wirya deh."

"Emang kenapa?" Milan mengangkat alis.

"Lagi sama lo, mending ngomongin lo aja. Ngapain ngomongin orang yang nggak ada di sini?"

Yuta sudah tergerak banget mau menambahkan backsound 'tratak dung cess' tapi sebelum dia sempat melakukannya, Yumna sudah lebih dulu menyumbat mulutnya pakai risol yang baru setengah dihabiskan perempuan itu.

Milan batuk-batuk, lalu ujarnya. "Oke, pertanyaan berikutnya—hm... perubahan paling drastis yang lo lihat dari pasangan lo dibandingkan sama mereka yang dulu?"

"Hm."

"Btw, kok pasangan sih, Nang?!" Milan protes. "Gue ama Rossa kan—"

"Loh, Lan, kita kan emang pasangan." Rossa memotong.

"Maksudnya?!"

"Dalam game ini kan mesti berpasangan dan lo yang sekarang jadi pasangan gue. Otomatis kita pasangan. Jadi nggak salah dong Lanang nulis gitu?"

"Oh..."

Kirain pasangan beneran, bukan pasangan dalam game...

"Hm."

Ekspresi wajah Rossa berubah jadi serius, sementara dia menumpukan dagunya pada kedua tangannya yang disatukan hingga membentuk kepalan. Matanya menatap lurus pada Milan. Milan melongo, salah tingkah campur deg-deg-an.

"Si Milan kayak anak perawan yang baru diajak taarufan." Dhaka berkomentar, bikin Kun nyengir.

"Masalahnya, yang ngelihatin dia kayak gitu kan cewek secakep Rossa, Ka."

"Kamu kalau dilihatin kayak gitu sama Kak Rossa bakal salting nggak, Mas?" Sheza yang sedari tadi diam tiba-tiba menembak Kun dengan pertanyaan.

"Hng—ya nggak dong, Sayang." Kun agak panik.

"Bohong ya?"

"Nggak, Sheza. Aku cuma bisa salting sama kamu doang."

"Ah, bohong tuh." Yuta sengaja memancing huru-hara.

"Iya, waktu kita lihat-lihat Ducati, salesnya ada yang seksi banget, terus Kun salah tingkah." Jenar ikut-ikutan.

Kun melotot pada kedua temannya, tapi nggak sempat mengomel karena Sheza sudah menatapnya dengan lekat.

"Benar, Mas?"

"Astagfirullah, Sheza, emangnya aku pernah ke dealer Ducati? Kamu tuh jangan percaya sama mereka, tau sendiri mulut mereka dikendalikan sama setan!"

"Oh... iya juga ya..."

Yuta sama Jenar langsung ketawa sambil high-five sebelum kembali memusatkan perhatian mereka pada Rossa dan Milan.

"Ros, kenapa ngelihatinnya kayak gitu?"

"Lagi cari tau... apa yang beda dari lo..."

"..."

"Kayaknya nggak ada beda yang drastis sih."

"..."

"Masih cakep kayak dulu."

"..."

"Terus sekarang tambah wangi, style-nya udah lebih rapi dan udah lebih dewasa juga."

Milan berdeham. "Berarti gue doang yang ngerasa lo beda banget sekarang ya?"

"Bedanya di mana?"

"Lo cantik."

"Itu sih karena lo-nya aja yang baru nyadar, Lan. Dulu kemana aja?"

"Sibuk ngejar gue." Jella nyeletuk dari belakang kamera.

"Oh ya, bener juga." Rossa manggut-manggut.

"Nggak. Lo beda dibanding dulu. Dulu emang cantik, tapi sekarang jauh lebih cantik. Karena lo kelihatan dewasa. Lo bukan lagi cewek yang ngelakuin hal nggak penting kayak nungguin gue di depan gerbang departemen gue cuma buat ngasih gue cokelat." Milan menjelaskan. "Lo melakukan sesuatu yang lebih penting, dan lo tau apa yang mau dan nggak lo mau dalam hidup. Lo udah jauh lebih percaya diri, apalagi dengan semua pencapaian lo."

"..."

"You're glowing."

"..."

"Lo cantik banget sekarang, Ros."

"Kayaknya, gue yang dulu nggak cukup cantik buat bikin lo balik naksir gue ya?"

"Mungkin." Milan mengangkat bahu. "Tapi dalam banyak kasus jatuh cinta, cantik itu bukan faktor penyebab satu-satunya kan?"

"Apa gue yang sekarang cukup cantik buat bikin lo naksir gue?"

"... lebih dari itu."

Senyap sejenak. Nggak ada yang berkomentar. Hanya Milan dan Rossa yang saling menatap dalam diam.

"Well..." Milan berbisik.

"Oh, well..." Rossa setuju, lantas dia mengulurkan tangan, mengambil gulungan kertas lainnya dan masuk ke pertanyaan berikutnya. "Jodoh material buat lo tuh gimana sih?"

"Hm... ada beberapa dan mungkin bakal panjang."

"Oke, how about you say one and I'll reply with another one from my point of view?"

"Sounds good." Milan setuju, terus katanya. "Seseorang yang paham kalau cinta, nggak selamanya akan terasa seperti cinta yang sebelumnya lo kenal."

Rossa batal mengutarakan jawabannya. "Maksudnya?"

"Romance fades from time to time. Rasa cinta yang seseorang punya ketika baru awal pacaran, akan berbeda dengan rasa cinta yang dia punya saat anggaplah, mereka sudah sepuluh tahun nikah."

"Maksud lo, cinta itu bisa kadaluarsa?"

"Mungkin iya, atau mungkin nggak. Bisa aja, cinta itu berubah jadi rasa cinta yang jenisnya berbeda dari awal. Dan gue mau seseorang yang kelak gue nikahi, mengerti itu."

"Hm... oke..."

"Your turn."

"Laki-laki yang dewasa secara emosional. Orang yang bisa bertanggung jawab sama emosi, pilihan dan tindakannya, jadi dia nggak akan menyalahkan orang lain atau keadaan ketika dia ngelakuin sesuatu yang salah."

"Bisa dimengerti." Milan mengangguk, terus menyebutkan kriterianya yang berikutnya. "Selanjutnya, gue rasa gue menginginkan pasangan yang mengeluarkan effort yang sama untuk menjaga hubungan itu. Dalam hubungan itu, kalau mau berhasil ya dua-duanya mesti gerak, kan?"

"Agree." Rossa setuju. "Basic kindness dan basic manner. Gue melihat laki-laki baik atau nggak dari gimana dia nge-treat orang-orang yang nggak penting buat dia secara pribadi. Misalnya kayak cleaning service, tukang parkir atau sejenisnya. Kalau dia baik, dia akan sopan ke semua orang, nggak memandang siapapun orang itu. Bukan cuma ke orang yang dia anggap spesial."

"Next... for me... ketika gue dan dia bisa berada dalam satu ruangan dan saling diam, nggak ngelakuin atau ngobrolin apa pun, tapi nggak merasa awkward. Like... comfortable silence. Keyakinan bahwa sama dia, gue hanya perlu ada dan itu udah cukup bikin gue nyaman tanpa kita mesti maksain ngomongin sesuatu cuma biar nggak saling diam."

"For me... pasangan gue... harus bebas dari addictions apa pun, mau itu narkoba, ketergantungan alkohol yang berlebihan, judi, apalagi main perempuan. My preference."

"Kalau gue addicted ke lo gimana?"

"Then it's okay." Rossa nyengir. "Your turn."

"Seseorang yang nggak self-centered dan egois."

Rossa mengangguk lagi. "Seseorang yang jujur."

"Seseorang yang mau kerja sama dengan gue dalam hubungan itu sendiri."

"Seseorang yang punya penghasilan pasti."

"Dan yang terpenting, seseorang yang bisa kerasa kayak teman buat gue."

"I was about to say that too." Rossa tertawa. "Kita sehati kali ya?"

"Bisa jadi." Milan terkekeh, sudah lebih relaks. Kemudian, dia mengambil gulungan kertas lainnya. "Ada niatan ngajak pasangan lo nge-date nggak?"

Rossa menoleh pada Lanang. "Lo lagi pengen jadi Pak Comblang apa gimana nih, Nang?"

"Iseng-iseng berhadiah, Kak." Lanang ngeles.

Rossa memutar bola matanya seraya menahan senyum, terus dia berpaling pada Milan. "Jawab."

"Lo dulu."

"Lo yang ambil pertanyaannya. Lo jawab duluan."

"Tergantung."

"Tergantung apa?"

"Lo mau gue ajak nge-date apa nggak?"

"Kalau gue mau?"

"Kita tentuin hari."

"Gue rasa sudah cukup menjawab pertanyaannya." Rossa terkekeh, disusul meraih gulungan terakhir dan membukanya. "Kalau ini dare dan kalian harus ciuman, kalian bersedia ngelakuin apa nggak?"

"NANG!" Milan mendelik pada Lanang.

"Bang, diantara semua couple, pertanyaan lo tuh paling waras loh!"

Milan manyun, sementara Rossa tertawa kecil. "Kenapa panik banget sih?"

"Pertanyaannya bikin panik!!"

"Nggak usah panik, kan tinggal dijawab."

"Ros—"

"Ini maksudnya, kalau ditantang, gue bakal cium Milan apa nggak. Gitu kan?"

"Iya, Kak."

"Tolong ya—"

Kata-kata Milan terinterupsi ketika Rossa tau-tau beranjak dari duduk, kemudian mencondongkan badan dan mencium pipinya.

"I just did."

"... itu sih peck namanya, bukan kiss."

"Tium pake emut-emut dong..." Yuta ngeledek.

Rossa tergelak lagi, tidak mengantisipasi sama sekali tatkala Milan ikut bangkit dari kursinya dan mencium sekilas pelipisnya.

"Milan—"

"I just did too."

*

Butuh seenggaknya lima belas menit buat Lanang untuk menenangkan kehebohan yang tercipta karena adegan kecup-mengecup yang Rossa dan Milan lakukan.

Yuta bertepuk tangan. Jenar nyengir. Kun tercengang. Dhaka buang muka dengan ekspresi seperti baru menyaksikan sesuatu yang menjijikkan. Tigra melongo. Johnny geleng-geleng kepala.

Setelah kehebohan selesai, barulah sesinya berlanjut ke bagian Tigra sama Jella.

"Firasat gue, bakal banyak teh tumpah di sini." Yumna berspekulasi.

"Kayaknya sih gitu." Yuta melirik Jenar.

"Apa lirik-lirik gue?!" Jenar langsung bereaksi galak.

"Nggak usah ge-er, dia lirik lo karena dia punya mata!" Dhaka merespon, nggak kalah galak.

"Fokus, Bang! Oke... mulai dari introduction!"

"Oke." Tigra mengangguk. "Nama gue Tigra dan yang ada di sebelah gue sekarang ini adalah istri gue, Jella."

"Perlu diperjelas nggak nih soal skema permantanan?" Hendra berujar. Cuma iseng, tapi cukup untuk mengundang pecahnya tawa menggelegar milik Yuta.

"Nggak usah, ntar gue bikinin peta relationshipnya di depan."

"Peta relationship anjeeeenggggg udah kayak drama Korea!" Yuta makin ngakak.

"Oke, langsung mulai aja ya?" Jella berkata, lalu dia mengambil gulungan pertama dari dalam akuarium dan membaca pertanyaan yang ada di sana. "Pernah nggak cemburu sama mantannya pasangan lo?"

"TELAK BANGET LANGSUNG MENUSUK UMBAI CACING!!" Yuta berseru, sudah kayak penonton bayaran.

"Siapa dulu yang mau jawab?" Tigra bertanya pada Jella.

"Kamu dulu nggak apa-apa, Ti."

"Jujur ya?"

"Em-hm." Jella mengiakan.

"Pernah apa nggak cemburu sama pasangannya mantan? Mungkin konteksnya dari pertanyaan ini tuh Milan kali ya? Soalnya mantannya istri gue yang satu circle sama gue ya si Milan. Terus terang, nggak."

"Beneran nggak?" Milan menyelidik, tampak kecewa.

"Iya, soalnya gimana pun juga, lo itu masa lalunya. Masa lalu Jella adalah milik Jella. Masa lalu gue, ya milik gue. Masa depan, tuh baru punya kita berdua." Tigra menjelaskan jawabannya. "Lagipula, apa yang mesti dicemburuin juga? Sekarang, yang ada di sebelahnya dia sebagai suaminya, yang bisa megang tangannya, yang peluk dia sebelum tidur ya gue, bukan lo. Harusnya sih lo yang cemburu sama gue, bukan sebaliknya."

"Ti, kamu jahat banget jawabnya." Jella tertawa.

"JAHAT TAPI LO KETAWA!!" Milan bersungut-sungut.

"Kan harus jawab jujur, Lan." Tigra berkilah. "Terus lo tuh ya, udah dapet sun dari Rossa, masa masih bete juga sih?"

Checkmate banget, soalnya Milan langsung bungkam, mendadak deg-deg-an berlebihan teringat bagaimana Rossa mencium pipinya tadi.

"Giliran kamu." Tigra berkata.

"Ini casenya berarti aku cemburu sama Rei?"

"Mantan aku yang satu circle sama kamu kan Rei doang, Sayang."

"Nih, mau beneran jujur ya." Jella nyengir, melirik sekilas pada Jenar dan Rei yang duduk bersebelahan, lantas sambungnya. "Ti, kamu tau kan dulu pas awal jadi mahasiswa baru, aku sempat dekat sama Jenar? Kebetulan juga, dia jadi salah satu senior pembimbing ospek fakultasku dulu."

Saat mereka kuliah dulu, memang ada ospek khusus yang dilaksanakan di tingkat fakultas. Jadi, mahasiswa dari berbagai departemen di satu fakultas akan disatukan dalam sebuah kelompok dan diberi tugas-tugas ospek. Mereka akan dibimbing oleh dua senior pembimbing, yang biasanya berasal dari departemen yang berbeda-beda, tapi masih sama-sama satu fakultas.

Tigra mengangguk. "Em-hm."

"Dulu, Jenar duluan yang deketin aku. Perhatian banget. Suka main ke kosan. Bantuin aku kalau aku kesusahan."

Jenar jadi agak salah tingkah campur merasa bersalah dengar ceritanya Jella, sedangkan Johnny hanya tersenyum tipis.

"Aku sempat mikir, Jenar lagi pedekate sama aku. Tapi ternyata nggak. Pada akhirnya, Jenar jujur kalau dia deketin aku karena dia mau kenal lebih dekat sama Rei, berhubung Rei saat itu satu kosan sama aku dan kamar kita deketan. Otomatis, kita juga temenan."

"Jahat!" Dhaka mencerca Jenar.

"Nggak usah ngeledekin orang, bagian interview kita kan belom, Sayang." Juno lagi-lagi tersenyum penuh arti pada Dhaka, yang lalu bikin lelaki itu kicep seketika.

"Jujur, aku sempat bete banget sama Rei. Aku paham, dia nggak tau apa-apa. But still—"

"Gue inget." Rei berkata. "Lo tiba-tiba jadi dingin dan jutek sama gue. I thought I did something wrong at that time."

"Yes. Gue sempat nggak suka banget sama lo. Kayak... bisa-bisanya Jenar deketin gue cuma buat lo? Nggak munafik, gue kebawa perasaan sama dia. Dan ngelihat gimana lo nggak ngerespon dia sama sekali... when he was all that I wanted... it wasn't a good feeling. Then one night, gue dengar lo ngomong sama bokap lo di telepon."

Rei terdiam, sebab dia ingat kapan yang Jella maksud. Kala itu, dia nggak tau kalau Jella ada di rumah. Anak-anak kosan yang lain lagi pada keluar buat beli makan malam, dan dia mikir, Jella juga ikut.

"You two had a fight. Gue nggak denger secara lengkap, tapi gue bisa menyimpulkan... inti dari percakapan itu. Then, I heard you crying."

"..."

"Dari semua anak kosan selantai dua, lo itu yang paling... aneh. Itu first impression gue ketika ketemu lo. Kayak, lo diem banget, senyum aja seperlunya, apalagi kalau ketawa. Gue sempat ngira lo tuh orangnya sombong banget. But turned out, lo tergolong orang yang penuh perhatian sama kita dengan cara lo sendiri dan ketika kita udah deket, ternyata ada juga kelakuan lo yang bisa kita ketawain." Kata-kata Jella turut membuat Rossa manggut-manggut, terkenang pada masa lalu. "Tapi lo nggak pernah sekalipun kelihatan nangis di depan kita. Seenggaknya sampai saat itu."

Rei terdiam, nggak tau mesti menjawab apa.

"You sounded so sad." Jella berujar. "Dan gue jadi mikir, gue jahat banget kalau gue benci sama lo untuk sesuatu yang bukan kesalahan lo, ketika lo selalu baik sama gue. Makanya, gue menerima semuanya. Gue nerima keadaan. Dengan gitu, gue bisa berhenti menyalahkan, mau itu diri gue sendiri, Jenar, atau lo."

Rei tersenyum sedikit. "Thanks."

"Terus saat gue ketemu Tigra lagi dan dekat sama dia, gue kira, gue bakal ngerasain itu lagi. Rasa cemburu atau nggak suka, karena Tigra juga pernah punya sejarahnya sendiri sama lo." Jella beralih pada Tigra. "Tapi sebelum kita nikah, Tigra ajak gue ngomong baik-baik. Bahas tentang masa lalunya sama lo, tanpa dia memaksa gue bahas masa lalu gue sama Milan. Dia bilang, masa lalu itu bukan sesuatu yang bisa dihapus. Dia bilang, dia mau seterusnya sama-sama gue, tapi kalau sekiranya masa lalu dia sama lo terlalu mengganggu dan nggak bisa gue terima, maka dia nggak bisa maksa."

Jella menghela napas. "Terus gue jadi mikir, kalau Tigra bisa nerima masa lalu gue yang pernah sama Milan tanpa ngeraguin perasaan gue buat dia, kenapa gue nggak bisa ngelakuin sesuatu yang sebaliknya buat Tigra?"

Kata-kata Jella membuat Tigra menarik senyum.

"Makanya... kalau ditanya cemburu atau nggak... jawabannya adalah nggak. Karena gue percaya suami gue, percaya sama perasaannya buat gue, sama kayak gimana dia yakin sama perasaan gue buat dia."

"Noh! Dengerin!" Dhaka berseru pada Jenar.

"Bodo!" Jenar mendengus.

"Kandangin ajalah nih berdua, suruh berantem!"

Tigra tertawa kecil, terus mengambil gulungannya dan membaca pertanyaan yang tertera di sana keras-keras. "Apa pengalaman seksual paling memalukan lo sama pasangan lo?"

"Hm."

Tigra menanggapi respon Jella dengan anggukan. "Yes. Hm."

"Pengalaman yang mana yang mau kita ceritain?" 




to be continued

***

"ADSENSE ADSENSE ADSENSE!!" 

Sedang overthinking, "kira-kira pertanyaan sinting macam apa yang bakal gue dapet..."


***

a/n:

tadinya mau dikelarin qna-nya di part ini tapi ternyata bakal kepanjangan yorobhun. 

jadi yaudalah sampe ketemu di next chapter. 

enaknya lanang ama delta dikasih juga gak niy? 

dah, met malem menuju pagi. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top