25 | boleh gak?

Jawaban Rei berhasil bikin Lanang garuk-garuk kepala.

Otomatis, Rei langsung sadar dengan gimana orang-orang dalam studio menatapnya. Dia melongo sebentar, refleks melihat ke arah Jella yang santai saja menyedot milkshakenya—Lanang beserta kru memang menyediakan snack, makanan dan minuman buat semua yang ada di studio hari ini. Tigra balas nyengir. Jenar sudah cemberut.

"Loh... katanya jawabnya harus jujur..."

"It's just a game." Jella mengedikkan bahu.

"Nggak cemburu?" Tigra berpaling pada Jella.

"Ntar juga ada gilirannya lo cemburu pas gue ngomongin Milan. Yah, kalau dapet pertanyaan yang mendukung sih."

"Oh..."

Rei mengerjap. "Hng... ini jadi mau diulang apa gimana? Aku bisa jawab ulang kok..."

"Nggak usah." Jenar bersungut-sungut.

"Jeje, jangan ngambek dong..."

"Nggak ngambek."

"Itu manyun."

"Mulut gue emang begini."

"Awas, nanti kualat terus mulutnya gitu beneran!" Rei meledek, lagi-lagi bikin Dhaka dan Tigra saling menatap.

Bukan apa-apa sih, tapi masih agak asing saja melihat Rei santai banget bersikap jahil kayak gitu di depan banyak orang, yang mana nggak semuanya dia kenal baik. Ini tuh kayak character development, kalau di-compare sama Rei jaman kuliah dulu.

Jenar menghela napas, terus menatap Rei. "Alasannya apa?"

"Sebenarnya tuh aku sempat bingung, Je. Soalnya yang memorable ada tiga. Satu yang sama Tigra, satu yang sama Papa aku, satu yang sama kamu."

"Nih kamu cuma mau hibur aku doang ya?" Jenar menyelidik.

"Dih, kok malah berburuk sangka gitu sih?"

"Habisnya!"

"Aku sempat bingung, tapi kalau dipikir lagi... kayaknya yang sama Tigra."

"Iya, kenapa?"

"Waktu itu di Bandung—"

"Oh... yang itu..." Tigra langsung connect.

"Masih inget?"

Tigra menjawab dari tempat duduknya yang berada di belakang kamera. "Iya, masih inget. Waktu itu kita jalan pas-pas-an lo ulang tahun itu, kan?"

Rei mengangguk. "Iya, ketika pas masih awal banget kita dekat. Itu ulang tahun pertama gue. Sebelumnya, saat SMA, gue biasanya rayain ulang tahun sama Mark, meski nggak pernah pake kue soalnya Mark tau gue nggak suka tiup lilin. Itu ulang tahun pertama gue setelah jadi mahasiswa dan gue udah mikir, 'wah, tahun ini udah jauh dari Mark'. Dia doang yang selalu rayain ulang tahun gue, jadi ya gue nggak expect banyak."

"Terus?" Jenar memburu, nggak mau jadi orang yang 'diabaikan' dalam percakapan.

"Tigra nggak bilang apa-apa, tapi pas kita ke kafe, pas lagi nunggu minumannya dianterin, tau-tau pegawai kafenya pada nyanyiin Selamat Ulang Tahun buat aku. To be honest, aku nggak bisa lupa."

"Bisa dimengerti." Jella manggut-manggut. "Tapi tahun-tahun berikutnya, anak-anak Sadewo kan selalu inget ulang tahun lo."

"Mm-hm, karena kita udah deket juga kali ya? I mean, udah sahabatan gitu."

"Oke." Jenar mengatupkan kedua telapak tangannya. "Next question?"

"Kamu belum jawab."

"Kagak usah dibawa ngambek, Mas!" Jella meledek.

Jenar bersungut-sungut, namun seperti yang sudah-sudah, tatkala tatapan matanya jatuh pada Rei, sorot matanya langsung melembut. "Most memorable trip... sebenarnya antara trip pertamaku ke Jepang sama Mama, soalnya kita sempat ketemu anggota Yakuza atau trip sama kamu ketika kita nonton konser di Jogja waktu itu, abis aku selesai sidang. Tapi kalau mesti milih, kayaknya trip sama kamu."

"Kenapa?"

"Itu trip pertama setelah aku selesai sidang skripsi. Trip pertama sama kamu in general. Trip pertama setelah aku kira aku bakal kehilangan kamu karena kejadian yang waktu itu."

"Dan trip yang juga penuh perzinahan." Dhaka menyambar sambil masih mengunyah makanan. Chikinya sudah habis, jadi sekarang dia berpindah melahap kebab.

"Anjay, sensor nggak nih?!" Jenar berkata pada Dhaka.

"Gampang itu, Bang. Paling si Hendra yang bakal pegal ngeditnya."

"Kalau urusan itu sih tinggal minta naik gaji aja." Hendra membalas.

"Oke, lanjut deh."

Rei menuruti instruksi Jenar, mengambil gulungan pertanyaan lainnya dan membacanya. "Kalau seandainya pasangan lo selingkuh, lo bakal gimana?"

Senyap sejenak.

"Aku percaya kamu nggak akan gitu."

Rei menjawab. "Me too."

"Bang, di pertanyaannya ada kata seandainya."

"Iya, tapi nggak kebayang."

"Ya, bayangin!" Lanang nggak pernah merasa secapek ini recording konten sama orang. Bahkan Cherry pun kayaknya masih lebih paham gimana caranya beraksi di depan kamera ketimbang para orang tua yang sekarang memadati studionya.

"Oke. Tapi amit-amit kejadian ya." Jenar berujar. "Kalau kamu selingkuh, pasti aku bakal marah. Habis itu, aku bakal insecure. Aku pasti pengen tau, apa kekuranganku sampai-sampai kamu mau selingkuh. But there's no way I am letting you go. Katanya, orang selingkuh itu nggak akan pernah berhenti. Mungkin benar. Atau mungkin juga nggak. Sama kamu, aku mau coba seenggaknya satu kali untuk percaya lagi."

"Even itu bikin harga diri kamu kayak keinjek-injek?"

Jenar mengangguk. "Lagian, waktu aku nge-gas deketin kamu dulu, aku udah kayak orang yang nggak punya urat malu, apalagi harga diri."

Dhaka ngakak. "Akhirnya nyadar."

"Daripada yang dua belas tahun nggak ngapa-ngapain!" Jenar menyambar.

"Duh, circle ini memang circle yang luar biasa ya..." Hendra berkomentar.

Jenar mengabaikan komentar Hendra, beralih lagi pada Rei. "Kalau aku selingkuh, kamu bakal gimana?"

"I'll be crushed."

"..."

"Dalam hubungan antara dua orang, nggak ada yang lebih aku benci daripada perselingkuhan. It ruined my life. Apalagi, kita udah punya Arga. Aku nggak akan bisa maafin kamu, juga diriku sendiri kalau Arga ngerasa keluarganya dia nggak bahagia karena kamu selingkuh. Mungkin aku bakal pergi jauh, bawa Arga, raise him alone, apa pun biar dia bisa happy tanpa harus lihat kita berantem."

"Ultimatum tuh, Bos!" Yuta berseru, hingga Yumna menyikut rusuknya, bikin dia mengerang.

"Kalau lo selingkuh, gue juga bakal ngelakuin yang sama! Jangan harap lo bisa ketemu sama si Kuin lagi!"

"Iya, Ro. Ampun. Lagian mana bisa gue selingkuh, duit gue udah habis dihisap rekening lo tiap bulannya..."

"Mohon jangan membicarakan rahasia internal rumah tangga di sini." Tigra berucap separuh bergurau.

"Tapi bentar deh," Jenar melotot pada Lanang. "Pesan gue tuh lo perhatiin nggak sih?! Kok dari tadi pertanyaannya waras semua?!"

"Emang ada pertanyaan yang nggak waras?" Rei mengangkat alis.

"Harusnya ada!"

"Kebetulan lo ambilnya yang waras, Bang. Tapi kayaknya udah abis deh yang warasnya. Coba lo obok-obok lagi tuh akuarium!"

"Kalau nggak ada, awas lo ya!" Jenar bilang begitu sebelum dia menarik gulungan pertanyaan berikutnya dari dalam akuarium. "Lebih suka di atas apa di bawah?"

"TUH KAN!" Lanang refleks berseru.

"Hehe." Jenar nyengir.

Rei memiringkan wajah. "Ini di atas apa di bawah tuh apa maksudnya? Roda kehidupan?"

"YA KALI RODA KEHIDUPAN!!" Yumna menukas dengan suara keras.

"Terus apa?"

"Rei, lo yakin butuh penjelasan atau pura-pura nggak tau aja?" Tigra bertanya.

"INI MAH NAMANYA SI ANJING CARI KESEMPATAN!!" Dhaka melotot.

"Apa sih? Gue nggak ngerti..."

"Di atas atau di bawah, as in—"

"Roda kehidupan?" Rei menoleh pada Jenar.

"Sex position, Sayang."

"HAH?!"

Lanang ngakak.

"EMANG BOLEH NANYA KAYAK GINI?!" Rei berpaling pada Lanang.

"Santai, Kak. Audience gue kebanyakan di atas 18 tahun kok. Makanya konten valentine gini tuh nyambung sama mereka."

"EMANG NGGAK DIMARAHIN?!"

"Dimarahin juga sama siapa, Regina?"

"SAMA YANG PUNYA YOUTUBE!"

"Nggak."

"... kamu sengaja ya?"

"Loh, kan yang bikin pertanyaan tuh Lanang sama timnya."

"LANANG—"

"Kak, sumpah—" Dipelototin Rei, Lanang jadi keluar keringat dingin. "Nggak apa-apa, Kak. Kan udah dewasa. Jawabnya santai aja, nggak usah dideskripsiin juga."

Rei manyun. "Aku harus jawab?"

"Aku pengen tau." Jenar membalas.

"Kamu dulu kalau gitu!"

Jenar nyengir. "Honestly, atas atau bawah, yang mana aja fine for me. As long as I get to see your face."

"Oh, that's why you rarely tap it from behind." Rei refleks menyahut.

"Tuh, malah kamu yang memperjelas—"

"Nang, ini nanti nggak usah dikasih translatenya!" Rei panik. "Nanti gue dikira perempuan liar!"

"Liar apaan? Orang sama suami sendiri."

"Tetap aja—"

"Make yourself comfortable, Kak Reggy." Lanang menyela. "Nanti kalau ada bagian yang nggak berkenan buat lo, bisa di-delete kok. Tapi ya, laki lo kayaknya pengen tau banget tuh."

"Di depan temen-temen gue—"

"Ah, ngapain malu sama mereka!" Jella menimpali. "Kagak tau aja lo, di grup bapak-bapak, mereka lebih liar bahas-bahas yang kayak gini."

Rei cemberut lagi, dengan pipi yang merona.

"Sampe di mana sih kita tadi?"

"You said as long as you get to see my face." Rei mengingatkan. "Kenapa?"

"Nggak tau, maunya begitu. Like I am more connected to you emotionally. To see the effect of my actions on you." Jenar mengedikkan bahu. "Your turn."

"Both but I favor to be bottom."

"..."

"I like being dominated."

"TRATAK DUNG CESSSSSSSSSS!!" Yuta memberi sound effect.

"Next question." Rei berdeham, mengambil gulungan berikutnya. "Non sexual things your partner do, that turn you on?"

Jenar bertepuk tangan sambil mengacungkan jempol pada Lanang.

Mata Rei menyipit. "Nih beneran kamu kayaknya kong-kali-kong sama Lanang..."

"Ini kan lebih mending, Rei. Lagian manusiawi, aku yakin semua orang pasti punya jawabannya sendiri-sendiri..."

"..."

"Lagian ini tuh bisa aja maksudnya, hal-hal yang sebenarnya biasa aja, tapi kamu ngerasa aku seksi banget pas ngelakuin itu."

"Seksi terus jadi sange." Yuta nyeletuk, membuat Yumna menghadiahinya gaplokan menyakitkan di punggung.

"Bener sih apa yang Yuta bilang." Jenar terkekeh.

Rei menghela napas. "Apa yang menurutku seksi banget dari kamu that it turns me on... waktu kamu senyum."

"Berarti lo sange all the time?!" Yumna menukas, bikin Rei melotot.

"Nggak gitu! Duh, maksudnya tuh ketika aku mergokin kamu lagi diam-diam lihatin aku, terus kamu senyum karena ketauan! Nah, maksudnya gitu! Duh..." Rei sempat panik lagi. "I just love your smile. And it's not my fault that you're the type to smile as you kiss."

"Smile as he kisses tuh kayak gimana, Rei?" Jella memancing.

"Cium, terus di sela-selanya senyum, abis itu cium lagi. Makanya kalau dia senyum, kan otomatis jadi keinget."

"Noted." Jenar manggut-manggut. "Aku bakal sering-sering senyum buat kamu kalau gitu."

"Terus... kalau kamu pulang kantor, kamu suka nggak langsung ganti baju. Kadang suka bikin kopi dulu, sambil masih pake kemeja kantor, tapi lengannya udah digulung sampai siku. Dasinya udah nggak kamu pake. Aku suka aja lihatnya."

"Noted. Masih ada lagi?"

"Sebelum tidur, kamu suka baca. Either baca buku atau baca ebook di iPad. Tangan kamu suka refleks patting my head, elus-elus rambutku." Rei membalas lagi. "So far, itu sih. Now, your turn."

"Waktu kamu ngikat rambut."

"Kamu pernah bilang. Terus?"

"Waktu kamu pake bajuku."

"Sering dong!"

"Emang."

"Itulah the real definition of otak selangkangan!" Dhaka kembali berseru.

"Kayak elu nggak aja!" Juno sontak menanggapi.

"Wadoh, Dhaka sange-an juga apa?" Tigra memancing.

"BANGET! Kadang yah, gue tuh suka berasa kerja lembur bagai kuda kalau ngeladenin nih laki—" kata-kata Juno terputus karena Dhaka menyuapkan sisa kebabnya ke mulut perempuan itu, memaksanya diam untuk mengunyah.

"Makan dulu, Sayang. Kamu suka rese kalau lagi laper."

"Focus on me dong!" Jenar menjentikkan jarinya, sementara Hendra sudah meringis, membayangkan dia bakal kerja ekstra keras buat mengedit video ini saking banyaknya bagian yang mesti dipotong biar videonya kelihatan rapi. "Terus masih ada satu lagi."

"Apa?"

"Coba tebak!"

Rei tampak berpikir sejenak, hingga tawa Jenar pecah. Perlahan, dia mengulurkan tangannya. Ibu jarinya menyentuh bibir Rei, melepaskannya dari gigitan yang punya bibir. "This. Whenever you bite your lip. Apalagi kalau nggak sadar karena lagi mikir."

Rei tersenyum, lantas mengambil gulungan kertas berikutnya. Tersisa hanya dua gulungan lagi. "What was your very first orgasm like?"

Tawa Jenar meledak.

Rei merengut lagi. "BARU JUGA WARAS DIKIT PERTANYAANNYA!!"

"I am not a coward, so I'll answer honestly..." Jenar mencibir. "Pertama kali waktu main solo. Namanya juga cowok yang masih penuh rasa penasaran."

"Gaya lo main solo, bilang aja fapfap!" Yuta lagi-lagi ngebacot kayak komentator bola.

"Iya. Itulah. It was... well... mindblowing? Namanya juga baru pertama."

"Sambil nonton bokep ya?" Tigra menebak.

"Iyalah. Lo pada nggak usah sok suci, gue yakin lo pada juga begitu! Apalagi Milan noh yang masih jomblo! Jagonya main solo kayaknya tuh orang!"

"GUE DIAM AJA, ANJING!"

"Justru karena lo diam aja, makanya enak diledekin." Jenar terkekeh. "Terus gue kayak 'wow, no wonder orang-orang suka yang mesum-mesum'."

"Enak bener emang jadi cowok!" Jella berujar. "Like, it's easier for you all to reach your O, but not for us women!"

Wajah Rei kian memerah.

"Giliran kamu, Regina."

"Harus jawab ya?"

"Iya, dong."

"Kan... kamu udah tau..."

"OW, I GET IT!" Lanang bertepuk tangan. "Ternyata dalangnya Bang Jenar."

"Aku lupa. Tell me."

"It was... wonderful? I don't know. My heart felt warm." Rei menghela napas. "Maybe because it wasn't only sex, but something more. That you gave your best efforts to make me feel loved. And I feel loved."

Jenar menarik senyum lebar.

"Udah ya? Pertanyaan terakhir sekarang..."

"Mm-hm." Jenar mengambil gulungan yang tersisa dan membaca apa yang tertera di sana. "Ada nggak, sesuatu yang mau lo tanyain ke pasangan lo, tapi selalu ragu-ragu untuk lo tanyain atau belum sempat lo tanyain?"

"Ada..."

"Kamu dulu deh. Apa?"

"How about we say it together?"

"Oke." Jenar mengangguk.

"Do I make you happy?"

"Are you happy?"

Mereka mengatakan dua pertanyaan itu di waktu yang bersamaan, dan begitu tersadar kalau makna pertanyaan mereka tidak jauh berbeda, keduanya refleks tertawa.

"Oke, kamu dulu." Rei berkata pada suaminya.

"Incredibly happy. Aku rasa, aku nggak bisa lebih bahagia lagi dari aku yang sekarang. I feel complete. Ada kamu. Ada Wuje. Selalu ada alasan untuk kepingin cepet-cepet pulang ke rumah. I can spend forever with you and our son. Kalau kehidupan berikutnya itu beneran ada, aku bakal memohon sama Tuhan biar bisa sama-sama kamu lagi."

Ada yang meleleh dalam hati Jenar ketika dia melihat mata istrinya berkaca-kaca.

"Love, don't cry."

Rei menggeleng. "Nggak kok."

"Your turn. Do I make you happy?"

"More than any word can describe." Rei menyambung. "Did you remember one of my favorite songs? That one from Kelly Clarkson."

"Mmm... Piece by Piece?" Jenar menerka.

Rei mengangguk, kemudian tanpa Jenar terka sebelumnya, perempuan itu mulai menyenandungkan bagian liriknya. "He takes care of me, he loves me. Piece by piece, he restored my faith, that a man can be kind and a father could stay."

Jenar meraih tangan Rei dan sembari menatap perempuan itu, satu kecupannya mendarat di pergelangan tangan istrinya.

"I love you."

"I love you."

"YAK, THAT'S A WRAP!" Lanang menepukkan kedua tangannya, membuat Jenar tersadar kalau mereka nggak cuma berdua saja di ruangan itu.

Saat mereka beranjak dari duduk untuk bergantian take dengan pasangan berikutnya, tangan mereka saling terkait.

*

Giliran berikutnya adalah Yuta sama Yumna.

Sama kayak Jenar dan Rei sebelumnya, mereka ditempatkan duduk bersebelahan. Hari ini, Yumna pakai terusan warna putih yang bikin dia kelihatan kalem. Berbeda sama Yuta yang malah pakai kemeja warna kuning Golkar. Hendra masih memantau di belakang kamera sekalian memastikan kamera-kamera yang mengambil gambar dari sudut lainnya berfungsi baik.

Terus celetuknya. "Kalian berdua kayak telor."

"Hah?! Muka gue tembem ya?!" Yumna panik.

"Nggak. Putih ama kuning. Udah kayak telor ceplok."

"TUH KAN!!" Yumna melotot. "Gue bilang juga apa, Tuy! Lo tuh mestinya pake kemeja putih juga, biar matching sama gue!!"

"Nggak mau! Orang gue tuh baca ya, Ro, katanya warna keberuntungan gue minggu ini tuh warna kuning!"

"Kagak sekalian aja lo cosplay jadi gerobak Sang Pisang?! Biar kuningnya totalitas!"

"Kok nyolot sih, Ro?"

"Itu, katanya kayak telor!"

"Kan katanya. Udah sih, lagian nggak akan ada yang peduli juga." Yuta berujar, terus pede banget menatap ke kamera. "Halo semuanya, nama gue Yuta. Tapi bini gue suka panggil gue Atuy. Di sebelah gue bini gue, namanya Yumna, tapi biasa gue panggil Roro. Dia masih bangsawan gitu, walau setahu gue, darahnya merah-merah juga kayak kita-kita. Sekarang kita udah dikaruniai satu anak, namanya Queensha."

"Oke, kita mulai nih ya, Bang?"

"Boleh. Eh tapi bentar, Nang!"

"Kenapa, Bang?"

"Bisa nggak, taro meja di sini, terus dikasih minum. Gue kalau banyak bacot suka tiba-tiba seret."

"Harus banget, Bang?"

"Kalau seret nanti suara gue goyang, Nang."

"Itu suara apa seleb Tiktok?" Milan mengejek, tapi nggak ada yang ketawa.

Dhaka berpaling pada Milan. "Lan, gue saranin lo diem."

Milan bersungut-sungut seketika.

"Nggak bisa, Bang. Tadi Bang Jenar sama Kak Reggy udah kagak pake meja. Nanti nggak seragam dong format videonya kalau lo pake meja."

"Hadeh. Yaudah, Aqua mana Aqua. Siniin, taro deket kursi gue."

"Galon, Bang?"

"BOTOL! YA KALI GALON!"

Hendra nyengir, terus mengambil dua botol air mineral dan meletakannya di tempat yang Yuta maksud. Setelahnya, baru deh interviewnya dimulai. Memang, Yuta nih rempong banget. Pikirnya, kapan lagi dia yang buruh elit SCBD ini bisa ngebabuin orang kalau bukan di kontennya Lanang.

"Pertanyaan pertama..." Yuta membuka gulungan pertama yang dia ambil dari dalam akuarium. "Kenapa mau nikah sama pasangan lo yang sekarang?"

"Gue dulu yang jawab ya?"

"Kalau elu sih, gue udah tau, Ro."

"Udah tau apan?"

"Kenapa lo mau nikah sama gue? Karena siapa lagi yang bakal nikahin lo kalau nggak gue. Gitu, kan?!"

Yumna melotot. "Enak aja!"

"Udah sih, ngaku aja, Ro!" Yuta menyambar.

"Malah berantem nih dua orang..." Kun geleng-geleng kepala.

"Love language." Tigra berkata pada Kun sambil menahan geli. "Bahasa cintanya Yumna sama Yuta kan emang begitu."

"Kenapa gue harus ngaku?!"

"YA KARENA GUE JUGA GITU!! GUE NGGAK TAU MAU NIKAHIN SIAPA KALAU BUKAN ELU!!"

"... ini maksudnya romantis apa ngatain sih?!"

"ROMANTIS ROMANTIS TAI KUCING!! GUE HANYA BICARA FAKTA!!"

"Anjayyyyyyyy!" Hendra bergumam takjub, sudah kebayang banget sound effect gledek macam apa yang bakal dia masukkan saat editing videonya nanti.

"Oke. Next question." Yumna berdeham, namun sebelum dia mengambil gulungan lain di akuarium berisi pertanyaan untuknya sama Yuta, dia menatap pada teman-temannya yang duduk tenang di belakang kamera. "KOK SEPI SIH?!"

"Emang harus gimana?" Jella bertanya.

"TADI PAS REGINA SAMA JENAR, LO PADA HEBOH NYELA DAN KOMENTAR!"

"Karena Rei sama Jenar enak diledekin." Dhaka membalas. "Kalau lo sama Atuy sih, gue no comment."

"Anjing!!" Yumna berseru refleks, tapi begitu sadar dia sedang disorot kamera, Yumna langsung nyengir. "Sori, yang tadi di-sensor yah tolong, pake bunyi tiiiiiitttttt gitu."

"Siap, Kak!" Lanang membalas sigap.

"Oke." Yumna memasang ekspresi wajah sok berwibawa. "Pertanyaan berikutnya... menurut lo, pasangan lo romantis nggak sih?"

"Lo dulu apa gue dulu yang jawab?" Yuta bertanya. "Okelah, gue dulu yah."

"Kalau mau duluan, kenapa pake nanya?!"

"Biar afdol aja. Lagian kayaknya nih, jawaban lo bakal panjang banget, semi-semi ngomel gitu. Daripada gue lupa gue mau jawab apa, mending gue jawab duluan!"

"YAUDAH BURUAN!"

"YAUDAH NGGAK USAH NGOTOT!"

"Etdah!!"

"Elu yang etdah!!" Yuta mendengus, terus katanya. "Bentar. Jadi aus. Minum dulu ye."

Yumna menonton saja suaminya membuka botol air mineral dan menenggak isinya.

"Dibilang romantis sih, Yumna tuh nggak romantis yah. Gimana ya, soalnya kita tuh pasangan yang realistis aja gitu. Romantis-romantis pantat kuda, gue nggak bisa mengutarakan perasaan gue dengan kata-kata manis kayak Jenar atau sok memotivasi kayak Tigra. Maklum aja, gue bukan makhluk setengah buaya. Cuma, kalau ditanya Yumna itu apa buat gue, dia itu kayak lintah."

"... maksud lo, gue menghisap sari-sari kehidupan dari lo?! Gitu?!"

"Kagak, maksudnya tuh lo sekali nempel susah lepas. Ibarat kata ini hati gue—"

"Tuy, itu botol Akua, bukan hati lo."

"La Hawla Wala Quwwata Illa Billah, Ro! IBARAT KATA!"

Yumna manyun.

"Nih, ibarat kata botol Akua ini hati gue, maka lo kayak lintah yang begitu nempel, sangat susah gue lepaskan."

"Na, itu cara laki lo bilang kalau dia sayang sama lo sampai-sampai susah banget dia lepaskan!" Rei memberitahu.

"Bener." Yuta manggut-manggut. "Kalau mau dilepasin, kudu digaremin dulu. Ribet."

"Bisa manis juga ya lo ternyata..."

"Tapi dipikir-pikir, ya lo menghisap sari-sari kehidupan gue juga sih, Ro. Kayak gaji gue gitu misalnya."

"JADI MAKSUDNYA GUE MUSIBAH ATAU ANUGERAH?!"

"Anugerah tapi kadang suka ada rasa-rasa musibahnya, Ro."

Yumna bersungut-sungut.

"Giliran lo."

"Lo romantis apa nggak?"

"Ho-oh."

"Masih nanya?!"

"Hehe."

"Jujur, nggak. Tapi gimana ya, gue juga orang yang gampang geli kalau diromantisin berlebihan gitu. Cuma ada yang gue inget banget. Pas orang ket—maksud gue pas si Queensha baru umur sebulan, gue sempat sakit. Kayaknya kecapekan. Lumayan parah sih, sampai demam tinggi." Yumna curhat. "Orang tua gue sama orang tua laki gue sama-sama nggak di kota ini. Gue juga nggak enak ngerepotin lagi, soalnya di awal ada Queensha, mereka udah sempat stay dua mingguan di Jakarta. Yuta juga nggak kerja di perusahaan bapaknya sendiri ya, otomatis nggak bisa cuti sebulan kan—"

"Kayaknya nyindir orang tuh." Kun nyeletuk.

"Emang. Orang inisialnya J belakangnya enar." Yumna santai saja berkata. "Kalau pas siang, Jella suka datang. Cuma kalau malam kan, we're on our own gitu. Yuta nungguin gue semalaman. Ganti kompres gue. Ngelonin kalau udah mulai ngigo karena demam. Tiap jam makan siang masih rutin cek gue. Terus masih ngurus si Queensha kalau nangis malam-malam. Gue nggak tau gimana dia punya energi buat bangun pagi-pagi terus ke kantor, gitu terus selama hampir dua minggu karena gue sakitnya lama. Dan dia nggak protes. Nggak ngeluh sama sekali di depan gue."

Yuta jadi salah tingkah.

"Jadi kalau romantis jarang sih, cuma dengan caranya sendiri, dia bisa nunjukkin kalau dia sayang sama gue dan Queensha."

Yuta berdeham, terus katanya. "Pertanyaan berikutnya ya?"

"Iye."

"Percaya nggak sama yang namanya berbohong demi kebaikan?"

Yumna menjawab lebih dulu. "Nggak. Apalagi kalau bohongnya tuh soal yang penting. Buat gue pribadi ya, gue ngerasa kalau gue mau nikah sama seseorang, orang itu adalah orang yang bikin gue nggak takut jadi diri gue sendiri, yang bikin gue nggak takut jujur sama dia tanpa takut dihakimi. Soalnya ribet, shay, kalau masih ngerasa ada hal-hal yang menurut lo nggak bisa lo kasih tau ke pasangan lo karena lo takut dia marah atau apalah. Karena menurut gue, ya lo nikah sama seseorang karena lo ngerasa dipahami sama dia dan lo pun bisa memahami dia. Gitu."

"Aamiinnnnnnn." Yuta menutup pernyataan Yumna.

"GUE BARUSAN JAWABNYA BENER, ANJRIT!"

"Ya itu, makanya gue aminin!!"

"Yaudah, lo jawab sekarang!"

"Jawaban gue sama kayak lo."

"DIH, NYONTEK!"

"Kagak nyontek, itu namanya sehati!!"

"Sama aja! Kurang kreatif!!"

"Kreatif kreatif lo kira lomba mewarnai!!?" Yuta mendelik. "Pokoknya jawaban gue sama! Kalau kagak sama, ya lo kagak bakal nikah sama gue dan gue kagak bakal nikah sama lo!"

"Ampun dah!"

"Lo yang ampun dah, Ro!" Yuta mengambil lagi pertanyaan berikutnya. "Suka-duka jadi orang tua muda tuh apa sih? Wah, ini mah jawabnya kudu kolaborasi!"

"Lo bagian suka, gue bagian duka."

"Kok gitu sih?!"

"Ya kan yang orang kesayangannya si Queensha tuh lo, bukan gue!"

"..."

"Kalau kalian berdua udah kelon, gue berasa kayak dayang, cuma bagian nontonin sambil ngipasin!!"

"... hehe, iya juga." Yuta manggut-manggut. "Hm... bagian sukanya... ya happy aja. Anak tuh kayak buntelan kebahagiaan yang dikasih Tuhan buat orang tuanya. Klasik banget, tapi ya jujur, gue capek-capek kerja selain buat bini gue ya buat Queensha. Mau udah capek kayak gimana pun, badan kayak pengen patah, bete dan bad mood karena berurusan sama atasan ngehe di kantor tuh rasanya hilang semua kalau udah disenyumin sama anak gue. Terus kayak apa ya... kayak hidup gue tuh ada tujuan. Gue ngerasa gue harus hidup dengan baik, kerja yang rajin, karena ada Queensha yang harus gue urus sampai dia bisa mandiri, karena ada bini gue juga. Jadi hidup gue rasanya lebih terarah. Kalau dukanya sih... nggak ada, soalnya Queensha nggak pernah bikin gue bete."

"Dia senengnya bikin bete gue!" Yumna menyambar ucapan Yuta. "Makanya, bagian dukanya... ya kadang tuh anak bisa bawel banget, bisa nakal banget sampai gue gemas sendiri. Mana yang namanya anak, dalam ngajarin dia, kita juga ikutan belajar. Belajar sabar. Belajar paham kalau dia masih kecil dan nggak bisa disamain sama orang dewasa yang bisa langsung ngerti. Nggak bisa dibilang duka sih, cuma apa ya... ya nahan emosi, mengendalikan diri sendiri, tetap sabar dan ngasih contoh yang baik buat anak tuh bukan sesuatu yang gampang."

"Kalau lagi waras, nih pasangan lumayan juga yah..." Dhaka bergumam pada Juno.

"Salty-nya udahan, Sayang." Juno menyentuh pipi Dhaka sambil tersenyum manis. "Lama-lama kamu jadi asinan kalau nge-garem terus."

"Eh, ada sih dukanya dikit." Yumna seperti baru teringat.

"Apaan?"

"Susunya mahal."

"Woiya, setuju kalau itu."

"Punya anak emang mahal." Yumna menimpali.

"Kecuali bapak lo tajir kayak Jenar."

"Heh, yang bapaknya tajir bukan gue doang! Gue melulu yang dibahas!" Jenar nyolot.

"Tapi kan cuma lo yang punya hutan mini." Tigra meledek.

"Nggak apa-apa, Jeje. Emang bener kok."

"Kesannya kayak aku nggak ngapa-ngapain. Padahal aku kerja juga!"

"Iya. Di perusahaan Papa kamu kan?"

"Regina, masa belain Yuta sih?!"

"Nggak, kan aku netral." Rei tertawa sebelum perlahan, merebahkan kepalanya di bahu Jenar. Jenar yang tadinya mau ngomel sontak diam seketika. Pawangnya sudah beraksi, kalau mengutip kata-kata Lanang sebelumnya.

"Pertanyaan berikutnya... hickies... yay or nay?"

"NANG, GUE KAN NGGAK REQUEST PERTANYAAN SINTING!!" Yuta berpaling pada Lanang.

"Semua couple dapet pertanyaan sinting kok, Bang. Cuma emang Bang Jenar yang paling banyak."

"Elah, ginian doang jiper! Jangan cemen deh lo, Tuy!" Yumna menantang. "Kalau gue sih suka-suka aja nandain suami gue. Terutama di tempat-tempat yang kelihatan. Kayak leher gitu. Soalnya walau duit suami gue nggak banyak-banyak amat, tampilannya kalau ngantor tetap necis, shay! Mana kalau meeting tuh suka ke Mulia atau Mandarin Oriental! Rawan, di luar sana ada banyak pelakor!"

"Hadeh..." Yuta berdecak.

"Hadah-hadeh, lo juga suka ninggalin tanda!"

"Di tempat yang nggak kelihatan tapi."

"Iya, sih. Tapi apa gunanya ninggalin tanda kalau nggak kelihatan?"

"Pengen aja. Gemes pengen gigit."

Lanang menjentikkan jarinya. "Oke! Next question sebelum percakapan kalian berubah jadi kayak dialog novel dewasa!!"

"Oke. Hm..." Yuta mengambil satu dari dua pertanyaan yang tersisa. "Kalau dalam hidup cuma boleh punya satu tujuan, apa yang mau lo achieve?"

"Gue dulu?"

"Iye, ladies' first."

"Jadi ibu dan istri yang baik untuk anak dan laki gue." Yumna berkata. "Pengen juga sih jadi istri orang kaya, cuma berhubung bolehnya satu doang, ya itu. Intinya, gue bisa berfungsi selayaknya ibu dan istri yang baik di hidup anak dan laki gue, terus mereka juga ke depannya bisa jadi manusia-manusia baik berakhlak terpuji yang akan mengantarkan Indonesia ke era Indonesia Emas 2045."

"Najong." Yuta memutar bola matanya, tapi setelahnya dia tertawa. "Sama sih, gue juga. Gue kepingin jadi kepala keluarga yang baik. Bisa bikin keluarga gue baik-baik aja, rukun-rukun aja dan anak gue jadi orang yang ketika dewasa, bisa lebih dari gue dalam segala hal."

"Klise." Kun berujar. "Tapi gue setuju."

"Sering terjadi." Johnny setuju. "Waktu kita lagi proses menuju dewasa, kita selalu pengen jadi orang yang beda, nggak mau jadi yang biasa-biasa saja. Tapi setelah kita dewasa, kita sadar, jadi yang biasa-biasa aja dengan keinginan dan harapan sederhana buat keluarga dan diri sendiri itu lebih nyaman daripada ngejar dunia dan berusaha menaklukannya."

"Hashtag quotes of the day, Bang!" Lanang mengacungkan jempol pada Johnny, sebelum dia menoleh lagi ke arah Yuta dan Yumna. "Oke, tinggal satu gulungan terakhir, Bang."

"Gue aja yang buka ya..." Yumna mengambil gulungan terakhir, terus membaca pertanyaan yang tertera di sana. "Bagian badan pasangan lo yang jadi favorit lo..."

"Mata, rambut, leher." Yuta menjawab tanpa berpikir.

"Hm... kalau gue..." Yumna memiringkan wajah, terus nyengir. "Titit, titit, titit."

Jawaban itu sontak menimbulkan kehebohan di studio, termasuk Hendra yang refleks ngakak di belakang kamera.

*

Tak lama setelah Yuta dan Yumna mengakhiri sesi mereka, Rossa muncul.

Cantik banget, bikin Milan langsung gugup setengah mati. Dikarenakan Rossa ini orang sibuk, makanya begitu Rossa tiba, Lanang langsung mempersilakkan Rossa dan Milan menempati urutan tepat setelah Yuta dan Yumna. Milan jadi salah tingkah, soalnya diantara pasangan yang lain, cuma dia sama Rossa yang nggak punya hubungan khusus.

"Bang."

"Iya, Nang?"

"Duduk, bukan malah berdiri gitu!!"

"Oiya, Nang." Ragu-ragu, Milan duduk.

Rossa mengangkat alis. "Lo kenapa deh, Lan? Tegang banget gitu."

"Salting ye?" Jenar meledek.

"KAGAK!" Milan menjawab, terus melirik pada Rossa. "Ros, ini—"

"Just for fun aja. Iya, gue tau kok."

Duh, kalau Rossa lihat tadi gimana interview Rei sama Jenar dan Yuta dengan Yumna, kayaknya dia nggak akan bisa bilang 'just for fun' dengan sesantai itu deh.

Ini semua jebakan betmennya Lanang.

"Oke, Bang. Perkenalkan diri lo sama Kak Ocha!"

"Gue?"

"Iya, tadi kan yang perkenalan Bang Jenar sama Bang Yuta. Cowok-cowok aja yang nge-handle perkenalan, sesuai toh, namanya juga imam dalam keluarga?" Lanang ikutan bergurau.

Milan menelan saliva, terus dengan kaku, dia melambai ke kamera. "Halo, nama gue Milan. Dan yang ada di sebelah gue sekarang ini adalah—"

"Rossa!" Rossa menimpali, memahami kegugupan Milan yang dikiranya karena ada banyak kamera. "Gue temannya Milan dan orang yang waktu jaman kuliah dulu pernah naksir Milan setengah mati, tapi dicuekkin karena Milan lebih naksir sama yang lain!"

Jella langsung menarik senyum simpul mendengar itu, sementara Tigra menatapnya dengan alis terangkat.

"Oke, langsung mulai aja dari pertanyaan pertama ya?" Milan menelan ludah lagi, lantas mengambil satu gulungan. Dia berharap, pertanyaan yang muncul tuh pertanyaan waras, tapi harapnya pupus seketika begitu dia membaca kata-kata yang tertera di atas kertas. "Alasan kenapa putus sama mantan yang terakhir?"

"Wow, this is unexpected." Rossa berdeham. "Mau lo duluan apa gue duluan yang jawab, Lan?"

Milan nggak langsung menyahut, malah melempar pandang pada Jella yang berada di belakang kamera. "Ini boleh gue jawab jujur nggak?" 


to be continued

***

"Dramamu, adsense-ku."

"Dramamu, kerja lemburku." 

"Dramamu, hiburanku."


***

a/n:

yak, akhirnya berlanjut. 

mestinya kemaren, tapi kemaren gue ada deadline. 

begitu deh. 

untuk qna kita masih punya bagian johnny, kun, milan, dhaka sama tigra. 

mari saksikan di chapter beerikutnya wkwkwk 

met malem.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top