24 | vvadu

Milan tau, teman-temannya pasti berpikir kalau dia se-desperate itu perkara cari jodoh.

Padahal, sebetulnya sih nggak seperti itu. Bukannya bermaksud sexist, tapi Milan kan laki-laki. Nggak seperti perempuan yang dianggap punya expiration date terkait kemampuan bereproduksi, sepertinya nggak ada ambang batas usia maksimal yang dianjurkan untuk menikah buat laki-laki. Milan juga masih muda. Usianya belum lagi tiga puluh tahun.

Cuma, peer group pressure itu nyata adanya.

Diantara teman-teman terdekatnya sesama anggota grup Pejantan Tangguh, Milan adalah satu-satunya yang belum punya istri, apalagi anak. Jangankan istri, gandengan saja nggak ada. Kalau dipikir lagi, bukan gara-gara Milan nggak laku. Ada banyak cewek yang Milan yakini mau sama dia. Seandainya dia nekat dan nggak memikirkan bibit-bebet-bobot pasangannya, dia bisa saja menikah besok kalau dia mau.

Ini semua disebabkan selama bertahun-tahun, Milan terlalu fokus sama Jella.

Makanya, begitu mereka putus dan di tahun berikutnya Jella menikah sama Tigra, Milan jadi kayak orang yang kehilangan arah dan pegangan hidup.

Kalau pacaran itu bisa diumpamakan dengan investasi rasa yang kelak akan membuahkan profit berupa pernikahan, maka bisa dikatakan, pacaran sama Jella nggak jauh beda sama investasi bodong.

Ujung-ujungnya, Milan cuma jagain jodoh orang.

Memang mengenaskan sih, namun Milan nggak menduga kalau ternyata, situasinya dianggap kelewat menyedihkan oleh para anggota grup Pejantan Tangguh, sampai-sampai mereka pada rela nongkrong di Marugame selama dua jam penuh hanya untuk menyusun pertanyaan-pertanyaan guna dipakai dalam sesi jalinan tali kasih Milan dan Rossa yang difasilitasi oleh konten Youtubenya Lanang.

Selepas dari Marugame, mereka pada bubar dan balik menuju rumah masing-masing. Milan baru saja selesai mandi dan lagi mengeringkan rambutnya pakai handuk ketika ponselnya bergetar. Waktu dicek, ternyata ada chat dari Lanang.

lanang:
bang, udah sampe belom?

milan:
APAAN KAYAK PACAR AJA.

lanang:
ya karena lo gak punya pacar, makanya gue wakilin.

milan:
lo nge-chat cuma mau ngeledek gue doang ya?

lanang:
astagfirullah, suuzon aja, bang.
gue cuma mau nanya aja.

milan:
nanya apaan?

lanang:
diantara kak ocha sama sakura, lo suka yg mana sih?

milan:
emang kenapa?

lanang:
JANGAN BILANG DUA-DUANYA.

milan:
GUE KAGAK BILANG GITU.
KAN GUE BILANG, EMANGNYA KENAPA?

lanang:
kalo lo lebih suka sakura, ntar tanya-jawabnya sama sakura aja.

milan:
gak usah sama sakura.

lanang:
oh, jadi lebih suka kak ocha ya?
beneran karma dibayar lunas.

milan:
berisik.

lanang:
inget gak bang, dulu pas kak ocha ngasih cokelat valentine.
sama lo malah dikasihin ke gue.
mana pas ada kak ocha-nya.

milan:
berisik.

lanang:
untung kak ocha gak jahat kaya lo ya, bang.

milan:
bodo.

lanang:
tapi kalo lo lebih prefer kak ocha...
kenapa waktu ketemu di bioskop, lo malah narik tangan sakura?
kenapa?

Milan juga nggak tahu kenapa. Mungkin karena Alfa terlihat kelewat memaksa, dan kentara banget, Sakura enggan bicara sama dia. Terus, situasinya juga dramatis banget.

Milan ingat, dia baru saja keluar dari studio ketika tahu-tahu, dirinya berhadapan dengan Alfa yang tampak sudah menunggu. Tentu saja, Milan kenal Alfa. Mereka pernah satu kosan sewaktu masih kuliah dulu. Walau nggak sedekat Tigra yang memang lebih easy-going soal bergaul. Lagipula, nggak lama kemudian, Alfa lulus dan hingga Alfa lulus, Milan nggak pernah berada dalam situasi yang mengharuskannya mesti benar-benar mengobrol berdua saja sama Alfa.

Tadinya, Milan mau menyapa Alfa demi alasan kesopanan, tapi batal saat Alfa yang langsung menatap pada Sakura yang berada di belakang Milan tiba-tiba bicara.

"Kamu nonton berdua sama dia?"

"Mau nonton berdua atau nggak, itu bukan urusan kamu." Sakura menjawab.

Milan salah tingkah banget, nggak menerka kalau dia bakal mendadak terjebak dalam jarak diantara dua orang yang kelihatannya sudah sama-sama menabuh genderang perang.

"Sakura, aku mau ngomong."

"Aku nggak mau ngomong."

"Aku udah macet-macet kesini."

"Nggak ada yang nyuruh kamu kesini."

Mereka masih ada di tempat umum. Tampaknya, Alfa juga sadar itu, sebab dia merendahkan suaranya, walau tetap sarat penekanan. "Sakura—"

"Kayaknya kalau dia nggak mau, ada baiknya, nggak perlu dipaksa, Bang." Milan menukas, membuat Alfa sontak menatap kepadanya.

"Stay out of this, Milan. Ini bukan urusan lo."

"Ini urusan gue juga, Bang." Milan membantah.

"Oh ya?"

"Iya." Milan nggak pikir panjang ketika dia meraih pergelangan tangan Sakura. "Soalnya seperti yang lo bilang tadi, Sakura kesini sama gue."

Sakura tercengang, begitu pun Alfa yang sempat tampak speechless.

"Saat ini, Sakura lagi jadi tanggung jawab gue. Jadi gue mohon banget, buat lo untuk nggak maksa dia. Kalaupun lo mau ngomong, kayaknya lo mesti nunggu. At the very least, sampai Sakura mau. Nggak ada hal bagus yang bisa kita dapatkan dari memaksa orang lain, kan?"

Pandangan mata Alfa menajam, tapi dia nggak bilang apa-apa. Lelaki itu masih bergeming di tempatnya ketika Milan beralih pada Sakura.

"Gue laper. Ayo, makan!"

Refleks, Sakura mengangguk.

Milan sempat cemas kalau Alfa bakal nggak terima, terus tetap menjegal langkahnya. Kalau begitu, dia nggak akan punya pilihan selain melawan. Tapi mereka pasti akan mengundang keributan dan Milan nggak menginginkan itu. Untungnya, Alfa tidak mencegah kepergian mereka. Makanya, ujung-ujungnya, Milan makan betulan sama Sakura—soalnya takut kalau Alfa berinisiatif mengikuti mereka lalu tau kalau Milan hanya akting belaka. Terus, sebagai lelaki gentleman, Milan merasa sangat salah kalau nggak sekalian mengantar Sakura pulang.

Gitu deh ceritanya.

Milan yakin dia hanya bersimpati, soalnya terus terang saja, dia nggak suka melihat cowok memaksa cewek, apalagi di tempat umum dan menggunakan gestur yang terkesan mengintimidasi.

Bukan karena dia punya perasaan lebih sama Sakura.

Well, pasti ada momen-momen dimana dia baper gara-gara Sakura, namun setelah tahu kalau Sakura hanya memperalatnya, cara Milan menilai Sakura otomatis berubah drastis.

milan:
refleks.

lanang:
REFLEKS MACAM APA.

milan:
refleks pengen melindungi.

lanang:
bang, katanya rasa ingin melindungi seseorang tuh bs jadi tanda-tanda loh.

milan:
tanda-tanda palalu peyang.

lanang:
lah gue cuma ngasih tau.

milan:
gue melindungi siapapun yang butuh perlindungan.
kalo yang ada dalam situasi perlu dilindungi itu rossa, gue pasti bakal lindungi dia.

lanang:
kalo kak regina?

milan:
kalo liat karakter lakinya, kecil kemungkinan dia butuh perlindungan gue.

lanang:
kalo kak jella?

milan:
kalo dia butuh perlindungan?
bakal gue lindungi.

lanang:
anjay. jd menurut lo, bang tigra gak becus lindungin kak jella? 

milan:
kayaknya masih lebih becus gue.
tp jangan bilang-bilang tiger. 

lanang: 
tapi bang, kata gue mending lo sadar diri.
lo bukan superman yg tugasnya melindungi semua orang.

milan:
gak harus jadi superman dulu untuk jd orang baik.

lanang:
#WOWQUOTES

milan:
udah belom nih?

lanang:
udah.

milan: 
cebok.

lanang: 
wkwk jaga kesehatan ya, bang.
dan kalo bisa rajin maskeran.
biar cakep di kamera.

milan:
udah cakep.

lanang:
emang udah cakep.
cuma kurang keurus aja.
makanya nih dibantuin nyari yang mau ngurusin.

milan:
ajg.

lanang:
sama-sama.

*

Gia belum tiba di rumah ketika Johnny pulang.

Apartemen yang mereka huni berdua saja kosong, sepi dan dingin. Johnny membuang napas seraya meletakkan sepatunya pada rak yang melekat ke dinding. Lalu dia menyalakan lampu dan setelahnya, duduk di salah satu high stool meja bar tempatnya biasa minum. Lelaki itu mengeluarkan ponsel buat mengirim chat ke istrinya.

johnny:
wifey, kamu pulang telat lagi?

gianna:
udah di lobi.
km udah pulang?

johnny:
mm-hm.
want me to make smth warm for you?

gianna:
ngerepotin gak?

johnny:
gak.
see you.

Gianna nggak membalas lagi.

Johnny paham karakter perempuan itu. Sejak awal mereka baru bertemu, Gia itu orang yang irit bicara. Dia lebih sering diam. Kalaupun bicara, kata-katanya nggak pernah panjang. Memang, ada saatnya Gia membiarkan emosinya terekspos jelas di depan Johnny, tapi jumlahnya bisa dihitung jari. Gia itu orang yang lebih suka memendam segalanya sendiri.

Johnny berusaha memahami Gia, tapi sebagai seseorang yang nggak bisa baca pikiran dan nggak punya bakat jadi cenayang, terkaan Johnny tak selalu tepat.

Johnny suka berpikir, betapa situasinya akan lebih mudah kalau saja Gia mau sedikit lebih terbuka. Seandainya saja Gia mau menunjukkan emosinya, menunjukkan terang-terangan apa yang dia rasakan. Pernah suatu kali, Johnny pulang terlambat pada satu hari langka ketika Gia punya hari libur. Perempuan itu sudah menyiapkan makan malam spesial untuk mereka berdua, tetapi Johnny pulang terlambat.

Alasannya?

Dia pergi ke makam Sona sebab hari itu adalah hari anniversary kematian perempuan itu.

Johnny mengira Gia bakal marah. Heck, dia bahkan mengharapkan perempuan itu untuk marah. Tapi nggak, Gia justru diam saja, terus katanya dengan suara nyaris tanpa emosi;

"Lain kali, kalau pulangnya mau telat, sempetin kasih tau aku dulu ya."

Orang bilang, yang namanya masalah dalam pernikahan mesti dihadapi dengan kepala dingin. Namun Gia terlalu dingin. Rasanya sampai nyaris membeku, membuat Johnny kerap bertanya-tanya... apakah dirinya berarti buat Gia?

Jika dia mesti terus terang, ada saat-saat dimana dia merasa iri pada Jenar atau Yuta atau bahkan Dhaka.

Mereka nggak selalu akur dengan istri mereka. Ada saatnya mereka bertengkar hingga meledak-ledak. Atau saling cemburu setengah mati hingga situasinya jadi lucu. Namun itu bikin pernikahan mereka berwarna. Tidak datar, seperti rumah tangga yang Johnny jalani.

Bisa jadi, ini juga salahnya.

Mereka berdua sama-sama punya ekspektasi. Gia punya ekspektasi sendiri. Johnny punya ekspektasi sendiri. Ekspektasi-ekspektasi mereka berjumpa di satu garis temu; keinginan untuk memiliki seorang anak.

Dan hingga sekarang, ekspektasi itu nggak kunjung terpenuhi.

"Husband?"

Johnny pasti melamun sementara dia mengaduk gula dalam teh hangat yang dibuatkannya untuk Gia sampai-sampai dia nggak mendengar suara pintu depan yang dibuka.

"Di dapur, Gianna."

Gia masuk, wajahnya terlihat lelah. Johnny berbalik, mendekat dengan cangkir teh di tangannya. "Your favorite."

"Thankyou."

"Kamu kelihatan capek."

"Emang capek." Gia mengembuskan napas. "Ada sedikit kecelakaan. Salah satu stuntman ada yang cedera. Kepalanya berdarah. Otomatis shoot mesti ditunda dan karena kayaknya lukanya cukup serius, aku ikut ke rumah sakit."

"Tapi hari ini nggak telat makan, kan?"

"Nggak."

"Nggak bohong?"

Gia menatap Johnny, terus menarik senyum tipis. "Oke, tadi makannya agak telat."

"Jam berapa makan siangnya?"

"Johnny, kamu nanya atau interogasi sih?"

"Nanya."

"Jam dua."

"Mana ada orang makan siang jam dua?"

"Ada. Aku. Hari ini."

"Gianna, come on, aku nggak mau kamu sakit."

"Alright, nggak akan diulangi. Jangan cemberut gitu." Gia meletakkan tasnya di atas meja pualam, kemudian duduk di atas high stool. Johnny menyusul, duduk di high stool yang berada di sebelah Gia. Mereka memutar arah high stool tersebut sedemikian rupa hingga kini, keduanya saling berhadapan. "Hari ini jadi hangout sama temen-temen kamu?"

Johnny mengangguk. "Jadi."

"Seru nggak?"

"Lumayan. Gara-gara itu juga, ada yang mau kuomongin sama kamu."

"Hm, mau ngomongin apa?"

"Kamu inget Lanang nggak?"

"Teman kamu yang badannya tinggi-gede itu?"

"Kamu tuh ngomongin Lanang seakan-akan dia raksasa."

"Emang raksasa."

"Perawakan dia nggak jauh beda sama aku loh."

"Iya, kamu juga raksasa."

Johnny berdecak. "Lanang mau bikin konten Youtube spesial valentine."

"Mm-hm, terus?"

"Kamu mau nggak kalau kita ikutan? Katanya sih kontennya tuh kayak ada beberapa couple, terus dikumpulin dan masing-masing dikasih pertanyaan gitu. Pertanyaan-pertanyaan jujur yang dari hati ke hati. Kayaknya mayoritas temanku pada ikutan. Aku sih fine-fine aja kalau kamu setuju."

"Pertanyaannya bakal kayak gimana, sih?"

"Soal pasangan gitu, Gianna. Tapi bukan pertanyaan yang apa ya... yang nggak sopan gitu. Aku percaya, Lanang bukan tipe yang suka bikin konten sensasional."

"Kapan?"

"Minggu depan kayaknya, soalnya videonya kan mesti siap tayang sebelum tanggal 14 Februari."

"Boleh deh."

"Kamu nggak sibuk?" Johnny agak kaget.

"Kamu kelihatannya pengen join teman-teman kamu ikutan ngonten sama Lanang. Kalau aku nolak, nanti kamu nggak bisa ikutan."

"Kalau nggak bisa, nggak usahd dipaksain—"

"No, I want to." Gia membantah, terus beralih ngomongin sesuatu yang lain. "Tapi kok hari ini rasa tehnya agak beda ya? You sure, ini merek teh yang aku suka?"

"Di rumah ini kan yang minum teh kamu doang, Gianna. I'm sure it's yours. Emang rasanya kenapa?"

"Nggak enak. Malah bikin enek."

"Really?"

"Iya. Apa gulanya kali ya?"

"Nggak kok. Sama aja."

"Atau udah kadaluarsa kali?"

"Kemungkinan besar nggak. Kan tehnya baru dibeli awal bulan kemarin. Aku juga selalu cek tanggal expired kalau beli sesuatu."

"Terus kenapa ya?"

"Sini deh, aku cobain."

Gia mengulurkan cangkir tehnya yang masih terisi pada Johnny. Johnny menyesapnya sedikit. Dahinya berkerut karena dia nggak menemukan ada yang salah dengan teh itu.

"Sama aja kok kayak rasa teh kamu yang biasanya."

"Aduh, atau lidahku yang aneh ya? Aku mau flu kali ya..."

Kata-kata Gia memantik sesuatu dalam kepala Johnny. Untuk membuktikan kecurigaannya, lelaki itu membuka sebuah aplikasi di ponselnya. Terus dia menatap lagi pada Gia.

"Gi, bulan ini udah dapet belom?"

"... hah? Hng... belom deh kayaknya."

"Harusnya minggu kemaren udah dapet."

"Lah, kok kamu tau?!"

"Tau-lah. Aku kan perhatiin cycle kamu. Kalau berdasarkan kalender di Flo, harusnya kamu dapet minggu kemaren. Tapi kalau gini—"

"John—"

"Shall we test it?"

*

Bukan cuma Johnny yang kaget, Lanang dan para anggota grup Pejantan Tangguh yang lain juga kaget ketika Gianna muncul di studio-nya Lanang pada hari recording buat konten valentine.

Lanang nggak berharap banyak juga, makanya dia sempat ternganga dengan mata mau loncat keluar dari rongganya hingga Hendra menutup mulut lelaki itu pakai telapak tangan dan berujar, "Jangan norak, ngab."

Gimana nggak kaget ya, habis dari semua perempuan dalam persekutuan pawang para pejantan, Gia ini yang paling ekslusif. Bukan hanya karena gayanya yang cool dan fashion sense-nya yang terkesan berkelas dengan cita-rasa tomboy yang kental, tapi juga karena reputasinya. Gia itu salah satu sutradara kebanggaan negeri ini. Perumpamaannya nih ya, kalau Joko Anwar terkenal karena film-film horornya dan Mo Brothers populer karena karya gore penuh darahnya, maka Gia lebih banyak berkecimpung di genre action.

Kata Jenar sih, kalau urusan bela diri, Gia lebih jago dari Johnny, sedangkan mereka semua tau kalau semasa sekolah dulu, Johnny bersama Jenar pernah jadi anggota legendaris Tunggal Hati Seminari dari angkatan mereka.

Lanang jadi hati-hati banget bersikap. Dia takut salah ngomong, soalnya kalau dia kena gaplok Gia, bisa-bisa si Monas dan si Gedung MPR jadi yatim duluan sebelum sempat terlahir ke dunia. Padahal sih, Gia-nya biasa saja.

"Ini gue kasih briefing singkat aja yah?"

"Iyalah, kalau panjang-panjang namanya bukan briefing, tapi seminar!" Dhaka menukas, yang membuat Juno mencolek pinggangnya.

"Kamu jangan salty gitu dong sama Lanang!"

"Nggak salty, Juno. Emang aku kan kalau ngomong begitu!"

"Nggak apa-apa, Kak Juno. Gue udah nggak heran. Ibarat kata, kalau 70% dari bagian badan manusia itu adalah air, air yang menyusun badannya Bang Dhaka adalah air dari Laut Mati."

Laut Mati itu laut paling asin sedunia.

"Oke, Nang, bisa dimulai aja." Tigra turut bicara.

"Gambreng deh, siapa duluan yang mau take. Kamera gue sih banyak ya, Bang, tapi studio-nya kan cuma satu. Nah ntar pas editing gampang, tinggal disatu-satuin sama si Hendra."

"Kenapa harus gambreng?" Kun mengernyit.

"Kalau nggak gambreng, emang ada diantara abang-abang sekalian yang mau take duluan?"

Para anggota grup Pejantan Tangguh saling pandang.

"Nah kan, kagak ada! Makanya, udah, solusi terbaik tuh gambreng aja!"

"Kayak anak TK aja pake gambreng segala." Jenar menyindir.

"Kalau pake marathon, keburu lebaran, Bang. Kagak kelar-kelar nanti take-nya!"

"Harus banget gambreng?" Yuta menimpali, terpicu untuk jahil.

"Mau pake ngerjain soal olimpiade?" Lanang mulai kehabisan kesabaran.

Johnny menengahi. "Oke. Gambreng aja!"

Milan yang sudah stand-by di sana dari tadi diam saja. Rossa yang direncanakan bakal jadi partnernya dalam konten ini belum datang. Kata Lanang sih, Rossa sudah bilang bakal datang terlambat. Cuma, kalau memang apesnya Rossa nggak kunjung muncul, Lanang sudah menyediakan setidaknya selusin nomor WhatsApp cewek lain yang siap di-chat.

Mereka gambreng dan ternyata yang kena giliran pertama take adalah Dhaka.

"LAH KOK GUE?!" Dhaka protes.

"Lo kan item sendiri, Ka!"

"Masih iteman Milan, perasaan."

"WAH, SKIN SHAMING LO YA?!" Milan menyambar.

"Canda, Ming."

"Candaan lo nggak kocak." Milan membalas pedas.

"Elah nih pantat bayi satu, sensitif bener." Yuta berdecak, terus berpaling pada Dhaka. "Kan lo yang pertama kali out gambrengnya. Otomatis lo dong yang pertama!"

"Gue belom siap, anjrit!"

"Belom siap apanya sih?"

"Demam panggung nih gue."

"Aduh, laki gue norak banget..." Juno bergumam di belakang Dhaka.

"EMANG!" Dhaka menyahut kata-kata Juno sembari menoleh ke belakang.

"Ups, sori. Kirain nggak kedengeran."

Dhaka memutar bola matanya, terus memandang Jenar. "Lo aja duluan dah!"

"Lah kok gue?!"

"Kayaknya lo siap banget kan, kemaren aja lo duluan yang nge-iyain ikutan kontennya Lanang!"

"Gue juga butuh waktu mempersiapkan diri—"

"Ya Allah, pusing banget ternyata take konten sama kalian, ribetnya ngalah-ngalahin anak SD." Lanang berdecak sambil menyeka keringat di dahinya. Belum-belum, sudah capek duluan. Hendra terus saja merekam. Pikirnya lumayan, nanti bisa ditaro sebagai bagian bloopers atau behind the scenes di akhir video.

"Udahlah, lo duluan aja." Tigra sependapat.

"Kan gue nggak kalah gambreng—"

Rei menghela napas. "Oke. Kita duluan aja."

Begitu Rei berbicara, Jenar langsung diam.

"Nah, alhamdulillah pawangnya sudah bersuara." Lanang lega.

Gambreng pun berlanjut dan urutan take videonya telah didapatkan. Untuk Milan, posisi antreannya sengaja dibikin fleksibel. Pokoknya begitu Rossa datang, konten bagian Milan akan langsung take setelah take yang sedang berlangsung selesai.

*

Begitu kamera dinyalakan, sempat ada hening panjang diantara Rei sama Jenar yang cuma duduk saling diam sembari melempar tatap.

Kaku banget, kayak artis kemarin sore yang baru kena sorot kamera.

"Bang, kok malah diam sih?"

"Terus gue kudu gimana, anjrit?"

"Ngomong kek."

"NGOMONG APA, PERTANYAANNYA AJA BELOM DIKASIH!?"

"Apa kek gitu, intro atau—"

"LAH KAN YANG PUNYA CHANNEL ELO?!"

Dhaka nahan ngakak di belakang kamera sambil makanin chiki Taro. Sesekali, dia menyuapi Juno yang duduk di sebelahnya dengan chiki.

"Lo tuh muka doang yang ala selebritis, tapi kalo liat kamera kaku banget..."

"Bodo."

"Yaudah, langsung aja deh, perkenalan diri dulu, Bang."

"Kan lo udah kenal gue, Nang!"

"YA TAPI KAN PENONTON CHANNEL GUE BELOM?!"

"Kenapa jadi marah-marah dah?" Tigra berdecak heran, sedangkan Hendra yang merekam cuma ketawa kecil.

"Nggak apa-apa, Bang. Makin drama makin bagus. Orang Indonesia kan suka banget nontonin drama, apalagi kalau ada ribut-ributnya."

"Oh..."

"Perkenalkan diri lo, etdah!" Lanang memerintah Jenar.

Jenar manyun, tapi setelah dipelototi sama Rei, lelaki itu pun tersenyum sok ramah ke kamera. "Halo, nama gue Jenar. Dan yang ada di sebelah gue adalah istri gue, Regina."

Rei turut mengangguk seraya menatap ke kamera, diikuti senyum yang tersungging di bibirnya.

"Udah berapa lama saling kenal?" Lanang bertanya dari belakang kamera.

"Saling kenal tuh maksudnya tau sama tau apa pas udah bener-bener ngobrol?" Rei balik bertanya.

"Kalau tau sama tau?"

"Hm... kapan ya persisnya? Kita udah tiga tahunan nikah. Tiga tahun pacaran sebelum nikah. Setahunan pedekate sebelum bener-bener pacaran. Kalau pertama kali lihat dia, kayaknya dua tahun sebelum ngobrol pertama kali. So it's like... nine years?"

"Anjrit, lama banget!" Jenar seperti tak percaya.

"Iya kan, emang lama. Cuma kalau ditotal beneran jadi pasangan tuh kayaknya... enam tahun. Iya nggak sih?"

Jenar manggut-manggut. "Kayaknya iya."

"Oke, silakan salah satu dari kalian ambil satu gulungan kertas dalam akuarium. Nanti jawab aja bergantian, bebas siapa yang mau duluan."

Dengan patuh, Jenar mengikuti instruksi Lanang. Dia merogoh ke dalam akuarium bulat berisi butiran sterefoam dan gulungan-gulungan kertas berisi pertanyaan-pertanyaan. Setelah mengambil satu, Jenar membukanya dan membacakan pertanyaan yang ada di dalam sana.

"Ada nggak sesuatu yang penting banget, yang menurut kalian wajib dibicarakan sebelum nikah?"

"Aku dulu yang jawab, apa kamu?" Rei bertanya.

"Kamu dulu nggak apa-apa."

Rei berdeham. "Of course ada. Utamanya soal anak dan gimana parentingnya, kayak kira-kira kita mau punya berapa anak, kapan waktunya kita mau punya anak, terus how to raise them. I didn't grow up in a very loving home, to be honest. Dan aku nggak mau anakku mengalami hal yang sama. Makanya, aku sama Jeje juga sepakat kalau kita nggak akan berantem gede atau sampai ngomong kasar di depan anak. Terus gimana dalam ngedidik anak, kita mesti satu suara. Kalau soal 'iya' dan 'nggak' ke anak kita punya pandangan berbeda, aku sama Jeje setuju kalau kita bakal diskusi. Mana yang paling masuk akal, itu yang bakal jadi keputusan final."

Jenar mengangguk membenarkan. "But to be honest, soal mau punya anak berapa dan kapan, gue menyerahkan keputusannya ke Regina. Soalnya itu badannya dia, yang bakal hamil dia. Gue nggak bisa maksa bini gue melakukan sesuatu yang nggak mau dia lakukan ke badannya."

"Terus apa lagi ya, Je? Kita juga diskusi soal hobi dan me-time masing-masing, soalnya meski udah nikah, kita tetap butuh waktu buat diri sendiri kan. Diskusi juga soal manajemen finansial dan soal hutang. Terus batasan-batasan yang nggak boleh dilakuin kalau kita lagi berantem. Sama paling nyamain frame untuk value yang mau kita pake waktu didik anak, terutama yang berhubungan sama nilai-nilai agama. Aku sama Jeje sepakat ngedidik anak kita sesuai agama yang kita anut dengan sebaik-baiknya, sampai nantinya, Arga bisa mutusin sendiri panggilan iman dia ada di mana. Meski kita berdua bukan orang yang taat banget dalam beragama, tapi kita coba jalanin, karena kita harus kasih contoh yang baik buat Arga. Aku sama Jeje nggak mungkin kan bilang 'Arga, harus rajin ke gereja ya' kalau kitanya sendiri nggak rajin. Tapi kalau kita nyontohin, tanpa banyak omong, aku rasa anak itu bakal tergerak ngikutin dengan sendirinya."

"Banyak juga ya..." tiba-tiba Lanang jadi insecure, soalnya dia sama Delta nggak ada diskusi se-intens itu sebelum mereka nikah.

"Tapi yang paling penting tetap satu sih."

"Apaan tuh, Bang?"

"Kesepakatan soal AC kamar."

Rei refleks tertawa. "Oiya, benar."

"AC kamar gimana maksudnya?"

"Jadi, Regina tuh orangnya nggak tahan dingin. Dia nggak bisa tidur di kamar yang temperatur AC-nya rendah. Paginya bisa pilek. Kebalikannya, gue orangnya nggak bisa tidur kalau AC-nya nggak dingin banget."

"Terus penyelesaiannya gimana tuh, Bang?"

"Jalan tengahnya, temperatur AC kamar tetap rendah, sesuai preferensi gue. Biar Regina nggak kedinginan, ya tinggal gue peluk aja selama tidur."

"Bisa gitu..."

"Lebih terdengar kayak lagi cari kesempatan sih menurut gue." Dhaka menukas, juga dari belakang kamera.

"Nggak juga." Rei menyergah sembari nyengir. "Jenar ini badannya anget banget. Nggak tau kenapa bisa gitu. Jadi selama dipeluk dia semalaman, aku nggak kedinginan. Selain itu, dibantu juga sama selimut sih."

"Jangan ngasih too much information, di luar sana banyak pelakor." Jella memberitahu, yang dibalas oleh mereka dengan tawa.

"Oke, next question." Lanang memberitahu dan kali berikutnya, ganti Rei yang mengambil gulungan.

"Punya panggilan sayang nggak buat satu sama lain?" Rei membaca, lalu berpikir sebentar sebelum menjawab. "Kayaknya mentok-mentok Jeje aja."

"Me too. Sometimes I call her 'Love', tapi pada dasarnya, kita bukan tipe pasangan yang suka kasih nama panggilan aneh-aneh."

"Bahas nama panggilan, aku baru sadar deh, Je."

"Hm?"

"Kamu lebih sering panggil aku 'Regina' daripada 'Rei'. Dari dulu malah kayaknya. You rarely call me with my nickname. Diantara semua orang, kayaknya kamu yang paling sering panggil aku pakai nama depanku."

"Iya."

"Kenapa?"

"Nama kamu cantik. Aku suka nyebutinnya. Lebih suka juga manggil kamu pakai nama depan kamu tanpa disingkat."

Jawaban Jenar bikin Dhaka sama Tigra berpandangan.

"Baru nyadar juga ya lo?" Tigra bertanya pada Dhaka.

"Iya. Anjrit. Perkara nama panggilan doang..."

"Oke, next question!"

Jenar kembali jadi orang yang mengambil gulungan. Seperti yang sudah-sudah, Jenar membuka gulungannya dan membaca pertanyaan yang ada di sana. "Most memorable trip ever?"

"Harus yang sama Jeje?" Rei memandang pada Lanang.

"Bebas, Kak."

"HAH, EMANG MOST MEMORABLE TRIP KAMU BUKAN YANG SAMA AKU?!" Jenar terperanjat.

Rei meringis. "Bukan."

"TERUS SAMA SIAPA?!"

"Tigra. Hehe." 



to be continued

***

Istri, kalau dijemput suaminya di bandara.

Suami, kalau ngejemput istrinya di bandara.


***

a/n:

tenang, semua akan kebagian pembahasan QnA ini dan setiap couple pertanyaannya bakal beda-beda ;P 

akankah mb ocha beneran dateng? 

kayanya sih dateng yak. 

terus apa yang tadi terjadi pada gia, pertanda apakah itu.... 

wkwkwk sampai ketemu di chapter selanjutnya beb. 

met hari sabtu. 


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top