22 | jujur
"Dia mau digendong lo."
Dengar Jenar bilang begitu, reaksi pertama Rossa adalah ternganga. Apalagi ketika matanya menatap pada Wuje yang sedang melihat ke arahnya. Kedua mata anak itu kelihatan berkaca-kaca. Wajahnya mengerut, khas anak kecil kalau mau nangis.
"Mama..." bisikannya bertambah pelan, tapi kedua lengannya masih terangkat ke udara, meski sekarang telapak tangan anak itu nggak lagi membuka-menutup secara mengemaskan.
"Gendongnya sama Om aja ya?" Jaka berusaha mengendalikan situasi.
Tapi Wuje menggeleng, dan bisiknya kian samar.
"Mama..."
Rossa menghela napas sebelum meneguk saliva. Lantas perlahan, dia melangkah mendekat. Tindakannya menuai respon dari Jaka.
"Roshan, you don't have to—"
"Masa aku mau bikin Argan nangis di hari ulang tahunnya?"
Jenar memiringkan wajah, tadinya berniat meraup Wuje dalam gendongannya kalau anak itu masih ngotot minta digendong sama Rossa. Tapi jujur saja, interaksi yang barusan terjadi antara Rossa dan Jaka adalah sesuatu yang nggak dia tebak sama sekali. Sure, dia tau mereka semua sudah jadi orang dewasa, bukan lagi anak-anak muda yang gemar mengeluh karena dipaksa begadang saban malam gara-gara tugas dosen, namun dia nggak expect kalau Jaka dan Rossa bisa akur banget kayak gitu, mengingat apa yang pernah terjadi diantara mereka di masa lalu.
Kata-kata Rossa mau nggak mau bikin Jaka menyingkir, walau jelas dengan setengah hati.
Saat dia sudah cukup dekat dengan Wuje, Rossa berjongkok, menyamakan tingginya dengan tinggi anak itu. Wuje berjalan tertatih, lalu memeluk leher Rossa, membuat Rossa membeku sejenak. Dia berdeham, merasa tenggorokannya tiba-tiba kering. Ada perasaan aneh yang mendesak dadanya, sebentuk emosi tak bernama yang membuat matanya terasa panas.
Kemudian, Wuje menyentuh pipi Rossa dengan telapak tangannya yang mungil. Dengan manis, anak itu mencondongkan badan sedikit, mencium pipi Rossa. Apa yang Wuje lakukan membuat Rossa ternganga. Matannya memandang anak itu dengan sorot nggak percaya, yang justru membuat Wuje tertawa, memamerkan lesung pipi sekaligus gigi susunya yang masih tumbuh jarang-jarang.
Anak itu berbau seperti minyak telon, bedak bayi dan entah apa yang menyejukkan indra penciuman Rossa, membuat Rossa refleks memeluk Wuje dan membawa anak itu dalam gendongannya.
"Mama?"
Rossa menggeleng sambil berdiri. Dia balik tersenyum pada Wuje dengan mata berkaca-kaca. "Bukan, Argan. Ini Tante Ocha."
"Ate?"
Rossa mengangguk. "Tante Ocha."
"Bukan Mama?"
"Bukan."
Jari-jari Wuje memainkan ujung rambut Rossa. "Ate kayak Mama..."
"Iyakah?"
Wuje mengangguk. "Cantik..."
"Makasih, Argan Sayang."
Jaka membuang napas lega, terus berbisik pada Jenar yang berdiri di sebelahnya. "Kayaknya bakat buayanya nurun ke lo ya."
"Kagak, njir..." Jenar membantah. "Lagian Rossa sama Regina hari ini dandanannya kayak satu tema. Namanya anak kecil, wajar kalau keliru gitu."
"Bapaknya kira-kira bakal keliru nggak?"
"Nggak."
Dua lelaki itu kompak tertawa.
Acara baru bakal dimulai sepuluh menit lagi, kalau berdasar jam yang sudah Jenar sama Rei tentukan. Tamu-tamu yang datang makin banyak. Rei sudah bilang sih ke Rossa waktu menghubunginya lewat WhatsApp, kalau yang datang bakal didominasi oleh teman-teman terdekat mereka. Tapi ternyata tetap saja banyak.
Kata Jaka, wajar, soalnya meski Rei itu orangnya cenderung kaku sama orang baru, Jenar adalah kebalikannya; lelaki itu adalah social butterfly yang bisa dengan gampang get along sama siapa saja.
Seraya menunggu, Rossa banyak bermain sama Wuje. Padahal ini kali pertama Wuje berinteraksi langsung sama Rossa. Bisa jadi, karena dia merasa penampilan Rossa mirip sama ibunya. Selain itu, dalam waktu singkat, walau sempat agak rikuh, ternyata Rossa cukup baik dalam urusan handling anak kecil.
Jenar sih happy-happy saja, soalnya dia jadi bisa duduk sejenak setelah sebelumnya dibikin mengitari halaman belakang rumahnya tanpa henti buat ngikutin Wuje yang lagi aktif-aktifnya melangkah kesana-kemari.
Sekarang, Wuje lagi sibuk main bola sama Rossa.
Mereka terpisah jarak yang nggak terlalu jauh dan berdiri berhadapan. Wuje akan menendang bola ke arah Rossa dengan kaki kecilnya, dan Rossa bakal menangkap bola itu sebelum menendang balik. Sesekali, anak itu tertawa keras, bikin sepasang matanya jadi lengkungan dan lesung pipinya tercetak dalam.
"Anak lo benar-benar mirip lo banget ya..." Jaka tiba-tiba bergumam.
"Iyalah, anak gue. Kalau mirip Tigra, baru tuh perang dunia!"
"Kagak, maksud gue, kayak Rei cuma bagian lahirinnya aja, sisanya ngikut lo semua."
"Iya ya? Tapi kan enak, jadi nggak mungkin ketuker di rumah sakit."
"He's going to break a lot of hearts." Jaka bergurau. "Kayak bapaknya."
"Kalau pengen jatuh cinta tapi nggak berani patah hati, itu sama aja kayak lo pengen berenang tapi lo nggak berani basah."
Jaka tertawa.
"Anyway, sori nih ya, lo nggak mesti jawab kalau nggak mau, cuma terus terang, gue nggak expect lo bakal datang sama Rossa."
"..."
"We're adults now, dengan tanggung jawab penuh ke hidup masing-masing. But still, it's unexpected. Kalian... temenan?"
Jaka mengangguk. "Kalau lo nggak percaya, jujur gue lebih nggak percaya lagi. Kalau ditanya sejak kapan, kayaknya dari awal sih, nggak berapa lama setelah Ros balik dari Singapur pasca pemulihan dari accident yang waktu itu. Anak-anak Sadewo kan udah ada beberapa yang lulus duluan. Kayak Rei, Jella, Yumna. Otomatis, Ros jadi ngerasa sendirian. You know very well that I fucked up my semesters too, jadi yaudah. Kita berdua berdamai dan temenan. Saat udah kerja, ya Ros sibuk sama kerjaannya. Gue juga. I was in Balikpapan for a few years, baru balik sekitar dua tahun lalu."
Jenar manggut-manggut.
"What happened in the past is better left in the past, I think."
"Emang."
"Gue berharap kalian semua bisa nemuin bahagia kalian sendiri-sendiri. Bukan cuma Wirya karena dia teman gue, atau Ros, karena dia temannya Regina. Tapi lo juga."
"I wish, Jenar. I wish."
"What's in the past is in the past, right?"
"Iya. Apa yang ada di masa lalu emang tertinggal di masa lalu. Tapi bekas yang tertinggal dari apa yang ada di masa lalu itu? Kadang seumur hidup pun belum tentu bisa ngilangin bekas itu."
*
Dulu, Rossa suka nggak paham kalau ada yang bilang bau bayi itu obat.
Buatnya, segala hal yang berhubungan sama bayi justru bikin dia terkenang ke masa-masa pahit yang nggak mau dia ingat lagi. Membuat dia teringat pada anaknya, yang sudah keburu nggak ada bahkan sebelum sempat diberi nama. Anak itu bahkan nggak punya makam.
Makanya, dia agak-agak sensitif dan tampak anti berinteraksi terlalu dekat dengan bayi maupun anak kecil.
Tapi berbeda dengan hari ini. Ini hari ulang tahun Wuje. Anak itu sendiri, dengan langkah kaki kecilnya, menghampiri Rossa dan mencium pipinya. Menolak berdekatan sama Wuje bakal bikin Rossa merasa bersalah.
Ternyata, kalau sudah dilakukan, nggak sesulit itu.
Dan memang benar, aroma khas bayi yang tertinggal di ujung hidungnya, berpadu dengan wangi minyak telon dan bedak adalah sesuatu yang therapeutic.
Sejujurnya, sewaktu menerima undangan pernikahan Rei dengan Jenar, Rossa sempat nggak percaya. Tentu saja, dari semua cowok yang kelihatannya pernah dekat sama Rei (dan jumlahnya bisa dihitung pakai jari saking sedikitnya), Jenar adalah yang paling ngotot dan maksa. Tapi Rossa kenal temannya. Rei selalu skeptis soal 'being with someone for the rest of her life' karena menurutnya, cinta pun punya tanggal kadaluarsa.
Faktanya, itu belum seberapa.
Rossa kian dibikin terkaget-kaget ketika nggak sampai sembilan bulan kemudian, dia menerima berita lain; Jenar sama Rei sudah menyambut kehadiran anak mereka yang pertama.
Rei pernah bilang ke teman-teman mereka selantai dua kosan Sadewo dalam salah satu sesi makan seblak bareng dulu, kalau jadi ibu itu sebuah tanggung jawab berat—tanggung jawab yang dia nggak yakini mampu dia emban. Sebab itu pekerjaan seumur hidup. Sebuah tugas dan komitmen yang nggak berakhir hanya pada batas memberi support finansial, melainkan juga dukungan emosional.
Tanggung jawab untuk membuat anak itu merasa berharga dan disayangi.
Namun kini, menonton Wuje menendang bola itu ke arahnya, dengan senyum dan suara tawa yang memenuhi udara, Rossa mulai paham, kenapa Rei bersedia mengambil resiko, mengambil tanggung jawab berat untuk jadi seorang ibu.
Babies are little blessings that can help us to see the lovely side of life.
Lamunan Rossa terbuyarkan ketika Wuje tersandung oleh kakinya sendiri ketika mau menendang bola. Anak itu tersungkur jatuh. Wajahnya mencium rerumputan. Tawanya berubah jadi pekik lalu rengekan yang sepertinya akan berujung pada tangisan. Di kejauhan, baik Rei maupun Jenar langsung menoleh ke arah datangnya suara.
Kayaknya, Jenar sudah pasti bakal menghampiri anaknya jika saja seseorang tidak lebih dulu melakukan itu.
Wirya memegangi kedua sisi badan Wuje, membantunya bangkit dari rumput. Wuje merengek dengan wajah mengerut dan memerah, tampak sudah siap meraung. Rossa terdiam di tempatnya berdiri, sementara Wirya kini sibuk membersihkan helai-helai rumput yang menempel di wajah dan rambut Wuje.
"It's okay, Arga."
Wuje menggeleng, menyentuh wajahnya sendiri. "Atit..."
"Om Wirya tiupin mau? Biar sakitnya hilang."
"Tiup?"
"Iya, ditiup. Gini—" Wirya membungkuk, meniup pipi Wuje. "Fuhh. Sakitnya hilang deh pasti."
"Ilang yah?"
"Mm-hm."
Wuje manggut-manggut, batal menangis, malah mulai sibuk mencari bolanya. "Boya mana boya..."
"Boya?"
Rossa menelan ludah, merunduk untuk memungut bola yang telah menggelinding sampai ke dekat kakinya. "Mungkin maksudnya bola."
"Ate... boya!"
"Oh."
Keduanya—ditambah dengan Wuje yang berada di dekat mereka—kini jadi pusat perhatian tamu yang datang. Pertama, karena Wirya ganteng banget. Kedua, karena Rossa juga cakep banget. Ketiga, karena anak yang berulang tahun turut ada diantara mereka.
Yumna yang baru sampai bareng Yuta dan si orang ketiga refleks langsung ngomong keras-keras. "Anjrit, dateng-dateng gue langsung disodorin Andin-Aldebaran?!" yang kontan bikin Queensha menepuk pipi emaknya dengan keras.
Sementara itu di dekat mereka, ponsel Apple kecokot milik Lanang langsung beraksi mengabadikan momen yang terjadi dari kejauhan.
Biasalah, buat bahan vlog.
"Aku nggak expect kamu bakal datang. Kata orang-orang, kamu hampir selalu sibuk."
Wirya memiringkan wajah, terus meraup Wuje ke dalam gendongannya sebelum dia berdiri. "Aku?"
"Lagi ada anak kecil. Jangan pake gue-lo." Rossa beralasan, walau sesungguhnya, aku-kamu yang dia gunakan terlontar tanpa dia sadari tadi, bukan karena ada Wuje di dekat mereka.
"To be honest, aku juga nggak expect kamu bakal datang."
"..."
"Sama Jaka pula." Wirya melirik pada Jaka, sementara Wuje sibuk memainkan kancing di kerah bajunya.
"Mau marah?"
"Marah juga nggak ada hak, kan?"
"Bagus. Soalnya ini ulang tahun Argan. Aku nggak mau sampai ada ribut-ribut di hari ulang tahun Argan."
"You look good with Arganata." Wirya tau-tau berujar. "Kamu pandai handle anak kecil."
"Nggak juga."
"Even Rei aja bilang begitu waktu nyambut aku tadi." Wirya tau-tau tersenyum, dan itu bikin Rossa jadi gugup mendadak.
"Aku tau, aku nggak berhak maksa kamu. Terserah kamu juga mau datang kesini sama siapa. Cuma, aku berharap kamu bisa lihat seberapa itu nggak adil buatku. Kalau aku punya salah sama kamu, just let me know. Jadi aku bisa mewajarkan tindakan kamu yang tiba-tiba musuhin aku."
"Fine, kurasa aku udah nggak adil juga sama kamu." Rossa mengangkat bahu. "Back then, why did you go to Singapore?"
"Waktu aku nyusulin kamu?"
"Iya."
"Because I care for you."
"And why did you care for me?"
"That's silly. Of course because I love you, Roseanne."
"Do you?"
"What?"
"Do you still love me, even now?"
"Of course. Menurutmu, aku pernah berhenti?"
"That's the reason why."
"Maksudnya?"
"Aku tau aku nggak bisa memberi yang kamu ingin, makanya aku menjauhi kamu." Rossa mendesah seraya melirik arloji di pergelangan tangannya. Lalu dia mendekati Wirya. "Acaranya udah mau mulai. Better aku balikin Argan ke orang tuanya."
Wirya masih tetap diam ketika Rossa membujuk Wuje.
"Argan, gendong sama Tante Ocha ya? Kita ke Papa sama Mama kamu. Bentar lagi kan kamu mau tiup lilin. Sini yuk?"
Wuje berhenti memainkan kancing baju di kerah Wirya, menengadah menatap Wirya sebentar untuk minta persetujuan, yang lantas Wirya balas dengan senyum.
Setelahnya, barulah Wuje bersedia berpindah gendongan ke Rossa.
*
Bagian inti dari acara ulang tahunnya Wuje dimulai nggak lama kemudian.
Dikarenakan Wuje ini nggak jauh berbeda seperti anak-anak pada umumnya yang langsung nggak bisa diam kalau sudah lihat kue ulang tahun—mana kuenya bertingkat dan penuh hiasan pula—maka acara tiup lilin disegerakan sebelum krim di tepi kue pada banyak yang boncel karena dicolekkin sama Wuje.
(bukan cuma Wuje sih, even Cherry, Queensha sama Lila sudah pada stand-by dengan mulut mangap dan tangan yang terkepal gatal di dekat kue ulang tahunnya Wuje).
Hyena setia jadi bagian dokumentasi ketika lagu Selamat Ulang Tahun mulai dinyanyikan. Kuenya cukup tinggi, jadi biar Wuje bisa meniup dua lilin di atasnya, Jenar mengangkat tubuh mungil anak itu. Suasananya meriah karena banyak yang menyanyi dan bertepuk tangan, dan tampaknya, itu bikin Wuje senang bukan kepalang. Anak itu bertepuk tangan sambil tertawa lebar, lagi-lagi memamerkan lesung pipi berikut gigi susunya yang masih jarang-jarang. Dia berhasil bikin sebagian besar tamu undangan diserang rasa gemas.
Usai lilin padam, Rei memotongkan kue, meletakkannya di atas piring mungil berikut garpu kecilnya dan bertanya pada anaknya yang masih digendong Jenar.
"Potongan kue pertama mau Wuje kasih untuk siapa, Nak?"
"Kue?"
"Mm-hm. Wuje mau suapin siapa dulu? Papa dulu, apa Mama dulu, apa Opa atau Oma dulu?"
"Mama."
"Mama?"
Wuje mengangguk. "Mama."
"Ambil garpunya ya?" Jenar membimbing tangan kanan Wuje buat mengambil garpu mungil di atas piring, menusukkannya pada potongan kue dan mengarahkannya agar menyuapkan potongan kue itu pada Rei.
"Enak?" Wuje bertanya pada Rei.
Rei tersenyum lebar seraya mengangguk, terus dia merunduk, mencium pipi Wuje sembari menahan air mata yang tiba-tiba berdesakan di matanya—entah kenapa.
Suapan potongan kue berikutnya, ternyata didedikasikan oleh Wuje untuk Rossa—yang sempat bikin Jenar cemberut dan banyak tamu lainnya tertawa. Barulah pada suapan potongan berikutnya, Wuje memberikannya untuk Jenar. Suapan potongan kue keempat diberikan Wuje untuk Oma-nya. Namun yang mengejutkan, suapan potongan kue kelima sekaligus terakhir yang tersisa di atas piring, ternyata diberikan Wuje pada... Lila.
"Gini-gini nih bahaya." Tigra bergumam sama Dhaka yang berdiri di sebelahnya. "Masa apa yang terjadi ke lo sama Rei mau berlanjut ke Arga sama Lila sih?"
"Apaan, anjir? Gue mulu yang kena!" Dhaka bersungut-sungut.
"Yeu, gitu aja merong-merong..." Yuta menyikut Dhaka. "Btw, ini ada acara buka kado live nggak sih? Penasaran gue sama kadonya Wirya. Kotaknya sih kecil, tapi kita kan nggak tau ya di dalamnya apa. Bisa aja, ada sesuatu yang nilainya bisa membeli harga diri setengah populasi Jakarta."
"Kalau ada buka kado live, lo harusnya khawatir ama diri lo sendiri." Dhaka membalas kata-kata Yuta.
"Kenapa emangnya?"
"Soalnya kado dari lo pasti barang murahan."
"Si anjing..."
Untungnya, saling ejek antara Dhaka sama Yuta nggak berkembang jadi sesuatu yang lebih serius karena bagian acara telah berganti lagi.
Salah satu bagian dari tim party planner acara perayaan ulang tahunnya Wuje mendekat, memberikan mic pada Jenar.
Wuje yang masih digendong bapaknya pun nggak tahan untuk cuap-cuap ke mic. "Tes tes tes halo halo halo ni Wuje..."
Tawa para tamu kembali meledak.
"Wuje, ini Papa mau ngomong."
"Mong apa?"
"Ngomong buat ulang tahun kamu. Jadi diem dulu ya?"
Wuje menanggapinya dengan meletakkan jari telunjuk di depan bibir. "Sstttt..."
"Iya." Rei mengangguk, ikut meletakkan jari telunjuk di depan bibir. "Sstttt... Papa mau ngomong."
Jenar tertawa, sempat menatap sekilas pada istrinya sebelum berdeham dan bicara menggunakan microphone.
"Ini santai aja kali ya? Haha, soalnya gue nggak gitu bakat handle sesuatu secara resmi, selain untuk urusan kantor. Lagian ini momen ulang tahunnya anak gue. Sebelumnya, gue mau mengucapkan makasih banyak untuk semua yang sudah hadir di sini, wishing best wishes untuk Arganata, sudah bawa kado, walau menurut gue, yang terbaik adalah kehadiran kalian semua. Sebab yang namanya waktu itu nggak bisa diambil kembali. Mau seberapa banyak uang yang lo keluarkan, waktu nggak bisa dibeli. Dan dengan lo hadir di sini, berarti lo merelakan waktu lo yang nggak bisa dibeli itu. Makanya, gue benar-benar banyak-banyak berterimakasih."
Lanang yang masih sibuk merekam Jenar kesulitan menahan tawa, bikin Delta yang berdiri di sebelahnya refleks menyikut rusuknya.
"And to my son, Arganata, of course, happy birthday. Mungkin kamu belum ngerti sekarang, tapi Papa sama Mama nggak pernah berhenti mendoakan yang terbaik untuk kamu. Supaya kamu selalu punya alasan untuk merasa bahagia dan bersyukur, even ketika kamu lagi ada dalam titik terendah hidup kamu. Semoga kamu sehat selalu, terus mau disayang dan sayang sama Mama dan Papa."
Wuje nggak menjawab, sebab kini tangannya mulai sibuk memainkan kancing baju Jenar.
"Ini hari ulang tahun Arganata, tapi menurut gue, nggak akan adil kalau ucapan selamatnya cuma untuk Arganata." Jenar beralih pada Rei yang berdiri di sebelahnya. Kini, matanya sepenuhnya terarah pada perempuan itu dan dalam sekejap, sorot matanya melembut. "First, it's obvious that I am not an expert. Aku nggak akan pernah merasakan apa yang kamu rasakan, tapi aku cuma mau kamu tau, you're doing a great job. A very great one, and believe me, I understand this is the hardest job you've ever done."
"Terimakasih banyak, Regina, untuk semuanya. Untuk jadi istri yang sayang sama aku. Untuk jadi ibu yang sayang sama Wuje. Terimakasih, buat semua hal yang sudah kamu korbankan, jadi aku sama Wuje bisa ngerasa diperhatikan dan ngerasa disayangi. I promise, I will always give you my best. You are my first of selfless love, the last love of every love. I have bested my search and will never be tired to thank God that it ended with you."
Para tamu bertepuk tangan, termasuk Yumna yang setelahnya langsung mendesis pada Yuta.
"Noh, jadi laki tuh gitu, Yut!"
"Apaan?"
"Lo mah apaan, bikinin gue surat aja kagak pernah!"
"Yaudah, ntar gue kasih surat peringatan telat bayar cicilan bank."
"Yeu."
"Abisnya, mau dibikinin surat kayak gitu, takutnya lo kagak ngerti bahasa Inggris, Ro."
Yumna nggak menjawab, tapi tangannya melayang untuk menggeplak punggung Yuta.
*
"What you said earlier... I didn't understand it well."
Rossa baru saja selesai mencelup butiran anggur ke air mancur cokelat di atas meja ketika dia mendengar suara seorang pria yang tiba-tiba berada di sebelahnya. Perempuan itu tersentak kaget, membuat beberapa butir anggur yang telah berbalut cokelat di piringnya terjatuh ke rumput. Rossa lantas menoleh, menyipitkan mata pada Wirya yang telah berada di sebelahnya.
"Bisa nggak, nggak usah pakai ngagetin?"
"Sori." Wirya meringis.
Rossa menghela napas, menyapukan pandang ke sekeliling dan itu memicu Wirya untuk bicara lagi.
"Kalau lo nyari Jaka, orangnya lagi sibuk jadi kudanya Queensha."
Rossa berdecak. "Bagian mananya yang lo nggak ngerti?"
"Tentang alasan lo menjauhi gue."
"Kurang jelas di bagian mananya?"
"Lo tau persis gimana perasaan gue buat lo, tapi lo justru menjauhi gue karena itu. Gue nggak paham."
"Oke. Let's make it clear." Rossa memasukkan sebutir anggur berbalut cokelat ke mulutnya.
Dia sengaja mengunyah dan menelannya dulu sebelum buka mulut lagi. Niatnya mau menjawab, tapi tangan Wirya yang terulur justru membuat ucapannya terinterupsi. Jari lelaki itu menyapu sudut bibir Rossa.
"Ada cokelat."
Rossa menghela napas, menyentuh tangan Wirya dan menurunkan tangan itu dari wajahnya.
"Don't do that. People are watching."
"Justru gue senang kalau mereka lihat."
Rossa memiringkan wajah. "Lo kesini mau penjelasan atau justru mau bikin gue kesal."
"Oke. Sori."
"Jujur, gue nggak berharap lo nyusulin gue ke Singapur waktu itu."
"Kenapa?"
"Karena segalanya kacau. Kacau banget. Situasinya nggak sesimpel yang lo pikir. Di awal, gue masih bisa percaya kalau lo bakal selalu ada buat gue, Wirya. Kalau lo bisa menepati janji lo. Tapi gue nggak memikirkan faktor lainnya. Faktor keluarga lo. Juga keluarga lo. Apa keluarga lo bisa menerima cewek kayak gue untuk anaknya yang nyaris sempurna? Gue rasa nggak. Lantas bagaimana keluarga gue? Well, bisa aja mereka nerima lo dengan lebih mudah, tapi itu nggak akan adil buat Jaka, kan?"
"Kenapa harus bawa Jaka—"
"Because he's involved. Because he was the father."
"... Ros—"
"Mau disangkal kayak apa pun, itu nggak akan mengubah kenyataan kalau Jaka ayahnya kan? Sure, semuanya udah jadi masa lalu sekarang. Anak itu udah nggak ada. Itu nyakitin gue, of course, tapi di saat yang sama, itu juga nyakitin Jaka."
"..."
"Dan lo nggak akan pernah ngerti rasanya, sebab anak itu bukan anak lo, Wirya. For you, things are simpler. Malah mungkin buat lo, bakal lebih baik kalau anak itu nggak pernah ada. Awalnya, gue juga mikir gitu, namun kemudian, gue sadar, deep down inside, gue peduli sama anak itu. Walau gue nggak pernah punya kesempatan ketemu dia."
"I was the one who told you to keep it." Wirya terlihat terluka.
"Sebab lo nggak mau gue jadi pembunuh, bukan karena lo peduli sama anak itu." Rossa menyahut. "Tapi ya udah, the past is the past."
"Terus apa masalahnya?"
"Ada trauma gue yang nggak akan pernah bisa relate dengan lo."
"Gue bisa coba ngertiin lo, Rossa."
"Gue nggak meragukan itu. Gue nggak meragukan lo."
"Terus apa masalahnya—"
"Gue meragukan keluarga lo."
"What—"
"Lo anak cowok satu-satunya di keluarga lo. Seseorang yang bakal meneruskan garis keturunan keluarga. Lo anak kebanggaan mereka. Background keluarga kita nggak jauh beda. Satu-satunya yang bikin keluarga gue less strict adalah karena apa yang pernah gue alami. Mereka paham trauma gue dan nggak mau pushing gue mendekati batas. Dan lagi, gue anak perempuan." Rossa menghela napas. "You know very well, ada cedera yang nggak pernah benar-benar sembuh. Secara fisik. Secara mental. Gue nggak bisa bersama dengan lo dan menghadapi keluarga lo berikut seluruh ekspektasi mereka."
"..."
"Gue nggak bisa membiarkan orang lain menentukan gue berharga atau nggak berharga dengan hanya mengukur mampu atau nggak-nya gue menghasilkan bayi."
"..."
"Gue nggak akan mengizinkan siapapun merendahkan gue sampai ke level itu, Wirya."
Suara Wirya melemah. "But do you love me, tho?"
"I am."
Wirya menghela napas, memandang Rossa dan di luar dugaan Rossa, perlahan senyum tipisnya tertarik. "Makasih ya."
"Buat apa?"
"Karena udah jujur sama gue."
"..."
"Dan karena sampai sekarang, masih sayang sama gue."
"..."
"Sori, mungkin kesannya gue demanding banget. Tapi boleh gue minta sesuatu?"
"... apa?"
"Kalaupun kita nggak bisa jadi pasangan, apa seenggaknya, kita nggak bisa jadi teman?"
"Nggak."
Wirya merengut. "Kenapa?"
"Sebab gue nggak bisa mempercayai hati gue sendiri."
Wirya masih menuntut. "Kenapa?"
"Sebab gue terlalu sayang sama lo hanya untuk menganggap lo sebatas teman."
*
"Hari ini, Lanang dapat banyak bahan."
Jenar berujar pada istrinya begitu Rei membuka pintu kamar tidur mereka selepas menidurkan Wuje. Kayaknya, hari ini cukup melelahkan buat anak itu. Dia banyak berlari dan bergerak, karena ada banyak anak kecil sebayanya yang datanng ke acara ulang tahunnya. Belum lagi, kedua orang tua Jenar turut bermain dengannya dan bikin Wuje tertawa sampai matanya berair. Makanya, Rei nggak butuh waktu lama untuk memastikan Wuje sudah benar-benar terlelap sebelum dia kembali ke kamar tidurnya bersama Jenar.
"Nggak diragukan lagi."
"I think, something happened between Rossa and Wirya."
"Aku juga nggak akan meragukan itu."
"Kira-kira apa ya?"
"Urusan mereka, Je. Kita cuma bisa berharap yang terbaik."
"Iya, sih. Cuma lucu aja, soalnya ekspresi mukanya Wirya tuh... kayak mau nangis dan ketawa di saat yang sama."
"Tapi kayaknya hubungan mereka membaik." Rei duduk di kursi yang menghadapi meja riasnya, lalu menarik laci dan mengeluarkan sisir. Dia melepas gelungan rambutnya sebelum mulai menyisirinya.
"Membaik gimana?"
"Rossa bilang, habis dari acaranya Wuje, dia sama Jaka dan Wirya karaoke-an bertiga."
"Very unexpected of them."
"Nggak juga. Mereka udah dewasa. Dan kurasa, mereka tau apa yang terbaik buat mereka." Rei mengangkat bahu, sedangkan Jenar beranjak dari kasur dan mulai melangkah mendekati Rei. "Cuma berharap, nggak ada yang sakit hati aja."
"How about Milan? Kayaknya dia mulai naksir Rossa."
"Semua kan terserah Rossa."
"Kalau semua terserah Rossa, minimalnya ya bakal ada dua orang yang sakit hati di akhir."
"Atau tiga." Rei bangkit dari duduk, berbalik dan membiarkan Jenar menempatkan kedua tangan di kedua sisi tubuhnya—tepat di pinggang. Lelaki itu menariknya mendekat.
"Tiga?"
"Nggak ada jaminan Rossa bakal end up sama salah satu dari mereka, kan?"
"Kasian banget."
"Who knows? Dalam hidup, selalu ada plot twist."
"Speaking of plot twist," Jenar mengangkat salah satu tangannya, menelusuri tepi wajah Rei dengan lekuk jari telunjuknya. Iris matanya tampak gelap, sarat oleh emosi yang telah Rei pahami apa artinya. "Waktu beliin kamu parfum, aku sempat ketemu sama Sierra di mall."
"Oh ya?"
"Mm-hm." Jenar merunduk, mulai menghujani tepi wajah Rei dengan kecupan-kecupan yang terus turun hingga menuju leher. "Dia sendirian..." bisiknya sebelum mencium satu titik di bawah telinga Rei. "And was about to buy YSL's Libre for herself."
"Libre?"
"Libre means freedom." Jenar menarik wajahnya dari leher Rei. "Katanya dia lagi butuh parfum baru, karena dia bakal menyandang status baru."
"Status baru?"
"Dia bercerai sama Alfa. Didn't Sakura tell you?"
Rei tersentak kaget, dalam sekejap langsung terlupa pada gairah yang telah terbangun diantara dia dan suaminya. "What? Nggak, deh. Udah beberapa bulan ini juga, kayaknya Sakura nggak berhubungan sama Alfa sama sekali."
"Mengherankan."
"Kenapa?"
"Sierra sendiri yang bilang kalau Alfa menceraikan dia karena Alfa lebih memilih Sakura."
"Oh shit, kayaknya bakal complicated."
Jenar mengangguk. "Yes. Tapi daripada mikirin Rossa, atau Alfa, atau Sakura... gimana kalau sekarang, kamu mikirin aku aja?"
"Mikirin gimana?"
"Help me to take care of—" Jenar meraih salah satu tangan Rei, membimbingnya menuju bagian tubuhnya yang kini telah mengeras. "—this."
Rei mengerjap. "Oh—"
"Yes. Oh."
"Want me to get on my knees?"
"Nope." Jenar membungkuk, menghujani bibir istrinya dengan ciuman sebelum dia menarik dirinya lagi untuk bicara. "Tonight, I want you to lay under me."
to be continued
***
"Tai." --Milan pas liat update Jaka karaoke-an bertiga bareng Ros sama Wirya
***
Teaser chapter berikutnya kali yak wkwkwk
***
a/n:
mentang-mentang udah gak bulan puase.
wkwkwk selamat lebaran ya semuanya. maap nih telat. semoga semuanya diberi kesehatan dan kelancaran dalam beraktivitas, sebab sesungguhnya thr hanyalah bonus --dari gue yang udah gak dapet thr tapi alhamdulillahnya karena banyak yang kaga mudik, jadi kaga perlu ngeluarin duit banyak buat thr wkwkw
terus apa ya, ya itu
ujung-ujungnya alfa cere.
soal couple lain bakal dibahas bertahap.
cuma mari kita lihat seperti apa akhirnya rossa-wirya-milan-jaka-sakura nantinya wkwkwk
dah kayaknya itu aja dulu.
met malem.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top