20 | menuju ultah wuje

Jujur, sebetulnya Rossa rada nggak enak karena terkesan seperti menolak ajakannya Milan tanpa pikir panjang.

Tapi alasannya memang nggak dibuat-buat kok. Coba saja kalau Milan mengajaknya nonton di waktu yang tepat, Rossa pasti akan dengan senang hati menerima ajakan itu. Bukan karena dia berniat dekat sama Milan lebih dari teman, namun yah, gitu-gitu, dulu dia pernah suka banget sama Milan. Mereka juga satu almamater dan satu circle.

Lagian jaman sekarang, khususnya di kota besar, yang namanya jalan sama lawan jenis tanpa ada hubungan spesial tuh wajar-wajar saja, kan?

Malah kayaknya sih sudah jadi tren—entah karena betulan nggak ada rasa dan pure mau berteman doang, atau alasan klasik yang nggak lekang oleh jaman, yaitu jadi korban friendzone.

Makanya, sehabis baca balasan Milan yang penuh titik-titik ambigu, Rossa pun langsung membalas chat lelaki itu.

rossa:
maaf bgt, lan :(
next time aja gmn?
waktu lo sama gue sama-sama free.

milan:
iya, gpp kok, ros.

rossa:
mau titip apa dr spore?

milan:
cokelat mustafa center?

rossa:
seriously wkwk

milan:
gak banyak-banyak.
titip satu aja.

rossa:
apa?

milan:
lo pulang dengan selamat.

Rossa tersenyum sedikit usai membaca pesan Milan.

Kalau mengingat secuek apa Milan sama kelakuan Rossa yang mengejarnya—malah, cowok itu justru mendekati Jella tanpa pikir panjang, padahal Jella kan teman satu kos Rossa—Rossa jadi agak kaget, karena ternyata Milan bisa bermanis mulut kayak kebanyakan pria pada umumnya.

Tapi yah, waktu memang bisa mengubah seseorang.

Milan yang sekarang nggak seperti Milan yang dulu.

Pun sama dengan Rossa, Rossa yang sekarang juga bukan Rossa yang dulu.

Dikarenakan dia merasa perjalanannya kali ini akan jadi perjalanan super singkat, Rossa sengaja menyetir sendiri ke bandara, dan menginapkan mobilnya di parkiran yang tersedia di sana. Jadi esok malamnya, selepas landing, Rossa bisa langsung cabut tanpa mesti menunggu jemputan atau menumpang taksi.

Kegiatannya di Singapura tidak terlalu menguras energi, hanya saja, pekerjaannya memang mengharuskannya unuk turun langsung ke sana. Makanya, Rossa nggak ragu untuk menyetir sendiri. Meskipun setelah kejadian waktu itu, perlu setidaknya dua tahun buat Rossa untuk berani mengemudikan mobil lagi.

Mobilnya tengah meluncur melintasi jalan tol yang menghubungkan area bandara dengan wilayah perkotaan ketika Rossa merasakan ada sesuatu yang aneh dengan mobilnya. Nggak mau mengambil resiko, Rossa memutuskan menepi dan memeriksa mobilnya.

Ternyata ada roda belakang mobilnya yang kempes.

Rossa membuang napas, melirik arloji di pergelangan tangannya dan sadar kalau ini sudah menjelang pukul sebelas malam. Lokasinya masih cukup jauh dari pintu tol terdekat. Dia mencoba menghubungi bengkel langganannya, namun teleponnya nggak dijawab. Mungkin bengkelnya juga sudah tutup.

Rossa berdecak kesal. Kalau sudah begini, nggak ada pilihan lain. Dia mesti meminta tolong orang yang bisa dimintai tolong. Entah kenapa, orang pertama yang terlintas di pikirannya adalah Jaka.

Bukan apa-apa, bisa jadi, sebab dia tau kalau Jaka punya mobil yang sama sepertinya dan sekarang, Rossa nggak lagi membawa ban serep.

Iya, dia agak teledor untuk yang satu itu.

Walau sempat ragu, Rossa tetap menelepon Jaka dan kaget sendiri sebab teleponnya dijawab sebelum dering pertama usai.

"Halo?" suara Jaka terdengar parau dan berat, khas suara orang yang baru bangun tidur.

"Halo, Jaka. Ini gue."

"Roshan?"

"Iya. Maaf banget, gue ganggu ya?"

"Nggak kok!" Jaka berdeham. "Kenapa?"

"Gue baru landing, abis dari SG. Nyetir sendiri dari bandara ke apartemen. Tapi di tengah jalan, gue baru ngeh kalau ban belakang mobil gue kempes. Sekarang gue lagi di tol dan—"

"Di jam segini?!"

"Ini baru menjelang jam sebelas malam, Jaka."

"Ini udah menjelang jam sebelas malam, Roshan." Jaka berdecak.

"Gue udah telepon bengkel langganan gue, tapi nggak diangkat. Udah bukan jam operasionalnya juga sih. Dan bad newsnya, gue nggak bawa ban serep. So sorry kalau gue malah hubungin lo, karena diantara temen-temen gue, kayaknya lo doang yang punya mobil setipe sama gue—"

"No, nggak usah minta maaf. Oke, gue kesana sekarang ya? Send location lo. Better stay dalam mobil deh sampai gue dateng. Mau di dalam tol juga ini tuh udah malam dan lo cewek yang lagi sendirian. Risky banget."

"Lo kedengarannya ngantuk. Kalau lo baru bangun tidur, please jangan maksain nyetir—"

"Nggak apa-apa, Ros."

"Jaka, kalau misalnya nggak memungkinkan buat lo nyetir dan nyamperin gue—"

"Don't worry, I'm not driving."

"Really?"

"Mm-hm. Tunggu aja di sana. Dalam mobil aja."

"Oke."

Telepon tersudahi. Sesuai dengan saran Jaka, Rossa kembali masuk ke dalam mobilnya. Dia menunggu setidaknya satu setengah jam hingga Jaka tiba. Lelaki itu nggak sendirian, dia bersama Yugi yang menyetir. Rossa ingat, Yugi ini anak Mesin teman seangkatannya Jenar waktu kuliah dulu.

Dengan cekatan, Jaka langsung bertindak mengganti ban mobil Rossa yang bermasalah. Geraknya begitu cepat, bikin Rossa berkelakar, bilang kalau kayaknya Jaka cocok jadi montir bengkel. Yugi tertawa saja, yang dibalas Jaka dengan rengutan.

Seusai perkara ban mobil tertangani, Rossa mengucapkan terimakasih pada Yugi maupun Jaka. Tadinya dia berniat mengajak dua lelaki itu mampir untuk makan di restoran enak mana pun di Jakarta yang masih buka jam segitu, namun sebelum Rossa sempat melakukannya, Jaka sudah melemparkan kunci mobilnya pada Yugi.

"Lo bawa aja mobil gue ke tempat lo. Besok gue ambil."

"Lah, emang lo mau kemana?" Yugi mengangkat alis.

"Nganterin Rossa sampe ke apartemennya."

"Jaka, itu nggak perlu—"

"Gue memaksa." Jaka menyahut enteng, terus mengulurkan tangannya. "Mana kunci mobil lo? Gue aja yang nyetir. Jangan khawatir, gue udah cukup kebangun kok ini."

"Jaka—"

"Roshan,"

Rossa membaung napas perlahan, walau diam-diam ada senyum tipis yang tertarik di bibirnya. Dia tahu, nggak ada gunanya membantah Jaka. Maka, dia memberikan kunci mobilnya pada lelaki itu, sementara Yugi masuk ke mobil Jaka. Lelaki itu melesat lebih dulu, meninggalkan Jaka dan Rossa di belakang.

Ah ya, apakah Rossa sudah pernah cerita soal hubungannya dengan Jaka?

Sulit dipercaya memang, tapi pasca kecelakaan yang menimpa Rossa ketika itu, dia justru jadi dekat sama Jaka.

Bukan tipikal kedekatan yang mengarah pada sesuatu yang romantis. Juga, itu tidak terjadi secara instan. Usai menyelesaikan pemulihannya di Singapura—yang mana dalam prosesnya, ada sesuatu yang tak mengenakan terjadi antara dia dan Wirya—Rossa kembali ke Jakarta. Dia kembali ke kosan Sadewo, sekalipun yang tinggal berada di sana hanya Jinny dan Sakura, sebab yang lainnya telah menyelesaikan masa studi mereka lebih dulu.

Teman-temannya masih kerap mengecek keadaannya, tapi tentu saja sepotong dialog lewat chat nggak se-intens mengobrol langsung.

Terus terang, Rossa merasa agak kesepian.

Maka wajar, jika di malam hari, dia jadi sering menghabiskan waktunya di Dignity. Dignity itu restoran merangkap bar yang sering didatangi oleh anak-anak cowok dulu, termasuk Tigra dan Jenar. Di sana, Rossa ketemu dengan Jaka.

Dalam alkohol, ada yang namanya kejujuran. Konon begitu kata sepotong kalimat yang pernah Rossa baca entah di mana. Saat kesadaran mereka tidak se-intact ketika tidak ada alkohol mengalir dalam darah, entah kenapa berterus terang tentang rasa jadi lebih mudah. Dan di sana, Rossa sadar, dia dan Jaka sama-sama berduka untuk alasan yang sama.

Anak itu mungkin nggak pernah mereka harapkan.

Namun ia pernah ada. Hadirnya telah Rossa dan Jaka akui. Lalu kemudian, ketika penerimaan itu mulai muncul, ia direnggut begitu saja dengan cara yang terlalu traumatis untuk dikenang.

Sejak saat itu, Rossa dan Jaka jadi bersahabat—mereka sesekali kontak lewat WhatsApp, saling mengecek kondisi satu sama lain. Segalanya amat gampang, selicin menelan air putih. Bisa jadi, karena sama seperti Rossa, sampai sekarang pun Jaka masih sendirian.

"Lo melamun?"

Rossa tersentak. "Bentar doang."

"Ngelamunin apa sih?"

"Kerjaan." Rossa berdusta.

Jaka terkekeh. "Duit lo udah banyak. Kerjaan nggak usah terlalu dibawa pusing."

"Gue aminin aja ya?" Rossa tergelak.

"Anyway, udah dengar belom?"

"Apaan?"

"Weekend ini, Wuje ulang tahun yang kedua. Jenar bikin acara gitu di rumahnya. Gue diundang. Lo juga diundang kayaknya ya? Iyalah, masa nggak. Lo kan sohibnya Reggy."

"Wuje?"

"Anaknya Jenar."

"Oh... si Argan?"

"That's new." Jaka tersenyum sedikit sambil terus menyetir. "Baru kali ini gue dengar ada yang manggil anaknya Jenar begitu."

"Gue malah baru dengar dia dipanggil Wuje. Namanya Arganata kan? Kok tau-tau Wuje."

"Itu nama panggilannya dari sebelum dia lahir. Kata Jenar udah kebiasaan, jadi terus dipake. Eh, yang lain malah ikut-ikutan."

"Cakep-cakep namanya Arganata, dipanggilnya Wuje." Rossa berdecak.

"Gimana, lo dateng nggak?"

Rossa nggak langsung menjawab.

"It's been too long, Roshan."

"Apanya?"

"Gue tau soal cerita lo yang nolak gendong si Wuje ketika lo main ke apartemen Jenar beberapa bulan setelah Wuje lahir."

"Bukan karena gue nggak mau. I just... I don't think I am good with children."

"Gue tau nggak berhak ngomong mewakili dia, tapi gue yakin, dia pun nggak mau lo terus-menerus hidup dengan penyesalan dari masa lalu."

Rossa menelan saliva. "Dia?"

"Anak kita."

Rossa melempar pandang keluar jendela.

"Dateng nggak? Dateng yuk. Sama gue."

"Wirya bakal ada di sana, kan?"

"Kalaupun iya, kenapa?"

"Gue malas meladeni Wirya."

"Terus lo mau terus-terusan lari dari dia?" Jaka berdecak. "Bukannya ini saatnya lo nunjukkin kalau lo baik-baik aja, nggak semenyedihkan apa yang dia kira?"

Faktanya, Rossa bergumam dalam hati, gue memang semenyedihkan yang dia kira.

"Lagian kan ada gue. You can use me as your shield, you know that right?"

"Mm-hm."

"Dateng ya?"

"Akan gue... pertimbangkan."

"Anyway, thankyou."

Rossa mengerutkan dahi. "Makasih untuk apa? Harusnya gue yang makasih ke lo, karena lo udah mau direpotin jam segini. Mana besok masih weekdays."

"Nggak, makasih karena lo memutuskan menghubungi gue, bukan yang lain."

"..."

"That means a lot."

*

Kalau mesti jujur, Alfa nggak tahu harus bereaksi seperti apa soal permintaan Sierra.

Apakah itu karena dia, entah bagaimana caranya, telah memiliki rasa untuk perempuan itu? Sepertinya nggak. Alfa masih menyayangi Sakura. Alfa masih menginginkan Sakura ada dalam hatinya. Tapi jika dia bercerai dari Sierra, nantinya apa kata orang tua Sierra? Juga apa kata orang tuanya?

Mengharapkan Sierra yang mengambil langkah lebih dulu dengan melayangkan gugatan cerai padanya pun sepertinya bukan pilihan, sebab Sierra menolak jadi pihak yang disalahkan kalaupun seandainya mereka benar-benar berpisah.

Dia mencoba mengulur waktu untuk memikirkan segalanya lebih lama, tapi dua hari setelah operasi pengangkatan kista itu dilakukan, saat Alfa mendorong kursi roda Sierra melintasi koridor rumah sakit dengan dalih mencari udara segar sekaligus menghindari pertanyaan kedua orang tua dari kedua belah pihak terkait rencana mereka untuk punya anak, Sierra kembali menembak Alfa dengan pertanyaan yang sama.

"Jadi gimana?"

Alfa mengernyit, menatap pada Sierra yang masih duduk di atas kursi roda seraya menatap lurus ke depan. "Apanya yang gimana?"

"Kamu lupa atau pura-pura lupa?"

"Sierra—"

"Alfa." Sierra memotong cepat, dengan suara yang tenang. Nyaris tidak ada riak emosi di dalamnya, yang tersirat cuma ketegasan. "Aku rasa pertanyaanku gampang. Aku hanya mau kamu pilih. Tetap berumah tangga sama aku, yang berarti kesepakatan kita di awal pernikahan itu nggak berlaku lagi, atau kita pisah supaya kamu bisa balik ke pacar kamu itu."

"Apa kata orang tua kamu dan orang tua aku kalau tiba-tiba kita pisah?"

"Kita punya hak untuk nggak menjawab ketika mereka tanya. Lagipula, it's not like mereka akan maksa kita cerita ke mereka dengan menghalalkan segala cara, kan?"

"Bisa nggak, kita omongin ini setelah kamu benar-benar sembuh aja?"

"Nggak."

"Sierra—"

"Saat aku udah benar-benar sembuh nanti, aku mau hidupku berlanjut, bukannya kembali pusing memikirkan masalah yang sama terus-menerus. Just make your choice, Alfa."

"Aku nggak bisa."

"Dan kamu nggak boleh begitu."

"..."

"Hidup ini pilihan. Dalam setiap pilihan itu, ada konsekuensi yang mesti kamu tanggung. Kalau kamu memilih tetap menikah sama aku, berarti kamu harus sudahi hubungan kamu sama pacar kamu itu dan kamu nggak akan mesti pusing mikirin reaksi orang tua kita. Kalau kamu memilih pisah sama aku, berarti kamu bisa balik sama pacar kamu. But the cost is, kamu mesti menghadapi reaksi orang tua kita. Isn't it simple? Kamu harus pilih. Mana yang konsekuensinya paling bisa kita tanggung."

Alfa menarik napas panjang, sembari selama sejenak, dia mengeratkan genggaman tangannya pada besi kursi roda Sierra.

"Alfa, aku ngomong sama kamu."

"Fine."

"Jadi apa keputusan kamu?"

"Setelah kamu benar-benar sembuh, setelah kamu pulang dari rumah sakit, aku bakal menceraikan kamu."

Sierra sudah menyiapkan diri untuk mendengar itu dari Alfa, sebab diantara dua kemungkinan, keduanya sama-sama punya peluang serupa untuk terealisasi jadi kenyataan.

Tapi entah kenapa, kata-kata Alfa itu tetap terasa menusuk.

Mungkin benar apa kata ungkapan itu; nggak ada seorang pun yang bisa menyiapkan diri untuk menghadapi kehilangan dan perpisahan.

*

Usai memastikan anaknya sudah benar-benar terlelap, Rei merunduk, menjatuhkan satu ciuman halus di dahi anak itu sebelum mengecilkan lagu anak-anak tentang dinosaurus yang terputar dari speaker di sudut ruangan.

Sengaja nggak Rei matikan, soalnya akhir-akhir ini, Wuje sering kebangun kalau lagu favoritnya itu dimatikan.

Setelahnya, dia melangkah keluar dari kamar Wuje dan menutup pintunya pelan-pelan. Bocah itu baru menuju usia dua tahun, tapi untuk ukuran anak seusianya, dia bisa dikatakan sangat mandiri. Makanya, Wuje nggak takut tidur sendiri. Meskipun itu berarti, Jenar mesti mengatur kasurnya agar serendah mungkin dari lantai, mengingat kebiasaan tidur anaknya yang agak ugal-ugalan.

"Akhirnya tuh lagu dino dimatiin juga." Jenar berkomentar ketika Rei menginjakkan kaki di ruangan tempatnya berada. Lelaki itu sedang duduk di sofa, menghadap ke televisi layar lengkung yang tengah dalam kondisi mati. Ada gitar di tangannya.

"Nggak dimatiin, cuma dikecilin." Rei menyergah. "Kenapa sih, kayaknya bete banget sama lagu dino? Kan lagunya lucu."

"Lucu, tapi aku udah dengerin lagu itu ribuan kali ya sepanjang minggu ini. Nih lama-lama aku hapal jenis-jenis dinosaurus."

"Nggak apa-apa, jadi kan kamu bisa ngajarin Wuje." Rei terkekeh. "Tapi anyway, tumben banget."

"Apanya yang tumben?"

"Udah lama aku nggak lihat kamu main gitar."

"Dan lebih lama lagi aku nggak lihat main gitar."

"Aku kan cuma bisa mainin satu lagu." Rei menukas, agak malu mengatakannya.

Itu memang benar. Rei bukan orang yang gemar memainkan alat musik, entah itu gitar maupun piano. Tapi dia bisa memainkan seenggaknya satu lagu menggunakan piano dan satu lagu menggunakan gitar. Lagu yang dimainkannya menggunakan piano adalah lagu yang didedikasikannya buat Jenar di hari pernikahan mereka, sedangkan satu lagu lainnya yang menggunakan gitar adalah lagu yang Rei mainkan di hari ulang tahun Jenar yang pertama sejak ada Wuje.

"I used to be really good."

"Masa?"

Jenar mengangguk. "Waktu SMA aku terkenal jago main gitar, tau. Terus pernah jadi gitaris band kelas waktu Pensi. Jangan ditanya, ada berapa banyak cewek yang bertekuk lutut sama aku gara-gara aku jago main gitar."

"Ah, masa iya?" Rei sengaja meledek.

"Iya. Kalau kamu ketemu aku di SMA, kamu pasti jatuh cinta duluan."

"Teori itu kayaknya susah dibuktikan deh."

"Oh, shut up. Come here."

"Hm?"

"Come here."

Rei menuruti permintaan Jenar. Dia melangkah mendekati suaminya, terus duduk di sebelah Jenar. Tapi Jenar justru menciptakan ruang kosong diantara kedua kakinya. Dia menepuk ruang kosong itu.

"Duduk sini."

"Mau ngapain?"

"Ajarin kamu nge-gitar."

Rei memutar bola matanya, tapi dia nggak merasa usulan Jenar itu sesuatu yang buruk. Maka, dia menempat ruang kosong tersebut. Dalam waktu singkat, kedua lengan Jenar mengurungnya. Gitar berpindah ke pangkuannya, sementara punggungnya melekat dengan dada pria yang duduk di belakangnya.

Tangan kanan Jenar menempatkan jari-jari Rei di atas senar, sementara tangan kirinya beristirahat di atas telapak tangan Rei yang memegang ujung body gitar.

"Place your index finger here—" Jenar berbisik ketika wajahnya tepat berada di samping wajah Rei hingga pipi mereka hampir saling menyentuh. "—and your middle finger here."

Napas lelaki itu menerpa leher Rei, membuatnya berdebar sekaligus ingin tertawa karena geli.

"Kamu wangi banget deh."

"Regina, jangan salah fokus gitu."

"Dari jarak sedekat ini, aku baru nyadar kalau kamu wangi banget."

Jenar berdecak, tapi dia nggak bisa bilang kalau dia nggak suka apa yang barusan istrinya katakan. Dia berpura-pura santai saja, lanjut memetik gitar untuk mencontohkan bagian intro.

"Kayaknya aku kenal lagu ini."

"It's from Elvis, that one I sang for you in our wedding."

"Oh—" Rei menoleh ke belakang, hanya untuk disambut oleh wajah Jenar yang sedang menarik senyum lebar hingga lesung pipinya tercetak dalam.

"Can't Help Falling in Love."

"Oh."

"Cuma 'oh'?"

"Masa aku harus salto sih?"

"Waktu aku nyanyi ini buat kamu, kamu nangis loh."

"Waktu aku main piano buat kamu, kamu nangis loh."

Jenar tertawa kecil, sebelum secara tiba-tiba, dia merunduk, menumpangkan dagunya di atas bahu Rei. Napas beratnya terembus, dan itu langsung memicu tanya Rei.

"Something wrong?"

"Nggak apa-apa. Cuma kepikiran sesuatu."

"You wanna tell me about it?"

Satu hal dari Rei yang nggak pernah berubah, yang Jenar suka, adalah perempuan itu nggak pernah mencoba memaksa 'mendominasi' atau 'mengatur' dirinya melewati batas kewajaran hingga terkesan bawel atau posesif. Bahkan setelah mereka menikah, Rei bukan tipe yang akan mengecek ponselnya, atau memaksa Jenar bercerita tentang sesuatu ketika Jenar nggak mau menceritakannya. Tentu ada saatnya perempuan itu merasa cemburu, apalagi waktu Wuje masih dalam perut, namun Rei nggak pernah melakukan tindakan yang sampai mencederai privasi Jenar.

Saat Jenar tanya kenapa, Rei hanya jawab, "Aku nggak akan mau nikah sama laki-laki yang nggak aku percaya. Dan aku percaya kamu."

"Temanku di kantor ada yang pisah sama istrinya."

"Ow, that's awful."

Jenar mengangguk. "It's just... unexpected. Istrinya kan juga kerja di kantorku, cuma beda divisi aja. Mereka kelihatan baik-baik aja. Masih suka cium pipi, gandengan tangan. Makanya, aku nggak expect. Terus jadi kepikiran nanya ke dia, kenapa kok tau-tau pisah. And you wanna know what he said?"

"What?"

"Istrinya bosan sama dia."

"Bosan?"

Jenar mengangguk. "Iya. Katanya bosan. Bosan karena sikap suaminya yang bisa ditebak. Kata-kata suaminya yang bisa ditebak. Padahal ya, mereka kelihatan romantis dan nggak pernah berantem."

"Terus kamu kepikiran?"

Jenar mengangguk lagu, masih dengan dagu yang menempel di bahu Rei. "We've been together for years—like almost seven years. Kamu bosan nggak sama aku?"

"Kamu masih nanya?"

"Serius."

"Surprisingly, nggak sama sekali." Rei tertawa. "Nggak tau kenapa? Maybe because I'm too comfortable being with you? Kamu itu serbaguna. Jadi partner berantem bisa. Jadi yang diomelin bisa. Jadi yang ngomelin bisa. Bisa bikin ketawa. Bisa nyanyi. Bisa rese. And not to mention we have such a great sex life. Malah kebalikannya, mungkin kamu yang bakal bosan duluan sama aku."

"Don't think so." Jenar menarik tangannya dari gitar, dan ganti melingkarkannya di sekeliling bahu Rei untuk memeluknya. "A marriage with you feels like a team-work. Kayak yang kamu bilang. Kamu bisa ngomelin aku. Aku bisa ngomelin kamu. Aku beliin kamu bunga. Kamu beliin aku bunga. Aku surprise-in kamu. Kamu surprise-in aku. It feels great to know that you love me as much as I love you."

"Jadi udah nggak overthinking kan?"

"Nggak. But just in case," masih dengan dagu yang menempel ke bahu istrinya, Jenar menoleh untuk menatap Rei. "Regina, jangan pernah bosan sama aku ya?"

Rei balik beralih pada Jenar, terus menunduk sedikit untuk mengecup sisi kepala lelaki itu.

"Never, Je. Never."

*

pejantan tangguh (8)

yuta: TANGGUNG JAWAB LO AJG @lanang

kun: wah ada apa ini

jenar: napasie

yuta: udah liat vlog barunya si lanang belom

dhaka: sori, gak segabut itu

lanang: support dong, supaya monas dan gedung mpr gue bisa membiayai dirinya sendiri :(

johnny: kenapa sama vlog-nya lanang?

tigra: pasti yang letter-letter itu yah?

yuta: IYE ANJRIT

yuta: bini gue nonton tuh vlognya si lanang

yuta: yang dia jadi babu di rumahnya seharian penuh

yuta: sama pamer hasil usg

yuta: terus dia ninggalin letter buat delta

tigra: letter apaan?

dhaka: surat utang piutang kalik

lanang: SEMBARANGAN

lanang: kagak letter kagak

lanang: gue cuma bilang, "bi, jangan capek-capek ya, hari ini semua urusan rumah aku yang beresin."

johnny: terus masalahnya apa?

yuta: LO GAK TAU BINI GUE SIAPA?!!

jenar: XIXIXIXIXI

kun: bini lo siapa emang?

yuta: MANUSIA TERJULID SEDUNIA

yuta: dia langsung nunjukkin vlognya si lanang begitu gue balik gawe

yuta: katanya

yuta: "NEH BARU SUAMI MASA KINI."

yuta: DIKIRANYA GUE APA AJG

yuta: SUAMI MASA PRASEJARAH?!

lanang: AWOKWKWKWKWWK

yuta: ABIS ITU GUE DIBANDING-BANDINGIN AMA LANANG

yuta: AMA JENAR

jenar: lah kok gue

yuta: iye, katanya si yumna

yuta: "noh, si jenar juga kampret-kampret gitu bucin sama istrinya ya."

yuta: "lah gue, lo panggil ra-ro-ra-ro mulu."

yuta: KAGAK TAU DIA

yuta: ITU PANGGILAN SAYANG

kun: kasih tau dong, biar tau

yuta: NAJIS HARGA DIRI GUA GIMANA

dhaka: terus ini apa maksud lo cerita di sini?

yuta: APALAGI ANYING

yuta: YA CURHAT LAH

yuta: DIMANA LAGI GUE MEMBUANG SAMPAH DARI HATI INI

tigra: gak usah pake capslock bisa gak

yuta: KAGAK!!!!

yuta: terus nih yah

dhaka: oh, masih ada lanjutannya?

yuta: MASIHLAH

yuta: LO KIRA BINI GUE CUKUP KALO NGEDRAMANYA CUMA SATU EPISODE DOANG

tigra: apa nih

yuta: gue bete, terus gue bilang aja

yuta: "YAUDAH ANJRIT BESOK LO GUE BIKININ LETTER."

yuta: terus dia seneng

lanang: terus masalahnya tuh apa, bang?

yuta: YA GUE KAGAK TAU MAU NULIS APA DI LETTERNYA???

dhaka: huruf hijaiyyah aja

yuta: lo kalo saran yang ngotak dikit sih

yuta: ini tuh mau bikin letter

yuta: bukan buku iqro

jenar: EH

jenar: MAU TAU GAK

johnny: apa lagi ini...

jenar: ini worth it, serius

jenar: beda ama curhatannya yuta

yuta: BANGSAT

kun: mulutmu penuh dengan kekotoran dunia, anak muda

jenar: nih weekend kan anak gue ultah yah

jenar: yang kedua

jenar: gue mau bikin acara kan

tigra: iya udah tau

jenar: bentar dulu anjrit

jenar: nih kan kalo mau dateng harus konfirmasi dulu kan buat rsvp

jenar: lo tau gak yang barusan confirm mau dateng siapa aja?

lanang: SIAPA

lanang: wah siap-siap bawa kru nih gue

jenar: wirya

yuta: woh, si pria sawit

kun: sawit?

yuta: sarang duwit

jenar: rossa

tigra: WOOOOOOWWWW

jenar: jaka

yuta: ANYENGGGG

yuta: APA PASAL

jenar: wkwkw seru gak sih ni kayaknya?

lanang: bang, cek pc

yuta: APAAN NIH PACA PECE

lanang: deal fee buat liputan eksklusif

dhaka: BANGKEEEE WKWKWKWKWKWK

milan: hah apaan

milan: HAH SIALAN

milan: ULTAH ANAK LO BISA DIUNDUR GAK? @jenar

milan: WEEKEND INI GUE ADA TUGAS KE JOGJA

jenar: MANA ADA DIUNDUR

jenar: orang lahirnya tanggal segitu

milan: SIALANNNNNNNNN 




to be continued

***

Arganata A. Suralaya waktu umur dua taon


***

a/n:

kayaknya bagian ulang tahun wuje yang kedua akan menjadi bagian terakhir sebelom kita masuk ke time-jump tiga taun kemudian alias ketika bocil-bocil udah lima taun. 

btw bulan puasa ini tuh kayaknya jadi bulan paling produktif gue selama di wp wkwk kayak wow 20 chapter in less than a month :") wkwkwkwkwk

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top