2 | tapi... warnanya pink

miss j:
ti, udah pulang?

Tigra baru banget tiba di rumah waktu handphonenya bergetar. Ternyata ada chat dari Jella. Tumben banget. Kantor mereka memang berdekatan, tapi kalau lagi nggak sempat balik bareng karena jadwal pulang yang berbeda atau salah satu diantara mereka mesti lembur, mereka akan saling menunggu satu sama lain buat ngabarin kalau sudah sampai di rumah. Sehabis itu, dua-duanya biasa bertelepon video sambil menyantap makan malam masing-masing.

"Konyol banget deh, seolah-olah kita lagi LDR beda benua, padahal kan tempat kamu sama tempatku tuh dekat, nggak sampai dua puluh menit kalau nyetir." Jella pernah bilang suatu kali.

"Dua puluh menit perjalanan kesana, dua puluh menit perjalanan balik. Itu aja udah buang waktu empat puluh menit, Jella. Terus kita juga sama-sama sibuk kan, apalagi kalau lagi di peak season kayak gini. Daripada empat puluh menit abis di jalan, mending empat puluh menit habis buat aku liatin kamu."

"Lewat kamera?"

"Iya."

"Nggak seru, nggak bisa dipegang."

"Emang mau megang apa sih?"

"Tergantung, kamu mau mananya yang dipegang?"

Spontan, Tigra membalas kata-kata menggoda Jella dengan tawa.

Makanya, kalau malam ini tahu-tahu Jella sudah nanya begitu tanpa menunggu Tigra mengabarinya lebih dulu, pasti cewek itu mau cerita atau curhat tentang sesuatu.

tigra:
baru sampe rumah.
bentar ya, aku bersih-bersih dulu.

miss j:
nooo, it's okay
aku cuma rada bete aja :(

tigra:
why?

miss j:
nanti aja.
km mandi aja dulu, sm siap-siapin makanan.

tigra:
mau live report gak?

miss j:
live report apa?

tigra:
aku.
dari kamar mandiku.

miss j:
PLIS.

tigra:
mau?

miss j:
mau tapi takut dosa.
UDAH BURUAN MANDI DULU.

tigra:
kay.

Sehabis bilang begitu ke pacarnya (soon to be istri juga sih hehe), Tigra langsung meluncur ke kamar mandi. Jebar-jebur, keramas, cuci muka, sikat gigi, sabunan, ngecekkin rahang sendiri, kira-kira sudah waktunya cukuran apa belum, terus setelah mandi ya ganti pakaian. Tigra pulang lebih lambat malam ini, meski nggak sampai lembur yang ekstrem banget. Biasanya sih, dia masak makan malamnya sendiri sambil ditonton Jella lewat video call, namun buat malam ini, biar quality time mereka maksimal, Tigra sengaja menyempatkan diri beli kwetiaw goreng di abang gerobak langganan sebelum pulang ke rumah.

"Makan apa malam ini?" Jella bertanya begitu video call mereka terkoneksi.

"Kwetiaw goreng. Kamu?"

"Aku bikin spaghetti carbonara." Jella terkekeh. "Sori, udah nyolong start duluan. Kamu mandinya lama banget, aku keburu lapar."

"Tadi cukuran dulu."

"Cukur apa?"

"Jenggot. Besok kan kita mau pacaran. Kamu suka protes kalau daguku kasar. Nanti nggak mau dicium. Rugi besar aku."

"Oh, kirain apa."

"Emang apa?"

"Nggak apa-apa. Tapi babe, to be honest, you look like a complete snack."

"Mm-hm?"

"Kelihatan enak gitu."

"Bukannya aku kelihatan enak setiap hari?"

"Aku males banget ngakuin ini, tapi karena bohong itu dosa... yes... gotta admit you're right." Jella menggulung spaghetti-nya pakai garpu. "Walau gitu... tetap sih, kamu yang baru mandi nih gemesinnya juara. Bikin mikir yang nggak-nggak kan..."

"Tuh kan, gantian kamu yang suka mancing." Tigra berdecak. "Padahal tadi udah ditawarin, mau live report dari kamar mandi apa nggak."

Jella tertawa. "Bercanda, ih!"

"Oh ya, tadi sebel karena apa? Tumben banget."

"Kita kan udah mulai sebar undangan dari kemarin ya, babe."

"Mm-hm." Tigra mengangguk sembari menyuapkan kwetiaw ke mulutnya menggunakan sumpit. "Terus kenapa? Ada masalah?"

"Nah, nih anak-anak kosan Sadewo udah pada dapet undangannya."

"Terus?"

"As expected, mereka kaget."

Tigra manggut-manggut paham. "Bisa dimengerti."

Tigra tau, dirinya berakhir dengan Jella adalah skenario yang tidak pernah diduga oleh siapapun—bahkan oleh dirinya sendiri. Dia juga nggak tahu kenapa.

Ketika mereka masih sama-sama kuliah, Tigra kenal Jella karena Jella adalah teman satu kosan Rei. Terus Jella dan Yumna juga cukup akrab sama Yuta dan Milan. Mereka jadi cukup sering bertandang ke kosannya Tigra. Namun apa mereka bisa dibilang dekat? Nggak juga. Malah, momen-momen Tigra ngobrol berdua saja sama Jella tuh bisa dihitung pakai jari. Itu juga bukan obrolan yang berkesan, lebih seperti tegur-sapa mirip basa-basi belaka.

Memori pertama tentang Jella yang tidak bisa Tigra lupakan terjadi di hari mereka jadi wisudawan.

Tigra mengikuti acara wisuda di periode yang sama seperti Jella dan Rei. Pada waktu itu, Jenar sudah lulus lebih dulu dan nggak lagi tinggal di apartemennya yang berada di dekat kampus. Tapi tentu saja, pada hari kelulusan Rei, sebagai pacar yang baik, dia datang sebagai pendamping wisuda—yang bisa dibilang, langsung menarik perhatian hampir semua orang yang hadir di gedung utama kampus tempat acara wisuda dihelat kala itu.

Lazimnya kebanyakan orang di hari wisuda, selepas menghadiri acara resmi di kampus, mereka berencana mengabadikan momen dengan mengambil foto di studio. Studio foto itu cukup ramai, karena kan ada anggota keluarga wisudawan yang juga hadir. Ketika tahu kalau orang tua Rei nggak ada yang datang, niatnya Tigra mau menghampiri temannya itu, sekalian buat menghibur, tapi dia justru disambut oleh pemandangan yang malah membuat perutnya serasa diremas dari dalam...

Jenar sedang mendengarkan Rei bicara—entah apa, namun Rei tampak antusias. Terus, di tengah-tengah cerita Rei, Jenar mengulurkan tangannya buat merapikan tali toga gadis itu. Rei membiarkannya, terus saja berujar panjang-lebar seakan-akan apa yang dilakukan Jenar itu nggak membuatnya terkejut.

Kentara sekali, Rei terlihat terbiasa berada di dekat Jenar.

Tigra nggak tau, berapa lama dia berdiri di sana, membatu sambil menatap penuh iri seperti seorang pecundang yang terkalahkan dengan telak, hingga suara deheman Jella mengalihkan perhatiannya.

Ketika Tigra menoleh, Jella telah berada di depannya. Sama seperti teman-temannya yang lain, gadis itu juga berdandan cantik hari ini. Kebaya biru muda memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya digelung, tersanggul apik. Kesan galak yang biasa melekat padanya lenyap, tergantikan oleh pembawaan yang anggun dan feminin.

"Dasi lo berantakan. Nggak ada yang ngerapiin ya?"

"Hah?"

"Dasi lo." Jella menunjuk pada dasi Tigra, lalu tanpa menunggu Tigra menjawab, kaki Jella yang terbalut high heels terayun. Dia berdiri di depan Tigra, mulai merapikan dasi cowok itu. "Nggak ada yang rapiin ya? Kasian."

"Oh—hng, iya, tadinya nggak ada. Tapi sekarang ada."

"Hm?"

"Ada lo kan, yang lagi ngerapiin dasi gue."

Jella tergelak. "Jangan bilang-bilang Milan."

"Tenang, gue belum bosen hidup kok." Tigra ikutan bergurau.

"There you go." Tangan Jella menepuk dasi Tigra yang sudah rapi. "Dasinya udah rapi."

"Thankyou, Miss J."

"Gue kasih saran boleh nggak?"

"Saran apa?"

"Kalau mau bahagia, jangan sayang sama orang yang nggak balik sayang lo dengan cara yang sama."

Oh, Jella pasti sudah melihat bagaimana Tigra hanya bisa menatap Rei dan Jenar dari jauh.

"Maunya sih gitu. Tapi hidup nggak melulu bisa sesuai apa mau kita, kan?"

"Emang. Siapa juga yang bilang kalau hidup bisa selalu sesuai sama mau kita? Cuma masalahnya, lo nggak ada effort untuk nemuin orang lain, yang bisa balik sayang lo dengan cara yang sama."

"Kan katanya jodoh tuh udah diatur, La."

"Kalau lo nggak ada usaha, apa lo kira Tuhan bakal ngejatohin jodoh lo dari langit begitu aja?"

"Woh, ternyata bisa bawa-bawa nama Tuhan juga..."

"Untung lo Tigra."

"Maksudnya?"

"Kalau lo Milan dan barusan lo ngomong gitu, udah gue betot leher lo pake dasi!"

Keduanya saling bertatapan, terus tawa mereka meledak kompak.

Setelahnya, ya mereka berpisah jalan. Anak-anak yang sudah lulus satu persatu meninggalkan kosan, bersiap memulai fase baru dalam hidup mereka. Tigra juga begitu. Dia jadi makin sibuk setelah diterima bekerja di sebuah digital agency yang bergerak di bidang advertising.

Kelihatannya kayak banting setir banget dari apa yang dipelajarinya semasa kuliah, tapi realitanya memang begitu kan? Seringkali, pekerjaan lo belum tentu pasti sesuai dengan latar belakang pendidikan lo.

Tigra ketemu lagi sama Jella setahun lalu, di sebuah cabang Apotek K-24 yang berada nggak jauh dari kantornya di suatu siang. Niatnya Tigra kesana mau beli masker, soalnya pada minggu-minggu itu, dia lagi flu. Eh, dia malah nggak sengaja bertemu sama Jella yang sedang terduduk sendirian di pelataran depan apotek dengan wajah sepucat mayat.

"Jella?"

Jella tidak banyak berubah dari terakhir kali Tigra ketemu dia di hari kelulusan mereka. Bedanya, sekarang rambut Jella yang semasa kuliah dibiarkan panjang sampai menyentuh punggung sudah dipotong hingga sebatas bahu. Dia mengenakan setelan blazer yang membuatnya terlihat professional, juga stiletto berwarna senada dengan blazernya.

Jella mengerutkan dahi. "... Tigra?"

"Lo pucat banget! Lo sakit?"

Jella nggak sempat menjawab karena sejenak kemudian, dia sudah keburu pingsan.

Tigra langsung membawanya ke rumah sakit. Turned out, Jella sakit betulan. Dia mengiranya dia hanya sakit perut bulanan menjelang menstruasi, tapi ternyata, penyebabnya bukan itu, melainkan usus buntu yang harus segera ditangani. Kalau bukan gara-gara Tigra, bisa jadi, kondisi Jella akan jauh lebih parah dan menempatkan hidupnya dalam bahaya.

Lalu... layaknya sebuah cerita film, Tigra jadi sering menemani Jella di rumah sakit. Orang tua Jella tinggal di luar kota dan gadis itu sudah putus dari Milan hampir enam bulan sebelumnya. Lama-lama, mereka jadi saling nyaman dengan kehadiran satu sama lain dan... gitu deh.

Keduanya memutuskan buat pacaran—tapi berhubung Tigra maupun Jella bukan tipe orang yang suka pamer kemesraan di media sosial, jadinya banyak teman-teman mereka yang clueless kalau mereka sudah jadi pasangan.

Bisa dibilang, Tigra sama Jella baru benar-benar go public ketika mereka menyebar undangan pernikahan.

"Tapi tetap aja, aku sebel!" seruan Jella menyentak Tigra keluar dari lamunan, membuat matanya kembali tertuju pada wajah Jella yang memenuhi layar ponsel.

"Kenapa?"

"Mereka pada bikin groupchat tanpa aku. Terus ngegosip."

"Ngegosip gimana?"

"Mereka nggak percaya kalau kita mau nikah—I mean, nikah beneran, ya karena kita emang mau. Masa mereka pada nebak kalau aku udah hamil duluan?!"

Tigra tertawa. "Tapi kan faktanya nggak gitu, Jella."

"Kesannya tuh kayak aku liar banget gitu loh."

"Loh, kan memang..."

"MEMANG APA?!"

"Memang liar."

"Dih, kok kamu belain mereka sih!?"

"Nggak belain, babe." Tigra terkekeh. "Gini, coba kamu pikir deh, kalau kamu jadi mereka, terus lihat kita dulu gimana. Emangnya kamu bakal nebak bakal nikah sama aku?"

"... nggak sih."

"Ngobrol aja dulu kita jarang, kan? Padahal aku orangnya asyik banget."

"Nggak, kamu orangnya bucin banget dulu."

"Sekarang juga masih."

"Dih?!"

"Sekarang juga masih bucin, cuma yang dibucinin beda orang aja."

"Cailah, bisa aja si Ngab ini."

"Tapi lo seneng kan, Ngab?"

"Ya iya sih, Ngab."

Tigra tergelak. "Nggak apa-apa, yang penting kan kenyataannya nggak gitu. Lagian kalau mereka nganggepnya kita nikah karena aku nyicil duluan, emangnya kenapa?"

"Kesannya kita tuh kayak nikah terpaksa."

"Kan faktanya nggak terpaksa."

"Yah... rada terpaksa, sih."

Tigra terbatuk, keselek kwetiaw yang masih dia kunyah. "KOK GITU SIH?!"

"Aku terpaksa mau nikah sama kamu... abisnya udah terlanjur sayang."

"Bener-bener ye lu. Bikin gue kaget aja."

"Tapi seneng kan lu?" Jella membalas. "By the way, ini masih mau rahasia-rahasiaan nih?"

"Rahasia-rahasiaan soal apa?"

"Cincin yang mau kamu kasih ke aku waktu kita di depan altar nanti?"

"Iya, soalnya belum nemu yang pas."

"LAMA AMAT?!" Jella kaget. "Nggak usah banyak kriteria deh, babe. Emang kamu cari cincin yang kayak gimana?"

"Yang gede."

"Biar apa gitu?!" Jella bahkan nggak bisa bedain nih si Tigra serius atau bercanda.

"Biar bisa menggambarkan gedenya rasa cintaku pada dirimu."

Dulu, Jella pernah ngomel waktu lihat Vicky Prasetyo loncat dari helikopter untuk mendeklarasikan cintanya pada Angel Lelga.

Norak banget gitu loh.

Tapi mendengar kata-kata norak Tigra barusan, alih-alih bete, Jella justru senyam-senyum nggak jelas.

Mungkin inilah sesuatu yang suka dinyanyikan Celine Dion di banyak acara kawinan itu; the power of love.

*

Diantara anak-anak lantai dua kosan Sadewo, bisa dibilang, Jella memang yang paling duluan bikin buku nikah bareng pasangannya.

Lalu bagaimana dengan para cowok, terutama warga ex machina?

Jawabannya adalah... yak tepat sekali, yang pertama menikah adalah Kun—walau sempat jadi perdebatan sih, apakah yang menikah duluan tuh Kun atau Johnny, tapi kata Jenar (yang nggak ikhlas Johnny nikah duluan sedangkan lamarannya sudah enam belas kali ditolak), karena yang sebar undangan duluan adalah Kun, otomatis yang tercatat pecah telor duluan adalah Kun.

Berbeda dengan respon orang-orang terhadap Jella yang sebar undangan mau nikah sama Tigra (mana Jenar sempat ngeledek Jella dengan ngirimin foto undangannya, terus dikasih caption; "J&T banget nih? Lo mau membangun rumah tangga apa mengantar paket Tokopedia?" yang berakhir dengan Jella nge-blok nomornya Jenar seminggu penuh), mereka nggak kaget waktu Kun menikah. Ibarat kata sinetron, kisah kasihnya Kun gampang ditembak banget.

Selama kuliah, dia belum pernah dekat sama cewek kan. Walau diidolakan banyak mahasiswi dan punya segudang dedek gemes karena menjadi tetua Himpunan Mahasiswa bareng Johnny, sikap Kun yang terlalu kaku bikin dia susah dapat pacar. Itu juga alhamdulillah banget ada mahasiswa baru slengean yang kerjanya bikin Kun naik darah melulu, jadinya ada cewek yang Kun pikirkan secara konstan. Awalnya senewen melulu, eh lama-lama bilang I love you.

Kemudian setelah berapa tahun pacaran, Kun melamar nih pacarnya dari jaman kuliah. Namanya Sheza. Berbanding terbalik sama Kun yang kalem dan berwibawa, Sheza ini gayanya benar-benar barbar dan sering banget bikin Kun khawatir. Makanya, menjelang dia mau nikah, waktu lagi pesta bujangan ala-ala pekerja korporat ibukota bergaji minimal dua digit, Jenar sempat nanya ke Kun.

"Tapi lo ngelamar dia tuh nggak dipaksa kan? Kayak... lo nggak ditodoh sama sniper gitu?"

"Semua orang yang mau nikah kayaknya lo curigai nikah karena kepaksa, Bang." Lanang berujar sambil membuka sekaleng Heineken.

"Dengki doang diaaaa!" Yuta ngakak. "Dengar-dengar udah tiga belas kali ngelamar tapi masih ditolak juga."

"Anjing, beneran?!" Lanang melotot sampai matanya kayak mau keluar.

"Diem." Jenar membungkam Yuta dengan menyuapkan sepotong lemon ke mulut Yuta yang masih terbuka lebar karena orangnya sibuk ketawa gede. Yuta langsung mengerutkan wajah, paling nggak tahan asam.

"Brengsek lo ya!"

"Diem."

"Tapi serius, lo ngelamar cewek lo beneran udah tiga belas kali?" Milan mengerjap kaget.

"Enam belas kali."

"ANJING, LEBIH PARAH ITU MAH?!!" Lanang kian syok.

"Etdah, ngapa jadi ngomongin gue?!" Jenar sewot. "Tapi serius, Kun, lo yakin mau nikah sama cewek lo ini?"

Kun cuma tersenyum kalem, terus jawabnya. "Gue nggak bisa bayangin mau nikah sama siapa kalau bukan sama dia."

Anjayyyyyy, syahdu banget jawabnya, kayak pemeran utama pria di sinetron favorit para mama Indonesia.

"Walau gitu, iya juga sih." Dhaka seperti sependapat sama Jenar. "Maksud gue nih ya, lo kan sering banget dibikin jantungan dan khawatir sama cewek lo. Nah, dengan lo nikahin dia... berarti lo bakal dibikin jantungan dan khawatir sama dia seumur hidup loh."

"Kalau orangnya dia, gue nggak keberatan dibikin jantungan dan khawatir selamanya."

Edan, damagenya kalah tuh sama damage ledakan bom atom.

Nikahnya Kun nggak banyak drama sih. Syahdu dan adem, kayak hujan gerimis di kala subuh. Sesuai sama orangnya. Sheza juga cantik banget di hari pernikahannya, dengan riasan dan gestur feminin yang bikin dia kelihatan jinak, walau hanya untuk sehari. Mayoritas anak-anak sedepartemen Kun pada datang, mengantarkan mantan Wakahim mereka menempuh hidup yang baru, sekalian memberi semangat.

Soalnya yah... meski sering dipandang sebagai happy ending, sebenarnya pernikahan itu sendiri sangat jauh dari kata ending. Pernikahan hanya awal untuk babak yang lebih berat, babak yang lebih serius dan lebih menuntut tanggung jawab dibanding ketika hubungan masih berada di fase pacaran. Emangnya, kalau sudah nikah, terus semuanya kelar dan happily ever after gitu?

Jelas nggak.

Masalah yang bakal dihadapi justru bakal makin kompleks dan masing-masing nggak lagi bertanggung jawab atas diri sendiri, tapi bertanggung jawab atas dua orang—bahkan bisa lebih, kalau sudah ada anak-anak.

Bertanggung jawab atas hidup sendiri saja sudah ribet, apalagi turut bertanggung jawab atas hidup orang lain?

Sehari setelah menikah, Kun memboyong istri barunya ke rumah yang memang sudah dia punya dari masih bujang. Selama ini, Kun tinggal di apartemen gitu. Rumahnya sengaja dibiarkan kosong, walau tetap terawat. Maunya Kun, rumah itu ditempati bareng keluarga kecilnya. 

Hari pertama di rumah baru, menjelang subuh, Kun bangunin istrinya tuh ya. Banguninnya lembut banget, yang ada Sheza rasanya malah kayak lagi dielus-elus biar tidurnya makin lelap.

"Sayang..."

Sheza mengangkat alis. "... hng?"

"Udah bisa subuhan? Kalau udah, yuk subuhan sama aku."

"Belum..." Sheza menjawab lirih, dengan mata yang masih terpejam. Iya, sehari sebelum ijab kabul, dia tiba-tiba datang bulan. Anak-anak cowok langsung pada heboh ngeledekin Kun yang katanya cuma bisa gigit jari di malam pertama. Padahal mah malam pertamanya sudah lewat beribu purnama yang lalu.

Hashtag Kun hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari dosa.

"Oh... yaudah kalau gitu... bobo lagi aja." Kun menjawab, terus merundukkan badan buat mencium pelipis istrinya yang tidur menyamping. Sehabis itu, ya niatnya mau cari sarung buat subuhan kan. Eh tapi kok dicari-cari kemana-mana nggak ketemu-ketemu...

Mau nggak mau, tanya deh ke bini tercinta.

"Sayang, kamu lihat sarung aku nggak?"

"Oh... itu..." Sheza membuka mata. "Sarungnya kamu geletakkin gitu aja, jadi kukira baju kotor. Terus aku rendem di cucian semalam... kayaknya belom kering..."

"Oh yaudah, kalau gitu aku pake celana panjang aja—"

"Emang ada? Baju kamu kan masih banyak yang di apartemen kamu."

"Ada celana panjang kain yang kubawa kemarin kesini."

"Yang cokelat?"

"Iya."

"Terlanjur kurendem juga."

"... yha."

"Atau gini aja, Yang,"

"Apa?"

"Kamu solat pake bawahan mukena aku. Sama aja kan ya kayak sarung?"






"Tapi... bawahan mukena kamu... warnanya... pink..."



to be continued

*

a.n: 

gak usah pusing, ngab. kalian akan menyelami kehidupan rumah tangga mereka secara perlahan. 

cailaaaaaaa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top