: Winner Stands Alone :
Sometimes in life you don't always feel like a winner, but that doesn't mean you're not a winner
~ Lady Gaga ~
: Part Eighteen :
"Jadi kaupikir ini masih kurang? Aku sudah evaluasi berminggu-minggu, angka-angkanya akurat, rasionya pas——"
Aku mengangkat tangan, membuat Tony yang mengoceh sejak tadi akhirnya berhenti. Matanya yang masih terpaku pada lembaran file yang dibawanya sekilas terangkat begitu mendengar bunyi 'ting' pelan.
"Bertele-tele, Ton!" tukasku singkat begitu kami di dalam lift yang turun ke ground floor, berdua. Kadang aku heran dengan bajingan satu ini. Dia sudah bertahun-tahun menjadi partner-ku tapi masih saja kurang cermat membaca situasi. Padahal itu sangat penting di pekerjaan kami.
"Bertele-tele kau bilang?"
Aku mengangguk pelan, tak peduli Tony memperhatikan atau tidak. Kutatap angka merah yang menunjukkan angka enam. Dia ada di sini, pikirku. Dan entah bagaimana, cuma memikirkannya saja, jantungku yang sudah mulai tenang kembali bergemuruh. Beberapa bulan lalu, aku pasti bersemangat mendatangi tempat ini. Tapi hari ini, sejak pertama kali menginjakkan kaki di gedung setinggi 23 lantai ini, aku justru seperti anak kecil yang pertama kali mengunjungi dokter gigi. Bisa ditebak kan aku ada di mana?
Ingat saat aku bilang Monsanto menyewa jasa kami untuk mengakuisisi sebuah perusahaan? Dulu aku memang sangat bersemangat mengerjakan proyek itu, tapi kemudian aku menyatakan mundur. Sialnya, Pak Willy, atasanku, menolak karena alasan yang kuajukan tidak relevan. Ya, aku memang bilang kalau aku sibuk mengerjakan proyek lain tapi beliau malah menyuruh orang lain menyelesaikannya supaya aku bisa fokus ke Monsanto. Aku cuma bisa pasrah karena tidak mungkin aku mengatakan alasan sebenarnya. Ayolah, aku belum sememalukan itu cuma karena Monsanto adalah perusahaan tempat Nara bekerja. Untungnya, Tony berbaik hati dan beberapa kali menggantikan tugasku meeting. Hari ini, aku sengaja ikut untuk menduskusikan beberapa hal dengan para direksi dan sekarang kami sedang membicarakan proposal transaksi sebelum diajukan lagi ke Monsanto. Tapi, seperti yang kubilang, perasaanku benar-benar tidak bisa tenang. Bagaimana kalau Nara tiba-tiba muncul dan....
Ah, nama itu lagi. Aku memang bilang kalau aku sudah merelakannya. Tapi kalau harus bertatap muka langsung? Aku tidak yakin apa aku siap. Kemungkinannya kecil sih tapi....
"Wooi...! Kau mulai lagi, kan! Aku bilang juga apa. Kau butuh em-el sama cewek biar pikiran kau jernih."
Aku tersenyum kecil. Kulirik pintu yang akhirnya terbuka dan melangkah ke luar sebelum bicara lagi, "Gue udah bilang kan, si Mauricio Amore ini orangnya visioner, praktis. Dia nggak bakalan mau mantengin laptopmu lama-lama cuma buat baca laporan-laporan kayak gitu. Make it simple, bold, on point!"
"Masalahnya, El, meski dia itu cerdas tapi nggak punya nyali. Kebanyakan pertimbangan jadi lamban. Dia terlalu mikirin risiko——"
"Semua akuisisi pasti ada risikonya."
"Itu kenapa aku bikin semuanya jelas macam ini."
"Tapi nggak efektif! Minggu-minggu kemarin gue lihat Banu lagi bikin template buat model valuasi baru. Itu cocok. Lo tanya dia, udah selesai atau belum. Kalau angka-angkanya menjanjikan, lo bisa pake dan mungkin lebih gampang bikin CEO kampret itu yakin."
Aku tidak gila, percayalah! Kemarin-kemarin pikiranku memang kacau tapi bisa kupastikan kalau aku sudah selesai dan siap kembali pada pekerjaanku, pada pikiranku yang selalu terarah. Anehnya, aku tidak tahu bagaimana bisa kakiku seperti bergerak sendiri dan aku baru sadar kalau sekarang berdiri di depan Costa Coffee.
"Eh, mau mampir? Bolehlah, aku juga ngantuk mau ngopi dulu."
Ada yang bisa membantuku mengucap kata 'sialan'? Aku kan tidak sengaja, tapi bajingan itu malah masuk ke kafe. Setelah mendengus pelan, akhirnya aku meraih handle dan mendorong pintu kaca itu pelan. Rasanya seperti ada listrik ribuan volt menyengat sampai ototku mendadak kaku, membuat langkahku terhenti begitu saja, begitu pun dengan jantungku yang nyaris lompat saat mata biruku menegaskan sosoknya yang berdiri di depan kasir.
Déjà vu.
Kata itulah yang pertama kali muncul di kepalaku. Menyengat seperti lebah, membangkitkan rasa nyeri mendadak bersamaan dengan kilasan-kilasan yang melintas cepat. Aku ingat saat pertama kali melihatnya di tempat ini. Jari lentiknya yang teracung, bibir merahnya yang bergerak dan tersenyum hangat, juga matanya yang bergairah saat melihat deretan menu kopi di papan. Adegan slow motion diiringi cello suite number one prelude milik Bach itu ... terputar lagi.
Sayangnya, itu bukan kenangan yang menjebol batas kesadaran. Itu kenyataan, dan perempuan itu memang di sana sekarang, berjarak tidak lebih dari lima langkah.
"Nara ...."
Percayalah, aku mati-matian menahan agar suaraku tidak bergetar.
Gerakan tangannya terhenti dramatis dan sama seperti dulu, aku tak pernah bisa menerjemahkan arti tatapannya yang tajam tapi tak menuntut itu. Hanya saja kali ini, ada sesuatu dalam diriku yang seperti terusik——atau mungkin cuma perasaanku——melihat sepasang mata abu-abu yang kini menghujam dalam, menembus jantung.
Benar kata orang, saat pikiran kita terus-menerus memikirkan hal buruk, saat itulah semesta berkonspirasi dan mewujudkan peristiwa yang entah harus kusyukuri ... atau malah sebaliknya?
❇❇❇
Tanganku bergerak, mengaduk pelan brewed tea yang kupesan. Namun, pandangan mataku mengarah ke luar, menatap mobil-mobil yang berseliweran, orang-orang kantor yang keluar-masuk gedung, juga langit yang muram. Aku tidak tahu kemana perginya matahari sore ini. Mungkin sembunyi dalam sorot mata yang bisa kurasakan sedang menelanjangiku sekarang. Nara dan kelabunya.
"So ... how's life?"
Oh, aku salah. Ternyata Nara sama sekali tidak menatapku. Mungkin dia terus menunduk sejak tadi karena sekarang dia sedikit tersentak. Dalam hati aku tertawa geli. Aku membuang pandangan karena merasa dia sedang menatapku sementara dia ternyata juga melakukan hal yang sama.
"Good."
Suaranya pelan, lembut, dan seperti biasa ... merdu. Ah, ternyata otakku masih sangat memujanya.
"Kamu?" tanyanya lagi.
"Baik juga." Retoris, I know! Tapi aku juga tidak mungkin kan teriak di depan mukanya kalau aku menderita? Ada jeda sejenak untuk menarik napas, "Lucu ya, gimana manusia dengan basa basinya nanya kabar seolah-olah ada opsi lain selain 'baik'. Padahal, berapa banyak yang akan menjelaskan kondisi yang sebenar-benarnya?"
Sarkas dan langsung kusesali detik itu juga. Apalagi saat kulihat Nara menunduk lagi, dalam, hingga dagunya nyaris menyentuh dada. Ah, begini saja aku sudah merasa bersalah. "Nara, maaf bukan itu maksudku. A-aku cuma——"
"Maaf!"
"Nara...."
"Maaf, El. Aku...."
"Beberapa minggu lalu, aku ke pulang ke Makassar,"——aku memulai cerita——"yeah finally. Ternyata butuh empat belas tahun sampai akhirnya aku mau menginjakkan kaki ke sana lagi. Ke makam Amma, ke makam Dato."
Pelan, dia mulai mengangkat wajah. Ada keterkejutan yang gagal ditutupi di mata yang membuatku tergila-gila sejak semula itu. Mata yang mampu menembus kedalaman hatiku yang berkabut. Aku ingat bagaimana sorot itu selalu sendu, dirundung mendung yang seolah tak pernah bosan membayang-bayanginya dengan hujan. Dan hari ini, sorot mata itu mulai menampakkan sesuatu yang lain; bertanya, mencari jawaban, memintaku memberinya kepuasan yang sejak lama ia inginkan.
"Ka-kamu pulang ke sana?"
"Yeah. Not easy but ... yeah! Kamu tahu, begitu aku buka pintu rumah ... boom, bayangan-bayangan masa lalu di kepalaku langsung keluar semua." Refleks, kuangkat tangan sejajar kepala.
"El...."
"Aku harusnya malu buat ngaku, tapi ... I was crying. Dan aku nggak tahu kenapa butuh waktu selama itu buat memaafkan, buat ... you know, terima nasib. Tapi benar kata orang, sewaktu kita benar-benar jatuh dan pasrah, saat itulah kita akan ngerasa kita bisa melewati apa pun. I think you're right, Nara! Mungkin udah saatnya aku berhenti kabur. So, I quitted."
"How does it feel?"
Aku diam sejenak, kembali menantang matanya yang terus menuntut. Dulu aku sempat berpikir kalau Nara mencari refleksi dirinya di semua tempat, semua benda, semua orang yang mungkin merasakan hal yang sama. Tapi lalu aku sadar, Nara juga meginginkan jawaban, menginginkan dukungan untuk sesuatu yang membuat langkahnya tertahan. Kurasa, seharusnya aku lebih berhati-hari dengan jawabanku sekarang. Entah kenapa, ada sebagian otakku yang menganggap kalau inilah saatnya ... Maksudku, mungkin untuk inilah Tuhan mengharuskan kami bertemu.
"El...!" Dia memanggil lagi, "What did you find?"
Bola mata Nara terkunci dalam pandanganku. Kutarik napas, meyakinkan diri, lalu menjawab pasti, "clarity!"
Terlihat jelas di mataku bagaimana Nara mengembuskan napas, panjang, perlahan-lahan, seolah dia benar-benar akan meledak kalau tidak melakukannya. Aku ingat saat Bimala——ada yang ingat dia——dengan mudahnya menebak kalau Nara perempuan Jawa. Dan aku tersenyum sendiri menyadari betapa tololnya aku karena baru menyadarinya. Nara tipe perempuan yang menahan diri dan aku bahkan tidak berani membayangkan, sudah berapa lama dan seberapa ahli dia melakukan itu. Seumur hidupnya mungkin?
"Semua yang kita butuh, Nara, udah ada di dalam." Oke, aku mungkin terdengar seperti pendeta yang memberikan pencerahan, tapi kurasa Nara mau tahu pendapatku. "Semua jawaban yang kamu cari, udah ada sejak pertanyaan kamu muncul. Kamu ... kita, cuma perlu melihat ke dalam. Kamu percaya kalau manusia mencerminkan satu sama lain, Nara?"
Nara yang kini sudah menyandarkan diri di punggung booth mengangguk pelan, "Yeah. Nggak tahu juga. Aku pernah denger itu tapi...."
"Tapi kamu nggak percaya! Berapa banyak buku yang kamu baca, Nara? Berapa kali kamu mencari refleksi diri kamu di sana yang mungkin nggak akan pernah kamu temukan? Sekalipun ada, itu bukan kamu ... itu cuma kemungkinan."
Nara diam, mendengarkanku yang terus mengoceh seperti orang mabuk. Aku tidak peduli. Kepalaku sudah mau meledak karena menahan semua ini, terlalu lama.
"Bahkan sewaktu kamu merasa menemukan orang lain yang sepemahaman, sepengalaman pun tetap aja nggak sama. Tanya sama diri kamu, Nara. Semua teori yang kamu baca, semua buku-buku yang menyuarakan pikiran kamu, semuanya ... mungkin ini waktunya. Di dalam hati kamu, Nara yang asli mungkin lagi nangis sekarang karena terlalu lama kamu abaikan. Ask yourself!"
Pelan, kuangkat cangkir dan meninum teh yang mulai dingin. Kopi hitam milik Nara juga sudah berhenti mengepul, tapi masih utuh. Sayang sekali karena Nara mungkin sudah melewatkan momen terbaiknya merasakan aroma dan tendangan kafein. Aku sedikit terkejut karena tidak biasanya Nara akan melakukan hal seperti ini. Nara selalu bilang, kopi itu harus dinikmati selagi panas karena asam pekat kopi paling terasa di dua menit setelah air panas dituang.
"Beberapa waktu lalu, Mas Kaka telepon. Dia bilang Papa kena serangan jantung, nggak parah sih. Mungkin karena faktor usia juga. Waktu Papa telepon pas ulang tahun aku dulu, dia udah sakit tapi nggak bilang dan aku masih mikir kalau dia baik-baik aja. Cukup baik, tangguh dan layak menerima kemarahan yang aku sendiri nggak tahu sampai kapan."
Kuletakkan cangkir ke meja. Ganti Nara yang membuang pandangan ke luar, mungkin menatap mobil-mobil yang lewat. Mungkin juga menatap bola raksasa yang akhirnya muncul dan mulai berubah jingga.
"Di kepalaku, muka Papa sama sekali nggak berubah. Masih sama kayak dulu. Keras, tegas. Tapi malam itu, nggak tahu kenapa mendadak semuanya beda, El. Bayangan muka Papa mendadak jadi tua, mungkin mulai botak, dan rambutnya putih semua. Mendadak, dia jadi kelihatan ... lemah!"
Aku tidak tahu, untuk siapa kalimat itu ia tujukan. Tapi saat kudapatkan kembali mata Nara, ada semburat merah yang mulai terbentuk di mata abu-abunya. Dia ... menahannya lagi.
"Kamu tahu, El, aku iri sama kamu. Aku jelas ketinggalan jauh, dan ... sampai sekarang pun aku masih nggak tahu mesti gim——"
"Berhenti! Just like what you said, ini mungkin saatnya kamu harus berhenti, Nara!"
Sejenak, Nara diam. Matanya menelisik, menilai kesungguhan dari setiap kata yang keluar dari mulutku. Kuulas senyum tulus, mengiringi kepalanya yang terangguk pelan sebelum akhirnya dia juga tersenyum.
"So ... I've gotta go. Believe in yourself, Nara. Thanks for ... everything and——"
"Maaf!"
"Ya?"
"Malam itu ... aku...."
Sial! Sejak pertama kali duduk di sini, berdua dengan Nara, aku jelas membayangkan bagaimana harus melewati pembicaraan ini. Berbulan-bulan kepalaku menyusun rencana, menyusun kalimat tuntutan seandainya kami benar-benar bicara. Aku jelas ingin dia menjawab semua 'kenapa' yang selama ini menghantui pikiranku. Aku melewati puluhan hari untuk saat-saat seperti ini. Tapi di saat waktunya benar-benar tiba, kenapa aku mendadak jadi tidak yakin? Rasanya, ada ribuan kupu-kupu beterbangan di perutku yang kosong karena aku ingat kalau aku bahkan belum makan siang.
"Malam itu aku harusnya telepon kamu. Dan ... aku emang berencana buat telepon kamu, tapi...."
Cuma sekilas——aku juga tidak terlalu yakin——tapi ... apa Nara benar-benar gemetar? Tangannya yang terkait satu sama lain di atas pangkuan mulai bergerak, gelisah? Tapi kenapa? Merasa bersalah? Apa dia baru sadar kalau akulah satu-satunya yang menjadi pecundang di sini? Atau ... apa?
"Waktu itu aku bilang sama Virgo...."
Nama itu lagi!
" ... aku nggak bisa dan kita mungkin...."
Aku tahu ini konyol tapi ... aku sungguhan tidak ingin mendengar ini.
" ... mungkin itu saatnya buat dia harus cari...."
Dan aku yakin ... aku memang tidak butuh semua ini.
"... perempuan lain. Tapi...."
"Hentikan, Nara!"
Dan Nara pun berhenti.
"Kamu nggak harus jelaskan apa pun soal itu."
"El...!"
"Aku pikir apa pun alasannya, itu bukan urusanku. Satu-satunya yang jadi urusanku cuma ... perasaanku ke kamu. Beberapa bulan lalu, aku mungkin akan dengan senang hati mendengar penjelasan kamu, tapi sekarang ... I don't. Aku punya kenangan ... soal kamu, soal kita, dan itu cukup. Aku punya pemikiran sendiri, mungkin sekilas kedengarannya menyedihkan but trust me it's not that bad. Aku bisa ngerti kalau ... mungkin nggak mudah bagi kamu buat percaya sama orang sepertiku. Tapi aku pikir, kamu nggak perlu ngasih penjelasan yang udah bukan waktunya lagi."
"Eli ... do you...." Nara membuka mulut, lalu menutupnya lagi, seolah tidak yakin dengan yang ingin dia tanyakan. Aku mungkin bisa menebak kelanjutannya, tapi ... kurasa Nara harus belajar mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. Dia terlalu lama diam.
"Do you really...."
Diurungkannya lagi.
Aku masih menunggu....
Sedetik, dua detik....
Aku menyerah.
"Yes!" jawabku mantap, tegas.
"Why?"
"Why?"
Dan aku tertawa. Memangnya siapa yang tidak? Siapa yang bisa menjelaskan perkara cinta; kenapa mencintai siapa, kenapa mencintai Nara dan kenapa kenapa kenapa yang lain?
Siapa yang tidak pernah mendengar frasa klise love at the first sight? Itu murahan, sederhana, pasaran ... apa pun sebutannya. Dulu, bertahun-tahun lalu, jangankan cinta pada pandangan pertama, cinta paling standar pun aku tidak percaya. Memangnya, apa yang membuat seseorang bisa jatuh cinta dengan orang yang baru saja dikenal atau malah tidak kenal sama sekali. Cuma karena tabrakan mata? Konyol. Dan aku percaya itu cuma ada di film.
Tapi saat itu, satu hari Rabu di pertengahan April saat Jakarta sedang macet-macetnya, semua kesombonganku runtuh. Semua paradigma yang hampir seumur hidup menancap di kepala, luruh bersamaan dengan mata biruku yang menembus gerimis untuk akhirnya menyatu dengan kelabu yang menaungi matanya. Lalu, terjadilah serangan kilat yang kupikir tak akan pernah ada....
Cinta pada pandangan pertama.
Dan butuh tiga ratus enam belas hari, enam belas jam, dua puluh dua menit untukku menyadari kalau ternyata ... aku tidak butuh alasan untuk jatuh cinta. Semua terjadi begitu saja.
"Aku nggak tahu, Nara! Aku harap aku tahu, tapi faktanya aku beneran nggak tahu. Yang aku tahu, aku cuma pengin lihat kamu bahagia. Aku emang pernah berharap bisa jadi alasan kamu untuk bahagia, tapi aku mungkin aku salah. Once you're happy, I don't fucking care about anything else."
Tahu bagaimana rasanya ditusuk jarum? Ada puluhan jarum sekarang yang menusuk dadaku. Tidak terlalu menyiksa tapi jelas mengganggu saat Nara menatapku nanar. Bola matanya sudah terlapisi cairan bening yang cuma tinggal menunggu waktu untuk jatuh. Guratan merah semakin mencolok, menusuk mataku, hatiku, jantungku.
"Nara...."
Kalau bisa, kalau keadaannya sama, aku mungkin akan mendekat, menariknya ke pelukanku dan mengatakan semua akan baik-baik saja. Tapi....
"Maaf, El. Aku benar-benar——"
"Berhenti bilang maaf!"
Di depanku, Nara akhirnya diam. Setetes air matanya jatuh dan sungguh aku tidak tahu, itu karena rasa bersalah atau sekadar permohonan maklum. Aku tak sempat menilai, karena yang kutahu aku tidak butuh semua itu. Hey, aku bahkan tidak butuh penjelasan.
"Berhenti bilang maaf, Nara. Berhenti merasa bersalah buat sesuatu yang memang bukan kamu yang salah. Kita nggak pernah dan nggak bisa memilih sama siapa jatuh cinta atau siapa yang jatuh cinta sama kita. It's not the point! Anyway, harusnya aku bilang makasih sama kamu karena kamu udah bikin aku sadar kalau aku juga manusia normal yang bisa jatuh cinta."
Aku tertawa. Nara tertawa. Kami memaksakan diri untuk tertawa.
"You didn't push me off to the edge, Nara. You know what? I jumped, I fell ... in love with you, on my own choice."
Nara berhenti tertawa. Aku berhenti tertawa. Kutekan tombol jeda, memberi waktu untuknya mencerna, menilai kejujuran yang mungkin cuma sekali ini bisa kuberikan. Setelahnya, aku bahkan tidak tahu. Mungkin aku bisa terus memupuk perasaan ini atau mungkin juga, suatu saat nanti akan ada Nara yang lain yang mengalihkan perhatianku. Entahlah, siapa yang tahu? Yang pasti, kalau saat itu tiba, aku tahu kalau aku tak perlu melawan.
"I really have to go. It's like ... now."
Tak ingin terlibat lebih jauh dalam emosi yang mulai menyeruak, aku bangkit dan memutuskan pergi. Melihatku, Nara ikut bangun dan berdiri canggung. Ada rasa asing yang ikutan hadir, menyelimuti kami yang cuma bisa saling pandang. Perasaan asing yang mendadak begitu kentara, namun tidak lagi menciptakan rasa tak nyaman. Aku yakin, ya entah kenapa aku yakin, kalau kami sudah terbiasa dengan ini dan akan semakin terbiasa. Kami sama-sama penipu ulung.
Adalah aku yang mengulurkan tangan lebih dulu. "Happy new year, Nara. I wish you have a brand new happy life. Forget about me but.... Ah, sebelum kamu ngatain aku cheesy, as always, aku mau kamu tahu satu hal kalau di dunia ini, meski nggak bisa mendampingi, ada orang yang selalu berdoa dan berharap kamu bahagia. Jangan pernah menangis lagi, Nara. Soalnya, aku nggak bisa tidur kalau kamu sedih. You know, alarm di kepalaku masih aktif."
Nara tersenyum bersamaan dengan satu tetes air mata yang kembali jatuh, lalu menjabat tangan besarku yang terulur. Ada hangat langsung merambat dan menyentuh relung hatiku yang paling dalam, rumah Nara. Rasa asing yang menyeruak itu perlahan berubah menjadi haru, lalu bermetamorfosis menjadi sebuah kekuatan yang kelak akan membantuku melanjutkan hidup ... tanpa Nara.
Hatiku mendadak terasa penuh, tubuhku tak lagi kosong, dan jiwaku merasa utuh——sebenar-benarnya utuh——saat Nara berbisik pelan, "Thanks, El. Thanks for everything. And ... and thanks for being you."
Selama beberapa detik, kubiarkan tangan kami tetap menyatu. Pandangan matanya yang seringkali berlari-lari kini menatapku dengan berani. Aku tahu, Nara pun tahu, panas tubuh kami telah mencairkan sesuatu yang sempat menggumpal dan menjadikan sesak. Jika jatuh cinta diibaratkan dengan air sungai, maka aku telah membiarkan tubuhku hanyut. Merasakan benturan batu kali, hantaman kayu yang ikutan terseret arus, diombang-ambingkan riak yang berkepanjangan lalu berhenti di lautan tenang. Sayangnya, kami tahu kalau kami belum bisa berhenti. Kami harus melanjutkan alur yang sempat mandek lalu kembali menantang gelombang. Siapa yang mengatur dan kenapa seperti itu, aku juga tidak tahu. Mungkin Tuhan? Mungkin kehidupan? Mungkin juga kami berdua. Entahlah. Yang aku tahu, itu tak penting lagi.
Kalau biasanya Nara meninggalkanku di Costa Coffe dan membiarkanku menatap punggungnya yang menjauh, kali ini kutinggalkan Nara di sana. Sakit hatiku karena Nara mungkin tidak terobati dan memang bukan untuk diobati. Di situlah gilanya, indahnya. Sempurna. Dan aku semakin tidak peduli. Mungkin kini Nara sedang merenung, mungkin sedang menerjemahkan keberaniannya yang mulai muncul atau mungkin juga sedang menatap punggungku yang terus menjauh. Siapa yang tahu?
Aku terus melangkah, menembus lalu lalang orang. Dimensi waktuku kembali diputar, bergerak meski pelan, sepelan kepakan sayap kupu-kupu yang terbang di atas mobilku yang terparkir di luar. Kepakan sayap dari kupu-kupu kecil berwarna hitam putih.
Kuputar badan, menantang matahari yang bergulir pelan dan berusaha menyembunyikan diri di temaramnya langit.
Lalu ... aku tersenyum.
Aku masih seorang pemenang!
[...]
Pretek pretek pretek 🎉🎉🎉*Nyalain petasan* Akhirnya selesai juga nih Om-om.
sabar aja, jangan lempar sandal dulu. Saya tahu banyak yang nggak suka sama ending model begini. Soalnya kebanyakan romance, kalau nggak happy (tokohnya bersatu) ya sad (nggak bersatu)
Tapi buat saya *uhuk membela diri* ending itu sewaktu konflik selesai. Sewaktu karakter udah berkembang, lepas dari apa pun endingnya. Bersatu bukan satu-satunya definisi happy ending~~ sya la la la la😙😙😙
Berhubung ini cerita tentang Elias, jadi saya cuma fokus di situ. Soal Nara, dia punya tempat sendiri but ... secara impllisit, Nara got something juga kok.
Anyway, yang udah selesai dan sempet masukin ke lib, thank you so much. kiss kiss dari om mesum😘😘
Tapi ... silakan dihapus. Gak bakal ada penambahan atau info apapun juga kok. *penerbitan misalnya. Digeplak* Soalnya, saya mau edit depan-depannya, banyak typo dan pas saya baca lagi kok radaa iyeeeuuh. daripada berisik kena notif, mending hapus.
Least, thank you so much for your support and Nara is waiting on Kupu-Kupu Hitam Putih. Mungkin (mungkin loh ya) ini happy end versi khalayak #plaaak 😆😆
See you~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top