: SINGULARITAS :
Once you wake up and smell the coffee, It's so hard to go back to sleep.
~Fran Drescher ~
: Part One :
~ 126 Hari Sebelumnya ~
Buatku, hidup itu segampang memutuskan minuman apa yang ingin kunikmati di pagi hari; teh atau kopi. Ehm, aku lebih suka bir sih sebetulnya, tapi karena aku tahu kalau minum alkohol pagi-pagi sama dengan bunuh diri pelan-pelan, jadi ... lupakan.
I don't drink coffee I'll take tea, My Dear.
I like my toast done on one side.
And you can hear it in my accent when i talk
I'm an Englishman in New York
Tahu lagu itu? Omong-omong, aku sering menyanyikannya pagi-pagi—lagu lama yang dirilis sekitar tahun 1987 berjudul Englishman In New York. Hell yeah, aku pria Inggris, Dear! Lebih tepatnya sih setengah Inggris. Itu kenapa aku lebih suka teh. Tidak ada kompromi. Tidak ada negosiasi dan buatku, hidup memang segampang itu.
Soal muka, percayalah aku bisa membuat banyak perempuan terpana cuma dalam sekali lihat. Aku punya rahang tegas, alis lurus dan tebal, juga cekungan mata dalam. Oh, jangan lupa mata biruku yang punya potensi menciptakan vagus nerves dan sympathetic nerves sekaligus. Bibir kissable-ku tebal dengan kontur khas yang bisa membuat milik korban bengkak-bengkak. Belum lagi postur yang menjulang dan otot keras hasil latihan tinju dua kali seminggu. Lumayanlah untuk menahan perempuan yang pingsan saking terpesonanya padaku.
So ladies, kata apa yang tepat untukku? Perfect? That's me!
Sayangnya, akhir-akhir ini pikiranku sedikit kacau, cuma sedikit. Aku selalu fokus—ingat itu, tapi belakangan otakku sedikit terdistraksi oleh sebuah atraktor asing. Kalian pasti bingung, kan? Oke, biar kujelaskan.
Apa kalian pernah merasa seolah dunia di sekitar kalian bergerak terlalu cepat sementara kalian cuma bisa diam di tempat? Atau sebaliknya! Kalian merasa kalau kalian lari cepat tapi semua hal di sekitar kalian justru bergerak dalam irama lambat? Kalian merasa seperti ... terjadi dilatasi waktu besar-besaran yang tidak masuk akal dan menarik kalian ke dalam satu singularitas alias ketidakmungkinan?
Aku pernah, dan aku mengalaminya sekarang.
Aku masih ingat jelas sore itu. Minggu lalu, hari Rabu, aku dalam perjalanan pulang dari SCBD lepas meeting dengan calon klien. Hampir lima belas menit aku terkurung di jalanan ibu kota yang selalu padat. Di luar, langit sendiri mulai gelap dan bersiap menurunkan hujan. Akhir-akhir ini, dewa hujan mulai tak disiplin soal waktu. Musim hujan mestinya sudah selesai sejak sebulan lalu tapi ia seolah tak puas mengolok-olok Jakarta yang langganan banjir. Otakku sendiri sibuk menyalahkan kebodohan karena menolak tawaran Nadhira yang ngotot mau menyusul ke hotel tempatku menghadiri meeting. Khusus untuk gadis itu, persetan dengan prinsipku untuk tidak mau menaiki wanita yang sama dua kali. Tahu kan maksudku? Tidak? Aku jelaskan lain kali.
Jalanan yang macet, tidak lagi menjadi fokusku saat speaker mobil mengalunkan My Way-nya Frank Sinatra. Damn! I love that man. Lampu merah menyala galak, menghitung mundur dari tiga ratus, seakan mencemooh para pemadat jalan yang bernafsu pulang ke rumah. Aku sedang memikirkan betapa ironisnya kata 'pulang' saat mataku menemukan mata kelabunya.
Tidak ada yang istimewa yang seharusnya membuatku terpaku menatap perempuan di dalam taksi biru dan menempelkan keningnya ke kaca itu. Dalam hidup, aku sudah sering melihat yang jauh lebih cantik dan tentu saja ... gratis.
Tapi saat itu—entah kenapa—aku seperti benda langit bermassa minim yang terjebak dalam medan gravitasi bintang sekuat matahari. Mata perempuan itu seperti lubang hitam—aku tahu kalau matanya abu-abu—yang menyedot habis semua energi yang kumiliki, sampai-sampai aku tak mampu lagi berpaling. Dia menangis. Air matanya dibiarkan pelan mengalir di pipi. Sorot matanya terluka, wajahnya begitu sedih, bahkan lebih sedih dari muka Amma saat cerita tentang pria yang kabur setelah membuatnya hamil.
Di kepalaku, seperti ada sebuah alarm yang meraung-raung. Kalau bukan karena bunyi klakson truk sialan yang menjerit tiba-tiba, aku mungkin sudah turun dari mobil untuk menghapus kesedihan di wajah perempuan yang tengah bersedih itu. Oke, aku tahu itu tidak mungkin.
Tapi ... untuk pertama kalinya dalam hidup, aku benar-benar ingin mengenal seseorang.
Sore itu, aku pulang dengan perasaan kalut yang bahkan tidak kumengerti. Pikiranku dipenuhi dengan bayangan mata yang begitu sedih, seolah semua duka di dunia ini ditimpakan untuknya sendiri. Entah sudah berapa alkohol yang kuhabiskan untuk menenggelamkan wajah yang terus berkeliaran di kepala, karena aku tidak ingin pikiranku terganggu oleh siapa pun, apalagi seseorang yang bahkan tidak kukenal.
Kalian tahu seberapa teraturnya hidupku?
Aku sungguh ingin menceritakannya, tapi mungkin nanti saja. Yang pasti, perempuan asing itu tiba-tiba bekerja seperti trojan dan merusak sistem jaringan komputer yang ada di kepalaku; mengendap-endap, sembunyi dan pada saat yang tidak kuduga sama sekali, dia berusaha mengendalikan pikiranku—bayangkan bagaimana rasanya saat virus sialan itu menyebar di komputer kalian.
Sayangnya, membersihkan kepalaku dari bayangan perempuan itu tidak semudah memasang antivirus versi terbaru. Aku tidak benar-benar bisa menghapusnya kecuali memprogram ulang sedangkan—sialnya— otak jauh lebih rumit dari CPU yang bisa gonta-ganti RAM semau kita. Jadi, aku melakukan usaha terakhir, satu-satunya cara yang kutahu pasti berhasil: kembali menjadi Elias.
Did you got the point, Meat?
Awalnya, semua baik-baik saja. Aku berhasil melewati waktu seminggu dengan selamat, tapi lagi-lagi aku harus menelan ludah, karena hari ini—cuma sesaat setelah aku kembali memegang kendali atas pikiranku sendiri, mata biru mudaku kembali menangkap sosok perempuan yang memasuki sebuah kedai kopi dengan anggun.
Perempuan itu melempar senyum saat berhadapan dengan gadis berkuncir kuda yang menyapanya dari balik counter. Bibirnya bergerak saat kasir—mungkin saja—menanyakan minuman apa yang ingin dia pesan, sementara jari lentiknya teracung, menyusuri daftar menu di papan. Peristiwa itu ditampilkan dalam gerakan lambat, live, di depan mataku yang duduk di samping jendela, di sebuah kedai kopi, di hari Rabu saat Teg Heuer Grand Carrera di tanganku menunjuk angka satu lewat sepuluh.
Seperti berada dalam pengaruh sihir, aku bangkit dari kursi dan berjalan pelan. Entah bagaimana otot-otot kakiku bergerak tanpa bisa dikendalikan. Kalau ini adalah adegan dalam sebuah film, aku yakin ini saat di mana Bach masuk dengan Cello Suite No 1 Prelude-nya.
Di hadapanku, perempuan itu tersenyum lagi, tepat saat cahaya matahari jatuh menimpa wajahnya seperti lampu latar peran malaikat turun dari surga dalam sebuah pentas drama. Oh, aku sering melihat yang seperti ini di HBO. Meski tidak ada kesedihan di wajahnya seperti waktu itu, dia tetap memiliki magis yang sama.
Aku begitu terbius dengan keindahan itu sekarang. Rambut hitam lurusnya yang tergerai, tubuh langsingnya yang tertutup kemeja fit-silk warna putih, dan pantatnya ... errr, those pants worked so well. Dalam tiga langkah lebar, aku bisa saja meraihnya, membuatnya berbalik badan agar dia menyadari keberadaanku. Yah, mungkin dia akan langsung terpukau dan memintaku membawanya ke hotel, melucuti pakaiannya satu per satu, lalu membantingnya di ranjang dan ... you know!
Bodohnya, tubuh bongsorku cuma berdiri kaku di belakang perempuan itu seperti robot mainan kehabisan baterai, sementara hidungku membaui tubuhnya yang menguarkan aroma taman bunga. Dalam dimensi pikirku, wanginya benar-benar memabukkan. Sial, aku bisa terangsang memikirkan adegan selanjutnya.
Selayaknya sebuah film, ada saat di mana sutradara akan meneriakkan 'cut' dengan keras, membuat adegan terhenti begitu saja hingga semua imajinasiku buyar lalu melemparkanku kembali ke tempat yang seharusnya. Dan dalam cerita ini, si sutradara memakai pakaian serba hitam yang menurutku lebih mirip dementor di film Harry Potter.
Dalam sepersekian detik, aku yang merasa seperti aktor utama dipaksa menerima kenyataan kalau aku cuma sekadar pemain figuran saat si dementor menabrak dan menumpahkan kopi ke kemeja putihku. Goddamnit! Ini Armani dan sekarang tampak seperti kain lap yang belum dicuci. Refleks, aku berjengit saat panas dari kopi menyengat kulit.
Pelayan pria yang memakai bandana untuk menutupi kepala botaknya itu mengibas-ngibaskan tangannya ke bajuku yang kini ternoda. Geez, aku harap kalimatku tidak terdengar seperti Bunga, anak ABG korban perkosaan yang muncul di koran lampu merah. Mulut pemuda itu terus bergerak, mengucap maaf hingga perhatianku teralihkan. Seharusnya, kejadian itu berlangsung cepat dan seharusnya, aku tidak kehilangan momen berhargaku. Tapi, saat aku mendongak, perempuan itu telah menghilang.
Dalam sekejap, dunia di sekitarku kembali normal. Tombol play kembali ditekan, Bach menghilang tak tahu ke mana, dan—tentu saja—akulah satu-satunya anomali di tengah hingar bingar ini.
"Maaf, Pak. Sekali lagi maaf. Saya bener-bener nggak sengaja."
Kuhempaskan tangan pelayan yang masih mencoba membersihkan bajuku lalu berusaha mengejar perempuan yang kini bisa kulihat punggungnya di balik pintu kaca. Aku tidak percaya hari sial. Buatku, itu cuma alasan orang-orang yang malas berencana, atau mungkin terlalu bodoh untuk merencanakan sesuatu. You know what? I do prepare my day perfectly. Tapi gara-gara kejadian ini, pikiranku terus saja mengutuk keapesan sore ini, terutama saat seorang gadis cantik dengan tubuh kurus tinggi bak model baru tenar membuat langkahku terhenti.
Perempuan ini, Nadhira, tersenyum lebar sambil melepas kacamata hitam yang bertengger nyaman di puncak hidungnya yang bangir. "Eli, maaf ya aku bikin kamu nunggu lama. Tadi jalanan macet. Biasalah, orang-orang kantor pada balik makan siang."
Nadhira memeluk pinggangku dan mendaratkan sebuah kecupan ringan di pipi sementara mataku masih mengawasi Aphrodite yang makin menjauh untuk mengejar lift yang terbuka. Sempat kulihat senyumnya mengembang saat berhasil masuk sebelum pintu lift tertutup. Mataku bekerja, merekam setiap detail sisa adegan yang berhasil menggetarkan satu sel abu-abu di dalam kepala, mengantarkan isyarat ke otak yang mulai mengawang, membayangkan bibir tipisnya terkembang dan matanya yang tampak bercahaya. Aku ketagihan.
"Kamu mukanya kok gitu sih? Bete ya gara-gara aku telat?"
Aku cuma diam tak menjawab dan memandangi wajah Nadhira yang menatapku dengan kening terlipat. Mata gadis berambut panjang itu memandangku lucu, menunggu jawaban, tapi tidak ada satu pun kata yang keluar dari mulutku. Memangnya, apa yang harus kukatakan? Kan tidak mungkin aku bilang kalau aku baru saja melihat perempuan cantik bermata indah yang membuatku penasaran? Jadi aku cuma diam, membiarkannya menebak-nebak dalam pikirannya sendiri.
"Eh, ini baju kamu kenapa? Kok kotor?"
Kubuang napas jengah.
"Ih, kamu beneran marah, ya? Ya udah aku minta maaf deh. Padahal aku yang ngajakin ketemu kamu, tapi aku malah telat."
Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, memindai setiap sudut, bangku, hiasan dinding ... apa saja, untuk meyakinkan diri sendiri kalau aku sedang tidak berhalusinasi. Costa Coffee—coffeeshop yang terletak di lantai dasar sebuah gedung perkantoran—telah kembali ke aktivitasnya. Pelayan berbandana menyembunyikan diri di balik mesin kopi. Booth di samping jendela telah diisi sepasang muda-mudi yang memadu kasih. Perempuan itu juga sudah pergi. Dan entah kenapa, seperti ada sesuatu di dalam diriku yang mengatakan kalau telah terjadi sebuah kesalahan. Seolah ada bagian yang hilang, yang bahkan tak pernah kusadari kehadirannya.
"Aku bayar ganti rugi, deh!"
Nadhira mengeratkan pelukannya. Mata cokelatnya mengerling manja membuat senyumku tak kuasa mengembang. Lidahnya bergerak pelan, membasahi bibir bawahnya yang tebal dan aku ... tentu saja bersorak kegirangan. Ehm, sejujurnya aku adalah pria baik hati dan tentunya aku tidak boleh menghancurkan harapan Nadhira untuk mendapatkan maaf karena terlambat, kan? If you know what I mean.
[...]
Atraktor asing: dalam Newtonian dan sains modern, atraktor digambarkan secara sederhana oleh bandul yang berhenti pada satu titik seimbang. Atraktor Asing memilki beberapa sifat 'asing' karena penampakannya yang asing dan memiliki dimensi tak terbatas. Yang paling terkenal atraktor Lorenz yang mendasari Butterfly effect. Tahulah pasti kalau efek kupu-kupu itu gimana
Dilatasi : pengembangan, pemekaran, pemuaian.
❇❇❇
Bekasi, February 22, 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top