: Siapa? Pecundang?

Narasi oh narasi😒😒 Maaf ya, gak tahu kenapa kalau nulis tuh kayak refleks aja bikin narasi😣😣

❇❇❇

It is by chance that we met, by choice that we became friends

~Henri Nouwen~




: Part Four :

~ 99 Hari Sebelumnya ~





"Kamu lagi?"

Nara menyapa ramah, dengan seulas senyum yang ikut-ikutan muncul di wajah saat melihatku yang —aku yakin—tampil cukup menawan dalam kemeja biru laut dan celana beige. Saat melihat senyumnya, aku berani sumpah kalau aku juga melihat kupu-kupu beterbangan di mata indah milik Nara yang sekarang menatapku sehangat mentari di awal musim semi.

Oh, lama-lama aku bisa betulan bertransformasi menjadi pujangga gara-gara Nara kalau begini. Uhuk.

"Kebetulan, ya?" sahutku ringan. Kalian tidak benar-benar percaya, kan? Ayolah, tidak ada kebetulan di dunia ini. Serendipity? Itu cuma judul film.

Tanpa permisi, aku langsung duduk di seberang booth-nya, di samping jendela—tempat yang sama saat kami akhirnya berkenalan dengan layak minggu lalu.

"Kamu ngikutin aku, ya? Om-om yang pake kaus kuning kan nggak ada hari ini, dan ... masih banyak kursi yang kosong juga," ledeknya disertai gelak tawa yang terdengar merdu.

Kalian tahu Lana del Ray? Penyanyi yang terkenal dengan self-styled dan suara sinematiknya itu? Rambut cokelat milik Lana seksi menurutku. Apalagi bibirnya yang tebal dan penuh, lalu matanya ... Oke. bukan itu! Aku mau bilang kalau aku suka West Coast dan cara Lana menyanyikan lagu itu seperti membawaku ke dimensi lain. Aku bisa jadi alkoholik, animal party, pemuja seks, tapi—tolong catat ini—aku sama sekali bukan pemakai dan tidak pernah sekali pun punya keinginan menyentuh barang biadab itu. Yah, kecuali kalau golongan benzodiazepine masuk hitungan. Hm, itu obat untuk membantuku tidur, by the way.

Meski begitu, aku yakin efek saat mendengar West Coast, sama seperti mereka yang nge-fly karena shabu. Oh iya, Tony beberapa kali mengonsumsi dan meracau seperti perawan mengalami malam pertama; berisik. Hari ini, aku memutuskan untuk berhenti mendengarkan Lana. Tahu kenapa? Karena kalau ditambah mendengarkan suara Nara, aku bisa mati overdosis.

Hell yeah! Another cheesy shot! Oh Nara, aku harap aku bisa memamerkan isi kepalaku di depan matamu. Kahlil Gibran, please say goodbye.

"Aku nggak ngikutin kamu, sih. Tapi aku emang dateng ke sini tiap hari. Nggak ada kebetulan di dunia ini dan berhubung aku bukan pemalas jadi aku cari kesempatan sendiri buat ketemu sama kamu." Kuletakkan full-leaf brewed tea yang kupesan di atas meja, berbarengan dengan decakan pelan yang keluar dari mulut Nara.

"Ehm ... itu lumayan lucu."

"Oh, makasih! Selera humorku emang lumayan bagus, tapi ... aku nggak bercanda."

"Hah?"

"Aku bohong!"

"Thanks God!"

"Aku bohong kalau dateng tiap hari. Tapi aku nggak bohong kalau aku emang nyari-nyari kesempatan buat ketemu kamu lagi."

Nara yang hari ini menguncir rambutnya—aku sampai menelan ludah melihat lehernya yang jenjang—membuka mulutnya sedikit, menggelang pelan lalu tertawa. Bisa kulihat deretan gigi putih terawat yang membuatnya semakin memesona berjajar rapi di sana.

Waktu kecil, Amma pernah menceritakan padaku dongeng tentang surga. Saat itu aku bertanya, apa di sana Tuhan akan mengijinkanku main gitar dan mendengarkan lagu-lagu James Taylor—aku sedang kecanduan main gitar waktu itu. Amma bilang, nyanyian surga itu jauh lebih indah dan akan membuat hatiku diliputi perasaan damai. Di sana juga banyak bidadari surga yang suaranya jauh lebih merdu dari Bonnie Taylor, penyanyi favorit Amma. Di usiaku waktu itu—sembilan tahun kalau tidak salah, aku jelas tidak mengerti. Tapi, membayangkan seorang wanita cantik, seksi, kulit putih mulus menyanyikan lagu seperti yang didengarkan Amma hampir setiap hari, tentu membuatku ingin merasakan surga. Memangnya, pejantan idiot mana yang tidak mau dininabobokan oleh bidadari, hah?

Aku melantur lagi. 

Begini, seandainya Amma masih hidup, aku ingin bilang padanya kalau aku tidak perlu menunggu sampai mati cuma untuk melihat bidadari. Di depanku, sudah ada satu dan aku ingin dia menyanyi untukku—hm, kalau perlu menjerit sekalian. Tahu kan, maksudku? Ah, untuk sementara, aku benar-benar harus menahan pikiran kotor berkeliaran di kepala laknatku yang tak sabar ingin mencicipi tubuh Nara.

"Kamu tuh emang...."

"Ya?"

"Hm ... gombal?"

"Sweet!"

"Cheesy!"

"Women used to cheese a lot."

Nara tertawa lagi, lebih lepas kali ini. Matanya berkilat cerah, menyihirku melalui mantra abu-abu yang pada akhirnya membangkitkan satu pertanyaan; bagaimana bisa wajah yang begini ramah dan selalu tersenyum bisa menampakkan ekspresi sedih seperti sore itu? Hal menyakitkan apa yang sekiranya membuat dia begitu terluka? Aku beberapa kali menonton film sedih seperti Dead Poets Society, Saving Private Ryan, Band of Brother, tapi tetap saja tidak ada yang bisa mengalahkan kesedihan Nara.

Di hadapanku, Nara—secara mengejutkan—terus bicara karena ternyata dia tidak sependiam kelihatannya. Dia cerita tentang bagaimana dia jatuh cinta dengan aroma kopi hitam sejak perkenalan pertama mereka di suatu sore yang gerimis. Ah, gerimis dan kopi, tidakkah itu melankolis?

Nara bilang, senyawa atsiri yang menguar dari roasting coffee yang baru diseduh, menghasilkan wangi yang khas. Menurutnya, bau kurang sedap dari senyawa peridem yang bercampur dengan fruity smell di dalam biji kopi, mengingatkannya pada hakikat hidup yang sebenarnya kalau hal-hal buruk akan selalu datang bersamaan dengan hal manis. Aku tentu saja tidak mengerti, tapi memangnya aku peduli?

Nara terus saja megoceh dan aku semakin terpikat dengan caranya bicara. Aku suka dengan caranya menyentuh leher, caranya menyimak setiap ceritaku, caranya memberikan tanggapan dengan sopan dan menyanggah dengan lembut. Dan semudah menyelesaikan hitungan satu tambah satu, semudah itu pula aku menyadari sesuatu; aku menginginkan lebih dari ini.

Beberapa miggu lalu, aku percaya kalau Tuhan lupa menyertakan kata 'cinta' dalam paket bahasa verbal—atau mungkin dalam DNA-ku. Konsep cinta yang kutahu adalah saat Amma menyentuh pundakku dengan kedua tangan kurusnya, lalu menatapku dan berkata, "Pisau bisa membunuh manusia dengan sekali tusuk, Eli. Cinta nggak akan membunuh, tapi membuat manusia ingin membunuh dirinya sendiri dengan cara paling cepat yang mereka tahu." Apa terdengar mengerikan? Percayalah, tidak seburuk itu.

Aku tidak pernah menyalahkan Amma karena paling tidak dia tidak pernah mencoba bunuh diri. Yah, meski setelah dewasa aku yakin kalau Amma memang tidak pernah benar-benar hidup. Di luar semua itu, aku tidak mengenal konsep cinta yang lain kecuali hasrat menggebu-gebu dan ledakan hormon yang bisa membuatku tersiksa sepanjang minggu kalau tidak menyalurkannya dengan cara yang tepat.

Mengerti maksudku? S-E-K-S. I'm talking about sex dan pria sepertiku tidak butuh getaran hebat di jantung, darah berdesir, kupu-kupu beterbangan di perut, chemistry ­dan semua omong kosong lainnya cuma untuk melepas endorfin pasca orgasme. Persetanlah dengan semua itu. Ngeseks ya ngeseks aja.

Did you got the point? Yes, I need to fuck her! I-NEED-TO-FUCK-HER!

Satu hal lagi; menurutku, bajingan mana pun yang menulis kalau seseorang belum merasakan cinta sebelum dia patah hati, harus melempar dirinya sendiri dari atas gedung. Tahu kan, tidak ada satu pun perempuan yang akan menolak saat aku, Elias, mendekati mereka, menawarkan tempat menginap di hotel berbintang dan—tentu saja—pelayanan memuaskan.

Sayangnya, semua kehebatan itu luntur dan tidak menghasilkan apa-apa saat aku berhadapan dengan wanita model Nara. Seandainya kalian mungkin bertanya-tanya dari mana aku mendapat kesimpulan seperti ini, kalian harus melihat apa yang tergeletak di atas meja sekarang. Sebuah buku bersampul merah dengan deretan huruf yang dirangkai membentuk kata A Brilliant Madness dan RM Drake di bawahnya. Sebuah buku yang tak akan pernah kusentuh, apalagi kubaca; buku puisi.

"Kamu nggak mesti jatuh cinta atau patah hati dulu buat baca buku semacam ini, kok," jelasnya, "ini kan nggak ada bedanya sama fisika quantum yang mempelajari subatomic cinta seolah partikel-partikelnya punya kesadaran sendiri, atau seperti tumbukan awan negatif dan positif yang menghasilkan petir. Kamu toh nggak harus kesamber petir dulu kan, baru percaya kalau percikan listrik itu emang ada? Percaya deh, El, buku-buku semacam ini tuh punya caranya sendiri buat menjelaskan betapa rumitnya konstruksi hati manusia."

Kalian dengar itu? Tahu artinya?

Aku cuma bisa melongo memalukan mendengar Nara yang antusias menjelaskan. Kalau sudah begini, bagaimana bisa aku mengatakan hal-hal seperti, "Hai, Nara. Aku punya voucher hotel mewah, loh. You wanna come?" Atau kalimat seperti, "Tahu bagaimana rasanya terbang ke surga tanpa harus mati lebih dulu?"

Percayalah, kalimat yang biasanya akan menjadi tiketku menuju tempat pembuangan sperma, cuma akan menghasilkan tamparan yang terasa panas di pipi bahkan setelah dikompres dengan air es. Lebih dari itu, harga diriku bisa betul-betul hancur karena ditolak di depan umum.

Kutelan ludah, membayangkan tamparan itu saja, nyaliku sudah berkurang setengah. Biasanya, aku mungkin tidak peduli, tapi ini Nara dan harusnya itu menjadi peringatan untuk mundur teratur. Harusnya, aku berusaha mencari celah untuk kabur, mencari pintu terdekat bertuliskan EXIT atau mengalihkan target ke perempuan lain. Tapi anehnya, yang kulakukan justru sebaliknya. Aku malah ingin semakin lama bertahan di sini dan mendengarkan Nara mengoceh tentang banyak hal yang tidak sepenuhnya bisa kupahami. Kalau saja aku punya mesin waktu, aku pasti sudah membekukannya di sini lalu merusaknya. Atau aku bisa menyimpannya di brankas dan membuang kuncinya ke laut.

Mungkin, dengan begitu dia akan menyerah padaku. Siapa yang tahu?

Tapi, angan-angan itu langsung rusak seperti badai tsunami yang menghancurkan bumi Serambi Mekah. Senyum indah Nara, tidak lagi untukku. Matanya yang bersinar juga tidak lagi memantulkan bayangan wajahku.

Mendadak, Nara berdiri, menyambut seorang pria berambut hitam tebal yang menutupi tubuh kurusnya dengan kaus oblong bertuliskan 'Metalica' dan celana jins biru tua yang bolong di kedua lututnya. Wait, apa ada konser reuni baru-baru ini? Tahun berapa sekarang? Oh, kurasa aku tidak akan kaget kalau menemukan Impala terparkir di luar.

Tanpa malu, pria ... ah, ralat! Tanpa malu, pecundang ini meraih pinggang Nara dan mencium pipinya yang seringkali merona setiap kali aku menggodanya. Dan seolah belum cukup pemandangan yang kulihat, Nara menegaskan, "Eli, kenalin ini Virgo, pacarku!"

Demi sopan santun, aku bangkit dari duduk dan berhadapan dengan pecundang buruk rupa itu. Tangannya terulur dan sungguh aku ingin menampiknya dengan cara yang sama saat mengusir lalat pengganggu. Tapi tidak. Seorang Elias terlalu berkelas untuk hal-hal rendahan semacam itu. Jadi, aku menyambut tangannya dan menggenggamnya erat, like a real gentleman.

"Virgo."

No! Jangan menampilkan senyum bodoh di wajahmu yang ... uppst. Aku bisa pastikan kalau senyum tolol itu akan lenyap dari wajahnya saat menemukanku dan Nara dalam keadaan polos tanpa busana sedang bergumul di ranjang. Dan hei, bolehkah aku memanggilmu pecundang, Pecundang?





[...]

Atsiri : minyak dari tanaman yang komponennya mudah menguap sehingga banyak yang menyebut minyak terbang.

Peridem : pelindung (kulit) epidermis selama pertumbuhan ketebalan di batang, akar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top