: One Fine Day :

Wait until it is night before saying that it has been a fine day

~Proverb~

❇❇❇





: Part Eight :






~ 74 hari sebelumnya, malam hari ~





"Ah, the sky!"

Nara berseru riang seraya menjatuhkan pantatnya di atas rumput lembab karena gerimis yang katanya romantis tadi sore, sementara aku cuma bisa meringis membayangkan bagaimana jeans-nya yang kotor akan menodai jok mobil nanti.

"O, come on, Nara! Kamu nggak mau kan pulang naik taksi. Sebelum jemput kamu, aku baru cuci mobil pagi-pagi." Aku berjongkok di samping perempuan yang sekarang malah tertawa mendengar omelanku.

"Eh, iya maaf. Tapi ... kamu kayak lagi baca puisi. Iramanya 'i', " ledeknya.

Dengar itu woi! Dasar pujangga sialan tak punya malu. "Ya, itu kan gara-gara kamu yang nyebar virus puitis."

"Tapi sayang ya, kamu nadanya datar banget kayak anak kecil lagi baca 'ini ibu Budi'."

Aku yang tersenyum sekarang sementara tanganku bergerak, mengambil bungkus rokok yang tersimpan di kantong jaket kulit yang kupakai. Kukeluarkan sebatang Dunhill dan kuselipkan di mulut, sebelum bergerak lagi mencari korek yang lupa kusimpan di mana.

"Menurut kamu, di sana ada berapa bintang?"

Huh, perempuan ini mulai aneh-aneh lagi. Satu menitku bisa bernilai jutaan dan harus kubuang sembarangan cuma untuk menghitung bintang? Shoot my head, Dear! Tuh tuh, Nara bahkan tidak melihat ke arahku karena pandangannya masih menembus angkasa yang menggelap ditelan malam. Huwooo ... aku puitis lagi. Beri aku selembar kertas dan pulpen, karena sepertinya aku bisa menulis buku kalau terus-terusan begini.

"Mm ... ada ratusan miliar di Bima Sakti, dan NASA memperkirakan ada sekitar lima ribu lima ratus galaksi. So ... nolnya banyak banget pasti. Shit, Nara! I'm a banker!"

Lagi-lagi perempuan ini tertawa, pelan, berkelas. Bagaimana aku tidak membayangkan suaranya mendesah kalau tertawa saja semerdu ini? Apalagi suasana di Bukit Gantolle sepi begini karena tempat ini memang sudah tutup sejak dua jam lalu. Tapi, bukan aku namanya kalau tidak bisa mendapatkan apa yang kuinginkan. Kalian pasti tahulah, kalau jaman sekarang semua bisa diatur dengan uang. BINGO! You know what I did!

"Oktilion. Ada dua puluh sembilan angka nol setelah satu." Perempuan manis ini menjawab datar.

"Seriously? Ayolah Nara, jangan bilang aku nggak romantis cuma karena nggak tahu ya ada berapa bintang di langit."

Nara memalingkan mukanya dan tersenyum menatapku. Matanya yang kelabu seperti bercampur dengan gelap, menimbulkan efek seperti defibrillator yang mengirimkan seribu volt listrik ke jantung.

Eh, apa ini? Perasaan macam apa yang membuatku seperti sesak napas begini? Terakhir kali dadaku berdebar ... shit, aku lupa. Oh, itu ... korek api? Akhirnya kutemukan juga benda sialan ini.Ada di kantong celana rupanya.

"Kamu ... benci nggak sama orang-orang yang dulu suka menghina kamu? Keluarga kamu? Orang-orang yang manggil kamu...."

Gerakan tanganku yang sedang morogoh kantong belakang celana terhenti. Bukannya mengambil korek, aku malah membenamkannya lebih dalam. Itu bukan pertanyaan sulit, kok. Aku bisa menjawabnya dengan mudah dan jawabannya adalah.... 

Apa? Aku mau jawab apa?

"Aku sibuk, Nara. Sibuk bertahan hidup sampai aku lupa caranya benci sama orang."

Kuhempaskan pantatku di atas rumput. Peduli setan dengan jok mobil yang baru bulan lalu kuganti. Aku membuang pandangan, menerawang jauh ke depan dan menghindar dari tatapan Nara yang mirip serigala haus darah. Kalau ini adegan romantis lagi, ini saat yang paling tepat untuk menempelkan bibirku di atas bibirnya yang kurang ajar menggoda. Aku akan melampiaskan semua nafsu yang selama ini kutahan sampai Nara kehabisan napas. Dan aku bersumpah, ini akan menjadi malam yang tidak akan pernah dia lupakan.

Sayangnya, bukan itu yang terjadi sekarang. Aku ternyata terlalu pengecut untuk membalas tatapannya yang seperti ingin mengorek kesungguhan dari jawaban yang tadi kuberikan. Lewat sudut mata, bisa kulihat dadanya yang bergerak karena menarik napas dalam, bersiap menyerang lagi.

Ayolah, Eli. Pikirkan sesuatu untuk keluar dari situasi ini.

"Apa yang kamu lakuin kalau suatu saat ... Ayah kamu muncul dan minta maaf?"

Punggungku menegak. Ada getar dalam suara Nara yang membuatku yakin kalau itu bukan untukku. Cara Nara bertanya membuatku berpikir kalau bukan jawaban dariku yang dia butuhkan, tapi dukungan. Dukungan dari orang yang—mungkin—bernasib sama.

Masih ingat Ahsley? Teman kuliah yang memberitahuku soal self defense mechanism? Dia juga pernah bilang kalau manusia itu mencerminkan satu sama lain. Katanya, kita cenderung tertarik dengan seseorang yang berpotensi menjadi cermin yang memantulkan perasaan dan emosi yang sama. Aku tidak mengerti tentu saja, tapi aku bisa menjelaskan apa yang sedang kurasakan sekarang. 

Ini sedikit rumit, jadi kuharap kalian bisa menyimak dengan baik.

Begini, saat aku menatap ke kedalaman mata Nara, aku merasa seperti ada cermin tak terlihat yang hadir di tengah-tengah kami. Cermin itu seolah membelah kami yang tunggal menjadi dua bagian simetris. Dan di antaranya, aku percaya telah terjadi sesuatu mahadahsyat yang akhirnya menyatukan kami menjadi utuh, seperti keberadaan roh yang mendialektikan Dua Dunia milik Plato dan menyatukan Satu Dunia-nya Aristoteles; seperti alfa dan omega yang awalnya dari ketiadaan dan berakhir pula pada ketiadaan, melahirkan budaya chemistry yang pernah kutolak mentah-mentah eksistensinya.

Tidak mengerti? Sama, aku juga.

Mudahnya ... ada yang terjadi antara aku dan Nara yang membuatku merasa kalau kami memang ditakdirkan bertemu untuk satu tujuan—entah apa. Kumohon, jangan tanya apa sebelum ini aku percaya takdir. Kalian tahu jawabanku!

Entah untuk berapa lama—rasanya sih seperti selamanya—tidak ada yang terdengar selain desahan napas yang membaur menjadi satu. Pandangan kami beradu, saling membelit, berkompetisi menjadi yang paling gesit. Ini saatnya. Aku seharusnya mencium bibirnya sekarang. Ini saatnya....

Aku pernah berfantasi, bercinta dengan seorang perempuan seksi di alam terbuka. Belum pernah kulakukan, tapi aku benar-benar ingin melakukannya. Dua bulan lalu, sebelum malam ini, kalau ada perempuan di depanku dengan situasi seperti sekarang, kupastikan akan langsung menelanjanginya, menubruknya hingga terlentang di rumput, menyetubuhinya dan menerbangkannya ke bintang seolah cuma ada kami berdua, persis seperti Adam yang ditipu ular pendosa dan menjamah Hawa di Taman Eden.

Anehnya, keinginan itu menguap entah ke mana, karena ternyata akulah yang pertama kali menyerah. Kutarik pandangan dan kubuang jauh ke awang-awang, ke tempat di mana langit dan bumi seperti tak lagi punya batas, ke tempat di mana kelip bintang dan lampu kota berbaur jadi satu tanpa cangung seperti yang kurasakan sekarang.

Dan aku berani sumpah, ini adalah ketololan terbesar yang pernah kulakukan.

Seolah mengerti, Nara juga melakukan hal yang sama. Dia menarik lutut dalam-dalam, menekan dadanya seperti baru saja menyadari hawa dingin menusuk kulitnya yang cuma dibalut kaus tipis.

"Kamu dingin?"

Tak perlu menunggu jawaban, kulepas jaket dan kupindahkan ke punggung Nara yang kini melengkung. Wajahnya yang memucat karena dingin itu kupandangi sekali lagi, sebelum kembali mengabsen bintang yang gemerlapan. Heuh, lama-lama aku betulan bisa memastikan total semua bintang.

Kuselipkan lagi rokok yang tadi sempat kulepas dari jepitan bibir saat beradu tatap dengan Nara. Asap tembakau yang terbakar kubiarkan memenuhi mulutku yang cuma bisa diam, sama seperti Nara yang juga diam karena larut dalam pikirannya sendiri. Dia menghanyutkan diri terlalu dalam seakan di sana dia bisa menemukan jawaban—entah apa—yang dia cari, atau mungkin sekedar lari dari perasaannya sendiri. Entahlah, aku juga tidak tahu pasti.

Tadinya, kupikir Nara akan tetap diam sampai-sampai aku menyiapkan rencana untuk membiusnya dan menyeretnya pulang. Malah, setan yang langsung kusumpal mulutnya sempat membisikkan siasat untuk menculiknya ke hotel sekalian. Lumayan untuk menciptakan drama. Siapa tahu si Pecundang akan marah dan hubungan mereka akan rusak. Ide bagus sih. Setidaknya, sampai Nara membuat semua pikiran jahatku buyar.

Persis setelah rokokku terbakar habis, Nara akhirnya membuka mulut dan mengalirkan cerita dengan lancar; cerita tentang seorang puteri yang hidup bahagia di istana, sampai dia melihat Sang Raja bercinta dengan seorang perempuan saat Sang Ratu tengah meregang nyawa.




❇❇❇






Kupandangi wajah Nara yang sedang bersandar nyaman di sandaran mobil, di sampingku. Mata yang biasanya bersinar itu tertutup rapat. Bibir tipis merah mudanya tidak melengkungkan senyum. Meski begitu, kecantikan tetap terpancar jelas di sana.

Kutelan ludah. Bagaimana tidak? Untuk pertama kalinya, aku bersama Nara, benar-benar bersama—tahu kan maksudnya—seharian, melihatnya menangis, tersenyum, tertawa, dan sekarang ... tidur. Bisa bayangkan bagaimana iblis-iblis sialan berkeliaran di kepalaku sekarang?

Fuck! Kadang aku bingung, dari materi apa sih kepalaku ini dibuat? Aku bukan tidak bersyukur, hanya saja ... seringkali aku jadi kerepotan sendiri menghadapi otakku yang bereaksi terlalu cepat melihat perempuan berdada besar dan berbokong indah melintas. Oh, Nara tidak begitu by the way. Dan saat tuduhanku menemui jalan buntu, libidolah yang akhirnya kusalahkan. Hei, aku kan tidak pernah minta diciptakan seperti ini. Aku cuma memanfaatkan aset yang dianugerahkan padaku. Aku anak baik, ya?

Oke, bukan itu masalahnya. The real problem is, I can't stop my fucking hand. Lihat, tanganku seperti bergerak sendiri saat menyibakkan beberapa helai rambut yang jatuh menutupi wajah Nara. Makin kurang ajar, tangan itu terus saja bergerak, mengusap rambut halusnya yang tergerai indah—pelan. Ehm, kita tidak ingin membangunkan putri tidur ini, oke?

Tak tahan karena tanganku seperti mengolok-olok bibirku yang sampai sekarang masih belum berhasil mencicipi kulit Nara, tubuhku ikut bergerak maju. Sambil menahan ledakan hormon yang membuat tubuhku gemetar, aku terus mendekat sampai wajah kami cuma berjarak beberapa senti. Sedekat ini, aku bisa mencium aroma tubuh Nara yang masih wangi. Hidungku sesak oleh perpaduan rose dan jasmine, lalu masuk ke paru-paru yang bersorak kegirangan. Makin tak bisa dikendalikan, setan-setan kecil sialan di kepalaku teriak-teriak minta didengar, minta dipuaskan.

Stop it, Elias!

Damn! Siapa itu yang bicara? Aku sampai tersentak gara-gara suara itu. Oh, juga panas di pipi seperti ada tangan tak kasatmata yang menamparku keras-keras. Sadar dengan kesalahan yang sedang kulakukan, kukembalikan tubuhku ke tempat yang seharusnya. Tangan kiriku bergerak, menyentuh sesuatu di balik celana yang mengeras.

Come on, Buddy! Don't do this to me!

"Errrgghhh ...."

Tak perlu menoleh, aku tahu kalau Nara sudah bangun. Dia meregangkan tubuhnya yang mungkin kaku sambil memerhatikan sekeliling.

Sialan! Kepalaku mulai membayangkan dia mengerang untukku.

"Eh, udah sampai ya? Kok aku nggak dibangunin?"

Percayalah, aku mengerahkan semua kemampuanku untuk menatapnya dan tetap terlihat wajar. "Kamu tidurnya pulas banget. Aku nggak tega mau bangunin."

Lihat, dia tersenyum! Selangkanganku sampai berkedut melihatnya.

"El?"

Perutku mulai mual. Sialan, sialan, sialan!

' "El, kamu nggak apa-apa?" Nara menyentuh bahuku pelan. Terhalang kain pun, aku bisa merasakan sentuhannya menembus kulit. Seprtinya aku sakit.

Say something, Elias! Don't be stupid! "Aku nggak apa-apa."

"Yakin? Kamu beneran nggak apa-apa?"

Dari semua hal yang sudah kamu lakukan, harus banget ya kamu mengulang-ulang pertanyaan konyol itu? Jelas saja aku kenapa-napa, Nara. Aku menginginkamu, tapi kamu tidak pernah mengerti atau ... terlalu naif untuk mengerti.

"Iya, tenang aja, Nara. Aku cuma capek." Akhirnya, jawaban itulah yang kuberikan.

"My fault. Maaf ya, aku udah ngerepotin seharian," sesalnya membuatku malah jadi serba salah. Aduh, perempuan ini. Tidak bisakah dia berhenti membuatku tampak seperti orang tolol?

"No no no! Bukan itu maksudnya."

Nara melempar senyum—akhirnya, senyum yang kusuka. "Aku tahu kok. Ya udah aku masuk ya. Makasih banyak buat hari ini. It's a...,"—sejenak Nara diam, tampak memikirkan sesuatu—"It's such a really good day."

"Sama-sama, Nara."

Kuberikan senyum terakhir, mengiringi Nara yang membuka pintu mobil. Melalui jendela yang turun setengah, kupandangi perempuan paling membingungkan yang pernah kukenal itu semakin jauh, sebelum akhirnya menghilang di balik pintu sebuah rumah minimalis bercat biru.

Kuembuskan napas kuat-kuat, melepas semua ketegangan yang membuat otot-ototku terasa ngilu—my dick too, "Hufft, hampir saja."

Kutempelkan kening ke kemudi, seolah sumber oksigen yang kubutuhkan untuk membuat jantungku kembali normal asalnya dari situ. Aku baru saja berniat memutar kunci saat suara ketukan di jendela membuat gerakan tanganku terhenti. Nara kembali, berdiri di samping mobil bersama sesungging senyum manis.

"Aku lupa bilang," katanya, "sleep tight. Langsung istirahat dan jangan sampe sakit gara-gara capek. Kalau kamu sakit, besok nggak ada yang nemenin aku minum kopi."

Kalian lihat kan, bagaimana perempuan ini selalu membuatku gemas? Dia kembali cuma untuk menyampaikan hal kecil seperti ini. Hal kecil yang bisa menghidupkan generator di dalam kepalaku, mengalirkan arus ke setiap sel dan menyalakan lampu-lampu kecil, sampai-sampai mukaku bersinar seperti petromax.

Aku berlebihan, ya? Bodo amatlah. Rasa senang ini memang berlebihan, kok.

Aku berani bertaruh, Nara bahkan tidak tahu kalau setiap hal manis yang dia lakukan bisa membuatku kecanduan. Tahu kembang api, kan? Bukan jenis kembang api besar yang meledak di atas, tapi jenis sparklers yang sering dimainkan anak-anak kecil. Pernah mendekatkan telapak tangan saat kembang api itu menyala dan kena percikannya? Sakit—tidak terlalu sih—tapi menyenangkan. Nah, sekarang bayangkan itu meledak di dalam tubuh kalian, meletup-letup sampai timbul sensasi ketagihan yang membuat kalian tidak ingin berhenti. Itu yang kurasakan sekarang, dan aku tidak peduli kalian akan meledekku lebay atau semacamnya.

Kemarin malam saat Nara menghubungiku, aku berniat untuk memanfaatkan kesempatan sebaik mungkin dan memberinya kejutan dengan bersikap manis. Tapi ternyata aku gagal. Tahu kenapa? Alih-alih membuatnya terkesan, justru Naralah yang ... ehm, mengejutkan? Dia membuatku tertawa, tersenyum, merenung, dan seperti pertunjukan komedi romantis, dia menutupnya dengan manis, membuatku lupa dengan kenangan yang tadi hampir saja menyeruak ke permukaan.

Malam itu, ditemani Frank Sinatra dengan The Way You Look Tonight-nya, aku mabuk. Bukan karena Cabarnet Sauvignon berusia empat belas tahun yang sekarang tersisa sedikit di gelas, tapi gara-gara sesuatu yang menggebu di balik dadaku. Sisa malam itu, kusiksa diri sendiri dengan kenikmatan yang cuma bisa kurasakan saat mataku tertutup rapat; kenikmatan karena membayangkan wajah Nara yang terus menjalar, menyebar, dan mengendalikanku seperti Trojan.

Untuk kesekian kalinya, Nara membuatku klimaks bahkan tanpa menyentuhku.




[...]

Bekasi, March 07, 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top