: Namanya Nara :
👆👆mukanya Nara. Hati-hati, banyak ranjau di sini. Mohon kebijaksanaannya
😇😇
❇❇❇
What's in a name? That which we call a rose. By any other name would smell as sweet.
~William Shakespeare~
: Part Two :
~ 116 Hari Sebelumnya ~
Aku mengisap Dunhill fine-cut dalam-dalam, menahannya sebentar, lalu mengembuskan asapnya pelan-pelan. Bisa kurasakan sedikit sensasi strong dan nutty yang tertinggal di mulut begitu semua asapnya keluar.
"Hei, Big Dick. Kamu kok sendirian sih di sini? Mau lanjut yang kayak tadi nggak?" Seorang wanita yang aku lupa namanya datang menghampiriku yang sedang menikmati pemandangan malam Jakarta dari ketinggian. Ehm ... kami ada di lantai empat belas, omong-omong.
Kugedikkan bahu, lumayan pelan, cukuplah untuk membuat perempuan berambut ombre itu menyingkirkan gelendotannya padaku. Kalau bukan karena rasa terima kasih pada perempuan yang sudah memuaskan nafsuku beberapa menit lalu ini, aku pasti sudah mengeluarkan ultimatum agar dia berhenti mengekoriku.
Tidak ada yang salah dengan wanita itu sebetulnya. Dia cukup seksi kok. Malah dalam penilaianku yang lumayan pemilih meski untuk sekedar one night sex, dia mengantongi poin sembilan skala sepuluh. Dada gede, pinggul aduhai, perut kencang, paha perfect, kaki jenjang, muka oke, bokong agak kendor sih sedikit, tapi overall mantaplah. Hormonku bahkan langsung menyodok-nyodok selangkangan sejak pertama kali melihatnya berdiri menantang dalam balutan sleeveless sequined backless dress warna merah wine yang menempel ketat di tubuhnya. Mendapat tawaran seperti itu, pria sehat mana yang akan menolak?
Ingat saat aku bilang kalau aku tidak menaiki perempuan yang sama dua kali? Ini pelajaran untuk kalian dariku; jangan buat perempuan percaya kalau akan ada masa depan yang indah untuk kelangsungan hubungan kalian. Rumus pertama, buat mereka meminta dan pastikan mereka mengucapkannya. Mengerti maksudku? Kedua, dan ini paling penting, selesaikan dengan manis lalu menghilanglah. Percaya padaku, tidak ada seorang pun yang mau dikejar-kejar perempuan banjir libido yang menuntut kejelasan. Oh, women please, it's just a sex! Masa depan? Buang jauh-jauh!
Baiklah ... baiklah! Selalu ada pengecualian, termasuk untukku. Ingat Nadhira? Damn! Dia cool banget dan bukan tipe perempuan kolot yang disentuh sedikit langsung minta dipacari. Aku ingin cerita lebih banyak tentang perempuan itu, tapi aku betulan tidak ada waktu karena perempuan menyebalkan ini sedang menggerayangi punggungku sekarang.
"Ehm, sebetulnya aku agak capek, Babe. Tapi, mungkin kita bisa minum sama-sama."
Aku sudah tidak tertarik lagi—sungguh—tapi aku juga menjunjung tinggi kesopanan, tidak seperti pria berengsek yang bisa bersikap kasar cuma karena merasa terganggu, apalagi kalau aku ingat tingkahnya yang benar-benar seperti slobbery brut saat melakukan oral tadi. Huft, dia hampir saja membuatku kewalahan. Jadi, kurasa sebotol whiskey layak untuk mengapresiasi kemampuannya yang luar biasa.
"Kamu tunggu di sini, biar aku ambil minum, ya?" tawarku pada.... O, Shakespeare bilang, apalah arti sebuah nama.
Tanpa menunggu jawaban, aku melenggang santai melewati kolam renang yang dikotori tubuh-tubuh setengah bugil karena teler. Hampir dua bulan sekali, Mike, si tuan rumah, langganan mengadakan wild party semacam ini. Sebetulnya aku juga tidak terlalu kenal dengan Mike yang—katanya—model itu, karena Tonylah yang pertama kali mengajakku ke sini awal tahun kemarin. Aku sendiri tidak ambil pusing selama gigolo itu—I think so—menyediakan tempat untuk mabuk dan pesta ganja, gratis!
Bicara soal Tony, aku sendiri yakin kalau sahabatku itu sekarang pasti getting a room sama entah siapa. Mungkin threesome? Pria Batak murahan itu kan doyan yang aneh-aneh. Minggu kemarin dia malah merelakan dirinya diikat di pole bar dan jadi keroyokan para striptease dancers yang disewanya. Gila memang anak itu. Aku khawatir kalau suatu saat dia benar-benar tergoda untuk dijadikan bottom para gay saking penasarannya.
Waktu aku sampai di bar yang letaknya persis di pinggir kolam apartemen mewah milik Mike, bartender-nya sudah menghilang entah ke mana, mungkin dia ikut ambil bagian dari orang-orang yang nge-fly dan having sex tanpa malu. Aku sih cuek, toh aku tidak butuh bantuan untuk meracik minuman karena aku bisa melakukannya sendiri. Saat aku kuliah di Inggris, aku pernah jadi bartender paruh waktu di sebuah club kalau mau tahu.
Niat awalku mengambil whiskey kuurungkan begitu melihat sebotol red wine yang masih utuh, juga mempertimbangkan pipiku yang mulai kebas karena vodka polos tadi. Saat sedang sibuk mencari gelas, sloki, atau apa pun untuk menikmati minuman nanti, saat itulah ekor mataku menangkap sosok yang sangat familier; perempuan bermata kelabu.
Mendadak tubuhku kaku seperti baru saja terkena sengatan listrik ribuan volt saat melihat perempuan berambut hitam panjang itu berjalan ke arah pintu keluar. Aku memang setengah mabuk tapi aku cukup sober untuk mengenalinya. Perempuan yang tampak manis dengan full skirt dress warna biru itu terlihat tidak sabar menunggu pintu lift terbuka.
Lift
Lift
Lift
Oh, shit! Aku memaki dalam hati. Entah kekuatan apa yang akhirnya mendorong kakiku untuk langsung berlari menembus pintu geser yang hanya terbuka setengah ke arah lift yang kini sudah menutup. Kuamati angka merah di kotak besi itu dengan seksama, menebak-nebak dengan cemas ke mana kira-kira tujuan perempuan itu. Dan saat aku merasa cukup yakin, aku langsung menuju lift yang satu lagi dan tombol ke bawah dengan panik. Ayolah, aku tidak ingin kehilangan lagi.
"Come on ... come on ... come on."
Tanpa pikir panjang, aku langsung melesak ke dalam lift begitu pintunya terbuka. Sepanjang perjalanan menuju lantai bawah, aku terus menghentak-hentakkan kaki tak sabar. Sebetulnya, aku sendiri tidak yakin apa yang membuatku penasaran sampai seperti ini. Mata sendunyakah? Wajah sedihnyakah? Parasnya yang manis? Ah, sial! Bahkan setelah sekian lama, bayangan wajahnya yang sedang menangis itu masih terbayang jelas di dalam kepalaku.
Tergesa-gesa, aku langsung mencari perempuan itu begitu sampai di lobby, memindai setiap sudut, berharap menemukan sosoknya yang sudah membuatku bertindak sampai sejauh ini.
No! Apa yang lo lakuin, Elias? Lo bahkan nggak tahu dia siapa.
Tanpa bisa kucegah, lagi-lagi pikiranku memaki kebodohan yang mulai tak terkendali. Kepalaku ruwet, dadaku berdebar antara efek setengah berlari atau khawatir perempuan itu berlalu pergi. Dan kelegaan luar biasa langsung terasa saat mataku mendapatkan apa yang dicari.
Setelah menarik napas panjang untuk menenangkan debaran jantungku yang terlalu cepat, aku pun meyakinkan diri untuk mendekat dan menyapa perempuan cantik itu. "Lagi nunggu taksi?"
Sedikit tersentak, perempuan itu menoleh padaku dengan tatapan bingung yang terlalu kentara. Mungkin heran karena melihatku yang tanpa malu tiba-tba menghampirinya yang sedang berdiri di depan lobby.
"Mmm ... iya." Ragu-ragu dia menjawab.
Aku tersenyum. Lancang, mataku refleks memindai perempuan yang tampak tidak peduli padaku itu. Mata almond dengan iris abu-abu gelapnya dibingkai alis yang melengkung rapi. Tulang pipinya tampak jelas dan pipinya yang sedikit tirus membuat hidungnya tampak semakin lancip. Bibirnya yang tipis tapi sedikit tebal di bagian bawah itu juga terlihat pas di wajahnya yang cenderung oval. Cuma dari wajahnya, aku tahu kalau dia adalah tipe perempuan manis yang bisa menangis berhari-hari saat tak sengaja menabrak seekor kucing sampai mati. Pertanyaan berikutnya yang muncul di kepalaku adalah; bagaimana bisa tipe perempuan seperti ini bisa berada di orgy party Mike?
"Malam masih muda, kok udah buru-buru pulang?" pancingku lagi. Tapi perempuan itu hanya menaggapiku dengan senyum sopan. Dan saat dia sadar kalau aku tengah menilainya, buru-buru dia memalingkan muka. Takut terpesona, hei nona manis?
Oke, ini nggak akan berhasil, Elias. Batinku memberontak lagi. Kuputar mata, berpikir bagaimana cara menyambung pembicaraan dengan perempuan tidak biasa ini, karena entah bagaimana aku yakin kalau kalimat-kalimat cheesy tidak akan bisa menarik perhatiannya. Dia kan bukan tipe perempuan seperti Nadhira yang bisa langsung diajak ke kamar tanpa dirayu.
"Udah dipanggil taksinya?"
Oke! Aku mulai terdengar putus asa sekarang. Bagaimana tidak? Ini aku, pria paling diinginkan abad ini, Elias Magnus Hales. Pria yang bahkan tak perlu merayu wanita mana pun untuk kuajak tidur. Sementara sekarang, aku harus memutar otak cuma untuk sekadar ... ngobrol? For god sake!
"Udah kok." Wanita itu menjawab pelan—akhirnya—dan masih tak mau menoleh padaku. Aku mulai geregetan, sumpah! Ingin sekali kutarik wajah perempuan menggemaskan itu agar menoleh padaku dan kupastikan bibirnya akan langsung tenggelam dalam lumatan bibirku yang mematikan.
"Rumahnya di mana? Mau saya—"
"Ah, itu taksinya dateng!"
Aku mendengus. Sungguh, belum pernah aku sekesal ini cuma karena perempuan. Aku merasa seperti baru saja ditelanjangi, digoda habis-habisan, lalu dibiarkan begitu saja tanpa diberi kesempatan untuk menunjukkan kegagahanku. Tapi dasar otakku yang tak tahu diri, masih saja kukejar perempuan yang kini sudah duduk di dalam taksi.
"Aww...!" jeritku keras karena nyeri yang menjalar ke sekujur tubuh saat tanganku berusaha menahan pintu taksi yang hampir tertutup sempurna.
"Eh, maaf! Ngak apa-apa? Aduh saya nggak sengaja. Lagian mau ngapain, sih?"
Dengan kening berkerut, kukibaskan tanganku untuk mengurangi ngilu sembari menggigit bibir bawah, menahan senyum. O, kalian harus melihat ekspresi paniknya yang benar-benar lucu.
"Sepertinya tangan saya belum mau kehilangan kamu," rayuku yang langsung saja kusesalkan dalam hati. Too cheesy!
"Hah? Ehm ... maaf saya harus pergi."
"Nggak ada nomor telepon? BBM? Whatsapp? Skype? Anything?"
"Maaf, selamat malam."
"Wait, wait, wait! Nama? Please?"
Berapa kali aku mengutuk malam ini? Gengsiku benar-benar sudah pergi, bersamaan dengan ego yang selama ini kutempatkan tinggi-tinggi. Berengsek-berengsek begini, aku tidak pernah loh sebegininya mengejar perempuan. Biasanya, justru merekalah yang tertarik lebih dulu dan aku cuma memanfaatkan kemujuran nasib yang kumiliki; muka setengah bule dan tentu saja ... normal.
Kutatap perempuan itu penuh harap. Dadaku cemas, pikiranku juga mulai berontak dan menyalahkan sikapku yang membangkang atas logika. Tapi dengan cepat kegugupan itu hilang saat bibir yang dipoles lipstick merah milik perempuan itu mulai bergerak.
"Nara. Nama saya Nara."
Senyumku mengembang samar, merasakan sesuatu dalam tubuhku yang tiba-tiba menghangat. Oh, salahkan alkohol yang membuat reaksiku terlalu berlebihan. Ya, aku yakin, vodka yang menyatu dalam darahlah yang membuat hormon kelelakianku bertindak kurang ajar sekarang. Mereka mendesak-desak dan membuatku kewalahan sampai nekat merendahkan diri cuma untuk sebuah nama.
Kupandangi taksi yang menjauh, meninggalkan pelataran apartemen mewah yang dibangun di tengah kota. Taksi itu pergi, membawa seseorang yang baru saja menciptakan obsesi baru dalam diriku. Aku yakin, suatu saat nanti aku akan mendapatkan Nara, membuatnya bertekuk lutut, memohon dengan sangat agar aku memuaskan nafsunya.
[...]
Bekasi, February 23, 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top