: L.O.V.E :
Maaf ya, lama banget updatenya. 😅😅 Saya lagi sibuk main the sims sama smule #eh. Nggak ding. Nggak salah lagi🙈🙈
Ini bab 12 Om Eli, semoga nggak kecewa ya😊😊😊
☝☝ di mulmed lagu lama fenomenal. Di cover bolak balik sama banyak penyanyi top termasuk Michael Buble sama Joss Stone.
❇❇❇
: Part Twelve :
~ 11 Hari Sebelumnya ~
“Nara, aku benar-benar minta maaf. Harusnya aku cek lagi. Ini gara-gara Tony yang salah bikin reservasi.”
“Nggak apa-apa, El. Serius deh.”
“No! It should be your special dinner. It’s your birthday for God sake!”
Aku kesal. Luar biasa kesal. Begini, besok itu ulang tahun Nara dan aku bilang ingin mengajaknya makan malam. Aku sudah menyiapkan semuanya, sebuah makan malam romantis di Chateu Blanc. Tahu restoran itu? Itu French Dining yang lumayan private di daerah Senopati, dari luar terlihat seperti rumah biasa—kecuali beberapa valet dan security di pelataran—tapi di dalamnya akan ditemukan restoran dengan interior klasik, glamor, anggun dan tentunya artistik khas Eropa. Aku sudah minta Tony melakukan reservasi dari seminggu lalu, tapi dasar idiot mesum yang otaknya cuma setengah, dia malah salah melakukan reservasi ke minggu depan.
Bayangkan, di mana harus kusimpan harga diri di depan Nara saat kami dengan santainya masuk sementara mereka bilang kalau reservation-nya minggu depan?
“Bajingan tolol itu nggak bakal selamat,” omelku sambil memukul setir saking kesalnya. Tapi dasar Nara, dia malah tertawa. Apa-apaan, hah?
“Udahlah, El. Dari awal juga aku udah bilang kan, nggak perlu dinner mewah kayak gini. Lagian, harusnya tuh aku yang traktir bukannya malah kamu.”
Nara masih saja tertawa dan aku makin marah. Kepalaku sekarang juga mulai sibuk berpikir bagaimana caranya menyeret sialan pembuat masalah itu dan melemparnya ke sekumpulan para gay. Biar tahu rasa dia karena sudah membuatku malu bukan main.
Kuembuskan napas penuh amarah.
“El….”
Aku masih diam. Bagaimana tidak, aku sudah membayangkan suasana romantis dan sekarang aku bahkan tidak punya rencana cadangan. Sial, aku belum pernah seperti ini sebelumnya.
“Elias!”
“Ya.”
“Ayolah. Nggak mungkin juga kita terus-terusan di sini, kan?”
“Kita cari tempat lain aja, ya. Aku lagi mikir nih kita mau ke mana.”
“Aku yang pilih tempatnya. Dan aku yang traktir.”
“No! Nggak bisa! Mau bikin aku semalu apa lagi kalau kamu yang bayar.”
“It’s my birthday.”
“I don’t care. Cuma pecundang yang ngebiarin perempuan bayar makanannya.”
Nara tertawa lagi. Biasanya aku akan menikmati suara tawanya yang merdu, tapi kali ini … ahh, sudahlah.
“Oke, kalau gitu kita pulang!”
Alisku terangkat sebelah. Dia bilang apa? Pulang? Hell no! Susah payah aku meyakinkan Nara untuk makan malam di luar dan sekarang dia bilang mau pulang?
“Nggak mau! Ya udah deh, kamu yang pilih tempat … aku yang bayar.”
Nara semakin tertawa. Apanya yang lucu, sih?
“Rencana kamu apa, sih?”
“Aku mau kasih sesuatu yang berkesan buat kamu, Nara. This is your special day and I wanna be—“
“Ya?”
“I … I wanna be….”
Apa kalian pernah merasa serba salah karena terlalu terbawa emosi sampai tidak sadar dengan apa yang kalian bicarakan? Percayalah, aku jarang mengalami hal seperti ini. Aku selalu memperhitungkan setiap hal yang kulakukan atau apa pun yang keluar dari mulutku—itu yang membuatku bertahan sejauh ini dengan reputasi excellent di mata para wanita. Tapi, kali ini, aku…. Aku benci mengakuinya; aku mati langkah!
Dan Nara, jelas tidak puas dengan reaksiku yang cuma diam. Oh, lihat mata abu-abunya yang menuntut, selalu begitu, sementara aku cuma bisa membuka mulut seperti anak laki-laki yang pertama kali melihat film porno. Damn!
Di depanku, Nara yang malam ini tampil manis dengan no make up-make up menarik sudut bibirnya sedikit hingga terlukis senyum yang luar biasa memikat. Seketika, sesuatu di dalam tubuhku terasa hangat. Senyumnya seperti memiliki tangan-tangan tak nampak yang mampu menembus langsung ke balik dada dan menahan hatiku yang kecil ke dalam genggamannya.
“El….”
Suaranya … ya, Tuhan. Aku seperti bocah yang dinina-bobokan.
“El … kamu nggak perlu ngajak aku dinner di tempat eksklusif kayak gini cuma buat menciptakan sesuatu yang istimewa.”
“Cuma ini cara yang aku tahu, Nara.”
“Oh, ya? And it worked for your women?”
“No! Ini ... ini pertama kalinya aku ngajak perempuan dinner, you know … the real dinner.”
Sejenak Nara diam. Tatapannya yang tadi menuntut mendadak berubah menjadi tak terbaca. Selama ini, aku yakin kalau aku cukup mengenal berbagai macam perempuan. Mereka selalu punya cara sendiri untuk mengungkapkan isi hatinya. Misalnya cara mereka menyimak, pupil matanya yang membesar, jarinya yang mungkin tidak bisa berhenti menyentuh sesuatu dengan gerakan terkontrol, itu artinya mereka tertarik. Tapi Nara? Dia menatap langsung ke mataku tanpa canggung, lembut tapi tidak menggoda, tajam tapi tidak menyudutkan.
Dan aku tahu, inilah cara Nara mencari kebenaran dari setiap kata-kata yang kusampaikan. Alih-alih mencari tahu, Nara lebih suka aku yang memberi tahu.
“So … It’s not my special night. It’s yours.”
Aku tidak salah dengar, kan? Kalau perempuan lain yang mengatakan hal seperti ini, aku pasti akan langsung mencari hotel terdekat. Ayolah, apalagi yang ada di pikiran pria dan wanita dewasa yang sedang berduaan. Tapi kalau keluar dari mulut Nara. Benarkah?
“Nara….”
“Kita pulang!”
“Hah? Ta-tapi….”
“Trust me!”
Trust me, katanya? Apa maksudnya? Apa yang direncanakan Nara di rumah? Menelanjangiku? Apa aku baru saja digoda oleh Nara? Nara? Nara?
***
Apa aku pernah bilang kalau perempuan itu rumit? Ada ratusan buku, tutorial, artikel yang membahas soal mengenal perempuan, mulai dari sifat, cara mereka bicara, bahkan bahasa tubuh. Percayalah, aku ahli soal yang terakhir. Cuma dalam beberapa menit, aku bisa menebak saat mereka mulai tertarik, atau tidak sama sekali. Aku tidak perlu memberi tahu kan, kalau kebanyakan perempuan pasti tertarik padaku. Come on, I got style, I got face and money for sure.
Dan aku selalu yakin, aku bisa menyenangkan perempuan. I really meant what I said.
Setidaknya, sampai aku mengenal Nara.
Nara bisa jadi terprediksi, mudah ditebak. Tapi, kadang dia bisa jadi sangat tak terduga. Nara seperti menyimpan banyak kejutan yang cuma menunggu waktu untuk ditunjukkan. Aku sempat berpikir kalau aku bisa membaca Nara dengan baik, nyatanya sekarang dia membuatku ragu; benarkah aku cukup memahaminya atau Nara sendiri yang membiarkanku melihat apa yang ingin dia tunjukkan. Faktanya, aku tak pernah benar-benar tahu.
Seperti malam ini. Setelah akhirnya menyerah—aku seperti pria penurut yang tidak bisa menolak keinginan Nara—kami pulang ke rumahnya. Tadinya, kupikir kami akan melewatkan malam begitu saja. Ternyata aku salah. Nara memasak! Goddamnit, belum pernah ada perempuan memasak untukku.
Tidak ada yang istimewa memang. Tidak ada anggur, lilin, lampu remang-remang—ayolah ini bukan film—dan cuma makanan biasa. Umm … maksudku sayur asam, ayam goreng dan sambal yang … aku harus komentar apa? But, the date is not the date until you get the right person, right? And, Nara is my perfect date.
“Nggak kayak bayangan kamu, ya? Sorry ya cuma bisa ini. Not special at all,” sesal Nara sambil menaruh potongan ayam ke atas piring. Jujur saja aku bingung. Bukan karena menunya, tapi karena perlakuan Nara. Apa dia selalu seperti ini pada semua pria, atau aku yang menanggapi terlalu berlebihan?
“No. Kata siapa?”
Perempuan yang masih memakai sleeveless lace dress berpotongan A-line warna tosca itu melirikku sekilas sebelum terkekeh pelan.
“Ayolah, El. Aku tahu kamu pasti jarang makan masakan rumahan gini, kan?”
“Umm … ya sih….” Aku menjawab pendek.
Mata Nara yang berkilat mengawasiku yang tengah memasukkan suapan pertama ke mulut, menunggu reaksiku. Dan … oke, apa yang kuharapkan? Aku tidak bisa bilang itu luar biasa, tapi memang enak. Tidak seperti yang dijual kebanyakan, buatan Nara sedikit manis tapi feels so fucking good.
“Gimana?”
“Enak.”
Nara tersenyum luar biasa manis. Kalau begini, aku bisa-bisa kena diabetes.
“Boong! Kamu cuma mau bersikap manis, kan?”
“Kok? Aku serius, Nara. Ini enak beneran. Kalau aku harus makan ini tiap hari, aku mau.”
“Oh, ya? Tiap hari?”
“Iya. Kamu mau masak apa pun aku bakal abisin, bahkan kamu buat ini tiap hari pun aku akan tetep abisin. I’m not joking.” Aku menyahut cepat sampai Nara melongo dibuatnya. Memangnya, apa yang salah?
“Maksud kamu?”
“Ya?”
“Kamu … mau makan masakan aku tiap hari?”
“Mau!"
“Iya, maksudnya….”
Damn! Salahkan trojan! Salahkan trojan yang menginfeksi pikiranku, mengacaukan saraf-saraf di otakku sampai aku tidak sadar dengan semua sialan yang barusan keluar dari mulutku.
“Oh … itu…. Ehm….”
Kutelan ludah. Seperti mengerti, Nara tidak bertanya lagi dan membiarkanku menyantap makananku. Kami akhirnya mengobrol soal hal lain; tentang pekerjaannya yang membosankan, tentang kakak laki-lakinya yang tinggal di Bali dan menjadi pelukis, juga tentang kesukaannya pada buku sejak kecil.
Saat aku menyarankan Nara untuk keluar dan mencari pekerjaan yang dia suka, dia cuma tertawa. Dia bilang, kadang hidup menuntut manusia untuk tetap berpikir logis.
“When life didn’t give what you love, then try to love what you’ve got,” ujarnya pelan sambil menerima piring yang kusodorkan. Well, itu piring keduaku ngomong-ngomong.
“Lalu idiot mana yang nulis ‘live your life’ kalau gitu?”
“Cuma perbedaan cara berpikir aja dan kupikir nggak ada yang salah soal itu. Kayak aku sama kamu. Kita punya pandangan yang beda banget soal gaya hidup, tapi bukan berarti aku lebih benar dan kamu salah atau sebaliknya. Kita sama-sama mencari, iya kan?”
“Aku nggak—“
“Belum!”
Aku terkesiap. Pikiranku mulai berontak, memikirkan apa yang sedang kulakukan sebetulnya.
“El?”
“Ya?”
“Pernah nggak kamu mikir kalau suatu saat kamu ... harus berhenti?”
“Berhenti?”
“Berhenti lari. Berhenti kabur.”
"Aku nggak ngerti maksud kamu."
"Kamu ngerti kok, cuma ... kamu nggak pernah mau tahu."
Kuhela napas. Masih sisa beberapa suap di atas piring, tapi tanganku cuma diam. Kuangkat kepala untuk menatap Nara yang masih mencoba mengulitiku. Dia seperti pisau, yang berusaha membuka selapis demi selapis hidupku yang kupikir tak pernah berarti.
Nara benar, aku memang tidak pernah peduli.
“Kadang …”—dia mencoba bicara lagi—“aku juga pengin berhenti.”
Masih sempat kulihat senyumnya yang tipis sebelum Nara menundukkan kepala dan kebali fokus pada makanannya. Kami tidak banyak bicara lagi setelahnya, cuma menikmati makan malam dengan diam. Entah apa yang berseliweran di kepala Nara sekarang. Aku sendiri sibuk berdamai dengan gelisah yang mendadak muncul di kepalaku—entah dari mana asalnya—sembari menenangkan dadaku yang mulai bergemuruh.
Untuk pertama kalinya, aku ingin berhenti berlari. Aku ingin memiliki suatu tempat untuk membuat kata ‘pulang’ tak lagi menjadi sebuah ironi.
“Enak kan lagunya?”
Aku mengangguk pelan saat Nara melintas di depanku yang sedang duduk di bangku di halaman belakang. Perempuan itu menjatuhkan pantatnya di sebelahku, setelah sebelumnya dia marah-marah saat aku bersikeras membantunya membereskan sisa makan malam. Dia bahkan menendangku keluar dari dapur sampai aku harus menyingkir ke sini, sebelum akhirnya kudengar irama swing lumayan keras dari dalam.
“Iya, enak. Lagunya siapa? Aku baru denger. Aksennya nggak kayak bule. Lokal?”
“Mocca. Pasti nggak tahu. Band lama padahal..”
Aku terkekeh malu. “Aku nggak tahu ada band lokal yang ngusung irama kayak gini.”
“Nggak semua sih. Tapi musik mereka emang catchy meski nggak terlalu komersil.”
“I’m starting to like this song. Apa judulnya.”
“Swing it Elias.”
“Hah?”
Nara tertawa lagi. Akhirnya aku juga ikut tertawa saat sadar kalau dia mengerjaiku.
“Kamu kaku banget kayaknya dari tadi. Mana Elias yang biasa? Yang cerewet, yang cheesy.”
Jangankan kamu, Nara, aku pun ingin tahu kemana perginya Elias yang itu.
“Swing it, Bob! Itu judulnya.”
Aku tersenyum. Fuschia ungu yang minggu lalu masih kuncup, sekarang mulai mekar. Nara pasti merawatnya dengan baik. Aku membayangkan bagaimana dia berjongkok di sana, bermain dengan sekop kecil dan mengotori tangannya dengan tanah. Rambutnya tergelung ke atas dengan beberapa anak rambut berantakan dan keringat mengalir pelan di pelipis, menjadikan halaman kecil ini lebih berwarna, lebih hidup.
Lalu, entah bagaimana awalnya, bayangan itu pelan terbentuk. Bayangan sebuah rumah—tidak terlalu besar. Aku tidak suka rumah besar—dengan halaman belakang yang tidak terlalu luas, tapi cukup menampung banyak keindahan; merah, putih, kuning, ungu bercampur menjadi satu. Mungkin ada banyak mawar dan fuschia berjejer, juga geranium yang digantung. Aku akan duduk di sana setiap sore, menikmati teh dan brownies panas setelah beberapa jam sebelumnya menghabiskan dua piring nasi dan sayur asam.
Aku ... ingin punya kebunku sendiri.
“Nara?”
“Ya….”
Nara menoleh ke arahku, menatap langsung ke mataku. Mata kelabunya membungkus tubuhku yang mati-matian mencoba melawan debarku sendiri. Pikiranku mengutuk, menyalahkan lagu yang telah sampai di akhir dan tak lagi menyembunyikan riuh di dalam kepala.
Apa ini yang dirasakan para pecinta di luar sana?
“Would you like to … dance?”
“Hah?”
Nara tertawa, keras. Tapi aku diam saja.
“Dansa?” tanyanya lagi. Aku mengangguk dan dia tertawa lagi. “I can’t dance. I don’t do dance.”
“Aku juga, tapi … kenapa nggak kita coba?”
Aku bangkit dari duduk dan menghampiri Nara lalu mengulurkan satu tangan sementara tangan yang lain kusembunyikan di belakang punggung. Mata biruku beradu dengan mata kelabunya yang memabukkan, membuat candu yang merampas tidur nyenyak dari kuasaku.
Kuhirup oksigen sebanyak-banyaknya, berharap dengan begitu irama jantungku sedikit lebih tenang. Apalagi, saat Nara tak juga bereaksi. Dia masih diam di tempatnya duduk. Matanya menatapku datar, seolah mencari sesuatu yang tersembunyi dalam cekungan mataku—entah apa. Dan sekali lagi, wanita ini membuatku mendadak tak yakin dengan diri sendiri. Dia seperti mengolok-olok semua harga diriku dengan diamnya yang membuat perasaanku semakin tak karuan.
Tahu bagaimana rasanya saat kalian coba men-download sebuah film yang ukurannya bergiga-giga? Kalian menunggu dengan sabar, berjam-jam, dan saat proses sudah mencapai 99%, koneksi tiba-tiba terputus? Apa yang kalian rasakan? Marah, kecewa? Percayalah, kalian bahkan tidak tahu emosi apa yang menguasai kalian saat itu.
Itu yang kurasakan, saat Nara tiba-tiba bangun dan berlalu melewatiku begitu saja; meninggalkanku mematung dengan ribuan emosi berkecamuk. Nara menolak, bahkan tanpa sepatah kata pun.
Aku sudah bilang kan kalau aku bukan penderita alzheimer. Tapi sekarang, aku bahkan tidak tahu lagi apa bedanya. Otakku seperti kosong, dan lututku rasanya lemas seperti dicabut semua tulang. Entah di mana harga diriku sekarang. Egoku terluka, tapi lebih dari itu … ada segores pedih yang aku tak pernah tahu bisa muncul di hatiku yang bertahun-tahun beku.
Tak ingin terjebak dalam situasi tak nyaman, aku memutuskan untuk pergi. Baru dua langkah, kudengar sayup irama jazz dengan sedikit sentuhan swing yang lumayan familier.
L, is for the way you look at me
O, is for the only one i see
V, is very very extraordinary
E, is even more than anyone that you adore
Hei, aku tahu lagu ini, but ... why?
Dengan bodohnya, aku cuma berdiri menatap Nara yang kembali dengan senyum simpul di wajahnya yang merona.
“Aku suka lagu ini.”
“Okey….”
Nara berjalan pelan, menuju ke arahku. Kedua tangannya tersembunyi di belakang tubuhnya yang ramping. Rambut hitam panjangnya tergerai, langkah kaki telanjangnya nyaris tak bersuara. Matanya mengunci mataku yang hampir tak berkedip menatapnya yang menyembunyikan malu.
“Love…,” bisiknya lembut saat jarak kami semakin dekat.
“Yeah?”
“Michael Buble, judulnya Love.”
“I know. Aslinya Nat king Cole.”
"Iya. Aku paling suka versi ini."
"Okey...."
Di hadapanku, Nara berdiri dengan merah jambu di pipi dan senyum tersinggung manis.
“So ... Mr. Hales, would you like to ...dance?”
Shit … shit … shit! Aku mengoceh soal apa tadi? Emosi? Marah? Kecewa? Lupakan! Itu konyol.
Kalau minggu lalu Bimala bilang pesonaku sudah mulai luntur karena membutuhkan waktu begitu lama cuma untuk merayu perempuan, I don’t fucking care.
You know, Buddy. Nara is so much worth to dig. And I swear, it would a very very long night.
Love ... was made for me and you...
Mr. Buble, menyingkirlah!!
[...]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top