: I'm Here ... For You :

Lama cuma buat sekedar update😞😞. Sorry. Jadi tuh kemaren ... ah, sudahlah. Kebanyakan alesan 😙😙😙

Here we go😊

__________________________________

Only those who care about you can hear you when you're quiet

~Unknown~





: Part Ten :






~ 28 hari sebelumnya ~




Kalian pernah melakukan sesuatu tanpa memikirkannya lebih dulu? Bagaimana rasanya? Awalnya semua baik-baik saja, kan. Sampai beberapa menit setelahnya, pikiran kalian akan mulai memojokkan kalian, menyalahkan, dan yang pasti ... mempertanyakan keputusan yang kalian ambil.

Aku seorang Bankir Investasi, ingat? Dalam beberapa kasus, aku membutuhkan intuisi untuk mengambil keputusan cepat. Meski secara harafiah, intuisi merujuk pada kemampuan memahami sesuatu tanpa penalaran rasional dan intelektualitas, faktanya, intuisi terbentuk dari pengalaman yang diambil dari informasi yang terkumpul. Jadi, percayalah kalau intuisi bisa dilatih, dan aku akan bilang dengan bangga kalau aku orang dengan intuisi yang sangat baik.

Hm ... kurasa begitu.

Awalnya tadi pagi. Aku sengaja datang ke Monsanto lebih awal, padahal meeting sudah dijadwalkan jam sepuluh. Tahu kan ya, untuk apa aku melakukan itu. Jam delapan aku sudah menunggu di Costa Coffee, tapi sampai satu jam aku di sana, Nara tidak muncul. Ingat saat aku bilang kalau Nara selalu membeli long black coffee tiap hari? Lumayan kecewa sih, cuma mungkin saja dia sedikit terlambat jadi tidak sempat membeli kopi. Siapa yang tahu?

Saat aku memutuskan pergi dan naik ke lantai tujuh—ruang meeting di lantai tujuh dan ruangan Nara di lantai enam, aku masuk ke dalam lift yang cuma dipenuhi empat orang termasuk aku. Tiba-tiba,  kudengar seorang perempuan menyebut nama Nara.

"Iya, Nara nggak apa-apa. Ge-we-es ya," begitu katanya.

Waktu mendengarnya, aku cuma mendesah. Memangnya aku juga bisa apa? Kan tidak mungkin aku langsung membombardir perempuan berdada rata itu dengan pertanyaan tentang Nara.

Lalu apa hubungannya dengan intuisi? Tahan sebentar di situ.

Sambil menahan kecewa karena gagal melihat Nara—padahal aku sudah over excited menunggu hari ini—aku memutuskan untuk tidak kembali ke kantor. Jangan tanya bagaimana reaksi Tony. Pria murahan satu itu tentu saja ngomel-ngomel seperti ABG posesif yang cowoknya menoleh saat tante-tante seksi lewat depan mata. Apalagi sejak kejadian dua minggu lalu di Immigrant yang menurutnya aku sudah semakin gila gara-gara Nara. Tapi dasar apes, ban mobilku malah bocor di dekat Grand Canyon, Dharmawagsa. Untung tidak jauh dari sana, ada bengkel mobil. Cuma sepuluh menit aku menemukan V2V Autoshop. Namanya aneh ya? Dan tebak siapa orang yang jauh lebih aneh yang kutemukan di sana. Yep, si pecundang.

Tadinya kupikir sialan itu lupa, ternyata dia bisa mengenaliku. Ya, aku memang terlalu keren untuk dilupakan sih. Tapi dasar kurang ajar, pria itu malah ketus dan tidak tersenyum sama sekali saat aku bersikap ramah. Kalau bukan karena aku butuh bantuannya, pasti sudah kuhajar tubuhnya yang kurus dan penuh oli.

Oke, lupakan pecundang sialan dan sikap sialannya. Yang mau aku bilang, yang akhirnya membuatku melantur soal intuisi adalah, kalimat sinis Virgo—aku pasti dapat pencerahan karena berhasil mengingat namanya—saat aku menitipkan salam untuk Nara. Aku kan cuma basa-basi. Tahu kan ya kalimat perpisahan semacam, "Oke thanks, Bro, salam buat cewek lo, ya."

Sumpah aku tidak punya maksud apa-apa. Tapi, aku langsung bisa melihat aura permusuhan dalam tatapannya. Rahangnya yang mengeras, matanya yang tajam. Apalagi saat dia mendengus kasar dan menjawab, "Bilang aja sendiri!"

See?

Sekarang, aku tanya satu hal. Siapa yang butuh penalaran dan intelektualitas tiggi untuk menyimpulkan kalau Nara dan si ... siapa tadi? Ah ya, pecundang, kalau hubungan mereka sedang tidak baik-baik saja? Nenek-nenek manopuase saja tahu kalau Nara butuh pundak untuk bersandar. Awww.

Dan intuisiku bilang, this is myfinallytime.

So ... ada yang tahu di mana aku sekarang? Bingo! Di depan rumah Nara.

Rumah kecil bercat biru itu tertutup rapat. Sekilas seperti tidak ada orang di dalamnya, tapi aku kan tahu kalau pemiliknya ada di dalam. Masalahnya sekarang, aku tidak tahu alasan apa yang harus kusampaikan kalau Nara tanya bagaimana aku bisa ke sini. Huh ... di mana si pujangga saat aku membutuhkannya? 

Oh iya, kutegaskan satu hal lagi, ini adalah saat di mana pikiranku mengutuk, menyalahkan, dan mempertanyakan satu hal; untuk apa aku melakukan ini?

Setelah mengabaikan semua setan-setan yang ribut di kepala, juga meyakinkan diri sendiri, akhirnya aku keluar dari mobil dan nekat mengetuk pintu rumah Nara. Hening, bahkan setelah aku mengetuk berkali-kali. Aku baru saja memutuskan berbalik ke mobil dan mengambil handphone yang tertinggal saat akhirnya pintu kayu bercat putih itu terbuka lalu menampilkan wajah Nara yang tanpa make up dan mata agak ... you know, sembab.

"Elias? Kamu ... ngapain di sini?"

"Aku abis meeting, terus aku inget rumah kamu di sini jadi aku mampir," sahutku cepat. Oke, maksudku ... cepat, asal dan sembarangan. Sumpah ya, kalau kalian lihat wajah pucatnya sekarang, kalian pasti tidak tega. Senyum iblis yang sejak tadi bertahan di wajah gantengku karena memikirkan kemungkinan Nara benar-benar free saja langsung lenyap saat menemukan tatapannya yang sayu.

"El ... ini jam kerja. Tahu dari mana kalau aku ada di rumah?"

Siapa sih yang bilang kalau wanita cantik biasanya tidak punya otak?

"Oh, itu ... aku meeting di Monsanto."

"Oke ...."

"... dan kamu pasti bukan orang jahat yang tega ngebiarin aku di luar kepanasan kan, Nara? Kalau kulitku jadi kusam, kamu harus tanggung jawab karena pasti nggak akan ada perempuan yang mau sama aku. Aku setengah bule loh. Nggak lucu kan kalau kulitku gelap-gelap nggak jelas gitu."

Satu ... dua ... tiga....

"Kamu tuh.... Astaga, Elias!"

Akhirnya ... dia tertawa! Dan mendadak, dadaku terasa hangat. Ah, kurasa matahari benar-benar sudah keterlaluan panasnya. Tak menunggu si empunya rumah mempersilakan, aku langsung saja masuk ke dalam. Sekilas kulihat Nara yang mengerutkan kening melihat tingkahku. Mau bagaimana lagi, dari pada dia terus-terusan mencecar kenapa aku bisa ada di sini.

"Kamu—"

"Air putih dingin."

"Hah?"

"Kamu mau tanya aku mau minum apa, kan?"

"Um ... bukan sih, tapi...."

"Punya martini?"—bisa kulihat Nara menautkan alis—"whiskey? Beer? Nggak kan? Jadi air putih dingin cukup kok."

Nara terkekeh pelan menyadari gurauanku. Perempuan yang hari ini cuma mengenakan kaus rumahan dan black shorts itu menggeleng-gelengkan kepalanya, mungkin geli melihatku yang langsung membanting tubuh di two seated sofa. Oh, aku berani sumpah kalau itu adalah paha terbaik yang pernah kulihat. Goddamnit, Nara!

Nara perempuan artistik. Itu kalimat pertama yang melintas di kepalaku saat memindai ruangan bercat putih bersih yang tidak terlalu luas ini. Dia menggantung beberapa lukisan retro di dinding. Bahkan di atas sofa warna cream yang sedang kududuki sekarang, juga terdapat tiga buah lukisan modern-abstract jalanan kota tempo dulu. Entah kota apa, yang jelas lukisan itu benar-benar tampak manis.

Di sebelah kiri, terpasang geometric-shelves yang dipasang asimetris dan menampung beberapa pajangan lucu. Tapi, yang membuat mataku sampai melotot adalah sebuah action figure Ironman di sana. Can you believe it? Ironman for the God sake! Duh, Nara ... perempuan macam apa sih kamu ini?

Saat aku bangun untuk memastikan benda mengejutkan itu, saat itulah aku melihat sketsa pensil yang ditempatkan dalam pigura berukuran sekitar 125x125 mili terpasang di sebelahnya. Itu adalah gambar seorang wanita—tanpa busana—yang sedang terduduk dengan dua tangan bertumpu di tanah. Yang membuat pasti sengaja dengan pose itu untuk menutupi dadanya yang telanjang.

Perempuan itu menunduk hingga separuh wajahnya tertutup rambut, dan sayapnya—iya sayap—terentang lebar, menampakkan beberapa bagian yang terkoyak. Arsiran pensilnya benar-benar halus, permainan gelap-terangnya juga cukup dramatis, dan bagian yang paling menonjol tentu saja sayap yang pastinya membutuhkan banyak waktu untuk dibuat. Tapi ... bukan itu yang membuatku sampai tak sadar menggerakkan tangan untuk menyentuhnya. Wajahnya! Meski cuma setengah yang tergambar jelas, cukup memanifestasi kesedihan yang benar-benar menyentuh. Ada setitik air di sudut mata, lalu bibir yang melengkung ke bawah. Mungkin, perempuan itu sedih karena sayapnya yang terkoyak. Aku tidak tahu pasti, tapi ... aku benar-benar tersihir.

"Nih!"

Suara Nara memang lembut—kapan memangnya suaranya tidak begitu—namun cukup untuk membuatku hampir melonjak kaget. Tak perlu adegan tatap-tatapan lama seperti di film, langsung saja kusambar segelas air putih dan kutenggak sampai habis. Huft, aku sampai tidak sadar kalau aku benar-benar haus!

"Kamu haus banget, ya? Mau lagi?"

Aku menggeleng cepat saat Nara menerima lagi gelas yang sekarang kosong. "Siapa yang buat?"

Nara diam sebentar sebelum menyadari objek apa yang baru saja membuat pikiranku tersesat. Dia menundukkan kepala sedikit, "Itu ... aku yang buat."

"What the ... seriously?"

Tanpa melihat ekspresi kaget yang kutunjukkan, Nara berjalan melewatiku dan langsung duduk di sofa. Aku juga ikut-ikutan dan duduk berhadapan dengan Nara yang menyandarkan sebagian punggungnya di lengan sofa.

"Aku baru tahu kamu bisa nggambar."

"Aku kan nggak harus bikin pengumuman. Lagian itu cuma ... hobi lama."

"Cuma? Itu keren Nara. Kamu mestinya jadi...."

"Apa?"

"Mmm ... pelukis? Seniman? Apa ajalah di industri kreatif pastinya, bukannya malah jadi staff nggak penting kayak sekarang."

"Semua bagian itu penting."

"Tapi, nggak menonjol."

"Aku nggak keberatan kok."

"Bullshit! Semua orang butuh aktualisasi diri. Butuh diakui. Semua orang butuh—"

"Apa buat alasan itu kamu jadi Elias yang sekarang?"

"Maksudnya?"

"Buat nunjukkin sama keluarga dan orang-orang yang menghina kamu?"

"Nara...."

Aku pernah bilang kalau Nara sering membuatku salah tingkah, kan? Dia melakukannya lagi kali ini. Lihat matanya ... mata yang sayu itu terus menatapku, membuat sesuatu di dalam tubuhku seolah bangkit dari tidur panjang; merangkak pelan namun pasti, mencoba menguasai tubuhku yang terduduk kaku. Kalau ini adegan film, bisa dipastikan kalau aku akan menyambar bibirnya yang merah alami. Tanganku juga akan langsung menahan tengkuknya yang jenjang, memamerkan leher putih bersih karena rambutnya tergelung ke atas. Nara bukan cuma perwujudan dewi kecantikan, tapi juga dewi cinta. Dewi seks! Dan aku siap menghamba untuk bisa menikmati sedikit saja anggur kenikmatan yang tersimpan di dalam tubuhnya yang mahaindah.

Sayangnya, ini bukan film, jadi tidak ada adegan dewasa seperti itu meskipun kami sudah sama-sama dewasa.

"Nara ... are you okay?" tanyaku setelah cukup lama kami cuma diam.

"Ya?"

"Kamu ... sakit?" Kutekankan kata 'sakit' entah dengan tujuan apa.

"Ya ... aku cuma ... nggak enak badan."

"Good!"

Dan kami kembali diam. Aku berani jamin kalau aku tidak sedang membalas dendam setelah Nara membuatku mati kutu. Aku sendiri juga tidak tahu kenapa aku menanyakan hal seperti itu. Aku yakin Nara tahu kalau aku tahu bahwa dia tidak sakit. Dia cuma tidak baik.

Mungkin, aku cuma ingin kami saling terbuka satu sama lain.

Mungkin ... aku cuma....

"Jadi ... kenapa, El?

"Kenapa apanya, Nara?"

"Kenapa kamu bisa ke sini?"

"Alarm!"

Di depanku, Nara mengangkat sebelah alis. Matanya yang tadi sayu memicing tajam, mencari tanda-tanda ketidakseriusan di wajahku. Sayangnya, aku memang tidak sedang main-main.

"Alarm?" tanyanya lagi.

"Iya. Di kepalaku ada alarm yang terhubung sama kamu. Setiap kali kamu butuh, alarmku pasti bunyi."

"Butuh?"

"Butuh seseorang buat dengerin kamu, buat bilang kalau ... everything is gonna be alright, buat bilang kalau apa pun yang terjadi, kamu ... nggak sendirian."

Tahu yang namanya kudeta? Sejak kejadian di Immigrant waktu itu, si pujangga sudah mengkudeta pikiranku karena yang barusan jelas tidak mungkin diucapkan oleh pria sepertiku. Aku sedikit kesulitan menjelaskan, tapi aku yakin kalian tahu kan maksudnya?

Entah bagian mana yang akhirnya membuat pandangan Nara kembali lembut. Aku bahkan bisa melihat senyumnya yang tipis, setipis rasa aneh yang kembali hadir dan menyentil sesuatu di dadaku. Aku tahu, jauh dalam hatinya, Nara tahu kalau tidak ada kebohongan sedikit pun dalam setiap kata-kata yang kusampaikan. Nyatanya, aku memang siap hadir untuknya, kapan pun dia butuh.

"Jadi ... karena kamu udah di sini, enaknya ngapain?"

Nada suara Nara yang riang telah kembali; sorot matanya yang ramah, senyum yang manis. Ah, rasanya aku terlalu merindukan semua pemandangan ini.

"Nonton film? Kamu punya film apa?"

"Hm ... action?"

"Wow, action? Eh, aku jadi inget,"—kugerakkan dagu ke arah benda kecil yang berdiri gagah di atas shelf—"itu beneran punya kamu? Kok rasanya aneh ya, kalau kamu punya koleksi superhero di situ."

Tak kusangka, Nara tertawa keras. Pipinya sedikit merona, seperti tertangkap basah saat keluar telanjang atau semacamnya. Pokoknya, menggemaskanlah.

"Ah, itu.... Ehm, aku ... suka Tony Stark?"

"Hah?" Aku tidak pura-pura, tapi aku memang kaget. "Tony Stark? Kamu suka om-om?"

"Iss...."—Nara memukul lenganku pelan—"he's not old. He leveled up!"

"Tetap saja Nara. Setelah Linkin Park, Alan Parson, sekarang ... Tony Stark? Kamu tahu, Channing Tatum dan nice guys lain lagi nangis loh sekarang? Oh My God, jangan bilang kamu suka Loki juga?"

Nara diam tak menjawab selain mukanya yang semakin merona. Dia menggigit bibir bawahnya yang agak tebal sementara dahinya mengernyit lucu. Uh, selangkanganku langsung berkedut melihat ekspresi menggemaskan yang menggoda itu.

"Bad boy for real? 

"Uh-huh!" jawabnya pelan.

Mendengarnya, ada sebagian dari diriku yang bersorak kegirangan mengetahui sisi lain Nara yang tak pernah kuduga sebelumnya. Heh, perempuan Jawa ini pasti lupa kalau di depannya sedang duduk badboy yang benar-benar nakal dan siap dihukum olehnya.

Please, Mam, punish me!

[...]

Bekasi, March 16,  2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top