: Gerimis Romantis :
Aseli ya (bilang saya lebay) seumur-umur saya nulis, baru kali ini nulis satu bab aja sampe seminggu lebih😑😑😑 kepala saya lagi ngadat kayaknya. Mungkin pusing sama laporan atau kecanduan the sims lagi #eh 🙊🙊🙊
Whateverlah ya, saya sih kurang puas tapi ... Ya gitulah 😂😂😂 maaf kalau lama, dikit doang, gak oke pula 😒😒. Eh iya, ada yang inget Bimala dari lapak sebelah? Inget bab yang eli ketemu dia? Here it is.
Ini udah part 11 dan kayaknya ini cuma sampai 16 aja. 😊😊
___________________________________________
Sekejap badai datang
Mengoyak kedamaian
Segala musnah
Lalu gerimis, langit pun menangis
~Gerimis - Kla Project~
: Part Eleven :
~ 25 hari sebelumnya ~
Catat ini, aku tidak akan bisa bertahan berada dalam satu ruangan dengan seorang wanita cantik lebih dari setengah jam. Ufft, jangan pura-pura tidak tahu kenapa. Kalau bukan aku yang pergi, pasti kami bercinta. Maaf kalau terlalu frontal tapi memang itulah kenyataannya.
Sekarang bayangkan situasinya.
Sejak kejadian di Immigrant, sumpah aku belum bercinta dengan siapa pun. No sex, no blow job, no hand job or ... whatever. Kupikir aku benar-benar bermasalah tapi untungnya atau ... malangnya aku bereaksi terhadap Nara. Goddamnit! Pernah dengar istilah, 'seperti kuda lepas dari kandang'? Seperti itulah gairahku saat melihat Nara. Seolah ada ledakan besar di dalam tubuhku, menghancurkan semua organ di dalam menjadi serpihan-serpihan kecil dan aku bersumpah atas nama semua wanita seksi di dunia ini ... aku menderita.
Oke, aku berlebihan.
Tapi, aku berpikir seperti itu-umm ... awalnya. Apalagi saat akhirnya dia memutuskan untuk menonton Friends With Benefit. Tahu kan kalau itu film romantis? Maksudku komedi romantis dengan banyak sentuhan, ciuman, dan ... sial, apa cuma aku yang berpikir kalau suara Mila Kunis itu seksi?
Baiklah kembali ke kejadian sore itu. Dengan semua siksaan, ditambah kami cuma berdua di rumahnya, belum lagi Nara yang benar-benar manis dan menggemaskan dengan baju rumahan.... Aku hampir saja tak mampu mengendalikan diri.
Ada satu momen saat dia tertawa, benar-benar tertawa, dan mencengkeram lenganku lalu mengguncang-guncangkannya. Sepertinya Nara tidak sadar karena setelahnya dia langsung diam dan melepas pegangannya dengan kaku. Matanya yang kelabu menatapku lucu. Dan saat dia menggigit bibir bawahnya, aku merasa seperti ... God, I can't hold it anymore. Aku harus melakukan sesuatu dan Nara harus tahu kalau aku tidak bisa menunggu lagi.
Aku hampir saja kehilangan kendali, lalu tiba-tiba dia bilang, "Eli ... It's a really bad day and ... you're right, all I need is someone to help me forget all of my stuffs. So, thanks for today."
Jadi, berapa rekor terlamaku duduk di satu ruangan dengan seorang wanita tadi? Setengah jam? Tambahkan ini: tujuh jam! Dan itu adalah tujuh jam terbaik yang pernah kumiliki.
Menurut kalian, aku bercinta dengan Nara? Hahaha ... sayangnya tidak. Tapi percayalah, ternyata itu bukan hal yang buruk. Maksudku, aku bahkan tidak lagi memikirkannya. Ehm, sore itu tapi ya bukan seterusnya karena tentu saja aku masih menginginkan Nara mengerang dan menyebut namaku.
Aku tidak tahu kenapa aku melantur, tapi aku sungguhan tidak mau kalian berpikir kalau aku akan bersikap kurang ajar mentang-mentang Nara sudah putus dengan si pecundang. Yang aku mau bilang, aku ingin mengulang tujuh jam itu lagi, lebih banyak ... meski tanpa sentuhan, meski tanpa-you know-seks. I'm a good boy, right?
"Elias!"
Kulemparkan senyum lebar, manis ... mempesona.
"Kamu kebanyakan melamun, El," protes Nara.
"Apa yang kulewatkan?"
Nara tertawa pelan, "Bimala. Itu teman kamu? Dia ... lucu ya."
Oke, ini sungguh keterlaluan. Apa yang pernah kubilang soal hari sial? Kalau itu cuma mitos dan yang sebenarnya adalah kita yang tidak memiliki persiapan matang? Lupakan! Hari sial itu memang benar-benar ada.
Dari semua galeri, ballroom hotel atau pameran di manapun di kota ini, haruskah aku bertemu dengan perempuan bermulut nista itu sekarang? Terutama di saat aku sedang kencan dengan Nara?
Sebetulnya, Nara ngotot kalau ini bukan kencan, tapi memangnya aku peduli?
Oh iya, Bimala itu mantan associate-aku malas menyebutnya teman. Karena kalau ada satu perempuan di dunia ini yang tidak pernah menghormatiku dan menganggap pesonaku itu konyol, ya ... dia orangnya. Secara fisik, perempuan itu cantik-kalau bukan karena satu kantor aku pasti sudah mengajaknya tidur, menggairahkan, smart, tapi mulutnya ... bahkan suara kucing kawin pun lebih enak didengar. Terutama sekali, dia selalu bicara kasar. Setiap Senin, dia akan bilang, "Cewek mana yang apes semalem? Seneng ya yang abis buang sperma, nggak capek main tangan."
Atau tadi misalnya, jelas-jelas ada Nara tapi dia malah seenaknya mengungkit kebiasaanku mabuk di Immigrant.
"Elias! Kamu tuh emang gini atau cuma sama aku, sih?"
"Cuma sama kamu!"
"Eh?"
"Cuma sama kamu aku serba salah dan nggak tahu harus gimana."
Di sampingku, Nara tertawa dengan anggun. Bisa bayangkan tertawa seperti itu? Tidak bisa? Payah!
"Kamu tuh selalu punya jawaban, ya."
Sayangnya aku tidak punya jawaban kapan aku bisa memilikimu seutuhnya, Nara.
"Iya, aku sama dia dulu satu tim di Bear Brother. Dia seperti serigala betina dan harus dapat semua yang dia mau." Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Sounds familiar. Kalian sama kalau gitu dong ya. Kamu sama dia pernah....."
Aku tertawa sekarang. "Aku? Sama perempuan jadi-jadian itu? Enggaklah! Aku mending jadi anak baik-baik daripada tidur sama dia. Nggak, Nara. Kami teman, seperti keluarga, saudara ... dan seorang kakak nggak meniduri adiknya."
Tiba-tiba, langkah Nara terhenti, tepat depan lukisan cat minyak two seated sofa warna kuning muda, menempel di dinding warna krem berjudul Ruang. Perempuan yang malam ini tampak manis dengan midi-skirt hitam motif bunga-bunga warna pink muda dan blouse pendek yang juga berwarna warna pink muda ini diam, menatapku dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Apa aku salah bicara?
"Nara, kamu nggak apa-apa?" Aku sedikit khawatir melihatnya mematung seperti baru saja melihat setan, padahal aku yakin setan juga akan berpikir seribu kali untuk mendatangi pameran lukisan yang membosankan seperti ini. Aku sendiri ... kalau bukan karena Nara, malas juga datang.
Kudekati Nara yang masih diam. Dadanya bergerak dramatis, seolah bernapas tiba-tiba begitu sulit. "Nara?"
"El ...." Segaris senyum yang dipaksakan terlihat samar. "Kayaknya, aku...." Ucapan Nara mengambang. Dia seperti tidak yakin untuk menyelesaikan.
"Kita pulang!"
Dengan gerakan cepat, kusambar tangan Nara, menenggelamkan jari-jarinya yang lembut dalam genggaman tanganku. Awalnya, Nara mungkin sedikit kaget dan cuma diam. Tapi kemudian dia mengeratkan genggamannya, membiarkanku menuntunnya keluar dari ballroom yang menggelar pameran lukisan berjudul 'Rumah'.
❇❇❇
"Seorang kakak nggak mungkin meniduri adiknya!"
Di sampingku, Nara duduk sambil menarik lutut sampai ke dada, menatap kebun kecil terawat di belakang rumahnya yang ditumbuhi berbagai macam bunga. Fuchsia ungu di halaman belakang ini masih kuncup, layu, sama seperti pemiliknya.
"Itu yang Papa bilang waktu aku cerita kalau Mas Lanang mulai kurang ajar. Dia lebih percaya sama anak Tante Rum daripada sama aku sama Mas Nayaka yang anaknya kandungnya sendiri. Papa bahkan nggak ngomong apa-apa waktu Mas Nayaka akhirnya pergi dari rumah. Papa ... bener-bener udah dibutain sama Tante Rum."
Nara mengeratkan pelukannya, menumpukan dagunya di atas lutut, mencoba menahan tubuhnya yang mulai gemetar, sementara aku tidak tahu harus berkomentar apa. Aku cuma bisa diam, mendengarkan ceritanya. Kadang perempuan cuma butuh didengar, kan?
Hampir setengah jam, Nara mengalirkan cerita masa lalunya dengan lancar seolah itu cuma dongeng yang tak pernah disimpan rapat-rapat, seolah itu tak pernah menyakitinya sedemikian rupa, dan aku bertransformasi menjadi pria baik yang menyimak, merasakan setiap sakit yang terasa jelas di setiap kalimat yang meluncur ke luar. Entah kenapa, aku jadi ikut-ikutan terbawa suasana.
Nara bahkan belum genap delapan belas waktu kabur dari rumah dan datang ke Jakarta. Sangat nekat mengingat dia cuma punya sedikit tabungan dan tidak kenal siapa-siapa. Oke, ini bagian yang paling kubenci, dia punya satu alamat yang didapat dari Rani, sahabatnya sejak SMP. Sepupu Rani inilah yang membantunya mencari tempat kos-cuma satu kamar sempit, bayangkan-juga mengantarnya ke mana-mana cari kerja. Coba tebak siapa? Yep, si pecundang yang sialan beruntung. Pecundang posesif itu bahkan tega menguasai Nara dan tidak membiarkannya mengenal pria lain selama ... delapan tahun? Dia gila.
"Aku nggak tahu gimana jadinya kalau nggak ada Igo. Sendirian, nggak punya siapa-siapa...."
Bisa kita lewatkan bagian ini, Nara?
"Dia nggak pernah masalah sama masa laluku...."
Kugaruk kepala yang mulai terasa gatal.
"Sebetulnya .... Igo baik, kok."
Kuusap rahang yang kasar karena jenggot yang mulai tumbuh.
"Mungkin ... aku yang salah."
What the fuck, huh? Bajingan macam apa yang membuat perempuan merasa kalau dia yang sepenuhnya bertanggung jawab saat hubungan mereka tidak berjalan lancar?
"Igo bilang, aku membuat dia merasa ...."
Oke, aku pastikan dia benar-benar seorang pecundang....
"Insecure...."
Dan ... what? Apa maksudnya ini? Jadi bajingan itu bukan cuma seorang pecundang, tapi juga pengecut? Benar-benar pria menyedihkan. Bukan salah Nara kalau banyak pria menginginkannya-termasuk aku-dan sialan itu harusnya sadar kalau dia tidak lebih dari pengganggu posessif yang manja.
Begini, biar kuberitahu.
Yang menjadikan seseorang menjadi pria adalah sikapnya. Pria tidak perlu banyak bicara, apalagi mengeluh. Talk less do more. Itu klasik, tapi benar. Saat kamu-aku bicara sebagai pria-menginginkan sebuah mobil sport, maka bersikaplah seperti seorang pengendara mobil sport. Saat kamu ingin membeli sebuah Rolex, maka bersikaplah seperti metroseksual pecinta kemewahan. Mengerti maksudku?
Lahir sebagai laki-laki itu takdir, tapi menjadi pria sejati ... itu pilihan. Dan Igo ... Virgo ... what the fuck who he is, he's just a boy who would never be a man!
Dan pelajaran terakhir bagi para pria yang tidak punya materials kelas satu sepertiku, jadilah percaya diri. Tak perlu mengendarai Maserati atau punya otot besar untuk menarik perhatian perempuan. Attitude is the key ... and confidence? Trust me, it works. Percaya diri itu sedikit nakal, tapi seksi.
Pelan, kudengar Nara menghela napas. Berat dan kasar. Dia seperti ingin mengosongkan paru-parunya, lalu mengisinya dengan udara yang baru, yang benar-benar bersih. Aku mengerti, karena delapan tahun bukan waktu yang singkat, kan?
Ah, aku benci saat bersikap kalau aku selalu bisa mengerti ... meski itu benar.
Pelan, angin malam berembus di antara kami berdua, bersamaan dengan gerimis yang membasahi taman kecil yang selalu dirawat dengan apik. Saking tenangnya, aku sampai bisa mendengar suara degup jantungku sendiri, yang selalu ingin kusembunyikan saat suasana mendadak canggung seperti sekarang.
"El?"
"Ya?"
"Makasih."
"Buat apa?"
Suara helaan napas terdengar lagi. "For being here."
Kupingku menegak, tegang, setegang ... ah, lupakan! Kutolehkan kepala ke kiri untuk mendapati Nara yang ternyata sedang menatapku. Lembut, teduh, juga ... rapuh.
Pelan, Nara membuka mulutnya lagi, lalu melanjutkan, "... and for being you."
Shit! Aku pernah bilang kalau gerimis itu sama sekali tidak romantis? Ralat. Gerimis itu luar biasa romantis.
[...]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top