: Elias ... Cukup Elias :

Met by coincidence, conversated by choice, and fell in love by fate.

~ Raghib Clitso~

✳✳✳


: Part Three :



~ 104 hari sebelumnya ~



Biar aku beru tahu satu hal, setiap pria menginginkan seks! Bagi kami, seks itu kebutuhan, sama pentingnya dengan makan dan tidur. Itulah kenapa setiap kami melihat seorang wanita, kami akan membayangkan bagaimana sensasi mereka di ranjang. So ladies, ingat, jangan pernah menyalahkan pria untuk fantasi-fantasinya.

Sejak terakhir kali melihat Nara di pesta Mike, aku tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana cara menemuinya lagi. Oke, aku sedikit berbohong. Aku melupakannya sebentar saat bercinta dengan seorang perempuan berbokong indah malam lalu. Don't judge! Tapi, aku kembali memutar otak kok setelahnya. Sialnya, aku tidak punya informasi apa pun. Lewat Tony, aku sudah coba bertanya pada Mike, tapi tak ada hasil karena gigolo itu bahkan tidak pernah tahu siapa saja yang datang ke pestanya. Tak hilang akal, aku mencoba cara lain. Hasilnya? Luar biasa!

Sudah hampir tiga tahun ini Nara bekerja sebagai training and develepomnet staff di Monsanto, sebuah perusahaan multinasional asal Amerika. Ruangannya ada di lantai enam, di gedung yang sama dengan Costa Coffee—ingat tempat di mana aku melihatnya? Dia tinggal sendiri, di sebuah rumah kecil di Kemang. Setidaknya, dua sampai tiga kali seminggu dia selalu datang ke tempat kafe. Seringnya, dia datang dan duduk di tempat paling jauh dari lalu lalang orang, membaca buku dan menikmati kopi yang dipesannya.

Banyak orang percaya, saat kita menginginkan sesuatu, semesta akan berkonspirasi untuk mewujudkan keinginan kita. Tapi bagiku, semesta tidak seperti itu, karena sudah sejak lama aku merasa tidak lagi menjadi bagian dari semesta. Tahu kenapa? Aku adalah entitas di luar semua omong kosong itu. Aku punya kekuasaan sendiri, dan akulah si pengendali. Terdengar sedikit chauvinistic, ya?

Oke, aku mungkin tidak sehebat itu. Yang sebenarnya kulakukan adalah, aku mendatangi Costa Coffee hampir setiap hari; makan siang, setelah meeting, selepas kerja, kapan saja aku punya kesempatan. Aku akan memesan earl grey brew tea atau chai tea dan duduk sambil memandangi setiap orang yang masuk. Aku mencari di antara para penggemar kopi, ekspatriat, siapa pun yang masuk ke sana sampai akhirnya aku sendirilah yang menarik perhatian si dementor. Ada yang ingat pria botak itu?

Setelah menyelipkan beberapa lembar warna merah ke kantong kemeja kerjanya, akhirnya aku mendapat informasi yang ternyata dia peroleh dari temannya yang seorang gitaris yang mencari informasi setelah membagi uang yang kuberikan pada pemuda tanggung yang bekerja sebagai office boy di Monsanto. What a very long journey of a precious information! Ah, semoga aku tidak membuat kalian bingung dengan detail ini. Oh iya, silakan kalau mau bertepuk tangan.

Kembali ke usahaku untuk menemukan karya seni berjalan itu. Tahu kan siapa yang aku maksud? Meski berhari-hari aku datang, aku masih belum berhasil melihatnya lagi. Dementor yang ternyata bernama Angga cuma angkat bahu tiap kali melihatku datang. Entah penyihir mana yang sudah menghempaskan keberuntungan di wajahku dengan expelliarmus-nya. Sementara Tony, sahabat sekaligus associate-ku di kantor sudah mulai kewalahan karena aku selalu menghilang.

"Kau ini sudah gila atau apa, hah? Jatuh cinta kau sama perempuan itu? Macam belum pernah lihat perempuan bening aja kau ini. Mana bisa aku selesaikan kerjaan sendiri? Mereka maunya ketemu sama kau, Elias. Harus aku seret perempuan itu biar kau diam di kantor?" omelnya saat aku bersiap meninggalkan kantor—lagi. Tahu bagaimana reaksiku? I don't fucking care!

Apa perlu aku jelaskan kalau ini sama sekali bukan kebiasaanku?

Begini, aku sangat mencintai pekerjaanku. Lebih dari apa pun, lebih dari seks. Maksudku, seks itu hebat tapi tidak ada yang bisa mengalahkan kepuasan yang kurasakan saat berhasil mendapat proyek besar. Aku terobsesi dengan kemenangan dan sama sekali tidak keberatan kalau perusahaan mengambil keuntungan dari semua itu. Ayolah, aku dibayar mahal untuk semua yang kulakukan.

Aku adalah mesin pencetak uang bagi perusahaanku. Tahun ini, The Big Brothers Capital ada di peringkat keenam sebagai Konglomerat Keuangan terbesar di Indonesia. Aku bukan cuma negosiator andal, tapi juga pemimpin tim Manajemen Investasi terbaik yang mereka miliki.

Sejak usiaku enam belas, sejak Amma meninggal, aku kerja apa saja. Penjaga warnet, guru les anak-anak SD, tukang bersih-bersih di tempat fitness—setidaknya aku bisa melatih otot-ototku dengan gratis, bahkan di tempat fotokopi. Mengejutkan? Lulus SMA, aku mendapat beasiswa di salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Nilaiku di atas rata-rata sampai berhasil mengantarkanku ke Imperial College London dan mendapat gelar Master of Bussiness Administration. Aku bisa saja bilang kalau aku orang yang beruntung. Tapi tidak! Tahu kenapa? Aku bekerja keras, jauh lebih keras daripada orang lain dan aku mendapat apa yang pantas kudapatkan.

Oke, oke! Kalian mungkin berpikir kalau aku sombong. Tapi, aku ingin kalian memahami sesuatu; mendatangi kedai kopi ini hampir setiap hari dan mengorbankan pekerjaan, itu namanya kegilaan. Gilanya lagi, aku bahkan tidak punya alasan masuk akal untuk semua tindakan bodoh yang kulakukan. Yang ada di pikiranku cuma bagaimana caranya menemui Nara lagi. Are we clear now?

Hari ini, aku melangkahkan kaki tanpa semangat memasuki Costa Coffee. Ini sama sekali bukan hari baik untukku. Sudah tiga hari ini aku belum bercinta dengan siapa-siapa. Aku seperti biksu yang kehilangan gairah dan percayalah, itu sungguh mengenaskan. Belum lagi Tony yang baru saja menelepon dan mengancam kalau besok aku menghilang lagi, dia akan berhenti mencari alasan untuk menutupi kebohonganku. Aku tidak kenal kata putus asa, tapi kalau semua usahaku menemui jalan buntu seperti ini, kurasa sudah saatnya aku harus melupakan Nara.

Lagipula ... hei, lihat perempuan berpotongan rambut cepak yang sekarang duduk di tengah ruangan. Ugh, bibirnya yang tebal benar-benar minta dilumat dan senyumnya sungguh menggoda. Belum lagi cara duduknya yang sedemikian rupa sampai menonjolkan dadanya yang.... Ah, ini sih mudah.

"Pak Elias!"

Shit!

"Pak! Tumben dateng jam segini." Seorang pria berseragam Costa Coffee sudah berdiri di depanku sekarang.

Huh, dementor sialan ini mulai sok akrab rupanya. Aku mendengus kesal mendengar sapaan pria yang hari ini membiarkan kepala plontosnya terekspos sempurna. Refleks, kulirik jam tangan yang melingkar di tangan. Sebelumnya, masih sempat kulihat si perempuan cepak mengerlingkan sebelah matanya padaku. Sayang, gara-gara si botak, aku harus menunda rencanaku merayu perempuan yang cuma mengenakan hot pants dan sleeveless tee putih itu.

"Perfect time, Pak!" kata pemuda tanggung itu lagi.

"Apa?" tanyaku malas. Memangnya siapa yang tidak? Aku kan sedang menikmati paha mulus perempuan itu sebelum dia mengagetkanku dengan panggilannya.

Dementor yang berdiri tepat di hadapanku memiringkan kepalanya sedikit. Dia mendekat, membuatku otomatis menegakkan punggung untuk menjauhinya. Mau apa sih dia? "Arah jam tiga," bisiknya.

Seketika, seluruh otot mukaku menegang saat mengikuti arah yang ditunjuk si dementor. Mulutku menganga, tidak cukup lebar sih, tapi cukup untuk ratusan lalat membangun koloni baru setelah terusir sekantung air yang digantung di etalase warteg pinggir jalan. Man, tampangku pasti persis orang tolol melihat pemandangan yang kini dipamerkan di depan mata.

Perempuan itu duduk melipat kaki, di sudut, sedang membaca sebuah buku. Dia memakai rok emerald green berbahan wol yang dipadukan dengan atasan berenda warna putih yang membuatnya terlihat manis. Sinar matahari sore yang menembus kaca, jatuh di atas rambut hitam legamnya yang dibiarkan tergerai. Di mataku, dia tampak seperti sebuah karya seni yang dilukis sempurna.

Kutarik napas panjang, berusaha menenangkan detak jantungku yang bermaraton ria. Sumpah, aku benar-benar gugup kali ini. Aku bahkan bisa mendengar alunan cello dari Bach yang kembali diputar di kepala. Para dwarf di dalam sana pasti sedang menari-nari sekarang, menyambut Sang Ratu yang mereka rindukan.

Adegan filmku pun dimulai lagi. Kali ini, latarnya sebuah taman bunga dengan kupu-kupu kecil menari mengikuti semilir angin, berkejaran dengan dandelion putih. Taman firdaus di mana Adam menemukan Hawa terjerat pohon terlarang.

Oh, apa aku pernah bilang kalau aku lumayan puitis? Kalau belum, persiapkan diri mulai dari sekarang, karena mungkin kalian akan mendengar lebih banyak lagi nanti. If you know what I mean.

Kutarik napas sekali lagi, mencari kekuatan untuk melangkahkan kaki yang jangkarnya telah tersembunyi di lantai tempatku berdiri, membuatku seperti tahanan yang berjalan dengan langkah terseret karena rantai besi, sementara Sang Aphrodite masih asyik bersama Sang Nabi.

See? Apa kubilang? Pelajaran buat para pria; perempuan suka adegan romantis. Jangan lupa, masukkan The Notebook, Dear John, PS I love You dalam daftar film untuk ditonton. It helps a lot. Upst, aku suka Bad Teacher.

"Hai...!"

Nara menurunkan buku yang sedang dibaca dan menatapku dengan alis terangkat. Rasa heran tercetak jelas di wajah yang setengahnya masih tertutup buku. Dari jarak sedekat ini, aku bisa melihat mata yang sore itu tampak begitu sedih.

"Ehm ... Mas yang waktu itu, kan?"

Mas? What the heck! Apa aku mirip salesman sendok makan yang suka keliling kampung? Mataku biru and I'm on my Hugo Boss blue shirt, tapi dia memanggilku 'Mas'? Aku butuh lebih banyak oksigen sekarang.

Kutelan ludah dengan susah payah. "Wah, saya tersanjung loh karena kamu masih ingat sama saya. Tapi ... Elias! Boleh panggil saya Elias. Please, cukup Elias."

Nara menutup buku yang dibacanya dan tersenyum simpul. Ah, kuharap aku tidak membuatnya merasa kurang nyaman. "Ada yang bisa saya bantu?"

"A seat?"

Nara memiringkan kepalanya, menatapku dengan cara yang membuat gemas. Apa harus kujelaskan kalau saat aku bilang 'gemas' itu berarti aku ingin menciumnya?

"Ada tempat kosong sih di sana," —aku menunjuk dengan dagu—"bareng sama pria yang dandanannya agak ... you know. Percaya deh, saya sangat menjaga nama baik terutama di depan perempuan."

Refleks, Nara menoleh ke kanan—ke arah yang kutunjukkan—dan langsung menahan senyum saat mendapati seorang pria bertubuh gempal yang mengenakan kaus V-neck ketat sedang duduk melipat kaki, sama sepertinya. Ah, satu lagi, warna kausnya kuning terang.

"Please...." Aku memohon lagi.

"Silakan duduk."

"Thanks."

Untuk sesaat, kami cuma diam dan bertatapan dengan canggung. Ini bukan pertama kalinya aku berkenalan dengan perempuan, tapi jelas ini pertama kalinya aku tidak bisa memuntahkan sialan yang tersangkut di tenggorokan.

"Ehm ... saya Elias."

Oke, oke! Ini konyol! Aku kan sudah bilang tadi dan ini benar-benar membuatku seperti orang tolol. Tapi ... hei, memangnya siapa yang bisa berpikir jernih saat duduk di depan orang yang sudah berminggu-minggu dia incar. Jadi tolonglah, maklumi kali ini.

"Kamu udah bilang tadi."

Nah, kan!

"Iya saya tahu. Saya cuma ngetes kok. Kali aja kamu lupa, soalnya kamu kayak bingung gitu lihat saya."

Satu pelajaran lagi; secanggung apa pun di depan seorang wanita, jangan biarkan mereka menguasai keadaan. Tidak percaya? Lihatlah ekspresi serba salahnya sekarang yang seolah ingin meneriakkan 'fuck you' di depan mukaku. Tentu saja, Sayang. I'm gonna fuck you, soon!

"Jadi, kamu duduk di sini karena kamu bukan gay dan nggak mau dikira gay?"

Berusaha membalikkan keadaan, Nona manis? "Nggak juga sih. Itu cuma alasan aja. Saya memang nggak mau melewatkan kesempatan buat duduk sama perempuan secantik kamu."

Sesaat perempuan di depanku ini menahan mulutnya yang terbuka, mungkin menyiapkan serangan balasan. "Jadi, kita punya perayu di sini?"

"Investment Banker sebetulnya, tapi gara-gara kamu saya jadi perayu sekarang."

"Kamu ke sini bukan cuma buat ini, kan?"

"Saya ke sini buat traktir kamu minum kopi."

"Saya udah punya kopi."

"Saya juga udah punya teh."

"Kalau gitu—"

"Kalau gitu ... saya harus traktir kamu lain kali."

Di depanku, Nara mengembuskan napas lalu menutup mulutnya yang sempat terbuka. Disandarkannya punggung ke booth, sementara tangannya terlipat di depan dada. Mata kelabunya masih terkunci di kedua mataku, mencoba mencari celah untuk masuk ke dalam pikiranku.

"Yang terakhir, bukan rayuan. Saya beneran mau nraktir kamu kopi." Serangan terakhir dariku, selembut mungkin.

Terpaksa mengakui kekalahan, Nara akhirnya mengulas senyum. Pipi perempuan berkulit kuning langsat itu merona, membuatku—sedikit—terpesona; membuatku lupa dengan libido yang masih terpenjara di dalam sana, atau Tony yang sudah menyiapkan pistol untuk menembakku di kepala.

Aku tidak peduli apa pun lagi, karena seluruh dimensi waktuku hanya terpusat pada sosok wanita yang tengah tersenyum manis. Nara seperti matahari yang menarikku ke dalam medan magnetnya. Dia seperti laut dan akulah sungai yang berujung kepadanya. Nara membuatku lupa pada semua hal; lupa pada egoku, pekerjaanku, juga harga diri yang kujunjung tinggi. Termasuk, lupa bagaimana awalnya hingga kepalaku berhasil menciptakan sederet puisi yang memuja kecantikannya. Sore itu, aku menghabiskan dua jam waktuku yang bernilai jutaan hanya untuk menemaninya minum kopi.

Oh, sebelum aku lupa memberi tahu, ada sedikit bercak kehijauan di matanya yang kelabu.





[...]

entitas : satuan yang terwujud, perwujudan

chauvinistic (chauvinism) : paham cinta yang terlalu berlebihan. Diperluas menjadi paham fanatisme yang tidak berdasar

Sang Nabi : judul buku karangan Kahllil Gibran. Judul aslinya The Prophet


✳✳✳



Bekasi, February 25, 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top