: Bukan Update :

~ Just when she thought it was over, she become Black Butterfly ~






: nukilan :
: Kupu-kupu Hitam Putih :




Terakhir kali Nara menyentuh alat lukis saat usianya dua belas tahun, saat dia dinyatakan gagal masuk sepuluh besar seleksi olimpiade Matematika tingkat kabupaten. Dia masih ingat bagaimana dadanya berdebar cemas dan langkahnya semakin lama semakin berat seiring dengan jarak rumah yang kian memendek. Ada kegelisahan di raut wajahnya yang sendu. Dia tahu, papanya pasti akan sangat kecewa.

“Papa pasti ngerti. Papa nggak akan terlalu marah,” gumamnya pada diri sendiri seperti sedang merapal mantra seolah itu bisa membuatnya menjadi tak terlihat dan dia bisa melewatkan sorenya dengan nyaman. Seperti biasa.

Jadi, sepanjang perjalanan dia naik angkot dari sekolahnya di SMP 1 Purwokerto sampai akhirnya berhenti di seberang kantor pos di Jalan Sudirman, Nara tidak berhenti menguatkan nyali. Tapi, memang hati sulit diajak kompromi. Begitu kakinya diajak melewati jalanan kecil dan gang-gang menuju rumahnya di Kedungwuluh, pikirannya malah memunculkan ingatan-ingatan bagaimana Papanya menjejali Nara dengan buku-buku latihan. Nara bahkan ingat, bagaimana dia begadang mengerjakan soal-soal untuk pelajar SMA. Semakin Nara mencoba mengenyahkan semua itu, semakin kilasan-kilasan itu berkonspirasi dan menyerangnya bertubi-tubi. Kelak akan Nara tahu, kalau semakin banyak rasa takut dilesakkan ke sudut paling jauh, semakin rapi mereka menyiapkan serangan balik dan menghantamnya di kesempatan pertama.

Maka, Nara tidak tahu apakah dia bersyukur atau malah sebaliknya saat dia mendapati Mas Nayaka—kakak satu-satunya—sedang dijemur di bawah terik matahari, bertelanjang dada, di depan rumah. Pemuda tanggung kelas 3 SMA itu cuma meliriknya sekilas sebelum kembali menundukkan kepala hingga dagunya nyaris rapat dengan dada. Ini bukan pertama kali Nara melihat yang seperti ini. Mungkin Mas Nayaka bolos lagi, pikir Nara saat itu. Tapi kelak juga, Nara akan tahu kalau tebakannya saat itu tidaklah benar.

“Tapi kasihan, Pa. Selama ini Papa lihat sendiri kan kalau Kaka nggak berubah. Itu artinya mau dikerasin kayak apa juga nggal mempan, Pa. Mungkin, cara didik Papa … maksudnya kita, salah, Pa.”

“Ora ono sing salah! Emang dasar anak lanangmu itu kebangetan badungnya!” sentak Hastomo Wastu pada Lasmini, isterinya.

Langkah Nara yang memasuki rumah terhenti saat mendengar suara itu. Mulutnya yang terbuka setengah, bersiap mengucap salam, tertahan. Tak punya nyali dia mencuri perhatian di saat papanya sedang marah, dan sesungguhnya … bukankah dia juga ingin menyembunyikan diri?

Di usianya saat itu, Nara tahu kalau mamanya pasti akan memilih diam dan membiarkan Hastomo, papanya, yang memang keras itu tetap dengan pendiriannya. Ah, mamanya memang dididik dengan budaya Jawa kental yang cenderung paternalistik. Sekecil itu juga Nara tahu, drama seperti ini terjadi berkali-kali. Dan berkali-kali pula mamanya selalu bilang, “Nara, perempuan itu harus bisa jadi kanca wingking buat suami. Makanya kamu harus pinter-pinter pilih. Bibit, bobot, bebet mesti jelas karena kita itu swarga nunut, neraka katut sama pasangan.” Setiap kali mamanya berkata demikian, Nara akan duduk di bawah sofa mendengarkan dengan patuh tanpa berani bertanya. Tidak, Nara tidak diajarkan untuk bertanya. Dan orangtuanya tidak pernah tahu, kalau dalam benak gadis manis itu muncul pertanyaan besar yang tak pernah berani diutarakan, kenapa harus jadi kanca wingking kalau bisa jadi sigaraning nyawa?

“Nara, kamu udah pulang, Dek,” sapa mamanya yang entah sejak kapan sudah keluar dari kamar, disusul papanya yang masih memakai kemeja kerja dan celana pipa hitam yang selalu mengiilat. Papa tidak suka kalau celananya tidak disetrika sampai benar-benar licin. Papa bilang, sandangan pria menunjukkan bagaimana seorang isteri mengurus rumah tangga.

“I-iya, Ma. Baru aja kok.”

“Eh, kamu toh. Tadi pengumuman kan? Gimana? Anak Papa pasti lolos, kan?”

Kalau bisa, Nara ingin menghilang saat itu juga. Tak ada yang ingin menambah-nambahi saat emosi papanya sedang tinggi. Papa memang belum pernah memaki atau menghukum Nara seperti Mas Kaka—panggilannya untuk Nayaka, tapi Papa juga tak pernah ingin dibantah keinginannya. Dan Nara cukup tahu bagaimana memuaskan papanya dengan nilai akademis yang selalu di atas rata-rata.

“Nara! Papa nanya sama kamu kok diem?”

Di usia yang saat itu hampir menginjak angka empat puluh, Hastomo merasa cukup mengenal anak-anaknya dengan baik, terutama Nara, puteri yang selalu dibanggakannya. Sejak puterinya masih kecil, Hastomo yang menyandang gelar Raden Mas di depan namanya itu juga tahu kalau Nara akan tumbuh menjadi perempuan yang mampu memikat hati para pria dengan mata kelabunya yang teduh, senyumnya yang lembut dan tutur bahasanya yang santun. Itulah sebabnya, pria yang menjadi dosen di Universitas Jenderal Soedirman itu membekali Nara dengan pendidikan sebaik mungkin. Berharap, kekecewaaannya pada sang isteri tidak perlu dirasakan pria mana pun yang akan menjadi menantunya kelak. Karena Hastomo tahu, ada saatnya seorang pria bukan cuma butuh pendamping yang manut tapi juga sedikit menuntut.

“Nara!” bentak Hastomo keras. Ditatapnya Nara yang bergeming di tempatnya berdiri dengan pandangan risau, tangan mencengkeram rok biru dan bibir gemetar. “Kamu gagal?”

Seperti Hastomo yang tahu, Nara pun tahu kalau dia tidak akan bisa menghindar. Dianggukkannya kepala pelan-pelan, seolah takut kalau gerakan kecilnya akan membangkitkan amarah yang besar. Tidak hari ini.

“Kenapa bisa?”

Nara tidak memerhatikan, kapan papanya mulai mendekat karena tatapannya terpaku di lantai, menatap ujung kakinya sendiri tapi suara itu begitu jelas, keras, menggetarkan nyalinya yang kecil.

“Ma-maaf, Pa.”

“Kamu belajar, kan? Atau tidur?”

“I-iya … eh, enggak, Pa. Nara belajar kok.”

“Kalau belajar kenapa bisa gagal? Soal buat anak SMA aja kamu bisa ngerjain kenapa bisa gagal? Papa nggak minta kamu untuk gagal, Nara!”

“Ma-maaf, P—“

“Berhenti bilang maaf!” Jeda sejenak dan Hastomo melanjutkan lagi, “Atau jangan-jangan … kamu sibuk nggambar lagi? Keasyikan kamu main cat kayak masmu yang nggak guna itu?”

Nara semakin menunduk, merapatkan dada dengan dagu, persis seperti Mas Kaka.

“Masuk kamar! Jangan keluar sebelum Papa suruh!”

Dan Nara pun menurut. Diseretnya langkah menuju ke kamarnya di lantai dua. Tak berani Nara menatap Lasmini yang diyakininya sedang memandang melas, atau papanya yang entah menatapnya dengan cara apa. Nara tak berani mencari tahu.

Kepalanya baru terangkat sebentar saat kaki rampingnya telah sampai di anak tangga teratas, bersamaan dengan suara papanya yang tidak terlalu keras namun tegas, “Mulai sekarang, kamu nggak boleh menggambar apalagi melukis. Papa juga akan bilang sama Pak Rosyidi kalau kalian berhenti kursus. Papa akan buang semua cat di kamar kamu. Jam belajar kamu juga ditambah. Papa nggak mau dengar lagi kata gagal, Nara!”

Sekali lagi, Nara menunduk.


[...]


Iniiii apaaaa😨😨😨😨
Like i said, ini bukan update. Ini nukilan, tahu kan ya nukilan tuh apa.
Terus kok namanya Nara?

Ummm yes, ini Nara yang sama 😊

Jadi ceritanya saya ditantangin (percayalah dia orang paling ngeselin karena bisa bikin saya sampe nafsu gini) bikin cerita yang PUnya cewek dan .... Pov3.

Errr, buat saya pov 3 itu siksaan. Yang baca tulisan-tulisan saya pasti tahu kalau saya selalu pakai pov 1 (kecuali cermin) dan nulis segini aja saya bolak-balik revisi🙈🙈

Buat yang penasaran kenapa Nara tuh abu-abu banget dan pengin kenal Nara lebih dari sekedar perempuan kalem-kalem gaje bikin gregetan yang bikin om Eli klepek-klepek, ini cerita tentang Nara😊 akan langsung saya publish begitu Brilliant Madness selesai.

Terus BM kapan? Lagi saya ketik nyolong2 jam kerja🙊dan pasti update secepatnya.....

Thanks for your support 😉😉😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top