: Brilliant Madness :
Happy Sunday, Happy holiday, Happy reading-day😘😘Kemarin saya bilang outline cuma 16 bab, tapi ini udah 16 dan belum tamat🙈🙈🙈 Saya lagi mempertimbangkan mau pakai prolog atau abisin aja....
Enjooy, sorry lama dan sorry kalau feelnya kurang🙏
❇❇❇
: Part Sixteen :
: Masa Sekarang :
Suara berat Calvin Haris membawakan lagu Summer yang melengking keras dari ponsel Nadhiralah yang akhirnya membawaku kembali ke dunia nyata, menarikku dari lamunan yang menyeret kesadaranku ke masa lalu dan membuatku hanyut dalam kenangan seorang wanita yang tak pernah bisa kuselami kedalaman hatinya. Tak perlu kujelaskan kan siapa? Anyway, sudah beberapa hari ini kubiarkan saja si Pujangga yang membuatku gila berkeliaran di kepala. Jadi jangan protes kalau akan ada banyak kata-kata puitis nanti. Shit, aku bahkan tidak tahu sedang mengoceh apa sekarang.
Oh, kalau kalian ingin tahu apa yang terjadi sejak malam itu; Nara menghilang. Tahu artinya menghilang? She can't be reached and ... boom! Gone! Disappeared. Just like that.
Dia tidak menelepon, tidak bisa dihubungi, rumahnya kosong. Begitu saja dan aku tahu ... Nara tidak akan kembali. Tidak untukku....
Jangan tanya kenapa karena percayalah, aku pun sama ingin tahunya dengan kalian. Maksudku, beberapa hari lalu, aku ingin tahu. Tapi sekarang...?
"Iya, tenang aja. Temen lo nggak bunuh diri kok. Masih utuh, cuma bau doang nggak mandi berhari-hari."
Aku terkekeh kecil mendengar suara Nadhira yang berbicara di telepon. Dia masih duduk di sana, di lantai, bersandar di samping ranjang setelah berjam-jam kami cuma membisu, sedangkan aku masih bersandar di sisi pintu dan menerawang jauh ke jalan raya; mengamati taksi biru yang berlalu lalang. Taksi biru.
Aku berani bertaruh demi ... ah, entah demi siapa karena aku tidak bisa mengingat wanita selain Nara, kalau yang menelepon Nadhira pasti Tony. Mungkin bajingan itu sedang tertawa di seberang sana, mengolok nasibku yang menyedihkan. Seorang Elias ditolak? Tuhan benar-benar sedang bercanda. Ironisnya, aku tidak tahu kenapa nama Tuhan bisa terlintas di kepalaku.
Omong-omong soal Tuhan, baru-baru ini aku mulai percaya—kalian boleh tertawa— kalau Tuhan selalu punya cara untuk menerobos ke dalam hati siapa pun. Sialnya, aku termasuk di dalamnya. Pernah dengar kalau sepintar apa pun kita mencoba lari dari takdir, menghindarinya, semua yang dibutuhkan cuma waktu sampai akhirnya ia kembali menemukan kita?
Ingat saat aku cerita soal Amma juga tentang ajarannya soal cinta? Aku melakukan semua yang kubisa agar tidak perlu bersinggungan, tak perlu kenal apalagi ... you know what I mean. Lalu, siapa yang mengira kalau aku, Elias, akan jatuh pada seorang perempuan biasa, bahkan terlalu biasa, sampai-sampai aku lupa kalau sesuatu yang sederhana seringkali berdampak luar biasa?
Seperti itulah Nara. Sederhana dalam kerumitannya sendiri.
"Kamu mau ngomong sama Tony?" Lagi-lagi Nadhira mengembalikan kesadaranku. Mata cokelat mudanya yang besar menatapku, tidak tajam tapi juga tidak selembut Nara. Ah, bisa-bisanya aku membandingkan mereka berdua.
"Bilang aja, Senin depan aku udah masuk kerja," beritahuku yang disambut Nadhira dengan mengangkat bahu.
"Lo denger sendiri kan, Ton!"
Aku terkekeh lagi, membayangkan bagaimana Tony begitu khawatir sampai mengirim Nadhira ke sini. Orang bilang—jangan tanya sejak kapan aku peduli omongan orang—saat kita benar-benar jatuh, saat itulah mata kita terbuka dan melihat siapa yang benar-benar peduli.
"Ya udah tempat biasa, ya. Bye!"
Aku sudah beranjak dari tempatku berdiri saat Nadhira mengakhiri panggilannya. Kutenggak air dingin yang baru saja kuambil dari kulkas saat perempuan cantik itu mendekat dan menempatkan dirinya persis di depanku.
"Aku balik, ya? Atau ... kamu mau ikut kita ... like always?"
"Your English is getting better."
"Sialan! Kalau cuma gini doang gue juga bisa."
Aku tertawa melihat Nadhira memonyongkan bibir karena kesal sebelum akhirnya ikut-ikutan tertawa. Dia memang paling sebal kalau diledek soal kemampuan bahasa inggrisnya yang tidak terlalu bagus, padahal bukan sekali dua kali ada bule menggodanya. Tapi karena keterbatasan dan dia terlalu malas untuk mengatasinya, Nadhira lebih memilih untuk mundur.
"Kalau bisa ngomong indo sih gak apa-apa, kalau nggak kan gue repot. Nggak lucu kali mau nubruk segala buka google translate dulu," kilahnya setiap kali ada orang asing yang mendekat.
"Mister, Indonesia, can you?"
Aku masih ingat saat Tony mengerjainya habis-habisan di hari pertemuan kami. Mati-matian aku menahan tawa saat melihat mata polosnya yang menatapku cemas, khawatir aku tidak bisa memahaminya. Dan aku bahkan masih ingat, bagaimana malam itu akhirnya kami habiskan berdua. Nadhira menjadi satu-satunya—dan masih sampai sekarang—wanita yang menghabiskan malamnya selama enam jam ttujuh belas menit denganku di ranjang.
"No thanks, Nad. Aku masih malas keluar."
"Tapi kamu beneran nggak apa-apa, kan? Aku ... aku khawatir soalnya."
Bisa kulihat ketulusan di matanya yang hampir selalu tanpa kepura-puraan. Gairahnya, semangatnya, sangat disayangkan karena semua itu bahkan tidak berhasil menyentuh perasaanku. Nadhira hanya sebatas kemungkinan yang nyaris tak pernah terpikirkan.
Kulempar senyum, mungkin terbaik yang bisa kuberikan, sebelum menjawab "I'm fine" pelan. Terlalu pelan sampai-sampai aku tidak yakin kalau kata-kata itu sungguhan lolos dari bibirku yang kembali kering. Aku lupa, entah sejak kapan tidak lagi bisa membedakan apa kata 'baik-baik saja' memang bermakna sebenarnya atau cuma bagian dari kelaziman. Sungguh manusia memang makhluk mengenaskan.
Setelah memastikan tidak ada benda berbahaya di apartemenku—Nadhira bahkan dengan paranoidnya mengambil satu-satunya pisau dapur yang kupunya—yang berpotensi untuk melakukan tindakan paling tolol, Nadhira akhirnya berpamitan. Perempuan itu masih sempat memelukku sebentar, lalu mencium pipiku dan membuatku tertawa sangat keras saat dia menawarkan tubuhnya untuk membuatku sedikit bersemangat. Beberapa bulan lalu, aku jelas akan menyambut tawarannya dengan sukacita, tapi sekarang? Aku bahkan tidak tahu lagi apa yang kuinginkan.
"Nad...," panggilku saat Nadhira mencapai pintu. Dia memutar tubuh, menatapku dengan alis terangkat, menungguku melanjutkan.
"Maaf." Aku benci kata itu, percayalah. Tapi aku tahu, hanya itu satu-satunya yang bisa kusampaikan pada Nadhira sekarang. Untuk semua yang tak pernah bisa kuberikan.
"Maaf buat semuanya. Percayalah, aku nggak pernah menganggap kamu sama kayak perempuan-perempuan lain yang aku ajak tidur. You're a good girl and ... a good friend."
"Elias...."
"Aku ... aku cinta Nara."
Matanya, tidak sedikit pun kulihat kilat kekecewaan di sana. Tidak ada obsesi, tidak pula kemarahan, cuma senyuman. Dan sungguh itu membuatku iri. Aku berharap aku bisa sepertinya.
"Friend? Aku berharap lebih sih, tapi okelah. Lagian udah ada yang bikin kamu ngerasain apa yang semua cewek rasain, kok."
Sekarang, aku yang tersenyum.
***
Siapa yang bisa melawan nasib? Bahkan Romeo dan Juliet yang berusaha mencurangi kematian pun akhirnya menyerah. Lantas bagaimana denganku yang bahkan tidak pernah tahu apa itu cinta. Sayang sekali karena Amma tidak pernah mengajarkannya dengan baik, atau mungkin terlalu baik sampai aku percaya kalau semua hal yang berada dalam lingkaran logika adalah tempat paling aman. Tapi, siapa juga yang mengira, kalau Nara yang seperti angin lembut dengan mudahnya membuaiku sampai tertidur lalu berubah sekejap menjadi angin topan yang memorak-porandakan pondasi mimpiku yang baru mulai dibangun.
Ah, Nara, bahkan aku yakin dia pun tak pernah mengira.
Dengan langkah gontai, aku berjalan masuk ke tempat persembunyian, ruang kerjaku. Sejak pagi lalu itu, aku belum menginjakkan kaki lagi di sini, karena duniaku cuma berkutat di kamar; mabuk sampai tertidur, mabuk dan tertidur lagi. Aku bukan cuma tidak keluar, tapi juga mematikan hanpdhone dan menyiksa diri sendiri. Terkahir kali Tony datang, empat hari lalu, dia cuma membuka tirai, membiarkan cahaya matahari menampar-nampar wajahku yang kebas, memunguti botol-botol yang berserakan juga membuang sisa pizza yang sudah berjamur—oh, semua itu dia lakukan sambil mengomel tentu saja—lalu kembali meninggalkanku. Dan hari ini, dia mengirim orang lain untuk menyeretku keluar gua.
Kuembuskan napas kasar begitu duduk di kursi kebesaran, kursi yang dulu membawaku pada pemikiran yang dipenuhi ide-ide brilian dan memuluskan jalanku menjadi bajingan sialan yang kupikir akan terus melekat di belakang namaku selamanya. Sampai di sini, aku tidak tahu apa aku harus bersyukur atau menyesal.
Seperti teringat sesuatu, aku mencari charger untuk mengisi hanpdhone yang sudah mati berhari-hari. Saat aku mengobrak-abrik isi laci, saat itulah tanganku menyentuh sesuatu. Kutahan napas berharap dimensi waktuku juga akan ikut tertahan dalam kenangan saat Nara memberikannya padaku; sebuah buku bersampul merah muda dengan gambar wanita yang memandangku sinis.
Pelan, kutelusuri huruf-huruf hitam itu sekali lagi. A Brilliant Madness menggodaku, menimbulkan debaran keras di dada saat setiap detail wajah Nara membayang bersamaan dengannya.
If you ever had something inside you
Something that does not let you sleep,
something that does not let you go on with your daily life
If you ever had, something inside of you.
Napasku tercekat, entah kenapa.
"There's something in those words that I can't explain. Aku cuma ngerasa, apa yaa ... ehm, connected?"
Aku tersenyum kecil, mengingat kembali bagaimana mata abu-abu Nara bersinar, bergairah saat membicarakan buku yang masih meninggalkan aroma tubuhnya. Ah, mungkin itu cuma pikiranku saja. Tapi, membayangkan bagaimana Nara menyentuhnya, mengguratkan jari-jari lentiknya di lembar demi lembar, menghanyutkan diri dan pikirannya ... aku merasa seperti sedang melihatnya di depan mataku.
The madness is real,
and it is something most people cannot understand
you are not alone,
you never were
Dadaku berdebar lagi, membayangkan bagaimana Nara—mungkin saja—menangis saat membacanya pertama kali, merasakannya pertama kali, dan untuk pertama kali ada orang yang bisa membahasakan semua perasaannya dengan begitu gamblang. Apa yang luput dari perhatianku? Apa Nara semenderita itu?
Kuhela napas, merasakan getaran hatiku yang semakin hebat, merasakan himpitan sesak yang mulai membangkitkan sesuatu dalam tubuhku, menggeliat, berontak minta dilepaskan. Untuk pertama kalinya, aku merasakan setiap kesedihan, kehancuran, ketidak mampuan, kegilaan sempurna dalam dunia yang memang sudah lama gila.
"Buatku ini bukan buku puisi, tapi refeksi hidup manusia yang menyentuh sisi paling sensitif. It's not old-fashioned, it's just not for everyone. Ini cuma cara kita menemukan jawaban yang kita cari, sesuatu yang nggak pernah mampu kita pahami. Karena puisi, El, cukup dirasakan tanpa perlu dimengerti."
Aku bahkan masih bisa mendengar suaranya dengan jelas, terlalu jelas malah, memantul-mantul di dalam kepalaku yang dipenuhi dengan senyumnya, tawanya. Lalu, pelan namun pasti desakan itu semakin kuat, seiring dengan mata sendu Nara yang menatapku trenyuh, mencari pegangan, mencari kekuatan dariku yang seharusnya bisa memahaminya.
Aku bisa melihat ketakutannya saat menyaksikan orangtuanya bertengkar dan saling pukul hingga mamanya tersungkur. Aku melihat kemarahan saat dia menyaksikan papanya bercinta dengan adik iparnya sendiri. Aku merasakan kehilangan yang teramat besar saat dokter tidak bisa menyelamatkan mamanya. Aku merasakan semua yang—mungkin—kurasakan di usiaku yang belia, sesuatu yang terasa akrab, sesuatu yang kulupakan.
Sesuatu yang kami rasakan dan menyatukan kami berdua.
Lalu, aku mulai tertawa, merasakan diriku yang kembali utuh. Aku tertawa begitu keras hingga tubuhku lemas. Dan aku pun ... mulai menangis.
I want to become, all the memories that inhabit me.
The forgotten, the lost, and the things I thought,
belonged to me ... but have far gone away.
All the things I can no longer write about.
All the things, that take the best in me.
[....]
Disclaimer : Semua puisi di atas, saya ambil dari buku puisinya RM Drake, Brilliant Madness.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top