: All of You :
It's coming to an end🎉🎉 Btw, saya mau ngucapin happy birthday buat Egafirzi94 ciyeee ultah ciyee, nih Nara ultah juga. Long live, Ga. Anggep aja ini hadiah yaaa😘😘
Colek Rasdianaisyah yang bawelnya warbyasaahhh...😑😑
_______________________________________
Cause all of me, loves all of you
Loves your curves and all your edges
All you perfect, imperfections
(John Legend – All of Me)
: Part Thirteen :
~ 11 hari sebelumnya ~
“I dream about a home. Rumah kecil gitu, di pinggiran kota. Nggak perlu besar, tapi halamannya lumayan buat aku tanemin bunga. Aku suka anggrek, mungkin nanti aku mau nanam banyak anggrek.”
“Kenapa nggak dari sekarang?”
“Iya yah? Nggak tahu juga. Aku mungkin belum cukup sabar nungguin anggrek mekar. Fuchsia lebih reasonable, lebih gampang juga.”
“Reasonable. Lebih gampang, ya? Why don’t you take a risk?”
“Kayak kamu?”
Nara memalingkan wajahnya padaku, dan aku bersumpah kalau aku rasanya mau gila. Apalagi setelah apa yang kami berdua lakukan tadi. Ehm, apa aku terdengar seperti habis bercinta? Ayolah, Nara tidak seperti itu. Seks itu hebat, dan melakukannya dengan Nara, it would be perfect. Tapi tidak semua diukur dengan seks kan. Oh, malaikat pasti baru saja memberikan berkatnya padaku.
Anyway, awalnya it’s just a casual dance. Tapi setelah lagu selesai, irama saxophone Dave Koz justru terdengar lantang memainkan Careless Whisper yang membuat kami tak bisa berhenti. Jujur aku agak ragu saat tanganku mulai bergerak dan menarik pinggangnya mendekat. Tapi di luar dugaan, dia tidak menolak. Bisa bayangkan itu?
I dream about that moment every single day. Dan malam ini, aku bisa merasakan tubuh Nara yang menempel ke dadaku. Aku sampai mau pingsan saat aroma tubuhnya yang seperti taman bunga menyebar di dalam hidung, masuk ke paru-paru, membuat pujangga-pujangga di sana bersorak kegirangan saat Nara menyandarkan kepala di bahuku. Man, I told you, it was insanity.
Oke, aku hold sebentar karena perempuan ini sudah mulai tidak sabar.
“Kok kayak aku?”
“Kamu suka tantangan, kan? Looks like you love risking your life.”
“Hampir semua pria begitu, Nara! Hidup itu semacam video game. Begitu selesai level satu, kita akan masuk ke level dua dan seterusnya.”
“Oh, ya? Jadi itu kenapa pria suka metode hit and run dari cewek?”
“Umm, pardon me?”
“Soalnya, begitu perempuan yang mereka kejar buka hati, tantangan nggak ada lagi.”
Shit!
“Bukan itu. Umm … well … gini.”
“Begitu pria dapet yang mereka mau, the game is … over!”
Double shit!
Kuhela napas panjang, mencoba berpikir jernih untuk keluar dari situasi memojokkan ini. Aku tidak mau Nara menilaiku … buruk? Aku akui kalau aku memang berengsek, badboy, atau … apalah sebutannya, tapi ada saatnya aku—maksudku pria sepertiku—ingin menjadi pria baik-baik, terutama saat bertemu wanita yang tepat. Kebanyakan orang tidak akan percaya tentu saja, tidak sampai kami membuktikannya. Jadi, aku megerti kalau Nara juga begitu.
“Nara, pria itu petualang. Secara naluri kami tertarik dengan hal-hal maskulin, dominan, we wanna win all competitions.”
“Dan pengalaman di ranjang itu kamu anggap … kompetisi.”
“Ini klise, but it’s true. Kami punya kebutuhan emosi dan otonomi yang sama besarnya.”
“O … o-key! Aku nggak paham, tapi….”
“Nara … sama seperti perempuan, you just need to find that switch button. Once you find it … congratulation, because you got the ability to control the world.”
Ada yang mau bertepuk tangan? Lihat, Nara tertawa. Keras. Tak peduli lagi dengan waktu yang sudah hampir tengah malam. Biasanya, aku suka melihat Nara tertawa, tapi kali ini, aku seperti terusik.
Apa kalian pernah dengar ungkapan kalau rasa sakit tidak selalu diukur dari air mata, tapi juga senyum dan tawa yang dipalsukan? Aku tidak tahu apa Nara sedang melakukan ini, tapi matanya sama sekali tidak tertawa. Dia seperti sedang memainkan peran.
Apa yang ada dalam pikiranmu, Nara?
“El?” panggilnya setelah terdiam lumayan lama.
“Ya?”
“Apa pernah ada orang yang nemuin … you know, that button thing?”
Kamu! Kamu, sejuta kali kamu. Bahkan jutaan kali lainnya di kehidupan sebelumnya dan yang akan datang. Kamu cuma tak pernah tahu.
“Ehm, itu—wait!” Kuangkat pergelangan tangan yang dilingkari Montblanc 4810 Twinfly dan mengawasi detiknya yang bergerak pelan. Sekilas kulirik Nara yang menatapku heran.
“Kenapa?” tanyanya.
“Ssshh ….”—aku mulai menghitung dalam hati, satu dua—“Happy birthday!”
Ah, senyum itu. Meski tipis, tapi tetap manis. Merah jambu malu-malu ikutan muncul di pipinya yang putih bersih.
“Ah, tunggu sebentar.” Seperti teringat sesuatu, kukeluarkan korek dari kantong celana. Tapi dasar apes, saat momen krusial seperti ini malah tersendat. Korek mendadak macet dan jempolku sampai merah berusaha memutar pemantiknya—ingatkan aku untuk tidak membeli barang murahan di minimarket. Nara yang melihat tingkahku malah semakin tertawa.
Aku bangun dari duduk dan menghampiri Nara. Dia tidak bisa menahan ekspresi kagetnya saat aku tiba-tiba berlutut di depannya dengan korek yang—akhirnya—menyala.
“El … jangan! Jangan begi—“
Kutarik napas, memepersiapkan diri. “Today is a special day, when God decided to send an angel as a special gift to this world. I’m wishing you a lot of happiness, smile, laughter, and joy to bright your life. Happy Birthday, Nara. Thanks for giving me a chance to celebrate your big day with me. Ehm … sorry about the dinner.”
Oke, yang barusan itu … bukan si pujangga. Itu aku sendiri. Jangan tanya dari mana karena aku sendiri tidak tahu bagaimana kalimat itu keluar dengan mudahnya dari mulutku. Begini, terkadang perbedaan antara intuitif, nekat, tak bisa berpikir, spontan dan … bodoh, itu setipis lingerie—ehm, lupakan bagian akhirnya—dan kadang tindakan kita adalah gabungan dari semuanya. Masalahnya, kita tidak pernah benar-benar tahu, berapa masing-masing kadarnya dan mana yang paling dominan. Sama seperti sekarang, aku tidak tahu apa yang membuatku bersikap manis seperti ini.
Ayolah, akui saja kalau aku memang romantis. Tidak percaya? Lihat mata Nara yang … lembut tapi bersinar, campuran antara terkejut, kagum, juga terharu.
“Eli, inii….”
“Tiup koreknya, Nara.”
Nara tersenyum dan hatiku rasanya dipenuhi jutaan kembang api yang meledak bersamaan.
“Nara, plis … ini panas!”
Nara masih sempat tertawa sebelum akhirnya dia meniup lilin … maksudku korek api seharga dua ribu yang aku bersumpah akan kusimpan di laci sebagai kenang-kenangan. Oh, aku terdengar menggelikan.
“Makasih ya, El. For everything, for being here, and….”
“Ah lupa,”—kutepuk jidatku saat mendadak teringat sesuatu—“kamu belum make a wish.”
“Ya ampun, El. Aku pikir apaan.”
“No … no … no! Nggak bisa! Itu penting, kita ulang lagi ya.”
“Nggak usah, ya ampun!”
“Enggak ah, ulang lagi aja! Ehm, ngomong-ngomong … aku lupa tadi ngomong gimana ya?’
“What?” Nara tidak bisa menahan tawanya lagi. Kali ini dia benar-benar tertawa—tahu kan maksudnya—dan ada sesuatu dalam hatiku yang ikut bergetar, pecicilan tak bisa diam seperti ingin melompat keluar, terutama saat menyadari kalau aku adalah alasan Nara tertawa.
Sebut aku tak tahu diri, tapi aku ingin lebih sering begini. Aku ingin menjadi satu-satunya alasan untuk Nara kembali berseri.
“Nara, aku—“
Belum sempat kuselesaikan kalimat, pandangan Nara sudah teralih ke atas handphone-nya yang tergeletak di atas meja. Lagu You Make Me Smile milik Dave Koz terdengar lantang, menarik perhatian Nara pada sederet nomor asing yang muncul di layar. Sampai lagu terputar untuk kedua kali, Nara masih bergeming.
“Kamu nggak angkat?”
Dia masih diam.
“Nara? Itu siapa?”
Dia tetap diam.
“Nara?”
Lagu berhenti, dan saat Nara mengangkat wajahnya, aku kembali menemukan kelabu. Bukan cuma di matanya, tapi juga di wajahnya, di sekelilingnya, di mana-mana. Dan aku sadar, itu adalah telepon yang sama yang membuatnya menangis saat kami mengunjungi Santo Yusuf.
Secepat inikah? Secepat inikah kebahagiannya terenggut lagi?
Ada getar samar di bahu Nara karena menahan sesuatu yang mungkin sudah hampir meledak, menghancurkannya menjadi kepingan-kepingan kecil dan hanya mampu dilampiaskan pada tangis. Bola matanya mulai berkaca-kaca, bukan lagi karena menahan haru melainkan menahan kelenjar-kelenjar yang bekerja giat mengumpulkan air mata. Pada saatnya nanti, air mata itu akan mengumpul di pelupuk dan menjebol tanggulnya yang rapuh, serapuh hatinya.
Saat tanganku mencoba untuk meraihnya, saat itulah handphone berdering lagi. Mulutku baru terbuka setengah sewaktu Nara berbisik pelan, “Itu Papa.”
Sial! Harusnya aku tahu. Bukankah berulang kali Nara mencoba menyampaikannya meski tidak secara langsung. Bodohnya aku yang cuma peduli bagaimana mendapatkan perhatiannya, tanpa benar-benar tahu apa yang Nara butuhkan. Mendadak aku merasa tak berguna.
“Nara, mungkin … mungkin ini waktunya kamu berhenti lari.”
Pelan, kutembus mata abu-abu Nara yang kini tersaput air. Ada kelemahan dan rasa lelah yang mendadak terlihat begitu jelas dalam pantulannya yang redup. Ah, kalau bisa, aku sungguh ingin meraihnya, menyembunyikannya dalam dekapanku yang hangat untuk membuatnya nyaman.
Beri tahu aku, apa ini yang dirasakan seseorang yang tombol hatinya telah tersentuh? Aku merasa seperti orang tolol yang tidak peduli pada apa pun lagi kecuali membuat Nara merasa terlindungi.
Aku ingin jadi pria hebat, sangat hebat, paling hebat di mata Nara. Aku—
“El?”
Aku mengangguk pelan, meyakinkan Nara. Saat kulihat air mata yang mengalir pelan di kedua pipinya, aku tahu ada keyakinan yang juga pelan-pelan terbentuk dalam hatinya. Kuraih tangan lembut Nara dan menenggelamkannya dalam genggaman tanganku. Entah bagaimana, aku tahu kalau Nara tidak butuh kata-kata hiburan apa pun, jadi aku cuma diam. Mencoba menyampaikan semua yang ingin kusampaikan lewat tatapan dan seulas senyum—ini harusnya lumayan ampuh untuk membuat Nara melihat ketulusanku—saat akhirnya dia bangun dan membawa handphone hitamnya masuk ke dalam rumah.
Sekitar lima belas menit aku menunggu di belakang, membiarkan Nara menyelesaikan urusannya. Ditemani sebungkus Marlboro putih yang tinggal setengah, aku coba memikirkan lagi keberadaanku di sini, juga keberadaan Nara di hidupku.
Aku tahu ini gila—memangnya ada kata lain yang lebih tepat—tapi melihat Nara seperti itu, aku jadi serakah. Aku tidak puas cuma dengan menemaninya minum kopi, menyentuhnya, membuatnya tertawa. Aku ingin melihatnya setiap hari, setiap pagi sampai malam hari, memastikan dia tidak lagi menangis; memastikan dia tidak pernah merasa kesepian, memastikan Nara baik-baik saja.
Aku ingin menjadi satu-satunya yang memberinya pelukan saat dia merasa rapuh. Aku ingin menjadi alasan Nara tersenyum saat nasib berubah angkuh.
Aku menginginkan semua kebahagiaan dan kesedihan Nara. Semua keindahan dan kelemahannya. Aku menginginkan Nara seutuhnya.
Beri tahu aku, perasaan apa itu?
Jam sudah menunjukkan pukul satu lebih saat aku terbangun dan sadar kalau aku ketiduran di bangku belakang. Crap! Bisa-bisanya aku ketiduran saat Nara … eh, mana Nara? Apa dia sudah tidur? Kenapa dia tidak membangunkanku dan malah membiarkanku sendiri?
Sedikit linglung, aku masuk ke dalam dan mencari Nara. Dapur kosong, ruang tengah kosong, kamar mandi kosong. Baru memutuskan memanggil namanya, aku melihat pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Pelan, aku pun mendekat. Dari celah pintu yang tak seberapa, kulihat punggung Nara yang melengkung membelakangiku. Tadinya, kupikir dia tidur. Tapi saat mataku menangkap gerakan samar di bahunya, aku tahu kalau aku salah. Nara sedang menangis.
Ragu-ragu, aku akhirnya memutuskan masuk dan mendekatinya. Nara tidak bereaksi saat aku menyentuh bahunya. Tidak ada suara tangis dan aku membayangkan bagaimana dia membekap mulutnya sendiri, sementara air mata sudah banjir membasahi wajahnya yang pucat.
Apa dia selelah itu?
Entah pikiran dari mana, aku menelentangkan tubuh di sampingnya. Sebelah tanganku mengusap-usap punggungnya lembut, berharap bisa menyalurkan sedikit kekuatan yang mungkin Nara butuhkan. Berharap Nara tahu kalau dia tidak sendirian tanpa harus kujelaskan. Aku tidak tahu di mana yang salah, karena getaran di bahunya justru semakin cepat. Semakin lembut tanganku menyentuh, Nara justru makin tersengguk. Sayup suara tangisnya mulai terdengar lirih, namun cukup untuk merobek hatiku yang mendadak ikut membiru.
Sampai di sini, aku merasa semakin tolol.
“Nara,” bisikku pelan. Aku jelas idiot kalau berharap Nara akan menjawab. “Kamu tahu, kadang memaafkan itu bukan buat orang lain, tapi buat diri kita sendiri. Mungkin, itu satu-satunya cara supaya kita bisa melanjutkan hidup. Mungkin, itu satu-satunya cara untuk kita … berdamai dengan diri sendiri.”
Aku tahu Nara mengerti meski tak menanggapi. Orang bilang, tak ada yang lebih menyiksa daripada kesedihan yang tak bisa ditangiskan. Di satu sisi aku tidak tega melihat Nara menangis, tapi di sisi lain seperti ada yang berbisik kalau ini jauh lebih baik. Dan saat akhirnya, tangisan Nara benar-benar pecah, aku tahu dia akan baik-baik saja.
Mengumpulkan semua keberanian, aku mulai bergerak pelan, memiringkan badan dan menarik tubuhnya yang ringkih. Sebelah tanganku menyusup ke bawah kepalanya dan satu tangan memeluk perutnya. Tidak ada penolakan, dan pelan namun pasti, suaranya semakin lemah. Aku tidak berpikir lagi apa yang akan terjadi setelahnya. Yang aku tahu, kami tetap seperti itu sampai pagi. Yang aku tahu, besok Nara akan tersenyum lagi.
Dan yang lain, tak penting lagi.
[....]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top