Bab 7: Kulit Ular

Xavier membawa Kirana ke tepi sungai. Gadis itu membasuh wajahnya dengan air, lalu menyapu bekas jilatan para manusia-buaya itu dari kulit tubuhnya. Rasa jijik menghinggapinya, ia pun langsung menggosok kulitnya dengan keras agar tidak ada lendir yang tersisa. Sambil memukul permukaan air, gadis itu berteriak.

"Maaf, seharusnya aku tidak pergi berburu tadi," ucap Xavier. Ini sudah ketiga kalinya ia minta maaf sejak menghabisi para Bestial buaya tersebut.

"Sudah kubilang itu bukan kesalahanmu," ucap Kirana. Suaranya terdengar lesu dan sedih. Kenapa ia begitu bodoh mengira bisa bertahan di hutan berisi mahluk-mahluk yang berniat memakannya. Jika pun ia harus kabur dari Xavier, seharusnya ia memikirkan rencana matang-matang dan memperkirakan tempat dimana ia bisa berlindung dari ancaman para Bestial lainnya.

Pria itu melata ke belakang Kirana. Jemarinya dengan lembut menyentuh pundak gadis itu. Pakaiannya sudah robek disana-sini sehingga sebagian besar bagian atas tubuhnya terbuka. Kirana refleks menutupi dada dan bagian perutnya dengan tangan saat tahu Xavier ada di dekatnya.

"Aku ingin mandi, tolong jangan mengintip," ucap Kirana, tiba-tiba. Benar, aku ingin membasuh diriku. Aku ingin membersihkan tiap jengkal tubuhku dari air liur mahluk-mahluk itu!

Xavier memandangi punggung Kirana, wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Tetapi ia menurut, lalu, pergi ke bawah pohon agar Kirana memiliki ruang yang cukup untuk dirinya sendiri.

Kirana pergi ke ceruk yang ada di tengah sungai, setelah melepaskan pakaiannya, ia berendam di air sungai yang dingin tersebut. Kedalamannya hanya satu meter, jadi gadis itu tidak khawatir tenggelam. Ia bersandar di batu besar yang cukup tinggi, tubuhnya merasa rileks untuk beberapa saat.

Saat sedang membelakangi batu, Xavier tiba-tiba melata di atas sana. Kirana mendengar suara mendesis, seperti ular. Ia menoleh ke atas dan seketika berteriak.

"Mesum! Kubilang jangan mengintip!" Kirana langsung menutupi dadanya, ia sedikit menenggelamkan dirinya sampai hanya bagian hidung ke atas yang terlihat mengapung di air.

"Aku tidak berniat seperti itu," Xavier berkata jujur. Baginya, melihat mahluk yang telanjang itu sudah biasa. Kenapa manusia selalu mempermasalahkan hal sepele seperti itu, batinnya. Ia meletakkan beberapa lembar kain di atas batu itu. "Gunakan ini untuk pengganti bajumu."

"Eh?" Kirana melongo. "Darimana kau mendapatkan kain?"

"Kau akan tahu setelah memakainya," Xavier hanya berkata singkat lalu pergi menjauh dari ceruk tempat Kirana berendam.

Kirana sudah selesai mandi. Ia memandangi dress biru tuanya yang sudah koyak. Ia sedih karena gaun itu dibelinya dengan uang sendiri. Ia freelance mengajar sampai akhirnya tabungannya cukup membeli dress itu. "Selamat tinggal, gaun kesayanganku," ucapnya.

Gadis itu beralih ke kain yang ditinggalkan oleh Xavier. Ia mengangkat kain yang agak transparan tersebut, warnanya hitam dengan motif sisik yang familiar di matanya. "Jangan bilang kalau ini adalah.... kulitnya?"

Kirana merinding. Tidak pernah terbayangkan dalam hidupnya kalau suatu hari ia akan memakai produk dari kulit ular. Tetapi ia tidak punya pilihan lain, tidak mungkin kalau ia berkeliaran di tengah hutan hanya mengenakan pakaian dalam.

Ada tiga potong kain disana. Kain pertama berbentuk seperti rok, kain kedua lapisan tanpa lengan yang dipakai di dalam, sementara kain ketiga berbentuk seperti jubah untuk dikenakan di luar. Gadis itu memperhatikan penampilannya dari pantulan di permukaan air sungai. Tidak buruk juga ternyata, ucapnya dalam hati.

Xavier tertegun saat melihat Kirana datang dengan pakaian barunya. Kalau ia berdiri sejajar dengan Bestial ular tersebut, mereka seperti pasangan yang mengenakan pakaian couple. Tentu saja mirip karena kain itu dibuat menggunakan kulit ular Xavier.

"Kau tampak cocok mengenakan kulitku," puji Xavier.

Kirana bersedekap, "Sudah kuduga ini kulit ular."

"Bukan kulit ular biasa," kata Xavier. "Itu kain yang sangat langka dan mahal, para perempuan dari setiap suku bisa saling membunuh untuk mendapatkan kain dari kulit Suku Serpentes."

"Kenapa begitu?"

"Kulit Suku Serpentes ringan, punya motif tersendiri, bisa dibuat menjadi model apa pun, dan yang lebih penting, cakar dari Bestial lemah tidak akan bisa merobek kulit itu."

"Jika memang seperti itu, tidak heran mereka sangat menginginkan kulit ular," Kirana manggut-manggut.

"Suku Serpentes adalah kelompok yang sulit didekati, jangankan meminta kulit dari mereka, biasanya Bestial akan sangat merasa beruntung kalau tidak sengaja menemukan kulit buangan dari Suku Serpentes."

"Kulit buangan itu maksudnya—.."

"Ketika para Bestial ular berganti kulit," potong Xavier. Ia tersenyum miring. "Sekarang, apa kau masih mau mengeluh mengenakan kulitku?"

Wajah Kirana memerah, "Huh, iya deh, ini kain yang sangat berharga." Ia terdiam beberapa saat.

"Terima kasih," ucap gadis itu. "Kau memberiku kain yang bagus, juga menyelamatkanku dari Bestial yang akan memakanku."

Xavier bergerak mendekat, tangan kanannya menyentuh lembut dagu Kirana, mengangkat kepalanya sampai mata mereka berdua saling bertatapan. "Apa pun akan ku lakukan untuk pasanganku."

Kirana merasakan wajahnya menghangat. Pikirannya terasa kosong seketika, entah karena ucapan Xavier atau karena wajah tampan pria itu membuat fokusnya teralihkan.

Gadis itu buru-buru menguasai dirinya kembali, hatinya mendengar pemberontakan di dalam diri, waspada Kirana! Jangan termakan ucapannya!

Kirana memalingkan wajah sambil bersedekap, "Aku tidak bilang mau jadi pasanganmu! Aku hanya berterimakasih ya, jangan salah paham!"

Xavier masih tersenyum, terserah Kirana mau berkata seperti apa. Pria itu dapat melihat lonjakan suhu tubuh gadis itu, tetapi bukan karena rasa takut akan kehadirannya.

"Tadi aku menangkap beberapa ikan, kau mau?" tanya Xavier. Kirana langsung bersemangat, perutnya mendadak terasa lapar.

Ikan bakar terdengar lezat, pikir gadis itu. "Iya, aku mau!"

Xavier menyeret alas daun yang disembunyikannya di balik semak-semak. Disana terdapat setumpuk ikan sungai yang baru ditangkap tadi pagi.

"Banyak sekali!"

"Kau bisa memakannya sepuasmu," kata Xavier.

"Perutku mana muat," gadis itu tertawa kecil. "Baiklah, bantu aku bersihkan ikannya ya?"

"Tidak langsung dimakan?"

Kirana menjejakkan kakinya, sebal. "Sudah berapa kali kubilang, manusia tidak makan daging mentah!"

Xavier tersenyum geli, ia tadi hanya meledek Kirana. Setelah menyiapkan api unggun, Xavier membantu Kirana membersihkan sisik dan bagian dalam ikan tersebut. Menggunakan sebatang kayu yang ditancapkan di mulut ikan, Kirana memanggang ikan tersebut.

"Memang tidak ada garam, tetapi seharusnya ini lebih enak ketimbang daging rusa," ucap gadis itu. Ia menelan ludah saat hidungnya mencium aroma ikan bakar yang sedap. Angannya beralih ke restoran ikan bakar yang dulu sering dikunjunginya bersama teman-teman kuliahnya.

Ia menggigit daging ikan tersebut, aroma asap memenuhi rongga hidungnya disusul rasa manis khas daging ikan air tawar. Gadis itu tersenyum sembari mengunyah makanannya, "Ini enak," ucapnya. "Xavier, cobalah satu!"

Xavier yang tengah mengunyah ikan mentah akhirnya tergerak untuk mengambil satu ikan bakar yang sudah matang. Ia mengendus ikan tersebut, memang aromanya jadi sedikit lebih enak.

Kirana melihat perubahan ekspresi Bestial ular tersebut saat gigitan pertama masuk ke dalam mulutnya.

Mata pria itu membulat, seakan baru menemukan sesuatu yang baru dan mengejutkannya. Kirana terkekeh, "Enak kan?"

Xavier memandanginya sambil mengunyah, lalu mengangguk. Ia menghabiskan ikan bakar itu dengan lahap lalu mengambil potongan kedua dari pinggir api unggun.

Setelah sarapan, Kirana bangkit sambil merentangkan tubuhnya. Ia mengernyit, rasa sakit dari luka goresan di lengannya masih terasa. Xavier tidak bisa membantu banyak, ia tidak bisa menyembuhkan luka orang, itu adalah kelemahannya. Ia juga tidak terlalu paham cara mengobati orang lain karena dirinya sendiri selama ini tidak butuh pengobatan.

"Apa kita akan kembali ke lubang pohon?" tanya Kirana saat melihat Xavier selesai memadamkan api unggun.

Xavier menjulurkan lidahnya yang kecil dan panjang dengan ujung terbelah dua, persis seperti lidah ular. Itu adalah cara dia mendeteksi lingkungan di sekitarnya, ditambah kemampuannya sebagai Bestial, ia bisa melacak apa pun di sekitarnya dalam radius puluhan kilometer, bahkan lebih.

"Kita tidak akan kembali ke sana," ucapnya.

"Eh, kenapa?" Kirana heran, ia kira lubang pohon itu sarangnya.

"Tempat itu sudah tidak aman," kata Xavier. "Kita akan cari tempat lain."

Xavier melekukkan bagian ekornya menjadi seperti tempat duduk, ia meminta Kirana duduk di atas sana.

"Aku bisa berjalan sendiri," tolak Kirana.

"Naiklah, aku berjalan sangat cepat, kau bisa teritinggal," sanggah Xavier. Kirana mengembungkan pipinya, ia tidak suka dianggap tidak berdaya seperti itu. Tetapi daripada ia menghambat Xavier, akhirnya gadis itu menurut.

Mereka berdua akhirnya pergi meninggalkan tepi sungai, masuk jauh ke dalam hutan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top