Bab 6: Jebakan Buaya

Matahari belum sepenuhnya muncul saat Kirana terbangun. Gadis itu merasakan sensasi aneh di bawah perutnya, ia berguling dan terjatuh ke lantai. Suaranya ikut membangunkan Xavier yang beberapa menit lalu masih terpejam.

"Ada apa?" tanyanya dengan raut khawatir.

"Toilet—," ucap Kirana lirih sambil memegangi perutnya. "...Tidak, maksudku sungai, kumohon antar aku ke sungai."

Wajah gadis itu pucat tak karuan dan ia tampak seperti menahan sesuatu.

"Aku mengerti," kata Xavier, sigap. Ia langsung menggendong Kirana, bagian bawah pinggulnya yang masih berbentuk badan ular melata dengan cepat menuruni pohon besar yang menjadi sarang sementara mereka.

Kirana tidak sempat memperhatikan sekelilingnya, ia fokus menahan rasa sakit di perutnya. Yang ia tahu, Xavier bergerak sangat cepat, rasanya seperti meluncur di atas roller coaster ketika mereka turun ke bawah.

Tubuh Xavier yang berwujud setengah ular seakan merekat pada batang pohon tersebut, ia bisa bergerak turun secara vertikal tanpa khawatir. Gerakannya cepat, tetapi halus sampai Kirana tidak merasakan goncangan apa pun.

"Sudah sampai," kata Xavier setelah mereka tiba di pinggir sungai yang berbatu. Arus yang mengalir di antara sela-sela batu sungai cukup deras, ada beberapa ceruk sedalam satu meter di tengah sungai tersebut.

"Ah, syukurlah!" Kirana langsung lompat turun dari gendongan Xavier. Ia lari membabi buta, kakinya secara ajaib mampu melompati bebatuan sungai yang besar dengan lincah. Ia tiba di seberang sungai, tubuhnya bersembunyi di balik batu besar. Hening untuk beberapa saat, Xavier jadi cemas.

Tetapi Kirana langsung menyahut, "Aku baik-baik saja! Jangan datang kemari!" Tentu saja ia tidak ingin Xavier datang ke sana. Ia tidak ingin pria itu mengintipnya sedang buang air.

Perasaan lega menguasai gadis itu. Ia bersyukur karena ternyata pohon besar yang menjadi sarang Xavier cukup dekat dengan pinggir sungai.

Aku jadi nostalgia saat dulu ikut kemah di gunung, Kirana malah jadi mengenang masa saat ia duduk di bangku SMA. Gadis itu baru diresmikan sebagai pengurus OSIS dan salah satu kegiatan puncak peresmiannya adalah berkemah di gunung. Ia mengingat penderitaan saat pertama kali harus bertahan hidup di alam. Tapi berbeda dengan di dunianya, setidaknya, mereka masih punya tisu dan sabun untuk cuci tangan.

Di tempat ini, Kirana khawatir kalau tidak bisa membersihkan dirinya dengan layak. Bicara soal kelayakan, pakaian yang digunakannya pun sudah kotor dan robek di beberapa bagian. Kesan anggun sudah lama menghilang dari dirinya, ia sekarang terlihat seperti orang gila yang sudah tersesat berhari-hari di hutan.

Kirana menyudahi ritual paginya. Ia mengintip dari balik batu, di seberang sungai tidak tampak sosok Xavier. Kemana perginya ular itu? Kirana mencari-cari pria jakung berambut hitam tersebut.

"Tunggu, ini kesempatan buatku untuk kabur," cetusnya. Ia keluar dari sungai, melihat ke kanan kiri untuk memastikan kondisi sudah aman. Dalam hitungan kesepuluh, gadis itu langsung melesat lari ke dalam hutan.

Tidak peduli ke mana, pokoknya, dia hanya ingin lepas dari Xavier. Aku tidak mau kawin! Aku tidak mau kawin! Serunya berkali-kali dalam diri. Ia bisa menangkap kebaikan dari Xavier selama seharian kemarin, tetapi itu tidak cukup, ia masih memiliki rasa takut terhadap Bestial itu. Ada sesuatu di dalam dirinya yang merasa tidak nyaman saat sorot mata dingin Xavier menatapnya.

Kaki Kirana menginjak sesuatu, seperti untaian tali, hanya dalam sekejap tubuhnya terlontar ke ke atas, pergelangan kakinya terikat oleh tali dan tertarik ke atas, sementara dirinya tergantung terbalik menghadap tanah.

"Aaah!" Kirana berteriak kaget. "Ini jebakan?" Ia dengan cepat menyadari situasi tersebut. Kirana merasa familair karena sering melihat jebakan tipe seperti ini dari kartun-kartun yang ditontonnya saat kecil dulu.

Terdengar derap langkah kaki mendekat. Ada sembilan pria yang datang ke lokasi itu. Mata mereka lebar berwarna kuning dengan iris runcing berwarna hitam, di balik kain yang menutupi pinggangnya, terselip ekor bersisik hijau. Kirana dapat meliat sebagian lengan dan leher para pria itu memiliki sisik dengan warna serupa.

"Suku Pongo?" sahut seorang di antara mereka, tampak kebingungan. "Kenapa ada Suku Pongo berkeliaran di sekitar sini?"

"Terlebih, dia sendirian," timpal temannya.

"Kudengar daging para kera enak."

"Hei, air liurmu menetes!"

"Aku sudah sangat lapar, kurasa tidak apa-apa sekali-kali makan kera," pria yang bertubuh paling besar memotong tali yang terikat di batang pohon di dekatnya. Tubuh Kirana langsung jatuh ke tanah.

Kirana mengaduh, tubuhnya terasa sakit semua. Ia melihat langkah kaki orang-orang itu mendekat ke tempatnya. Kirana memaksakan dirinya untuk bergerak, ia menggeliat, berusaha bangkit berdiri.

Tetapi salah satu dari mereka menarik baju Kirana lalu mengangkat gadis itu. Ia membekap kedua lengan Kirana sementara teman-temannya mulai mencicipi aroma yang menguar dari tubuh gadis itu.

"Apa kau yakin ini Suku Pongo? Aromanya lezat sekali," ucap manusia-buaya yang air liurnya sudah menetes dari tadi.

"Aku ingin memakannya sekarang," kata salah satu dari mereka, ia suda membuka mulutnya, memamerkan semua giginya yang bertaring.

"Tidak, jangan!" Kirana meronta, tetapi tenaganya tidak berarti menghadapi tiga pria yang memegangi tangan dan kakinya.

Ketua kelompok yang bertubuh paling besar merobek pakaian di punggung Kirana, ia menyapukan lidahnya di punggung gadis itu. Sensasi dingin menjalar dari punggung ke tengkuk Kirana. Ia merasakan cairan lendir di bagian belakang tubuhnya.

"Hentikan, itu menjijikan," ucapnya. Terdengar isak tangis di ujung kalimatnya.

Pria itu mengecap lidahnya, matanya membulat seketika. "Ini lezat sekali! Kulitnya saja seenak ini, apalagi dagingnya!"

"Tunggu apa lagi? Ayo makan dia!"

Para pria itu bersorak sorai, air liur mereka menetes-netes sambil mulai menjilati pergelangan kaki dan tangan Kirana terlebih dulu.

Kirana kembali melawan, karena ia memaksa bergerak, lengannya sampai tidak sengaja tergores taring para manusia-buaya itu. Garis merah panjang muncul di kulitnya, darah merembes dari celah kecil tersebut. Bau amis semakin membuat mereka kelaparan.

Sesuatu bergerak dengan cepat dari arah sungai, mahluk itu tiba bahkan tanpa disadari para manusia-buaya yang berkumpul disana. Tebasan dari kuku tajam memotong dua leher manusia-buaya, mengagetkan semua orang yang ada di sana.

"Ada serangan!" seru ketua kelompok itu. Mereka melempar tubuh Kirana ke tanah, semua orang seketika fokus dengan sesosok Bestial yang baru saja membunuh dua rekan mereka.

"Xavier," mata Kirana berkaca-kaca menatap sosok Bestial berbadan setengah ular tersebut.

Xavier melirik Kirana, lalu beralih pada tujuh manusia-ular di depannya. Tatapannya yang tajam tidak hanya mengintimidasi mereka, ia juga mengluarkan aura membunuh yang seakan mencekik leher para Bestial buaya tersebut.

"Ular pengganggu!" Ketua kelompok itu berseru dengan pongah, ia sebenarnya takut, tetapi ia tidak sudi kehilangan harga dirinya di hadapan Bestial ular. Ia maju melesat menyerang diikuti anak buahnya.

Xavier bahkan tidak perlu menggunakan kekuatannya untuk melawan mahluk-mahluk lemah seperti mereka, ia dengan gerakan refleks yang tidak terlihat menghindari setiap serangan dari para manusia-buaya itu. Setelahnya, ia menebaskan kuku jemarinya yang panjang dan tajam, memotong-motong tubuh mereka sampai tak tersisa seorang pun.

Tanah dan rumput bersimbah darah segar, Kirana menatap ngeri pemandangan itu, apalagi saat ia melihat raut wajah Xavier yang tampak bersimbah darah para korbannya. Tanpa sadar, ia beringsut mundur saat Xavier melata ke arahnya.

"Tidak apa-apa Kirana, semua sudah kubunuh," ucap Xavier, ia mengulurkan tangannya.

Kirana menatap uluran itu ragu-ragu, tetapi kemudian ia menyambar tangan Xavier. Sambil melompat ke tubuh Bestial ular itu, ia menangis. Perasaannya terasa campur aduk. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top