Bab 34 : Perjalanan Baru

Pagi itu seluruh penduduk desa berkumpul di depan gerbang untuk melepas kepergian Kirana, Xavier dan Ezekiel. Kirana tidak henti-hentinya menyalami satu per satu penduduk yang datang untuk mengucapkan terima kasih atau sekedar berpesan agar ia sampai di tujuan dengan selamat.

Semalam, Kirana bertemu dengan Wagyo, Gigi dan Hugo. Ia menyampaikan niatnya untuk melanjutkan perjalanan esok pagi. Ketiga orang itu tampak sedih mendengar rencana kepergian mereka bertiga. Namun, mereka juga tidak akan mencegahnya.

Kirana memang bukan anggota Suku Cervid, tapi seluruh penduduk di desa tersebut sudah menganggapnya seperti salah satu dari mereka. Xavier dan Ezekiel juga sudah bertarung bersama seluruh penduduk untuk melindungi desa. Suku Cervid tidak akan bertahan hari ini jika bukan karena bantuan mereka bertiga.

"Kak Kirana!" Wage dan anak-anak rusa berlarian ke arahnya, mereka beramai-ramai memeluk betis gadis itu.

"Jaga diri kalian ya," ucap Kirana, terharu. Ia membelai kepala anak-anak rusa itu.

"Paman Xavier!" Wage melepas pelukannya dari kaki Kirana dan beralih ke kaki Bestial ular itu.

Xavier terkejut karena Wage memeluk kakinya. Ia tidak menyangka anak rusa itu berani mendekatinya, padahal sejak tadi ia melihat para penduduk desa seperti ingin menghampirinya, tapi mereka cuma maju mundur karena takut.

"Paman, jaga Kak Kirana untuk kami ya!" pesan Wage.

"Benar! Benar!" Anak-anak rusa lain ikut menimpali.

Xavier tersenyum tipis, ia sedikit menundukkan badannya. Tangannya yang jenjang meraih kepala anak rusa itu dan mengacak rambut coklat kemerahannya.

"Jadilah Bestial yang kuat dan lindungi rusa-rusa di sini," pesan Xavier.

Mata Wage berbinar. Ia tidak menyangka Xavier akan berkata seperti itu padanya. Anak rusa itu tersenyum lebar dan mengangguk penuh semangat.

Kirana yang menyaksikannya pun sampai keheranan, tapi ia senang. Kirana ingat saat pertama kali mereka bertemu dengan anak-anak rusa tersebut. Xavier bahkan tidak mau melirik mereka sama sekali. Namun, semua tampak berbeda sekarang.

Sebenarnya, sejak perubahan ke tahap lima, Kirana merasa Xavier menjadi lebih hangat. Ia memang masih bersikap acuh tak acuh dengan sekelilingnya, tetapi saat bicara dengan bestial lain, nada bicaranya lebih lembut dan tatapannya tidak setajam dulu. Ia bertanya-tanya, apakah itu dipengaruhi oleh evolusinya.

"Kirana." Suara Gigi yang memanggilnya, menyadarkannya dari lamunan. Bestial itu menghampirinya sambil menyerahkan sebuah tas dari jahitan daun-daun. "Mungkin ini berguna untukmu, kami membuatnya berdasarkan benda yang sering kau bawa."

"Oh? Tas hitam ini maksudmu?" Kirana menunjuk benda yang dikalungkannya di badan. Ia tersenyum senang dan menerima pemberian tersebut. "Terima kasih, ini sangat membantu!"

Ketika dibuka, di dalam tas pemberian Gigi ada beberapa buah-buahan dan lipatan daun pisang. Gadis itu mengangkat kepalanya dan menatap Gigi, bingung kenapa ada daun pisang di sana.

"Ah, itu bekal dari kami, siapa tau kau kelaparan," Gigi sedikit memajukan wajahnya dan berbisik di telinga Kirana. "Ezekiel bilang kau suka daun pisang, jadi kami membawakan banyak untukmu."

"Begitu rupanya, terima kasih."

Kirana menghela napas. Mereka pasti salah paham dengan perkataan Ezekiel, mengira dirinya suka makan daun pisang. Namun, Kirana tidak mempermasalahkannya. Daun pisang bisa digunakan untuk mengolah berbagai macam makanan nantinya.

"Kirana, ini untukmu," Wagyo menyerahkan sepasang sepatu yang terbuat dari kulit pohon.

"Sepatu?" Gadis itu tidak bisa menyembunyikan kebahagiannya. Ia langsung mengenakan sepatu itu dan rasanya sangat nyaman.

"Kami sempat mendengar kau kesakitan berjalan tanpa alas kaki, jadi kami coba buatkan sesuatu," jelas Gogo.

"Terima kasih!" ucap Kirana sambil menundukkan kepalanya.

High heels Kirana sudah lama rusak dan sejak saat itu ia mencoba berjalan tanpa alas kaki, tapi ia tidak nyaman karena telapak kakinya terasa sakit. Namun, sekarang kakinya tidak akan sakit lagi karena ia tidak harus khawatir berjalan menginjak kerikil atau batu-batu kecil yang tajam.

"Ini dariku," kata Hugo sambil menyerahkan bungkusan dari daun.

"Apa ini?" tanya Kirana.

"Obat, mungkin tidak bisa menyembuhkan luka yang fatal, tapi bisa untuk pertolongan pertama," terang Hugo.

"Benar, kalau sampai terluka bisa berbahaya karena di dunia ini tidak ada dokter," gumam Kirana. Ia memandang Hugo dan mengucapkan terima kasih.

"Oh, satu lagi." Bestial bertubuh tinggi besar itu mengeluarkan sesuatu dari kantong kulit di pinggangnya. Itu adalah sebuah kalung dengan bandul yang diukir menyerupai kepala rusa. Ia memberikannya kepada Kirana. "Tolong, kenakan ini."

Kirana mengangkat tali kalung itu. Matanya terpana dengan ukiran yang dipahat dengan hati-hati, rapi dan detail. "Kau yang membuatnya?"

Hugo mengangguk. "Dibuat dari batang pohon keramat kami. Agar kekuatanku terhubung denganmu."

Gadis itu mengerjap, heran. "Kenapa?"

Laki-laki itu berdehem kecil, berusaha menyembunyikan rona tipis di pipinya. "Setelah kondisi di desa membaik, aku berencana ikut dengan perjalanan kalian. Para petinggi desa sudah menyetujuinya, jadi aku harap kau tidak keberatan menerima kehadiranku nanti."

Kehangatan menyebar di dada Kirana, ia mengangguk dengan antusias. "Tentu saja, kau bisa bergabung kapan pun, Hugo."

"Terima kasih." Tangan besar Bestial rusa itu menangkup kedua tangan Kirana, rasanya begitu mungil dan lembut sampai memuat dada laki-laki itu berdebar.

Kirana pun mengenakan kalung pemberian Hugo, lalu ia selipkan di balik pakaiannya agar tidak terjatuh atau menyangkut saat perjalanan nanti.

"Apa sudah selesai?" Ezekiel muncul setelah tadi dikerumuni sebagian penduduk desa yang berpamitan dengannya. Bestial elang harpy itu mengibaskan kedua tangannya sambil memasang wajah yang mengerut. "Tanganku pegal menyalami orang-orang ini," bisiknya.

Kirana tertawa geli. "Sudah kok, kita bisa berangkat sekarang."

Perempuan itu menemui Xavier yang masih dikerumuni anak-anak Bestial rusa. Tidak terbayangkan bagi Kirana sosok ular hitam raksasa yang tempo lalu dilihatnya mengamuk, kini tampak seperti pria akhir 20an biasa yang akrab dengan anak kecil.

"Xavier, ayo," ajak Kirana sambil menyentuh ujung jubahnya. Pria itu menoleh dan mengangguk. Saat mereka beranjak, anak-anak kecil tadi berlari mengikuti Xavier sambil melambaikan tangan mereka.

Di depan para penduduk yang mengantar sampai depan gerbang, Kirana menunduk singkat dan menatap wajah mereka—orang-orang baik yang mau menerimanya, menolongnya dan tidak menghakiminya. Kehangatan para penduduk desa Cervid akan selalu ia ingat.

"Kami berangkat dulu, terima kasih atas bantuan kalian semua!" ucap Kirana kepada seluruh penduduk desa.

"Sampai jumpa!"

"Hati-hati!"

"Xavier, Ezekiel, tolong jaga Kirana!"

Kirana berjalan keluar desa, diikuti oleh Xavier dan Ezekiel. Suku Cervid mengiringi kepergiaan mereka bertiga dengan lambaian tangan. Penduduk desa rusa merah tersebut baru membubarkan diri setelah sosok ketiganya menghilang, masuk ke dalam hutan yang rimbun.

***

Tembok pepohonan menjulang tinggi di sekitar Kirana. Cahaya matahari tersaring melalui kanopi pepohonan yang rapat, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di permukaan tanah yang ditutupi lumut.

Suara daun berdesis dan angin lembut yang berhembus melintasi cabang-cabang pohon menghasilkan latar belakang alam yang menyatu dengan keheningan. Langkah Kirana yang tenang menyisakan jejak lembut di tanah berwarna coklat.

Dia merasakan aroma segar dari dedaunan basah yang mencium hidungnya, memenuhi udara dengan harum alami yang menenangkan. Langit cerah di atasnya berpadu dengan hijaunya pepohonan, tidak ada pertanda hujan akan segera turun. Perjalanan itu terasa lancar.

Keheningan itu pecah oleh suara berat Xavier. "Kau mau istirahat dulu?" tanyanya yang berjalan di samping Kirana.

"Tidak, aku masih kuat kok." Gadis itu menggeleng. Ia merasa begitu bersemangat di perjalanan kali ini. Semakin banyak langkah, artinya semakin cepat ia akan sampai ke tujuan.

Xavier bilang, dirinya pun butuh 10 hari untuk mencapai istana tersebut. Jika diukur dengan langkah kaki Kirana, mungkin perjalanan ini akan lebih lama dari yang biasanya. Namun, Kirana tidak mempermasalahkan itu, selama ia bisa menemukan cara untuk kembali ke dunia manusia, jarak seberapa jauh pun akan dia tempuh.

Ezekiel mempercepat langkah kakinya dan berjalan beriringan dengan Kirana.

"Apa kau mau terbang sambil aku gendong?" tawar pemuda itu sambil mengepakkan kedua sayap di punggungnya. Lebih seperti pamer karena ia baru menyikat bulu-bulunya sampai mengkilap pagi tadi.

Sekali lagi, Kirana menggeleng. "Terima kasih Ezekiel, tapi aku ingin jalan kaki hari ini. Cuacanya sedang bagus dan pepohonannya rindang, jadi tidak terlalu panas. Aku ingin menikmati perjalanan ini," terangnya sambil tersenyum lebar.

Jantung Ezekiel berdegup melihat senyum manis itu. "Baiklah, bilang saja kalau capek ya."

"Oke!"

Beberapa saat kemudian, mereka tiba di jalan yang bercabang. Kirana menoleh pada Xavier, memastikan arah mana yang harus dituju.

"Yang kanan," tunjuknya tanpa pikir panjang. Xavier masih mengingat jalan itu dengan baik. Bahkan, jika kondisi alamnya berubah, ia bisa mengandalkan penciuman tajamnya untuk melacak jalur yang tepat.

Ketika akan melanjutkan perjalanan, Xavier tiba-tiba berbalik ke arah Ezekiel.

"Hei Elang, sukumu ada di arah sebaliknya kan?" tanyanya pada Ezekiel.

"Hah? Apa maksudmu? Aku kan sudah bilang mau menemani Kirana!"

"Lebih baik kau pulang ke sukumu, mereka pasti kesepian tanpa dirimu." Xavier berkata setengah mengejek, lalu berbalik, meninggalkan Bestial elang harpy itu.

"Hei, kau mengejekku?" Tidak terima, Ezekiel langsung menyusul Xavier. Ia berdiri di depan Bestial ular tersebut. "Aku tidak akan kembali ke Suku Falco."

"Kenapa? Takut dicap gagal karena tidak berhasil membawa pasangan kawin?" Xavier tersenyum miring, meledeknya.

"Tu-tunggu!" Kirana memotong pertikaian dua orang tersebut sebelum situasi semakin panas. Ia lalu menoleh pada bestial ular itu. "Xavier, tidak masalah kan kalau Ezekiel ikut bersama kita?"

Xavier bersedekap. "Mereka bukan bestial yang hidup soliter, Kirana. Bisa saja keberadaannya nanti memancing sukunya mengejar kita." Ia bergumam. "Yah, walau para unggas itu bukan tandinganku."

"Unggas katamu?" Ezekiel merasa terhina. Walau faktanya, mereka memang unggas.

"Sudah, tenang, tenang!" Kirana menahan dada Ezekiel yang sudah maju ingin mengampiri Xavier. "Astaga kalian ini."

Ia menghela nafas, menepuk-nepuk pundak Ezekiel agar bestial itu tenang. "Xavier tidak bermaksud buruk. Ngomong-ngomong, kenapa kau tidak mau kembali ke sukumu?"

Bagi Kirana, masuk akal kalau Ezekiel tidak mau kembali karena masalah yang pernah dibuatnya dengan Oracle demi menyalamatkan dirinya saat itu. Gadis itu mengira, mungkin Ezekiel tidak mau kembali karena Oracle dan para Bestial elang lainnya akan membunuhnya saat kembali ke sana—mengecapnya sebagai pengkhianat.

Ezekiel terdiam. Kepalanya sedikit menunduk dan matanya melirik ke kiri bawah, mengingat masa lalunya yang pahit.

"Aku hanya tidak ingin kembali, aku benci suku itu sejak dulu." Ezekiel berkata lirih. "Mereka memperlakukanku dengan buruk." Kilasan masa kecilnya melintas di kepala, bestial itu langsung menggeleng, mengenyahkan gambar-gambar mengerikan itu dari pikirannya.

Ia memegangi keningnya sambil menatap Kirana. "Saat bertemu denganmu, keyakinanku untuk pergi dari suku itu menguat. Terima kasih."

Pipi Kirana bersemu. "Aku tidak melaukan apa pun, kok."

Ezekiel tertawa. "Lebih dari yang kau bayangkan. Kehadiranmu, memberiku harapan untuk mengepakkan sayapku bebas di langit. Lagipula, dunia ini masih sangat luas dan suku itu tidak bisa membelengguku selamanya."

Kirana tersenyum. Ia tidak tahu situasi sulit apa yang selama ini Ezekiel tanggung, tetapi, jika perjalanan ini bisa membuatnya bahagia, ia tidak akan melarang atau membujuk bestial itu kembali ke sukunya.

Gadis itu melangkah mendekat dan mengusap punggung Ezekiel. "Tidak apa-apa, jika kau ingin pergi, kau boleh ikut denganku."

Senyum lebar menghiasi wajah tampan bestial elang itu, sorot matanya yang tajam berkilat-kilat antusias. "Kirana... ."

Ezekiel meraih tangan gadis itu dan mendaratkan kecupan di punggung tangannya. Irisnya yang memikat menatap lekat Kirana. "Tidak hanya cantik, tetapi hatimu berkilau lebih indah dari mutiara mana pun. Aku pasti akan melindunginya dengan segenap nyawaku."

Kirana tersanjung, tetapi kata-kata itu membuat wajahnya menjadi semerah tomat. "Sepertinya itu agak berlebihan, tapi, terima kasih ya."

Xavier yang sejak tadi mengamati keduanya, hanya bisa menghela napas. Kalau Kirana sudah menyetujui, ia juga tidak akan mempermasalahkannya, walau sebenarnya ia risi karena Ezekiel juga mengincar Kirana untuk dijadikan pasangan.

Bestial ular itu menengadah, menatap langit biru di atasnya. Angin lembut membawa beragam aroma dari berbagai penjuru mata angin, ia menyaringnya satu per satu, mengidentifikasi apa saja yang ada di sekelilingnya.

Perjalanan mereka mungkin tidak akan semudah kelihatannya. Ia harus tetap waspada, tidak akan ada yang tahu ancaman apa yang akan menghadang nantinya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top