Bab 33: Dream

Makan malam terasa lebih menyenangkan setelah Xavier kembali. Kirana tertawa melihat Ezekiel sudah mendapatkan 'teman' bertengkarnya lagi. Ia dan Xavier bergantian menumpuk makanan di depan Kirana, bertanding siapa yang bisa memberikan lebih banyak buah-buahan dan mana yang Kirana lebih banyak pilih untuk dimakan.

"Baiklah, cukup, aku tidak bisa menghabiskan semuanya," kata Kirana sambil menggeser daun pisang berisi tumpukan buah di depannya.

Ezekiel memberengut. "Tunggu, kau ingat berapa banyak buah di sisi kiri yang kau makan?"

Xavier terdiam tanpa bicara sepatah kata pun, tetapi tatapan matanya kepada Kirana seolah melemparkan pertanyaan yang sama dengan bestial elang harpier di seberangnya.

Kirana mengangguk. "Aku memakan lima di sisi kiri dan lima di sisi kanan. Jadi, skor kalian seimbang."

"Ah, kau sengaja melakukannya, ya?" Ezekiel, protes. "Aku yakin kau lebih suka makanan yang kuberikan."

"Makanan yang kau berikan?" Suara berat dari belakang membuat ketiga orang itu kompak menoleh. Hugo berdiri sambil membawa daun pisang berisi buah-buahan yang tidak dihabiskan penduduk.

Bestial rusa merah berbadan besar itu mengambil daun pisang di depan Kirana, lalu menumpuk isinya bersama sisa buah-buahan lain. Ia menoleh pada Ezekiel. "Jika kalian bertanding siapa yang paling banyak memberikan buah kepada Kirana, tentu saja itu aku."

"Hah?" Ezekiel melotot, tidak terima.

"Perlu kuingatkan, aku yang mengumpulkan sebagian besar makanan hari ini. Sementara kau dan Xavier hanya mengambilnya dari tempat penimbunan makanan kami, benar?"

Bestial elang itu mengatupkan mulutnya, tidak bisa membalas. Hugo benar. Dia dan Xavier memang tidak mencari buah-buahan itu dari hutan.

Tawa Kirana seketika meledak dan ia memukul-mukul pundak Ezekiel. "Benar juga. Selamat Hugo, kau pemenangnya!"

"Aku tidak terima," ucap Xavier, pelan nyaris seperti berbisik.

"Benar! Ayo kita tanding ulang!" sahut Ezekiel sambl beranjak dari posisi duduknya.

"Ezekiel, ini sudah larut. Aku juga sudah tidak sanggup makan lagi." Kirana tersenyum bergantian kepada ketiga bestial itu. "Terima kasih atas perhatian kalian, tetapi aku ingin tidur sekarang."

Ketiga pria itu saling menggumam patuh. Kirana berdiri, lalu berjalan ke tempat Gigi. Mereka menuju ke kediamannya untuk istirahat.

Kirana merasa lebih tenang sejak Xavier kembali. Perasaan lega membuatnya jatuh terlelap lebih cepat dari biasanya. Dalam hitungan menit, tubuhnya meringkuk di atas alas dedaunan rajut. Matanya terpejam dan bunga tidur membawanya ke ke alam mimpi.

***

Kirana bermimpi aneh. Ia ingat sebelum tidur berbaring di dipan rumah Gigi, menghadap ke pintu yang tertutup korden daun. Namun, saat Kirana terbangun, ia di ujung sebuah tebing. Matanya langsung terpaku dengan pemandangan bulan keperakan yang menggantung di langit. Pemandangan itu sangat indah, pekatnya malam seperti lukisan yang bertabur bintang.

Tangannya menyentuh permukaan yang licin dan dingin, Kirana terkesiap. Ia menunduk dan melihat lilitan badan ular yang besar di bawahnya, membentuk lingkaran yang tengahnya menjadi tempat ia berbaring saat ini.

Mata Kirana mengikuti aliran sisiknya yang hitam dan mengkilap, mendongak, netranya bertemu dengan Xavier.

"Xavier?" Kirana mengerjap bingung. Apa ini mimpi?

Xavier tidak merespon Kirana. Pria itu melipat kedua tangannya di dada, mengamati Kirana dengan seksama dari atas kepala hingga kaki.

"Kau membuatku khawatir," ucap Xavier dengan suaranya yang tenang dan dalam.

"Xavier, apa yang kita lakukan di sini?" tanya Kirana.

Xavier tidak langsung menjawab. Ia memajukan bagian atas tubuhnya, cukup dekat hingga tidak ada jarak yang memisahkannya dengan Kirana. Ia berada di belakang Kirana, lengannya yang kekar itu menyelip dari sisi pinggang dan memeluknya erat.

Kepala Xavier rebah begitu saja di pundak Kirana, embusan nafasnya yang hangat dan kasar menerpa kulit gadis itu.

Kirana terkesiap. Bulu kuduknya seketika meremang dan jantungnya mulai berpacu cepat. Ia bisa meraskan suhu tubuhnya mulai meningkat seiring dengan perubahan rona di wajahnya.

"Kau belum menjawab pertanyaanku," ucap Kirana pelan. Xavier hanya membalas dengan gumaman tidak jelas. Namun, pria itu mulai menggesekkan batang hidupnya di sekitar bahu Kirana, naik perlahan hingga ke leher.

"Hah!" Kirana terkejut dan refleks mencengkeram lengan Xavier. Kepalanya sedikit mendongak, tidak sengaja memberi keleluasaan bagi Xavier untuk menjelajah lebih banyak.

"Aromamu sangat enak," bisik Xavier diselingi geraman. Ia menghirup kulit itu seperti meraup oksigen untuk yang terakhir kali. Mata Xavier terpejam dan ia menikmati setiap jengkal kulit Kirana yang membuatnya mabuk.

"Aku ingin mencicipinya."

Kirana membuka mulutnya, ingin protes. Namun, bibir Xavier sudah lebih dulu mendarat. Suara kecupan terdengar disusul oleh erangan gadis itu.

"Xavier... ." Lirih Kirana dengan suara gemetar. Belum pernah ada pria yang melakukan itu padanya, tubuh Kirana seketika menjadi sangat sensitif terhadap setiap sentuhan.

Xavier tidak mau berhenti. Ia terus mengecup, sejengkal demi sejengkal, menggoda Kirana, membuatnya tidak bisa mengendalikan hasrat di dalam dirinya yang mulai bangkit.

Ketika Kirana kira permainan sudah selesai, Xavier justru ingin mencecapnya lebih banyak. Bestial itu menjulurkan lidahnya yang tidak lagi kecil dengan ujung bercabang. Xavier memiliki lidah seperti manusia. Benda kenyal dan basah itu menyapu leher Kirana, sensasi dingin menyebar dari lehernya, ke tengkuk, pinggir, dan perlahan naik ke atas.

"Mh... hhh.. Aaah.. ." Kirana sulit mengontrol suara yang keluar dari mulutnya. Ia memejam, kuku-kuku tangannya menancap di lengan Xavier yang masih mengurungnya dengan posesif.

Xavier tiba-tiba menggigitnya di leher. Gadis itu mendesah, terlebih saat terdengar suara isapan dan kecupan di sana. Xavier mengangkat wajahnya dan terlihat bekas merah di kulit putih gadis itu.

Kirana tersengal, dadanya bergerak naik turun tidak karuan. Wajahnya sudah memerah dan nafasnya sama beratnya dengan Xavier.

"Kirana... ." Gumam Xavier. Tangannya yang besar dengan jari-jari panjang itu menangkup dagu Kirana. Kedua jarinya menarik kepala Kirana hingga menoleh ke arahnya. Mereka saling bertatapan, Kirana bisa melihat iris Xavier yang berwarna emas memantulkan refleksi wajahnya.

Wajah Xavier bergerak maju, hidung mereka bersentuhan dan Kirana bisa merasakan nafas pria itu di wajahnya. Gadis itu memejamkan matanya, pasrah dan takluk oleh apa yang Xavier lakukan berikutnya.

Bibir mereka bertemu dan berpagutan dengan lembut. Itu ciuman pertamanya dan Kirana tidak tahu harus berbuat apa. Namun, Xavier terasa seperti sudah mahir dan alami dalam melakukannya. Pria itu melesakkan lidahnya ke dalam mulut Kirana, menyapu dan membelai semua yang ada di dalam.

Kirana mulai mengimbangi permainan Xavier, ia beradaptasi. Ciuman pria itu perlahan dibalasnya satu per satu. Bibir atasnya ia kecup, lalu Xavier membalasnya dengan isapan di bibir bawah gadis itu.

Xavier tidak mau melepaskan bibir gadis itu. Rasanya begitu lezat dan membuatnya ketagihan. Ia menghisapnya seperti madu paling manis dan mengigitnya lembut seperti daging terbaik yang pernah ia cicipi.

Ciuman itu berubah menjadi semakin agresif. Kirana mendengar mereka saling mendesah di sela-sela ciuman tersebut. Atmosfer yang mengelilingi semakin panas dan tubuhnya bereaksi aneh. Dadanya terasa penuh dan sensasi gelenyar menyebar dari bagian bawah tubuhnya. Kedua kakinya terasa kebas dan ia semakin menginginkan Xavier.

"Xavier... ." Gadis itu mendesah, mengecup bibirnya cepat, memancing pria itu untuk kembali bermain dengan lidahnya di dalam mulut.

Tangan Xavier menahan belakang kepala Kirana agar gadis itu tidak lolos. Ia kembali mencumbunya dengan posesif, menumpahkan segala hasrat yang ditahannya sejak lama.

Kirana tidak bisa menghitung berapa lama mereka berciuman malam itu. Sesekali keduanya berhenti, menarik nafas, lalu kembali bercumbu.

Kirana juga tidak ingat kapan aktivitas menggairakan itu berakhir. Seluruh pandangannya tiba-tiba menjadi gelap dan ia seperti masuk ke dalam mimpi yang dalam dan menenangkan.

***

Kirana membuka matanya perlahan. Ia kesilauan karena cahaya matahari pagi mengenai kelopak matanya. Gadis itu mengerang kecil, lalu mencoba duduk dari posisi tidurnya. Untuk beberapa saat Kirana terdiam di posisi itu.

Ia merenungkan mimpinya semalam, bayangan pudar semakin jelas di kepalanya. Dan sensasi itu, dia masih mengingat semuanya. 

Berciuman dengan Xavier. Wajah Kirana berubah semerah tomat, gadis itu langsung memukul-mukul rumput di sampingnya karena gemas.

"Astaga! Mimpi apa aku semalam! Jangan sampai Xavier tahu... jangan sampai— ."

"Tahu apa?"

Kirana membatu. Suara yang dalam dan tenang itu, ia mengenalnya. Kirana menoleh ke samping dan jantungnya hampir copot saat menemukan Xavier duduk di sebelahnya.

"Kenapa kau ada di sebelahku?" Kirana menunjuk Xavier, panik. Bukankah semalam hanya mimpi? Aku tidur di rumah Gigi, tidak mungkin...

Kirana menoleh ke sekelilingnya. Itu tebing yang sama seperti yang ia lihat di dalam mimpi. Jauh di bawah ia bisa melihat desa suku Cervid. Angin pagi berembus menerbangkan ujung helai rambutnya. Kirana melongo.

"Xavier, bagaimana aku bisa berada di sini?"

Xavier memiringkan kepalanya, bingung. "Kau mendatangiku semalam."

"Lalu?"

"Kau bilang gerah, jadi aku membawamu ke sini."

"Apa aku tidur sambil berjalan?"

Bestial belum pernah melihat fenomena mimpi berjalan, jadi Xavier hanya menggeleng. "Kau terlihat sadar di mataku, walau memang sedikit aneh."

"Oh tidak." Kirana mengatupkan mulutnya dengan tangan. Jarinya tidak sengaja menyentuh bibirnya dan bayangan mereka berciuman kembali berputar di kepalanya. "Jadi itu bukan mimpi?"

"Kau mengira dirimu bermimpi?"

Kirana mengabaikan pertanyaan Xavier, ia justru berteriak. Wajahnya sangat merah dan ia tidak berani menatap Xavier karena malu. Ciuman itu, semalam—dia berani melakukannya karena mengira itu semua mimpi. Kalau tahu itu sungguhan aku tidak akan melakukannya!

Ia sangat malu sampai rasanya ingin menggali lubang dan mengubur dirinya sendiri di sana.

"Kirana," panggil Xavier. Pria itu tersenyum miring kepadanya. "Aku pikir kita bisa bereproduksi sekarang karena tahap pertama sudah terlewati."

"Tidak! Tidak! Aku tidak tahu kalau itu nyata! Aku kira itu mmpi!" Kirana menggeleng kuat-kuat dan ia masih tidak berani melihat Xavier di mata.

Xavier tersenyum menggoda. "Jadi kalau itu di mimpi, kau mau melakukannya?"

"Bukan begitu... aku... aku... ." Kirana ingin menangis. Ia malu dan jantungnya berdegup sangat kencang. Ia memohon agar dirinya tenang, tetapi sepertinya ada desakan lain di dalam dirinya yang justru antusias dengan hal tersebut.

"Aku mau kembali ke desa!" Kirana mengalihkan topik. Ia buru-buru bangkit, menoleh ke kanan-kiri, bingung karena tidak ada jalan turun. Mendesah kecil, gadis itu menoleh ke arah Xavier. "Bagaimana caranya kembali ke desa?"

"Kau mau tahu?"

"Jangan menyebalkan, beritahu aku!"

Xavier tertawa. "Lompat."

"Kau bercanda?"

"Tidak. Aku bisa membawamu ke bawah sekarang—kalau mau." Xavier berkata sambil ikut berdiri. Ia berjalan ke tepi tebing dan mengulurkan tangannya. "Ayo."

Kirana masih cemberut, tetapi tetap diraihnya tangan pria itu. Tangan Xavier terlihat besar jika dibandingkan dengan tangannya. Kirana jadi merasa tidak berdaya lagi, jadi ia menurut saat Xavier menggendongnya di depan dada.

Mereka sudah berdiri di ujung tebing, Kirana tidak mau melihat ke bawah karena takut ketinggian tersebut. Saat kepalanya berada di dekat dada Xavier, ia bisa mendengar samar detak jantung pria itu, seirama dengannya.

"Kirana," panggil Xavier lembut. Gadis itu mendongak dan mata emas Xavier menatapnya lekat. "Aku suka keberanianmu semalam."

"Xavier!" Kirana memukul dada pria itu, kesal, tetapi Xavier malah tertawa puas. Sangat jarang, bestial ular itu menunjukkan ekspresi dengan tawa lepas seperti itu.

Xavier menemukan kesenangan baru. Menggoda Kirana akan menjadi salah satu aktivitas favoritnya mulai detik ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top