Bab 32: Tahap Kelima
Angin sepoi-sepoi menerpa pepohonan yang berjajar rapi di sepanjang tepi sungai. Suara gemericik air yang mengalir dan riak-riak kecil yang tercipta oleh gerakan ikan-ikan memberikan kesan harmoni alam yang menenangkan.
Kirana duduk di bawah pohon rindang, memandangi air yang mengalir dengan penuh kagum. Ia membiarkan jari-jari kakinya menyentuh permukaan air, merasakan kelembutan dan kejernihan yang tak tertandingi.
Sambil bermain-main dengan air, Kirana memperhatikan Ezekiel yang tengah memancing beberapa ikan. Kedua kakinya yang berbentuk cakar burung dengan gesit menangkap ikan-ikan di dalam sungai. Setelah di rasa cukup, Bestial elang harpy itu kembali ke tempat Kirana.
"Aku rasa ikannya sudah cukup."
Kirana mengangguk. "Lebih banyak daripada yang kuminta, terima kasih Ezekiel."
"Kau ingin memasaknya?" tanya Ezekiel, penasaran. Ia lihat Kirana tengah mengambil beberapa ekor ikan yang sudah mati dan membawanya ke tepi sungai untuk dicuci.
"Benar, aku tiba-tiba ingin makan ikan bakar."
"Sepertinya enak, boleh aku minta nanti?"
"Tentu saja, makan bersama-sama lebih menyenangkan, bukan?"
Ezekiel manggut-manggut setuju. Ia lalu pergi mengumpulkan beberapa kayu kering dan menciptakan api unggun. Kirana datang ke tempatnya membawa beberapa ekor ikan yang sudah dibersihkan.
Sebagian ikan itu ditusuk dengan kayu panjang lalu dibakar di atas api, sementara sebagian ikan lainnya Kirana bungkus dengan daun pisang dan ia letakkan di atas abu bakaran kayu yang masih menyala.
"Kau memasaknya di dalam daun?" tanya Ezekiel, tampak tertarik.
"Hehe, benar, aku penasaran apakah rasanya akan beda."
Beberapa hari lalu Gigi dan rombongannya pulang ke desa membawa pisang dan beberapa daunnya. Penduduk desa itu menggunakan daun pisang sebagai alas makanan, tapi Kirana seketika memikirkan ide lain saat melihatnya.
Saat ia tiba-tiba ingin makan ikan bakar, Kirana langsung minta beberapa lembar daun pisang pada Gigi. Ia sangat merindukan rasa ikan bakar di dunia manusia.
"Ah, aroma ini...," Kirana menghirup udara dalam-dalam. Bau daun pisang yang sedikit gosong menyebar di udara, bercampur dengan aroma ikan yang mulai masak. Gadis itu membalikkan bungkusan daun pisang yang dibakar di atas abu agar matangnya merata.
"Oke, sudah matang!" seru gadis itu beberapa saat kemudian.
"Aku mau!" Ezekiel yang sejak tadi mencium aroma sedap jadi makin penasaran. Suku Falco jarang memasak makanan mereka dan ini pertama kalinya bagi manusia-elang itu melihat daging ikan yang dibakar dengan bungkusan daun.
Kirana membuka bungkus daun pisang itu dan menyerahkannya pada Ezekiel.
"Hati-hati, masih panas," peringat gadis itu.
Ezekiel mengendus uap yang menguar dari dalam bungkusan berisi daging ikan yang sudah matang. "Aromanya jadi lebih manis dan gurih." Ia memakan ikan itu dan seketika tersenyum lebar.
"Ini enak!" serunya. "Apakah manusia setiap hari makanannya enak seperti ini?"
"Tidak, aku tidak mungkin makan ikan setiap hari," jawab Kirana. Ia jadi penasaran karena melihat reaksi Ezekiel. Gadis itu ikut mengambil satu potong. Benar, rasanya memang berbeda jika hanya dengan dibakar biasa di atas api.
"Andai ada kecap," ucap gadis itu.
"Kecap, apa lagi itu?"
"Penyedap yang terbuat dari kedelai, rasanya manis, sangat cocok dimakan bersama dengan ikan bakar."
"Apa kau tidak bisa membuatnya?"
Kirana menggeleng. "Bahkan jika ada kedelai pun aku tidak tahu cara membuat kecap, aku tidak terlalu ahli soal pemrosesan makanan."
"Apa itu artinya di dunia sana banyak makanan yang lebih enak dari ini?"
"Sangat banyak, tidak akan cukup sehari kalau harus kuceritakan satu-satu." Gadis itu menghela napas panjang. Wajahnya berubah murung. "Aku jadi kangen rumah."
"Jangan sedih Kirana, setelah Xavier selesai berevolusi, kita akan langsung berangkat ke Istana Zoophara dan mengantarmu pulang!" hibur Ezekiel. Bestial elang itu tersenyum sambil memamerkan deretan giginya.
Kirana jadi ikut tertawa. "Terima kasih ya."
Di sela-sela makan, Kirana tiba-tiba menoleh ke sekeliling. Entah mengapa ia merasa aneh, seperti ada yang kurang. Suasana seperti ini terasa ganjil bagi Kirana. Ezekiel terlihat kalem dan tenang. Padahal biasanya kalau ada Xavier, mereka berdua pasti membuat keributan. Seperti ada yang hilang saat Xavier tidak ada di sekitar mereka.
Kalau dipikir-pikir lagi, Kirana tiba-tiba ingin makan ikan bakar mungkin karena itu salah satu bentuk kerinduannya pada Xavier. Kirana ingat kalau ikan bakar yang dibuatnya asal-asalan di pinggir sungai adalah awal ia mau berdamai dengan Xavier, setelah Bestial ular itu menyelamatkannya dari gerombolan Bestial buaya yang berniat memakannya.
"Kenapa melamun?" tanya Ezekiel.
Kirana tersadar seketika. "Ah, tidak apa-apa. Hanya rasanya sepi sekali."
"Bukankah tenang karena tidak ada ular itu?"
"Aku malah tidak terbiasa melihat kalian tidak bertengkar," Kirana terkekeh.
Ezekiel mendengkus. "Huh, ular itu benar-benar keras kepala dan tidak mau mengalah."
"Memang," Kirana menyahut. "Tapi, dia jauh lebih pengertian daripada sebagian besar laki-laki yang pernah kukenal."
Ezekiel tertegun mendengar ucapan Kirana.
"Maksudmu, laki-laki dari dunia manusia?"
Kirana hanya mengangguk. Bayang-bayang mantan kekasihnya muncul di kepala, membuat gadis itu seketika bergidik karena jijik.
"Lupakan saja. Ayo, kita habiskan ikan-ikan ini, lalu kembali ke desa sebelum sore."
"Oke!"
Mereka pun kembali melanjutkan makan siang. Beberapa saat kemudian, Ezekiel sudah menghabiskan ikan-ikan yang tersisa, baik matang mau pun yang mentah. Bestial elang itu tampak puas dan kekenyangan.
***
Ketika Kirana dan Ezekiel sudah kembali ke desa, tampak para penduduk berkumpul di tengah lapangan, mengelilingi telur hitam yang mengurung Xavier.
"Kenapa penduduk desa berkumpul?" tanya Ezekiel, penasaran.
"Apa terjadi sesuatu?" Kirana dengan wajah panik langsung berlari ke kerumunan tersebut, disusul oleh Ezekiel.
Hugo dan Wagyo juga ada di sana, keduanya tampak berjaga-jaga di sekitar penduduk desa agar tidak terlalu dekat dengan kabut hitam tipis yang muncul di sekitar cangkang Xavier.
"Hugo, apa yang terjadi?" tanya Kirana saat dirinya sampai di sana.
"Selubungnya Xavier akan pecah—mundur semua!" tiba-tiba Hugo berteriak. Ia mengaktifkan kekuatannya dan menciptakan pagar pendek dari akar agar para penduduk desa yang berkerumun mengambil langkah mundur.
Muncul retakan di cangkang telur hitam itu, disusul oleh melesatnya bias hitam dari celah-celahnya. Percikan energi yang besar keluar dari setiap retakan yang timbul, beriringan dengan suara gemuruh yang makin kuat di atas langit.
Satu per satu lapisan kulit itu jatuh ke tanah, membuat lubang besar di cangkang. Di dalamnya masih ada selaput seperti kain hitam yang elastis, lalu sebuah tangan putih pucat keluar dari sana.
Tangan itu bergerak dan merobek selaput hitam di dalam cangkang, lalu bagian tubuhnya yang lain keluar dan menghancurkan sisa selubung dari dalam.
Xavier keluar dari lilitan kain hitam yang seperti membungkus seluruh tubuhnya. Kakinya melangkah keluar dan di saat bersamaan lapisan kegelapan muncul disekeliling tubuhnya, membentuk jubah panjang bermotif sisik hitam seperti pakaian yang biasanya ia gunakan.
Partikel hitam yang masih menguar di sekitar udara berangsur menghilang, begitu pun dengan langit gelap perlahan kembali sedia kala. Hanya tersisa pecahan cangkang hitam di sekitar lapangan tersebut. Xavier berdiri dikelilingi oleh para penduduk desa Cervid, Bestial ular itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, seperti mencari seseorang.
"Xavier!"
Suara yang dirindukan oleh Bestial ular itu memecah keheningan di sana. Xavier langsung menangkap sosok Kirana yang keluar dari kerumunan dan berlari menghampirinya.
Xavier tidak mengatakan sepatah kata pun. Manusia-ular itu langsung menyambut Kirana dan memeluknya seerat mungkin. Aroma manis yang kuat mendominasi indra penciumannya, jemarinya membelai rambut halus gadis itu dan ia bisa mendengar gadis itu berkali-kali mengungkapkan perasaan lega.
Kirana menyandarkan kepalanya di dada pria itu. Kedua tangannya melingkari punggung Xavier yang lebar dan kokoh. Ketika ia mengangkat kepalanya, gadis itu bisa menangkap sepasang mata emas khas milik Xavier dan ada sesuatu yang berbeda di sana.
"Matamu berubah," ucap Kirana, tiba-tiba.
Mata Xavier yang awalnya memiliki pupil runcing seperti ular kini berubah menjadi bundar, seperti kacang. Matanya terlihat normal seperti milik manusia. Tidak hanya itu, saat Kirana berada di pelukannya juga, gadis itu merasakan suhu tubuh hangat dari Xavier, padahal sebelumnya kulit pria itu dingin.
Xavier tidak bisa melihat dirinya sendiri, tapi ia memang merasakan beberapa perubahan dari dalam tubuhnya.
"Apakah kau tidak suka kalau mataku berubah?" tanyanya pada Kirana.
Gadis itu menggeleng. "Tidak, aku hanya terkejut saja."
Kirana pun tersenyum lembut padanya. "Selamat datang kembali, Xavier."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top