Bab 3: Melarikan Diri
Kepala Suku dan Oracle sudah pergi sejak berjam-jam lalu, meninggalkan Kirana seorang diri di dalam kurungan kayu tersebut. Gadis itu duduk bersandar pada tepi kurungan, lelah karena sejak tadi berusaha membebaskan dirinya tetapi gagal.
Ia menatap jijik daging mentah diatas piring dari tanah liat. Mereka meninggalkan makanan itu untuknya, tetapi Kirana tidak makan daging mentah. Darah segar masih menetes dari ujung daging tebal tersebut, bau anyirnya tercium oleh hidung Kirana, membuat gadis itu mual.
"Oh iya! Tasku!" Ia seketika teringat dengan tas kecilnya yang masih tersampir di pinggang. Saking takutnya dengan Oracle dan Kepala Suku, ia sampai lupa mengecek tasnya.
Ia membuka benda berwarna hitam tersebut, ada Hp, lipstik, bedak, parfum dan dompet berukuran kecil berisi KTP dan kartu ATM. "Di tempat seperti ini mana mungkin ada mesin tarik uang," gumamnya, merasa konyol sendiri saat mengecek satu per satu barang bawaannya.
"Kalau handphone...," Ia tidak berharap banyak. "Mana ada sinyal disini, haha," Kirana tertawa miris saat melihat bar sinyal di Hp-nya kosong. Ia membanting tas itu ke ujung sel, merasa barang bawaannya tidak ada satu pun yang berguna.
Ia memeluk lutut sambil membenamkan kepala, untuk sesaat, ia merasa ingin menyerah dan pasrah saja. Ia membayangkan saat ini seharusnya sudah sampai di kosan, mandi dengan air hangat lalu berguling-guling di kasur yang empuk. Ia merindukan kasurnya. Lantai batu dibawahnya dingin dan kasar, ia tidak suka.
"Aku tidak mau kawin dengan mahluk-mahluk aneh ini," Kirana bergumam. Ia membayangan dirinya masih terlalu dini untuk melahirkan. Yang lebih buruk, ia harus melakukan itu berulang-ulang seakan ia hanyalah alat untuk memproduksi anak.
Gadis itu tiba-tiba menepuk kedua pipinya. "Jangan menyerah, Kirana!"
Jika ini memang kenyataan, itu artinya ia harus mencari cara untuk keluar dan kembali ke dunianya. "Kalau aku diam saja, justru tidak akan ada kesempatan untuk selamat dari sini."
Kirana bangkit, mengambil tas, alat kosmetik dan Hp-nya yang berserakan di sekitar tas kecil itu.
"Aku harap ada sesuatu yang berguna di ruangan ini," gumamnya sambil memperhatikan sekeliling dengan seksama, berandai-andai ada pisau atau benda tajam yang bisa digunakan untuk mengikir sel kayu tersebut, tetapi nihil.
Telinga Kirana mendengar kepakan sayap di depan pintu masuk. Ia melihat bayangan seseorang berjalan mendekat. Gadis itu buru-buru duduk kembali di sudut sel, menekuk lututnya dan menundukkan kepala, pura-pura tidur.
Seorang pemuda yang mengenakan pakaian dari kulit hewan masuk ke dalam. Di punggungnya tersampir sepasang sayap, bagian luarnya berwarna hitam dan bagian bawahnya berwarna putih. Rambutnya pendek, sedikit acak-acakan berwarna putih keperakan. Irisnya yang berwarna indigo memandangi Kirana.
"Seperti yang dirumorkan oleh penduduk desa, ada manusia di desa ini."
Kirana tidak mau merespon pria itu. Ia mendengar suara tawa dan langkah kaki yang mendekat., "Sudahlah, aku tahu kau sebenarnya mendengar ucapanku."
Gadis itu akhirnya mengangkat kepala, menatap sosok yang berdiri gagah di hadapannya. Pemuda itu memiliki wajah oval, alis tebal dan hidung mancung. Ketampannya jauh diatas ketiga pria yang tadi membawanya kemari. Bibirnya menyugingkan senyum lagi saat matanya tidak sengaja beradu dengan Kirana.
"Kenapa memperhatikan ku seperti itu? Apa ini pertama kalinya bagimu melihat Bestial setampan diriku?"
"Bestial?" Kirana mengulang. "Apa itu sebutan untuk kalian?"
"Benar, kami adalah Bestial," jawabnya sambil melipat tangan dengan bangga. "Namaku Ezekiel, aku akan membantumu keluar dari sini."
"Kenapa tiba-tiba membantu? Sejauh yang kuingat, semua orang yang kutemui disini awalnya ingin memakanku, bahkan yang terakhir kali ingin aku kawin dengan setiap pejantan yang ada di suku ini," ucap Kirana, sinis.
"Aku berbeda dari mereka, lebih dari itu, kau juga ingin keluar dari sinikan?" Ezekiel menarik sebelah alisnya.
"Memang benar, aku harus keluar dari sini dulu," gadis itu menggigit kuku, menimbang. Haruskah ia meletakkan kepercayaan pada Ezekiel.
"Ini untukmu," Ezekiel melempar sebuah pisau ke dalam sel Kirana. "Sembunyikan dengan baik, gunakan itu untuk pertahanan jika diperlukan."
Kirana mengambil benda tajam itu, memandang sosok Ezekiel, lalu mengangguk. "Aku tidak tahu apa tujuanmu, tapi, jika kau bisa membantuku keluar dari sini, aku ikut rencanamu."
"Bagus, itulah yang kuharapkan," pemuda itu menyugingkan senyum misterius. "Kalau begitu, aku permisi dulu. Hidungku mencium aroma nenek itu disekitar sini, mereka tidak boleh tahu aku ada di sini." Ezekiel berbalik, namun beberapa langkah sebelum keluar ia menoleh lagi kepada Kirana.
"Aku akan kembali saat tengah malam."
Ia membentangkan sayapnya lalu terbang pergi meninggalkan tebing batu tempat Kirana dikurung.
Kirana menyembunyikan pisau itu di tas kecilnya. Ia cukup beruntung mereka tidak menyadari benda kecil itu karena warnanya yang tersamarkan oleh dress biru gelapnya.
***
Malam pun tiba, Kirana mondar-mandir di dalam kurungan, resah. Ia tidak tenang karena tidak tahu sekarang sudah jam berapa atau apakah Ezekiel benar-benar akan membantu menyelamatkannya.
Harapan gadis itu pupus saat Oracle dan dua orang penjaga pria bertubuh besar masuk ke dalam ruangan itu. Atas perinta Oracle, kedua penjaga itu membuka pintu kurungan, salah satu dari mereka langsung membelenggu pergelangan tangan Kirana dengan benda sejenis borgol.
"Aduh, hati-hati," Kirana mengernyit saat benda dingin itu tidak sengaja menggores kulitnya.
"Hei, jangan kasar dengannya!" Oracle menegur. Tentu baginya, Kirana saat ini adalah aset tak ternilai. "Kita harus menyertakannya dalam ritual malam ini, tidak boleh ada sekecil pun luka di kulitnya atau Dewa akan murka."
Mereka pun menggiring gadis itu keluar dari ruangan lalu menyebrangi jembatan kayu yang menghubungkan ke tebing lainnya.
Kirana sadar dirinya akan di bawa turun ke bawah, ia menatap langit dengan resah. Angin berhembus kencang, terkadang ia berteriak ketakutan karena jembatan yang dilewatinya bergoyang tak beraturan.
"Jangan khawatir, kau tidak akan jatuh," ucap Oracle sembari berbalik. Mereka melanjutkan jalan mereka lagi, tetapi dukun itu tiba-tiba menoleh ke arah utara, matanya menangkap sosok Ezekiel terbang dengan kecepatan tinggi.
"Ezekiel?" gumamnya, keheranan. Oracle tidak menyangka kalau Ezekiel akan melempar beberapa bulu sayapnya yang tajam ke arah mereka, Oracle mundur menghindar, sementara kedua penjaga di depan dan belakang Kirana refleks menghindar, membuat celah yang cukup bagi Ezekiel untuk menyambar tubuh gadis itu.
"Hahaha! Dia milikku nenek tua!" seru Ezekiel penuh nada kemenangan.
"Bocah kurang ajar!" maki Oracle. Ia ingat bagaimana penduduk desa menyampingkan dendam mereka terhadap orang tua Ezekiel dan memutuskan untuk membesarkan anak itu bersama-sama. "Inikah balasanmu terhadap penduduk desa ini?"
"Heh! Aku tidak pernah peduli pada kalian semua! Sampai jumpa!"
Ezekiel bermanuver di udara, memamerkan kelihaian dan kecepatannya. Ia membetulkan posisi menggendong Kirana, lalu meleseta meninggalkan desa.
"Kejar dia!"
Kedua penjaga itu langsung lompat dari jembatan sambil membentangkan sayap. Seorang manusia-burung yang sedang patroli dan melihat kejadian itu juga langsung ikut mengejar Ezekiel.
Sementara, Ezekiel dan Kirana sudah terbang jauh di depan. "Kau tidak berpikir aku akan berbohong bukan?" tanya pemuda itu.
"Kupikir kau hanya membual," jawab Kirana sambil tertawa kecil. "Apa tidak apa-apa kau mengkhianati desamu?"
"Sejak awal, aku memang ingin meninggalkan desa sial satu ini," kata Ezekiel, matanya berbinar menatap gadis itu. "Aku ingin pergi dari sini bersamamu."
Kirana sedikit terenyuh mendengar kalimat Ezekiel, walau ia masih menyimpan banyak pertanyaan tentang tujuannya menyelamatkan Kirana.
"Mereka ada di belakang kita," bisik pemuda itu sembari menghempaskan kaki ke udara. Sayapnya mengibas dengan cepat, membawa mereka berdua ke langit dan terbang menjauhi rumah Kepala Suku.
"Ezekiel"
Ia dan Kirana menoleh ke sumber suara yang berasal dari belakang. Tampak tiga penjaga masih terbang mengejar mereka.
"Kau memang sumber masalah di desa ini! Tapi tidak kusangka kau sampai berani mengganggu kiriman dari Dewa!" seru rekan penjaga itu.
"Seharusnya kami membunuhmu selagi sempat, dasar pengkhianat!" timpal yang lain.
Ezekiel hanya tertawa menyaksikan mereka marah-marah, sebaliknya, Kirana menatap pemuda itu dengan tatapan khawatir.
Anak panah dilontarkan oleh para penjaga, Ezekiel menghindarinya dengan mudah. "Kalian sangat lemah! Aku bukan tandingan Bestial tahap satu seperti kalian!" Setelah berseru seperti itu, kibasan sayap yang dihasilkan Ezekiel menghasilkan percikan listrik, secara bertahap kecepatan terbang mereka meningkat.
Semakin cepat dan akhirnya tidak terkejar oleh para penjaga itu. Tebing-tebing batu semakin jauh, hanya ada kegelapan malam yang dihiasi taburan bintang diatas langit. Sementara di bawah mereka adalah hutan lebat yang tampak gelap gulita.
Setelah terbang beberapa saat, Ezekiel pun menurunkan ketinggiannya. Mereka mendarat di dekat tepi sungai. Kirana dapat mendengar suara alirannya yang menenangkan, tetapi tidak dengan sekelilingnya yang gelap. Ia hampir tidak bisa melihat apa pun.
"Akan kubuatkan api, tunggu sebentar."
Kirana memegangi badan pohon dan bersandar di sana, sementara Ezekiel menebas beberapa ranting. Ia mengumpulkan dedaunan kering dan menumpuk kayu diatasnya. Sedikit percikan listrik dari tangannya, ia berhasil menciptakan api yang membakar daun serta kayu tersebut.
"Ini sudah cukup kan?" tanya pada Kirana yang sedang duduk dekat dengan api unggun tersebut.
Kirana mengangguk, "Apa itu sejenis sihir?"
Ezekiel menangkap maksud pertanyaan Kirana, ia merentangkan tangannya dan percikan listrik muncul di antara sela-sela jarinya. "Bestial yang sudah berevolusi ke tahap dua minimal memiliki kemampuan mengendalikan salah satu elemen," jelasnya.
"Itu luar biasa," puji Kirana. Tetapi tidak lama ekspresi wajahnya berubah menjadi lesu dan ia tampak pucat.
Melihat kondisi Kirana, Ezekiel seketika teringat dengan potongan daging di dalam kurungan Kirana. "Ah! Aku lupa membawa makan malam milikmu!"
"Yang mana?"
"Daging di selmu? Atau sudah kau makan semua?" Ia bertanya sambil menarik sebelah alisnya. Kirana menggembungkan pipi sambil menggeleng.
"Aku tidak makan daging mentah," ucapnya.
"Padahal enak, sayang sekali," Ezekiel menggigit bawah bibirnya, membayangkan rasa daging tebal itu. Perutnya berbunyi, membicarakan makam malam jadi membuatnya lapar. Ia jadi teringat kalau belum makan sejak siang tadi.
"Kalau manusia tidak makan daging mentah, jadi kalian makan apa?" tanyanya, penasaran.
"Daging tapi dimasak," jawab Kirana. "Tapi itu terlalu mewah, asalkan ada tumbuhan atau buah yang bisa dimakan aku tidak keberatan."
Ezekiel nampak berpikir. "Kami Suku Falco tidak pernah makan tumbuhan, jadi aku juga kurang tahu apa yang bisa dimakan dari daun-daunan pahit itu."
"Sudah kuduga," Kirana menghela napas. Melihat dari bentuk transformasinya, Ezekiel pasti merupakan Bestial karnivora yang makanan utamanya adalah daging.
"Jangan sedih," hibur pemuda itu. "Aku akan mencarikanmu buah."
Ia bangkit seraya melebarkan sayapnya di punggung. Kirana menatapnya keheranan.
"Kenapa kamu mau membantuku? Kamu belum menceritakan alasanmu," ucap gadis itu. Ezekiel menoleh ke arahnya, tersenyum.
"Akan kuceritakan nanti, kau tunggu dulu disini ya," balasnya. "Bukankah lebih enak mendengarkan kisah sambil menikmati makan malam?"
Kirana tertawa kecil. "Terserah dirimu saja, aku tidak akan kemana-mana."
Ezekiel mengangguk. "Aku tidak akan lama." Setelah berkata demikian, ia terbang meninggalkan Kirana.
Gadis itu memegangi kepalanya, sejak tadi ia merasa pusing. Pasti efek dari kurang tidur. Ia juga haus. Mendengar suara air sungai, seharusnya jarak sumber air itu tidak terlalu jauh. Tenggorokannya sudah meronta ingin merasakan air dingin yang segar.
Kirana mengambil salah satu batang kayu yang ujungnya terbakar untuk dijadikan obor. Walau apinya kecil, itu cukup sebagai pencahayaan.
Sesuai dugaannya, sungai itu tidaklah jauh dari tempatnya berkemah. Ia berlutut, tangan kirinya memegangi obor sementara tangan satunya menyuapi air ke dalam mulutnya.
"Rasanya seperti hidup kembali," gadis itu tersenyum lebar. Rasa hausnya sudah hilang. Sungai itu tidak berbau dan airnya dingin, sangat menyegarkan.
Dari balik bayang-bayang kegelapan sepasang mata emas kekuningan mengamatinya. Sorot mata itu terus mengikutinya sampai gadis itu kembali ke kemah. Kirana bersandar di batang pohon, menanti kapan Ezekiel kembali. Rasa kantuknya muncul kembali, mungkin karena saat ini ia sudah merasa lebih rileks.
Matanya perlahan terpejam, Kirana jatuh dalam tidur yang lelap. Ia tidak sadar saat pemilik mata emas itu keluar dari tempat persembunyiannya.
Seekor ular besar berwarna hitam melata mengelilingi gadis itu, Hawa dari udara dingin yang ditimbulkannya memadamkan api unggun itu seketika. Kirana merasakan gerakan disekitar tubuhnya. Kulitnya menyentuh sesuatu yang licin dan halus.
"Apa ini?"
Ia membuka matanya dan yang pertama dilihatnya adalah tubuhnya berada di dalam lilitan ular besar berwarna hitam. Gadis itu berteriak, tetapi mulutnya keburu dibekap oleh tangan putih pucat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top