Bab 27: Melawan Balik

Kirana merogoh benda yang ada di dalam tasnya, sementara Shan sudah beberapa langkah di depannya. Manusia harimau itu menghentakkan kedua tungkai belakangnya, langkahnya melebar seiring dengan suara raungan yang mengguncang jiwa Kirana.

Dia datang!

Kirana sudah bersiap. Ini pertaruhan, kalau ia gagal, bisa dipastikan dirinya akan dimakan oleh Shan. Wage juga akan dibunuh dan Xavier pun akan mati. Penduduk desa yang tersisa akan dibantai oleh Bestial harimau putih itu sendirian.

Kirana menepis pikiran buruk itu. Ia harus mengumpulkan keberanian dan keyakinannya.

Shan hampir melompat ke arahnya, tepat di saat itu Kirana mengeluarkan ponselnya dari tas. Ia membuka fitur kamera dan mengambil satu gambar yang otomatis menghidupkan efek flash. Shan terkejut dengan kilatan putih itu. Ia terbutakan untuk sesaat, lalu matanya menjadi silau karena terkejut menerima cahaya seterang itu.

"Argh! Apa yang...?" Shan menggelengkan kepalanya untuk mengembalikan penglihatannya.

Kirana memanfaatkan momen itu. Ia mengeluarkan botol parfum kaca dari tasnya. Ia ingat kalau Xavier saja sangat sensitif dengan aromanya, padahal Kirana tidak menyemprotkannya ke tubuh saat itu. Kirana bertanya-tanya, bagaimana kalau satu botol cairan ini ia tumpahkan ke wajah Shan.

Gadis itu melemparkan botol parfumnya. Beruntung karena jarak yang dekat, ia tidak mungkin meleset. Namun, insting Shan yang tajam bisa merasakan adanya benda yang dilemparkan ke arahnya.

"Kau meremehkanku, manusia?" tukasnya marah sambil melayangkan tungkai depannya untuk menepis botol kaca itu.

Kekuatan Shan yang besar bukannya melemparkan botol parfum Kirana, tapi justru menghancurkannya. Cairan bening itu tumpah, membasahi telapak tangan, sampai ke tubuhnya. Sebagian besar cairan parfum itu terciprat ke wajah Shan.

Aroma jeruk nipis, lemon, anggur dan bargamot seketika menguar di udara. Sebagian besar terhirup oleh Shan. Bestial harimau putih itu seketika berteriak.

"Apa ini? Aku tidak bisa mencium aroma apa pun selain bau ini!" Shan berputar-putar sambil berusaha membersihkan aroma parfum itu dari wajahnya. Ia berlari ke sana kemari, tubuh besarnya menabrak batang pohon dan bebatuan. Ia panik karena merasa penciumannya dibutakan dan penglihatannya masih belum pulih dari efek flash kamera.

Kirana mengerjap tidak percaya, rencananya berhasil. Namun, ia tidak boleh termangu terlalu lama. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk pergi ke tempat Xavier. Gadis itu menoleh ke tempat Wage bersembunyi, buru-buru ia raih tangan anak rusa itu.

"Ayo, kita harus ke tempat Xavier!" ucapnya, tergesa.

Wage mengangguk. Ia pun berlari di samping Kirana. Keduanya segera menuju ke tumpukan pohon-pohon yang tumbang dan menimpa tubuh Xavier.

"Xavier!" Kirana memanggil. Ia menyibak ranting-ranting dan dedaunan lebat di sana. Wage berusaha mengangkat batang pohon, jelas ia tidak kuat, tapi ia ingin membantu Kirana juga.

Mata Kirana menangkap rambut hitam yang menjuntai, tertutup oleh setumpuk daun-daun. Ia tahu itu rambut Xavier. Gadis itu mematahkan batang kayu yang menghalanginya, akhirnya, ia bisa melihat kepala Xavier yang tertelungkup ke tanah.

"Akhirnya aku menemukanmu," suara Kirana gemetaran. Ia takut kalau Xavier tidak bernapas. Gadis itu menyentuh kulitnya. Dingin. Ia semakin merinding. Namun, kalau dipikir-pikir lagi, tubuh Xavier memang selalu terasa dingin, mungkin karena ia Bestial ular.

"Fokus, Kirana, fokus." Gadis itu menggeleng kecil. Lagi-lagi, pikirannya kemana-mana.

"Xavier," panggilnya, agak keras. Ia berlutut di sebelah tubuh Xavier. Dari dada sampai kakinya terhimpit oleh batang-batang pohon. Hanya kepalanya saja yang terlihat.

"Kumohon, sadarlah."

Terdengar suara erangan kecil. Mata Kirana berbinar, senang melihat ada reaksi dari tubuh Xavier.

"Kirana..," Xavier merespon pelan. Ia menggerakan sedikit kepalanya, beberapa helai rambut panjangnya jatuh di depan wajahnya. Mata kirinya yang masih dapat melihat mencoba menatap gadis itu. Terlihat penyesalan di sorot matanya. "Maaf, aku terlalu lemah."

Ini ketiga kalinya Kirana mendengar Xavier meminta maaf. Namun, kali bukan kesalahan Xavier. Kirana tahu Xavier kuat. Ia kalah karena dirinya tidak mendengarkan perkataan manusia-ular itu. Andai ia tetap di desa, mungkin Xavier saat ini sudah lebih unggul daripada Shan dan bisa mengalahkannya. Andaikan ia tidak mengganggu pertarungan mereka. Andaikan ia tidak ada di sini.

"Larilah, kau masih bisa selamat," ucap Xavier dengan suara paraunya.

"Aku tidak akan meninggalkanmu," tegas Kirana. Ia ingin merengkuh Xavier, tetapi, posisinya sulit untuk melakukan itu. Ia hanya bisa duduk di samping Xavier, menemaninya.

"Paman, jangan mati!" Wage yang sejak tadi menyimak akhirnya ikut berbicara. "Paman pasti bisa mengalahkan harimau itu!"

Xavier terdiam. Ia heran mengapa Wage juga bisa ada di sana. Pikirannya melayang ke masa depan, ia berandai, kalau Wage bisa bertahan hidup, suatu hari ia akan tumbuh menjadi Bestial rusa merah yang kuat dan melindungi desanya. Namun, kalau tidak kabur dari cengkraman Shan malam ini, bayangan itu tidak akan pernah jadi kenyataan.

Xavier menggali kembali ingatannya. Ia sudah merasakan banyak hal dalam hidupnya. Berbagai kemungkinan buruk yang datang menghampirinya selalu bisa ia tangani. Ia tidak takut pada apa pun. Kecuali satu hal.

Xavier menatap Kirana. Perasaan yang aneh memenuhi dirinya. Seperti ada tekanan yang menyakiti dadanya, dingin yang menyergap ujung-ujung jari dan pikiran yang mengosong, terisi oleh bayangan-bayangan yang buruk. Ia takut. Xavier bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ia merasakan hal tersebut.

Ketakutan itu muncul bukan karena ancaman Bestial yang lebih kuat. Namun, sesuatu yang lebih kecil dan rapuh. Ia takut kehilangan Kirana.

Dulu, ia hanya peduli pada dirinya sendiri. Namun, sekarang ada yang ingin ia lindungi dan entah mengapa, saat melihat wajah Wage, ada perasaan simpati pada anak rusa itu.

Simpati? Kata yang terdengar asing bagi Suku Serpent.

Suku Serpent terlahir berdarah dingin, takdir mereka adalah menjalani hidup dengan membuang perasaan sejauh mungkin. Untuk pertama kalinya, Xavier ingin melawan takdir itu. Keinginan itu semakin kuat saat ia bersama Kirana.

Aku belum sepenuhnya memehami hal ini. Namun, aku belum ingin mati. Aku belum ingin kehilangan dirimu.

Keinginan yang kuat itu memberi sedikit dorongan bagi Xavier untuk mengerahkan sisa tenaganya. Manusia ular itu berusaha bangkit, punggungnya mendorong kayu-kayu besar yang menimpa tubuhnya. Kirana sampai dibuatnya terperangah. Gadis itu belum pernah melihat ekspresi Xavier begitu keras melakukan sesuatu.

Xavier dengan tubuh penuh luka dan darah mencoba keluar dari himpitan kayu-kayu itu. Pada akhirnya, ia berhasil keluar dari sana. Tepat disaat itu, ia mendengar raungan Shan, begitu pun dengan Kirana dan Wage.

"Dia akan segera kemari," kata Kirana. "Kau sudah berhasil keluar, ayo kita kembali ke desa saja."

"Tidak," tolak Xavier, suaranya pelan dan napasnya tersengal. Ia jelas kelelahan setelah mengerahkan kekuatannya untuk keluar dari tumpukan kayu tersebut.

"Kirana," Xavier menoleh ke gadis itu. "Berikan aku darahmu."

"Hah?" Kirana terperangah kaget. Ia terdiam sesaat, berusaha mencerna perkataan Xavier. Kalau Shan bisa kuat hanya dengan beberapa tetes darahnya, maka Xavier juga.

Kirana menatap balik Xavier, lalu mengangguk. Ia percaya kepada keputusan pria itu. Gadis itu lalu menyodorkan lengannya yang terluka. Darah masih menetes dari luka bekas taring tersebut.

Xavier langsung menelan ludahnya. Jelas ia menahan hasratnya sejak tadi. Aroma darah itu memang sangat menggoda bagi para Bestial.

Manusia ular itu sudah mendekatkan wajahnya ke lengan Kirana, tetapi, sebelum ia menggigit, Xavier mengingatkan gadis itu. "Jika aku kehilangan kendali, kau dan Wage harus segera pergi meninggalkanku. Paham?"

Kirana mengangguk yakin padanya. "Aku percaya padamu."

Xavier membalas dengan senyuman tipis. Ia pun berharap demikian.

Xavier langsung menggigit lengan Kirana yang terluka dan menyedot darahnya.

Kirana merasakan rasa perih di lukanya seperti di taburi garam. Rasanya seperti cairan di tubuh disedot oleh suntikan, tetapi lebih cepat, memilukan dan perih di waktu bersamaan.

Gadis itu meringis menahan sakit, tangannya meremas kepala Xavier yang mendesak tubuhnya sampai jatuh ke tanah. "Xavier, kurasa cukup! Xavier!"

Manusia ular itu tiba-tiba membelalakkan matanya. Nadi-nadinya yang berwarna biru menonjol dan terlihat di wajahnya yang pucat. Ia merasakan dorongan yang besar, lapar dan kemarahan menjadi satu. Hasrat hewannya seperti bangkit dan menumpulkan logikanya.

Xavier bangkit, kekuatannya pulih seketika. Bahkan tubuhnya beregnerasi sangat cepat. Semua luka-lukanya menghilang dalam hitungan detik. Xavier mengubah wujudnya kembali menjadi ular hitam raksasa. Ia melata dengan cepat ke arah Shan, siap untuk bertarung kembali dengan harimau putih itu. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top