Bab 21: Kamera

Kirana menyibak gorden daun, matahari pagi menyilaukan pandangannya. Sambil megangkat tangan untuk menghalau sinar, ia berjalan ke tengah lapangan. Dari sana, ia bisa melihat empat menara pemantau berhasil didirikan pagi ini. Lalu jebakan lubang di depan dinding kayu juga sudah jadi dan tertutup oleh jalinan daun yang dirajut dengan sihir agar tidak mudah tersingkap dan tersamarkan.

Beberapa penduduk yang ikut dalam pertarungan tampak sudah mulai mengisi pos-pos jaga mereka. Di langit, Kirana dapat melihat seekor burung elang terbang berputar-putar. Burung itu adalah Ezekiel yang tengah bertransformasi ke wujud hewannya untuk memantau situasi dari langit.

Gogo dan beberapa penduduk tampak sedang memodifikasi panah-panah yang mereka gunakan dengan getah khusus. Beberapa anak panah ada yang dicelupkan ke dalam gentong berisi racun yang diproduksi oleh Xavier. Hugo berdiri di atas salah satu menara, ia sedang berbincang dengan penjaga menara tersebut. Namun, Wagyo tidak tampak batang hidungnya. Kirana mengira Kepala Suku mungkin berada di pondok strategi—bangunan yang baru didirikan kemarin untuk keperluan rapat strategi.

Kirana merasa pagi ini aktifitasnya sedikit luang, jadi ia berniat menemui Xavier yang sedang melatih penduduk Suku Cervid di bagian belakang desa. Ada sekitar tiga puluh orang di sana, mereka menghunuskan lalu menarik kembali lembing-lembing di udara, seperti sedang memperagakan teknik menusuk.

"Ternyata kamu cocok juga jadi pelatih," ucap Kirana, menghampiri Xavier yang sedang membetulkan posisi tangan salah seorang pria yang akan melempar lembing.

Mendengar suara Kirana, Xavier seketika menoleh ke arah gadis itu.

"Aku hanya tidak ingin pertahanan mereka lemah," kata manusia-ular itu, dingin.

"Kalau sampai para Bestial suruhan Shan berhasil memasuki desa dan melukaimu..," Xavier mendelik ke para manusia-rusa yang sedang dilatihnya. Mereka seketika ketakutan melihat sorot mata ular tersebut. "Aku yang akan menancapkan lembing-lembing itu ke tubuh kalian."

"Kami akan berlatih dengan giat!"

Dengan ekspresi ketakutan orang-orang itu memelesat ke depan dan menghunuskan ujung lembing yang tajam pada boneka jerami yang dibuat untuk target latihan menusuk.

Kirana menyaksikan itu sambil bersedekap, kedua alisnya menaut, tidak setuju dengan metode Xavier mengancam mereka.

"Aku tidak jadi puji deh, ternyata kamu masih kasar," katanya sambil membuang muka.

Seperti ada batu besar yang menimpa kepala Xavier, manusia-ular itu langsung melangkah mengejar Kirana yang berniat pergi ke aula tempat Gigi dan para Bestial medis berada.

"Aku tidak sungguh-sungguh akan berbuat seperti itu," sergah Xavier sambil mengejar langkah Kirana.

Melihat raut khawatir di wajah Xavier, Kirana malah tiba-tiba tertawa. "Ya ampun, kamu serius sekali."

Xavier memiringkan kepalanya, tidak mengerti. "Apa ini sejenis lelucon bagi para manusia?"

Kirana tertawa sambil menggeleng. "Bukan, hanya saja kamu sangat serius. Aku tidak marah kok."

Xavier masih tidak memahami konsepnya, tapi setidaknya ia lega karena Kirana tidak menekuk wajahnya lagi. Tiba-tiba, ia teringat sesuatu. Pria itu membuka kain jubahnya dan mengambil sebuah tas kecil.

"Ini dari Ezekiel," kata Xavier sambil menyerahkan tas tersebut.

"Oh! Tas milikku!" Kirana tersenyum lebar sembari membuka tas tersebut. Gadis itu jingkrak kesenangan karena barang-barang yang disimpannya masih utuh.

Xavier mengamati satu per satu benda itu dengan heran. Ada sebuah botol kaca yang menguarkan aroma tajam. Aromanya seperti kumpulan bunga, rumput dan buah, tapi ada unsur asing yang membuat aroma itu tajam dan mengacaukan indra penciumannya.

"Singkirkan benda itu," kata Xavier sambil menutup hidung dan mulutnya.

"Parfum ini?" Kirana mengambil benda yang dimaksud Xavier. "Ini kan baunya enak, manusia suka pakai ini lho."

"Kalian bisa hidup dikelilingi aroma seperti itu?"

"Ada banyak jenis aromanya, mungkin kamu tidak cocok dengan bau jeruk."

"Itu tidak seperti bau jeruk." Xavier akhirnya membuka bekapan tangannya dari hidung dan mulut setelah Kirana memasukkan parfum itu kembali ke tas. "Aromanya mengacaukan penciumanku."

Mendengar kalimat tersebut membuat Kirana tertegun. Ia ingat kalau sebagaian hewan sangat sensitif dengan aroma. Ternyata hal tersebut juga masih berpengaruh pada Bestial yang sudah berevolusi.

"Aku mengerti, tidak akan kugunakan selama kamu ada disekitarku," Kirana tersenyum maklum. Ia lalu lanjut memasukkan lipstik, bedak dan benda-benda lainnya. Kirana meninggalkan handphone-nya di luar. Ia punya ide.

"Aku akan mendokumentasikan pengalamanku disini!" seru gadis itu, semangat. Harap-harap cemas, Kirana mencoba menghidupkan handphone-nya. Tampak layar gawai menyala, gadis itu kembali melompat girang.

"Ah, untunglah aku matikan, jadi baterainya masih utuh."

Kirana menggeser layar handphone-nya dan mengaktifkan fitur kamera. Sambil mengarahkan lensa ke Xavier, gadis itu mencoba memberi arahan. "Xavier, lihat kemari."

Xavier yang merasa asing dengan benda bernama 'handphone' tersebut justru bersikap defensif. Ia memandang curiga benda persegi panjang di tangan Kirana itu.

"Apa yang akan kau lakukan?"

"Percayalah padaku, tolong berdiri yang tegak dan jangan banyak bergerak," perintah Kirana. "Ayo Xavier, lihat kemari!"

Xavier menghela napas, tidak punya pilihan selain menurut. Ia berdiri dengan tegap, tetap dengan ekspresinya yang dingin. Tidak sampai dua detik, Kirana yang berdiri sekitar satu meter darinya tiba-tiba melonjak-lonjak dengan girang.

"Berhasil!"

"Apanya yang berhasil?"

Kirana menghampiri Xavier dan menunjukkan hasil fotonya. Di layar kaca bening, terpampang foto Xavier yang berdiri kaku.

"Sihir macam apa ini?" Xavier menatap gambar dirinya dengan asing. "Itu...aku?"

"Benar!" Kirana mengangguk-angguk bangga. "Tapi ini bukan sihir. Namanya teknologi kamera."

"Teknologi.. Kamera?"

Xavier paham apa itu teknologi. Sesuatu yang pernah dicetuskan oleh orang-orang dari Suku Pongo. Namun, "kamera" adalah nama yang baru didengarnya.

"Jadi ini bukan sihir?"

Kirana mengangguk. "Intinya, di dunia manusia, alat ini bisa dipakai untuk membuat gambar secara instan."

Xavier memangku tangannya, tampak mencerna ucapan Kirana. "Maksudmu seperti lukisan yang dibuat instan?"

"Betul, kamu cepat paham ternyata," puji Kirana. Rasanya ia gemas melihat Xavier yang serbatahu jadi sedikit kebingungan saat dihadapkan pada penemuan dari dunia manusia. Tapi gadis itu juga kagum dengan kecepatan Xavier memahami informasi asing yang diberikannya.

"Sebenarnya benda ini bernama handphone," ucap Kirana sambil memperlihatkan gawai yang di tangannya.

"Tadi kau bilang kamera."

"Itu fiturnya."

Xavier memijit keningnya, sedikit pusing.

"Ah, maaf, kamu pasti bingung. Baiklah, anggap saja benda ini kamera."

"Tidak, tadi kau bilang itu hangpong dan sejenisnya? Jadi yang mana yang benar?"

Kirana nyaris tertawa mendengar Xavier salah menyebut kata "handphone."

"Handphone," ulang Kirana, mengoreksi ucapan Xavier.

"Hand..phone?" Xavier mengucapkannya perlahan. Ia melirik ke arah Kirana yang mengangguk-angguk, membenarkan pengucapannya.

"Benda ini sebenarnya alat komunikasi di dunia manusia, tapi tidak bisa digunakan di dunia ini," Kirana mencoba menerangkan. "Satu-satunya yang bisa kugunakan dari benda ini adalah fungsi kameranya."

"Jadi dia sebenarnya alat komunikasi, tapi punya kemampuan untuk membuat lukisan secara instan juga?" Xavier mencoba merangkum penjelasan Kirana.

"Benar, seperti itu maksudku."

Xavier terdiam memandangi gawai tersebut. Ia tidak menyangka manusia bisa menciptakan hal seperti itu. Pria itu bertanya-tanya pada dirinya, akankah ia memiliki pemikiran seperti itu nantinya saat berhasil evolusi ke tahap selanjutnya, menjadi lebih cerdas dari yang sekarang, bisa memahami 'teknologi' seperti yang Kirana bilang padanya.

Xavier tidak pernah punya keinginan untuk berevolusi menjadi lebih tinggi daripada tahap yang sekarang. Namun, jika itu bisa membuatnya semakin memahami Kirana dan dunianya, ia jadi sedikit tertarik untuk berusaha melakukan evolusi juga, walau akan membutuhkan waktu dan usaha yang panjang.

"Xavier, kamu melamun." Ucapan Kirana membuat manusia-ular itu tersentak.

Xavier memandangi wajah cantik di hadapannya. Kedua mata coklat gadis itu berbinar bahagia karena menemukan mainan baru. Ia tersenyum tipis.

"Aku senang kau lebih ceria," ungkapnya. Tangannya bergerak ke atas kepala Kirana, membelai rambut kecoklatan itu dengan lembut. Irisnya yang berwarna kuning dengan pupil lonjong menatap Kirana, lekat. Kirana yang dipandangi dengan hangat merasa pipinya bersemu merah. Xavier lebih sering memasang ekspresi dingin, tetapi sekali ia tersenyum rasanya dada gadis itu berdebar tak karuan.

"Ehem! A—aku akan berkeliling sebentar," ucap Kirana, gugup. Ia harus segera pergi dari sana sebelum tatapan Xavier menyihirnya lebih dalam.

"Kau akan mengambil lukisan lain?" tanya Xavier, sedikit kecewa karena Kirana akan pergi lagi.

Gadis itu mengangguk sambil tersenyum. Ia melambaikan tangannya kepada Xavier lalu beranjak pergi ke arah aula tempat Gigi dan para Bestial perempuan berada.

Xavier sebenarnya ingin menemani Kirana, tetapi ketika ia menoleh ke belakang dan melihat para pria dari suku Cervid gagal menusuk ke target boneka jerami—yang bahkan dalam posisi diam, ia tahu kalau harus tetap tinggal disana dan melatih para herbivora tersebut. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top