Bab 2: Suku Falco

"Lepaskan aku!" Kirana berontak ketika dua dari pria bersayap itu memegangi kedua tangannya sementara pria satunya lagi melemparkan jaring besar padanya.

"Ah! Aromanya enak sekali, aku belum pernah melihat spesies seperti ini sebelumnya," ucap salah satu dari mereka, air liur menetes dari pinggir bibirnya.

"Dia terlihat seperti salah satu penduduk Suku Pongo," balas rekan satunya sambil mengikat mulut jaring agar Kirana tidak bisa keluar dari sana.

"Huh, bau para kera itu tidak ada yang sewangi ini!"

Kirana tidak mengerti apa yang mereka perdebatkan, tetapi energi untuk melawan sudah habis. Ia terjatuh kelelahan di dalam jaring besar tersebut. Dua dari pria bersayap itu mengangkat tali jaring dan membawanya terbang bersama mereka.

Saat ketiganya terbang makin jauh, sepasang mata berwarna emas mengintip dari balik semak-semak. Ia mendecih karena target yang diincarnya diambil. Pemilik mata emas itu pergi dari tempat persembunyiannya, mengikuti jejak aroma yang ditinggalkan gadis itu.

***

Kirana berpegangan pada tali-tali jaring, memandang ngeri hamparan hutan dari atas langit. Perutnya mual karena terguncang-guncang di udara. Ia harus mengalihkan pikirannya agar tidak muntah.

"Apa nama tempat ini?" tanya Kirana. Ia yakin tadi bisa mengerti ucapan mereka, seharusnya mereka juga bisa memahami bahasa Kirana.

"Berani sekali kamu masuk ke wilayah yang tidak kamu ketahui," jawab pria dengan sayap putih, "Kamu berada di Rock Cliff Rainforest, wilayah kekuasan Suku Falco."

"Dimana itu Rock Cliff Rainforest?" tanya Kirana lagi, kepalanya berusaha menggali informasi dari ingatan materi geografinya yang terakhir dipelajari saat SMA. Apakah ini suatu tempat di Amerika Selatan?

"Hahaha! Sepertinya kepala dia terbentur batu sungai sampai lupa ingatan!" Pria bersayap hitam yang memegang tali jaring tertawa keras. "Hei, kita hidup di Forest Region, apa perlu ku pecahkan dulu kepalamu agar ingat lagi?"

"Jangan ngawur, bagian kepala hanya untuk Kepala Suku, pelayan sepertimu mah dapat ujung jari kakinya juga sudah senang! Hahaha!" ejek kawannya.

"Ah, otaknya pasti enak sekali, beruntungnya Kepala Suku," air liur menetes lagi dari sela-sela bibir pria bersayap putih.

Kirana merinding mendengar dialog mereka. Aku akan dijadikan makanan mereka? Bukankah itu kanibalisme? Tetapi, mereka juga sepertinya bukan manusia. Ia ketakutan membayangkan tubuhnya akan dipotong-potong, apalagi jika dalam keadaan hidup.

Ketinggian terbang mereka menurun seiring terlihatnya kumpulan tebing-tebing batu besar. Jika Kirana perhatikan, tebing-tebing itu memiliki lubang-lubang yang merupakan pintu untuk rumah-rumah di suku Falco. Jembatan kayu membentang antar satu tebing ke tebing lain, tampak beberapa wanita, pria dan anak kecil berlalu lalang di sana.

Sementara itu, di langit sekitar tebing, banyak orang-orang bersyarap yang terbang memutar dalam rute tertentu, seperti petugas patroli.

Ketiga orang yang menangkap Kirana turun di salah satu tebing, mereka menghampiri pria bersayap lain yang tampak seperti penjaga tempat tersebut. Tubuhnya berotot tanpa atasan, hanya kain kulit yang menutupi pinggang sampai ke pahanya.

Mereka mengingatkan Kirana dengan manusia primitif yang hidup di jaman dulu. Pakaian dari kulit binatang dengan warna dan corak sederhana. Beberapa orang dengan status sosial lebih tinggi biasanya memiliki hiasan lebih seperti mahkota atau jubah yang tampak lebih mewah.

Sebagian besar prianya hanya mengenakan bawahan, sementara yang wanita hanya mengenakan penutup di dada dan pinggul mereka. Anak-anak kecil bahkan berkeliaran tanpa sehelai benang pun.

"Perkampungan yang aneh," gumam gadis itu sambil mengamati sekitarnya.

"Dia tidak terlihat dari Suku Pongo," ucap penjaga itu, ragu dengan keterangan ketiga pria yang menangkap Kirana.

"Sudah kubilang tadi ke mereka, aromanya juga berbeda," timpal pria bersayap putih yang langsung disikut oleh rekannya.

"Benar, dia kelihatan lezat," penjaga itu setuju. Tanpa sadar ia menelan ludahnya, menahan hasrat dan rasa lapar yang menjalar di dalam dirinya saat memandangi Kirana dari atas kepala sampai kaki.

"Bawa dia ke dalam, aku akan panggil Oracle untuk mengeceknya," perintah penjaga itu.

Mereka menjebloskan Kirana ke sebuah sel yang terbuat dari kayu. Disana, ia duduk di bagian yang menjorok ke sudut ruang. Mata Kirana dapat melihat keadaan di dalam dengan jelas walau sumber penerangannya hanya obor-obor api dan cahaya yang menembus lubang-lubang di gua batu itu.

Tidak lama kemudian, seorang wanita tua dengan sayap abu-abu panjang sampai menyapu lantai masuk ke dalam ruangan, diikuti oleh pria dengan hiasan kepala meriah dan kulit hewan yang dikenakan seperti jubah. Kirana bisa menebak kalau kedua orang itu punya posisi penting di suku tersebut.

Wanita itu mengenakan pakaian kulit yang menutupi seluruh tubuhnya dari leher sampai mata kaki, ditambah aksesoris jubah bercorak dan topi dari tulang yang dihias aneka macam bulu warna-warni.

Kirana merinding saat mata tajam wanita itu menelisiknya. Wanita itu berjalan ke tengah ruang, berjinjit lalu mulai melakukan tarian ritual sambil memainkan aksesoris tengkorak di kedua tangannya.

Kedua tangannya gemetar saat tengkorak itu mengeluarkan sinar berwarna keunguan, matanya terbuka lebar menatap ke arah langit-langit. Seperti mendapatkan suatu jawaban, ekpresinya berubah, lalu ia bersujud di lantai. "Oh, Dewa! Kau telah mengirimkan kami jawaban!"

Oracle—mereka menyebutnya—wanita itu melangkah tertatih ke pinggir sel, menatap Kirana seperti melihat harta karun yang tak ternilai.

"Engkau telah dipilih Dewa untuk datang kesini," ucapnya.

"Maksud anda?" Kirana menatapnya bingung.

"Kau adalah manusia."

Kirana terdiam. Tarian ritual yang rumit dilakukan hanya untuk mengatakan kalau Kirana adalah manusia. Sungguh diluar ekspetasi gadis itu. Tetapi ia semakin heran saat melihat tatapan berbinar dari pria di sebelah dukun itu.

"Setelah sekian lama, akhirnya masalah di desa kita bisa teratasi," ucap pria itu.

"Kepala Suku, kita harus mengadakan upacara malam ini, kabari seluruh penduduk desa," perintah Oracle kepadanya.

Kirana tiba-tiba menyela, ia tidak bisa membendung rasa penasarannya. "Memang kenapa kalau aku manusia?"

"Manusia adalah mahluk yang istimewa," Oracle menerangkan. "Menurut para leluhur, manusia terakhir terlihat 500 tahun lalu di dunia ini, ia datang di sebuah suku, membuat desa itu menjadi subur, melahirkan anak-anak Bestial yang kuat."

"Lalu apa yang terjadi dengan manusia itu?" tanya Kirana.

"Manusia memang menakjubkan, tetapi umur mereka pendek, tidak seperti para Bestial yang bisa meraih keabadian dengan berevolusi," kata dukun itu.

Begitu, jadi dia mati karena faktor usia, batin Kirana. Tiba-tiba ia menyadari sesuatu yang ganjil dari cerita tersebut. "Kau bilang dia melahirkan?"

Oracle tersenyum lebar, sepertinya pertanyaan itu berkaitan dengan tujuannya. "Tentu saja, itu adalah tugas utama manusia di dunia ini, melahirkan banyak anak-anak Bestial yang kuat agar bisa menjaga keberlangsungan seluruh desa."

Kirana tercekat, ia kini paham. Manusia tidak lebih dari sekedar pabrik anak di dunia ini. Ia tidak bisa membayangkan seumur hidupnya dihabiskan untuk dihamili lalu melahirkan, berulang-ulang sampai akhirnya ia mati di usia tua.

Gadis itu beringsut mundur, ketakutan jelas terpancar dari dua bola matanya. "Kumohon, jangan jadikan aku seperti itu," pintanya pada Oracle. "Ingat, aku manusia, aku mamalia dan kalian tampaknya seperti bangsa sejenis burung, itu tidak mungkin kan? Manusia tidak bertelur!"

Oracle tertawa. "Leluhur kami sudah membuktikan kalau itu bisa," balasnya. "Aku harap kau mau bekerjasama Kirana, desa ini sudah lama sulit menghasilkan keturunan, hasil perkawinan tidak banyak yang berhasil, kau adalah satu-satunya harapan untuk keberlangsungan di desa ini."

"Tidak! Aku tidak mau!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top