Bab 18: Pembawa Pesan
Kirana diajak Wagyo membicarakan strategi pertahanan. Mereka berdua bersama dengan beberapa pria dari suku Cervid berkumpul di sebuah meja dekat dengan aula desa. Tidak jauh dari rumah-rumah penduduk, tampak beberapa manusia-rusa tengah membangun sebuah pondok beratap bundar dari jerami. Bangunan sederhana itu diisi oleh sebuah meja panjang dan beberapa kursi.
"Itu apa?" tanya Kirana sambil memperhatikan dipan-dipan dari anyaman bambu disusun menjadi dinding bangunan.
"Pondok strategi," jawab Wagyo. "Aku baru kepikiran membangunnya sekarang." Pria itu tersenyum kecil. "Lebih baik terlambat daripada tidak, bukan?"
Tentu saja, sebuah tempat untuk pembahasan strategi yang aman dari berbagai serangan. Tempat untuk berkumpul para pemimpin dan otak dalam perang. Kirana hampir melupakannya. Ia menyukai ide dari Kepala Suku tersebut.
"Baiklah, kita mulai pembahasan rencana pertahanannya." Wagyo membuka diskusi siang tersebut.
Dua jam berlalu dan pembahasan tersebut pun selesai. Kirana menundukkan kepalanya sebagai bentuk pamit kepada Wagyo dan penduduk lainnya sebelum ia pergi ke aula. Gadis itu melangkah dengan girang, hatinya berdebar senang karena ini pertama kalinya ia merasa dibutuhkan di suatu tempat.
Kembali ke masa terakhirnya di dunia manusia, ia mengingat saat dirinya diperlakukan semena-mena oleh Pemred dan staff di tempat internship-nya. Ia sempat merasa dirinya adalah manusia yang tidak berguna, tidak berbakat dan terus menerus berbuat kesalahan. Kadang ia pulang dari kantor dalam keadaan kacau. Napsu makannya hilang dan ia menghabiskan sisa malamnya dengan menagis di kamar.
Kirana mempertanyakan apakah dirinya memang sepayah itu. Apakah ke depannya ia akan selalu diremehkan oleh orang lain. Bahkan sampai sahabatnya berani menikungnya, pacarnya pun dengan enteng selingkuh darinya. Apakah dirinya sebagai manusia memang tidak seberharga itu?
Keberadannya di dunia bernama Kerajaan Animal ini seperti menepis semua pikiran negatifnya. Perlakuan Wagyo dan para penduduk Cervid sangat baik terhadapnya, terlepas dari ketidakberdayaan membantu mereka mencari atau mengolah makanan. Xavier dan Ezekiel yang sudah berkali-kali direpotkan olehnya pun tidak pernah menyalahkannya.
Untuk pertama kalinya, sejak kesialan bertubi-tubi menimpanya di dunia manusia, Kirana merasa dirinya masih punya harapan. Harapan kalau dirinya cukup berharga hidup di antara mahluk lainnya. Bibir gadis itu mengulum senyum, bahkan dalam keadaan genting saat ini, ia merasa jauh lebih bersyukur ketimbang saat menjalani hari-hari terakhirnya di dunia manusia.
Langkah Kirana terhenti di depan aula. Ia merasakan angin yang tiba-tiba berhembus terasa sejuk, bahkan saat matahari bersinar cerah di langit. Rambut panjang gadis itu melambai-lambai tertiup angin, ia menyelipkan beberapa helai rambutnya ke belakang telinga agar tidak berantakan. Kirana menatap ke pepohonan di sekeliling desa yang bergoyang, daun-daun hijau berguguran di sekitar desa tersebut. Rasanya seperti berada di dalam sebuah adegan film.
"Ini benar-benar nyatakan?" gumam gadis itu. Takjub dengan keindahan fenomena yang terjadi di hadapannya, sekaligus masih merasa ragu dengan semua kejadian yang dialaminya seminggu terakhir ini. Terlalu magis untuk menjadi kenyataan, tapi ia benar-benar hidup di dunia tersebut—dunia dimana para binatang berevolusi menjadi manusia.
"Kirana!"
Gadis itu menoleh dan menemukan Gigi melambai ke arahnya. "Apakah kau sibuk?" tanya Gigi.
Kirana menggeleng. "Aku punya waktu luang. Apa ada yang bisa kubantu?"
"Ada, tolong bantu aku menata daun-daun ini," kata Gigi sambil meletakkan wadah besar berisi tumpukan daun kering.
"Untuk apa?"
"Ini untuk jebakan lubang."
Kirana duduk di sebelah Gigi. keduanya pun melanjutkan pekerjaan membuat alas penutup untuk lubang jebakan yang sedang dikerjakan oleh para pengendali elemen tanah di sekeliling desa.
***
Matahari menggelincir turun ke Barat, langit senja yang kemerahah tampak tertutup oleh awan gelap yang tiba-tiba berkumpul. Hugo mengendus udara yang berputar di sekelilingnya, ia memprediksi sebentar lagi akan turun hujan. Angin yang cukup besar pun bertiup, menerbangkan tumpukan daun-daun kering yang tadinya akan digunakan untuk menutupi parit.
Beruntung karena banyak penduduk yang bisa menggunakan elemen tanah, lubang sudah selesai di gali dan sebagian sudah ditutupi oleh daun-daun yang direkatkan dengan kemampuan elemen alam milik Hugo dan Gigi.
Pekerjaan mereka tinggal sedikit lagi, tetapi dari arah tenggara terlihat tiga Bestial dari tiga jenis berbeda datang mendekati desa. Hugo yang menyadari kehadiran tiga orang itu langsung berseru.
"Ada yang datang!"
Beberapa Bestial langsung memasang sikap waspada, sebagian lainnya berlari ke depan gerbang desa yang sedang di bangun berniat untuk membuat pertahanan dengan elemen tanah. Tetapi karena tidak ada serangan, mereka hanya diam di sana sambil memasang kuda-kuda.
Hugo dan Wagyo keluar dari desa, menemui langsung ketiga Bestial itu di depan gerbang benteng yang belum jadi. Ekspresi ketiga Bestial itu terlihat pongah dan meremehkan.
"Kalian membuat benteng?" tanya Bestial yang memiliki sayap. "Kalau kutiupkan angin pasti langsung roboh."
Kedua rekan Bestialnya langsung tertawa terbahak-bahak. Hugo dan Wagyo hanya memasang wajah tanpa ekspresi. Hugo mencoba fokus pada tujuan kedatangan tiga Bestial itu.
"Apa yang kalian mau?"
"Kau masih hidup rupanya," jawab Bestial yang memilki coreng hitam di sepanjang garis matanya. Ia adalah Bestial tapir. "Shan titip salam padamu."
Mendengar nama Shan disebut, Hugo sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan ini.
"Ia juga bertanya apakah kalian bersedia menjadi bawahannya," sambung rekan Bestial yang bersayap. "Tenang saja, nyawa kalian akan diampuni kalau patuh dan mau masuk ke kerajaan yang akan didirikannya."
"Kami menolak," jawab Wagyo, tegas. "Keberadaan kalian tidak diharapkan disini, pergilah."
"Kau akan menyesali pilihanmu," ancam Bestial yang berdiri di tengah. Ia memiliki sisik di tangan dan punggungnya. Ia adalah Bestial trenggiling. "Kami hanya menawarkan pilihan ini sekali, kali berikutnya kami ke sini hanya akan ada pertumpahan darah."
"Kalian tahu kan kalau Shan tidak akan pilih kasih dalam membunuh," Bestial burung gagak di sampingnya menimpali. "Anak-anak, perempuan, orang tua, semuanya akan berakhir menjadi stok makanan kami."
Wagyo sudah membuka mulut, hendak menjawab ancaman tersebut, tetapi, sebuah serangan yang sangat cepat seperti tebasan memotong leher Bestial burung gagak tersebut. Semuanya terkejut, tidak ada yang menyangka serangan itu datang.
"Aaa! Sebastian!" seru Bestial trenggiling, ia menangkap kepala rekan burung gagaknya itu.
"Siapa? Siapa itu!" Bestial tapir satunya seketika menjadi panik dan mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Hawa dingin muncul dari arah belakang, terasa seperti mencekram tengkuknya. Saking takutnya, ia sampai tidak berani berbalik. Asap hitam muncul bersamaan dengan tubuh Xavier. Kedua tangannya yang pucat meraih tengkuk Bestial tapir dan Bestial trenggiling itu.
Ia berbisik pelan di antara mereka, "Pulanglah, bawa kepala itu dan bilang kepada Shan kalau aku akan membuatnya bernasib sama seperti itu."
Suara Xavier terdengar halus, tetapi begitu dingin dan menusuk mental kedua bawahan Shan tersebut. Mereka gemetaran dan hanya bisa mengangguk, tak berani menjawab Xavier. Setelah Xavier melepaskan cengkramannya, keduanya langsung berbalik dan lari kocar-kacir meninggalkan desa.
Suasana hening sesaat melihat kejadian barusan. Akhirnya Hugo memberanikan diri bersuara, "Apa tidak apa-apa memprovokasinya seperti itu?"
"Shan tahu harus fokus ke siapa," balas Xavier. "Tidak ada gunanya menyerang desa ini selama lawan yang sepadan dengannya masih hidup."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top