Bab 12: Ular dan Elang
Ezekiel mengayunkan cakar kakinya yang mengandung aliran listrik, tetapi Xavier dengan mudah menghindarinya. Sambil mendecih, Ezekiel langsung memutar pinggulnya, mengerahkan kaki kirinya untuk memberikan serangan beruntun.
Xavier bisa membaca siasatnya dengan mudah, ia cukup merunduk ke bawah lalu memutar ke belakang Ezekiel yang rentan tanpa pertahanan. Manusia-ular itu menyabetnya dengan kuku tangannya yang panjang, terdapat aura berwarna gelap disekujur kukunya.
Punggung Ezekiel terkena cabikan tersebut, luka berbentuk garis panjang mengeluarkan darah segar di punggungnya. Pemuda itu terjatuh ke tanah. Tiba-tiba kepalanya pusing dan pandangannya kabur, ia kira itu hanya efek karena kaget, tetapi dugaannya salah.
"Lebih baik kau tidak banyak bergerak" ucap Xavier. Kakinya melangkah mendekat ke tempat Ezekiel yang mencoba bangkit berdiri. "Racun ular mudah menyebar saat tubuhmu bergerak."
"Kau pikir aku takut?" Ezekiel menatapnya, nyalang. Ia mengibaskan sayapnya dan terbang beberapa sentimeter dari tanah. Wajahnya jelas pucat dan berkeringat tetapi ekspresinya pongah seakan tidak ada rasa takut. "Aku belum selesai!"
Ia melesat sambil menembakkan beberapa petir dari tangannya, Xavier membuat perisai dari selubung hitam dan menangkisnya seakan kekuatan Ezekiel tidak memberi dampak apa pun. Manusia-burung itu menjadi kesal. Kedua sayapnya mengatup, membungkus seluruh tubuhnya, lalu ia berputar sangat cepat seperti peluru yang menembus udara dengan percikan listrik di belakangnya.
Xavier menghela napas, "Perbuatan yang sia-sia." Manusia-ular itu membuat tombak panjang dari energi kegelapan, lalu ia lontarkan searah dengan datangnya serangan Ezekiel. Benturan tak terhindarkan, muncul bias warna kuning dan hitam yang pecah di udara, sinarnya menjulang sampai ke langit.
Ezekiel terlempar dan menabrak beberapa pohon sampai rubuh. Tombak Xavier tertancap di tanah, tapi tidak hancur. Xavier mengambil tombak itu lalu berjalan ke tempat Ezekiel terkapar. Napas manusia-burung itu tersengal-sengal, racunnya pasti sudah menyebar sampai ke paru-paru.
"Aku tidak suka membuat mangsaku menunggu untuk mati," Xavier mengangkat tombaknya. Saat ujung tombak yang berwarna hitam itu hampir mencapai tubuh Ezekiel, terdengar suara teriakan Kirana.
Xavier menoleh dan melihat gadis itu berlari ke arahnya.
"Kirana, jangan kesini!" peringatnya, tetapi dihiraukan gadis itu.
"Hentikan Xavier!" Kirana mengenali pemuda yang terkapar tidak sadarkan diri itu. Rambut putih dan sayap hitam, tidak salah lagi, itu pasti Ezekiel! Gadis itu melompat dan jatuh tepat di antara Xavier dan Ezekiel.
Kirana bangkit, lalu merentangkan kedua tangannya, ia menghadang Xavier dan menatapnya penuh kemarahan. "Jangan sakiti Ezekiel!"
Raut wajah Xavier jelas menunjukkan pertentangan. Bagi para Bestial, saling membunuh saat memperebutkan pasangan kawin itu sudah biasa. Apalagi Ezekiel sangat bersikukuh merebut Kirana darinya. Bagi Xavier, Bestial yang gagal dalam kompetisi memperebutkan pasangan layak untuk disingkirkan.
"Kumohon," mata Kirana berkaca-kaca. "Aku tidak akan lari darimu, aku jamin Ezekiel tidak akan membawaku pergi, tetapi setidaknya, biarkan dia hidup!"
Tangan Xavier mengendurkan genggamannya pada gagang tombak, dalam sekali gerakan tombak itu menghilang menjadi asap berwarna hitam. Pria itu menghela napas, raut keras di wajahnya menghilang.
Walau tatapannya tetap dingin, ia mencoba membelai pipi Kirana. Jemarinya mengelap air mata yang jatuh dari sudut mata Kirana.
Gadis itu terisak, "Jangan biarkan dia mati, Xavier," ucapnya, terbata. "Dia sudah menyelamatkanku dari Suku Falco."
Xavier tidak ada pilihan lain. Dirinya luluh karena permintaan Kirana. "Aku mengerti, akan kubiarkan dia hidup."
Kirana mengangguk. Ia mengelap sisa air matanya dengan punggung tangan, lalu berbalik ke arah para penduduk desa yang sejak tadi menonton pertarungan tersebut. Wagyo yang baru datang langsung menyeruak kerumunan dan menghampiri Kirana serta Xavier.
"Ada apa? Kirana? Xavier?" Ia bergantian menatap kedua orang itu, lalu ia terlonjak saat melihat Ezekiel yang terkapar. "Siapa Bestial ini?"
"Akan kuceritakan nanti, tolong rawat lukanya dulu," kata Xavier. Wagyo patuh, ia langsung memanggil beberapa warga untuk membantu memindahkan Ezekiel.
TIba-tiba Xavier mengiris kulitnya sendiri dan membiarkan darahnya mengalir.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Kirana, panik saat melihat luka tersebut.
"Ini penawar racun," Xavier mengambil selembar daun lalu membiarkan beberapa tetes darah mengumpul disana. "Berikan pada elang itu sekarang atau dia akan segera mati."
Kirana buru-buru mengambil daun tersebut, ia duduk bersimpuh di samping Ezekiel. Sambil memapah punggungnya, ia paksa pemuda itu meminum darah Xavier. Walau semua darah sudah diminum, tetapi gadis itu masih khawatir karena belum melihat reaksi apapun.
Xavier memindai seluruh tubuh Ezekiel, mata pria itu bisa melihat aliran racun yang berhenti bergerak dan mulai menghilang perlahan.
"Dia akan baik-baik saja," kata Xavier. "Racunnya sudah mulai menghilang."
"Kau yakin?"
Xavier mengangguk.
Kirana dan Xavier melihat beberapa warga mengangkut Ezekiel ke rumah Kepala Suku. Gigi yang baru tiba di desa dengan napas tersengal langsung diminta untuk memeriksa Ezekiel.
"Kirana, jangan tiba-tiba lari seperti itu lagi ya," ucap Gigi saat berpapasan dengan gadis tersebut.
Beberapa saat yang lalu, ketika rombongan Bestial wanita yang dipimpin Gigi sedang mencari makanan, mereka tiba-tiba merasakan tekanan yang mengerikan. Aura yang mencekam itu berasal dari desa, Kirana kenal dengan jelas pemilik aura mematikan tersebut. Firasatnya tidak enak, makanya ia langsung berlari meninggalkan Gigi dan kembali ke desa. Gigi jadi ikut khawatir, ia pun berlari menyusul Kirana di belakang. Di luar dugaannya, Kirana mampu berlari sangat cepat dan tiba di desa lebih duluan.
"Maaf ya, Gigi," ucap Kirana, merasa tidak enak. "Tolong sembuhkan Ezekiel."
"Ezekiel?" Gigi menatap pemuda Bestial yang dibaringkan di rumahnya. "Oh, Bestial elang harpy ini temanmu?" Kirana mengangguk, ia jelas dapat melihat raut wajah cemas dari gadis tersebut.
Gigi tersenyum lembut, "Aku akan berusaha semaksimal mungkin." Setelah berkata seperti itu, ia masuk ke dalam rumah dan mulai sesi pengobatan. Tidak ada seorang pun yang diizinkan masuk ke dalam.
Hutan bekas tempat pertarungan tadi tampak porak poranda, beberapa batang pohon rusak dan tanah hancur. Para penduduk desa gotong royong memanfaatkan pohon-pohon yang tumbang, mereka mengambil kayu dan dahannya. Daun-daunnya dikumpulkan. Sementara sebagian lainnya menggunakan kemampuan elemen tanah untuk meratakan kembali permukaan yang berlubang.
Walau bukan perbuatannya, tetapi Kirana merasa kerusakan tersebut juga bagian dari kesalahannya. Ia berulang kali minta maaf kepada Wagyo dan Gogo.
"Sudahlah, tidak apa," kata Wagyo.
"Maaf, Bestial elang itu sebenarnya mengincarku," aku Kirana sambil menundukkan kepalanya.
"Hal yang biasa terjadi saat menjelang musim kawin," balas Gogo. "Memang kalau belum ada satu yang kalah, biasanya akan dikejar terus sampai musim kawin berlalu."
Kirana menelan ludah. Separah itukah?
"Tapi ini pertama kalinya aku melihat Bestial ular dan Bestial elang memperebutkan wanita dari suku Pongo," ucapan Wagyo membuat tenggorokan Kirana seperti tercekat. "Memang ada beberapa Bestial yang kawin dengan beda suku, tapi ini rasanya..."
"...terlalu jauh?" sambung Gogo. Keduanya terdiam dan menerka-nerka.
Untunglah disaat bersamaan, Gigi keluar dari rumah. Kirana, Xavier, Wagyo dan Gogo langsung menghampirinya.
"Bagaimana keadaan Ezekiel?" tanya Kirana. Raut wajah gadis itu cemas saat melihat Gigi tidak memasang ekspresi hangat seperti biasanya.
Gigi berusaha tetap tersenyum, tetapi tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Sambil menggeleng pelan, ia minta maaf kepada Kirana.
"Racunnya memang berhasil dinetralkan, tetapi ia mengalami patah tulang dan pendarahan dalam, kurasa beberapa organnya terlanjur rusak karena terkena efek racun," lapor Gigi. "Kekuatan penyembuhanku tidak bisa mengobati tulang yang patah atau organ internal yang sudah kehilangan fungsinya."
"Apakah artinya Ezekiel akan mati?" Kirana bertanya dengan suara gemetar.
"Jika tidak mendapatkan perawatan yang layak ia akan mati dalam beberapa hari," jawaban Gigi membuat Kirana lemas seketika. Tubuhnya limbung namun sempat ditangkap oleh Xavier. Gadis itu bahkan tidak punya tenaga untuk menyalahkan Xavier. Tetapi ia dilema, haruskah ia menyalahkan Xavier padahal pria itu juga pernah menyelamatkan nyawanya.
"Sebenarnya, desa kami memiliki seorang penyembuh yang lebih ahli," Gogo bersuara. "Maaf, tidak bermaksud merendahkan kemampuanmu," Ia menatap Gigi penuh arti dan dibalas anggukan maklum oleh Bestial wanita itu.
"Sungguh?" Kirana melihat secercah harapan.
"Iya, tapi masalahnya, entah mengapa ia belum pulang ke desa," sambung Wagyo. "Namanya Hugo, dia adalah satu-satunya Bestial di desa kami yang berevolusi sampai tahap ketiga, kemampuan pengobatannya tidak perlu diragukan lagi."
"Lalu dimana Hugo saat ini?" tanya Xavier.
"Itu dia masalahnya," Wagyo mengelus dagunya yang berjanggut. "Beberapa hari lalu dia izin pergi untuk memetik tumbuhan obat, tetapi sampai sekarang belum kembali. Biasanya ia pergi ke Gunung Hagamaro, membutuhkan satu setengah hari untuk kesana, dan dilihat dari kebiasaannya, biasanya ia akan pulang ke desa setelah 3-4 hari."
"Kami tidak tahu kenapa sampai hari ini ia belum kembali ke desa."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top