Bab 10: Suku Cervid
Mereka berjalan beriringan menuju desa, anak-anak rusa naik ke atas pundak para Bestial dewasa, namun sebagian memilih naik di atas ekor ular Xavier. Sepertinya mereka sudah terlanjur nyaman duduk di sana.
Xavier tidak bisa menolak karena Kirana menatapnya penuh awas. Jangan coba-coba menolak permintaan anak-anak itu, peringat gadis itu.
Dari balik pepohonan mereka tiba di wilayah yang terdapat tanah kosong berbentuk melingkar. Ada rumah-rumah sederhana berbentuk kotak dari anyaman dan atapnya terbuat dari daun kering. Ditengahnya terdapat batu yang disusun dengan tumpukan kayu besar.
Kirana tampak bersemangat saat melihat desa tersebut, bentuk tempat tinggal suku itu berbeda dengan Suku Falco. Sepertinya setiap suku punya gaya tempat tinggalnya masing-masing dan ia merasa antusias saat bertemu dengan hal-hal baru seperti itu.
Salah seorang warga desa yang berada di luar melihat Xavier keluar dari hutan, ia berteriak dan langsung lari ke dalam rumah. Kirana sudah menebak ini akan terjadi, masalahnya memang ada di Xavier, penampilannya tampak mengerikan karena bagian bawah tubuhnya yang menyerupai ular raksasa.
"Xavier, tidak adakah yang bisa kau lakukan dengan ekor ularmu? Mereka ketakutan saat melihatnya," pinta Kirana. Xavier menatap pandangan yang memohon itu, sesuatu yang hangat menyebar di wajahnya. Ia tidak tahu sensasi lucu apa yang menguasai dirinya pada momen tersebut, tetapi ia langsung merasa luluh.
"Tunggu sebentar," kata Xavier. Aura kegelapan keluar dari setiap sisik ularnya, membungkus seluruh bagian pinggang sampai ujung ekor. Bayangan itu berubah menjadi bentuk sepasang kaki. Ketika bayangan gelap yang menyelimutinya menghilang bagian bawah tubuh Xavier sudah berubah menjadi kaki manusia yang jenjang, dibalut oleh celana hitam panjang bermotif sisik.
Kirana terkejut melihat transformasi itu. Xavier kini benar-benar terlihat seperti manusia biasa. Wajah tampannya bagai lukisan pangeran yang sempurna dengan tatapan dingin dan tajam, Kirana bisa merasakan kehangatan yang samar saat sepasang mata emas itu memandangnya.
Jantung gadis itu berdetak dengan cepat membuat semburat merah jambu muncul di kedua pipinya. Alihkan pikiranmu, Kirana! Jangan tergoda olehnya! Kirana buru-buru berbalik, menyembunyikan rona di wajahnya. "Baguslah, kau sekarang tidak terlihat seperti monster ular," katanya, sedikit gugup.
Xavier tersenyum miring, "Hanya itu?"
"Emang ada lagi?" Kirana pura-pura cuek.
Untunglah Kepala Suku menyela obrolan mereka. "Selamat datang di desa kami," katanya sambil membuka tangan.
Kirana dan Xavier berjalan ke tengah lapangan luas tersebut. Seseorang dari mereka menyalakan api unggun besar di tengah desa, lalu sebagian lainnya pergi ke rumah-rumah untuk memberi kabar kalau anak-anak yang menghilang telah ditemukan.
Suasana muram yang tadinya menyelimuti desa seketika berubah menjadi penuh kegembiraan. Para penduduk desa keluar dari rumah-rumah, menyambut dan memeluk anak-anak rusa yang baru datang tersebut. Beberapa penduduk menghampiri Kirana dan Xavier untuk berterima kasih.
Ketakutan mereka sirna karena mendengar cerita anak-anak dan ketua suku yang bilang kalau Bestial ular dan Bestial kera itu tidak berniat jahat, justru malah yang menyelamatkan penduduk desa mereka.
"Sebelumnya, terima kasih atas bantuan kalian," ucap Wagyo. "Maaf atas keterlambatannya, namaku Wagyo, kepala suku disini."
"Namaku Kirana," jawab gadis itu. "Dia Xavier."
Wagyo menoleh ke arah Xavier, tidak berani menatapnya. "Aa iya, baiklah, begini kami akan menyiapkan jamuan makan malam sekaligus untuk merayakan kembalinya anak-anak, jika kalian tidak keberatan, silakan bergabung ke api unggun."
"Obati Kirana dulu," tuntut Xavier. "Kalian sudah berjanji."
"Tentu saja! Untuk pengobatan, silakan ke rumahku, istriku adalah penyembuh terbaik di desa ini," Wagyo kembali menjadi gugup karena tatapan menusuk Xavier. Namun, Kirana yang tersenyum ramah melunturkan rasa khawatirnya. Ah, gadis ini manis sekali, sayang ia harus menghabiskan hari-harinya bersama Bestial ular satu itu, batin Wagyo, prihatin.
Mereka mendatangi rumah kepala suku yang terletak di paling ujung. Begitu Kirana masuk ke dalam, Wage langsung menyambutnya dengan lompatan girang. Di belakang Wage, ada perempuan dengan rambut coklat kemerahan dengan dua mata bulat yang lucu.
Ia mengenakan pakaian dari serat tumbuhan yang dijahit menjadi baju terusan dari leher ke lutut, seperti penduduk desa lainnya. Sementara anak-anak seperti Wage ada yang mengenakan pakaian terusan, ada yang bertelanjang dada.
"Kau pasti penyelamat yang diceritakan putraku," ujarnya sambil mempersilakan Kirana duduk di atas alas lantai yang terbuat dari jalinan daun-daun. "Namaku Gigi, istri Wagyo."
"Salam kenal, namaku Kirana dan dia Xavier."
Xavier tidak duduk dan memilih berdiri. Atas perintah Kirana, ia mencoba menekan aura keberadannya yang mendominasi dan menyebarkan teror, itu agar seluruh penduduk di desa tidak takut dan khwatir terus menerus. Hal itu memang langsung berdampak, terlihat dari ekspresi Gigi yang tampak tidak takut saat bertemu Xavier.
"Berbaringlah, biar aku sembuhkan yang terluka," katanya tanpa basa-basi. Wagyo sepertinya sudah menceritakan permintaan dari Xavier.
Kirana menurut, ia berbaring dan membiarkan Gigi memeriksa seluruh tubuhnya. Ketika ia menemukan bagian yang terluka, tangannya akan berhenti di atas sana, lalu bersamaan dengan munculnya simbol kepala rusa di dahi, seberkas sinar muncul dari tangannya. Sinar berwarna pear itu menyembuhkan luka Kirana sampai tidak terlihat bekasnya. Ia mengecek bagian lainnya dan melakukan hal serupa pada kaki di paha dan betis Kirana.
"Sudah selesai," ucap Gigi sambil mengelap peluh di dahi. "Syukurlah tidak parah."
"Terima kasih ya," Kirana bangkit, memeriksa kulitnya yang sempat terluka beberapa jam lalu. "Luar biasa, benar-benar sembuh dan tidak ada bekas."
"Apakah ini pertama kalinya kau melihat kemampuan penyembuh? Bukankah di Suku Pongo juga umumnya ada penyembuh?"
Kirana jadi gelagapan, ia hanya membual soal Suku Pongo. Ia mana tahu tentang hal tersebut. Bingung harus membuat alasan apa, untungnya Xavier menyela. "Ia belum pernah terluka sebelumnya."
Gigi manggut-manggut, "Oh pantas saja, umumnya memang ritual penyembuhan tidak boleh disaksikan warga umum, kau pengecualian, Xavier."
Xavier hanya mendengkus. Ia mengalihkan pandangannya ke kaki karena Wage menarik-narik sulur jubahnya. "Kemana ekor Paman?"
Xavier tidak menjawab, ia hanya menatap bocah itu lalu menjulurkan lidah ularnya sambil mendesis. Di luar dugaan, Wage malah tertawa gemas. "Paman lucu."
Pria itu menghela napas. Ia tidak biasa melihat mahluk lain memandangnya tanpa rasa takut. Ia tidak nyaman dengan perasaan yang memenuhi dirinya saat ini, sesuatu yang asing dan tidak pernah dirasakannya selama ratusan tahun, yaitu perasaan aman dan nyaman.
Akhirnya Ia memutuskan keluar dari rumah kepala suku sebelum Wage memintanya digendong di atas pundak. Untungnya, tidak lama Kirana ikut menyusul keluar karena sesi pengobatannya sudah selesai.
Di sana mereka sudah disambut beberapa warga Suku Cervid yang mengajak duduk melingkar di api unggun. Seluruh penduduk desa malam itu berkumpul disana. Ditemani oleh hangatnya api unggun, Wagyo mengajak semua penduduk desa berdoa bersama ke Dewa. Sebagai persembahan terima kasih mereka melemparkan beberapa tanaman dan bunga yang dianggap keramat ke api unggun tersebut.
"Makan malam sudah siap!" para wanita dan pria yang tadi bertugas menyiapkan makan malam datang membawa wadah besar dari kayu. Daun pisang dibentangkan, aneka sayuran diletakkan di atasnya. Kirana terkejut saat seorang penduduk membawakannya daun pisang berisi buah-buahan, matanya berbinar bahagia.
Sementara, mereka menghidangkan daging landak yang sudah dikuliti untuk Xavier. Sambil menunduk malu-malu wanita yang menyerahkan daging itu berkata, "Maaf, hanya ini yang bisa kami dapatkan dalam waktu singkat!"
Xavier tersenyum kecil, "Untuk ukuran suku yang tidak pernah berburu, ini tidak buruk."
Mendengar tanggapan Xavier, wanita itu tampak lega. Ia menunduk sedikit lalu pergi untuk mengantarkan makanan lainnya.
"Jamuan malam ini dipersembahkan untuk kebaikan Dewa yang sudah mengirimkan dua penyelamat kita, untuk Kirana dan Xavier!" seru Kepala Suku sambil mengangkat wadah minumnya yang terbuat dari kayu.
"Untuk Dewa! Untuk Kirana dan Xavier!" para penduduk desa menyahut dengan kompak.
Mereka pun menikmati hidangan yang sudah disajikan. Kirana sempat melihat, para Bestial rusa merah itu memakan daun-daunan, wortel, timun, dan umbi-umbian. Ia sendiri menikmati aneka buah yang diberikan kepadanya, ada pisang, kelengkeng, manggis, sampai apel. Semuanya terasa nikmat dan menyegarkan.
Xavier memakan utuh daging landak mentahnya. Ia tampak puas walau hanya dengan empat potong daging. Padahal biasanya ia bisa habis satu ekor rusa jantan sendirian. Tetapi soal itu lebih baik tidak ia bahas di depan para penduduk desa Cervid.
Kirana memperhatikan para penduduk desa yang maju ke depan api unggun, mereka saling berpegangan tangan dan menari bersama. Beberapa pria membawa alat musik seperti tabuhan dan mengiringi tarian tersebut. Semua orang seperti lupa dengan tragedi yang tadi pagi menimpa desa, termasuk ketakutan mereka terhadap Xavier seakan sirna begitu saja.
"Ayo, menarilah!" Gigi menarik lengan Kirana. Gadis itu mengangguk dengan senyum sumringrah. Ia bergabung dengan Gigi ke dalam lingkaran berisi warga desa yang sedang menari.
Ini pertama kali sejak Kirana datang ke Kerajaan Animal, ia bisa merasakan kemeriahan seperti saat bersama teman-temannya di dunia manusia dulu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top