Part 1: The Tattoo
Erick membuka lembar demi lembar kertas dari laporan forensik, James -dengan Andi di sampingnya- tengah sibuk mengawasi layar laptop yang memutar rekaman CCTV dari gedung DPR yang merupakan tempat kejadian perkara, sedangkan Roy tengah berada di ruang forensik.
Kerutan di kening Erick semakin bertambah begitu membaca lembar terakhir laporan forensik tersebut.
Letak dimana racun dimasukkan ke dalam tubuh korban masih belum ditemukan.
Itulah bunyi dari kesimpulan laporan forensik. Erick mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja sambil melirik ke arah James dan Andi yang masih mengecek rekaman CCTV.
"Hei, apa kalian menemukan sesuatu?" tanya Erick.
James menoleh lalu menggelengkan kepala. "Masih kosong, Erick. Bagaimana denganmu?" dia balas bertanya.
"Sama, kosong juga." gerutu Erick. Dia menaruh berkas laporan tadi ke atas meja lalu berjalan keluar ruangan.
*****
Sementara itu, jauh di bawah tanah...
Emily memelototi Budi dengan tatapan membunuh. Netra cokelat gelapnya seolah akan menusuk pemuda itu tanpa ampun. Hal yang sama juga terjadi pada Budi. Bahkan aura dingin dan membunuh yang bercampur jadi satu sudah berkumpul di balik punggungnya bagaikan malaikat maut. Keduanya memasang kuda-kuda siap menyerang dan saat Holmes mengeong sambil melenturkan otot-otot kucingnya, pertarungan tak dapat dielakkan lagi.
Semuanya begitu cepat. Emily meluncurkan jurus-jurus tendangannya ke arah Budi. Membuat selimut putih di kasur tersibak. Juga membuat Holmes melompat ketakutan. Kucing itu menatap keduanya dengan ekor di antara kaki. Tak mau kalah, Budi balas menyerang. Kedua tangannya melayangkan tinju. Membuat Emily kelabakan dan terpeleset di kasur tempat dia berpijak. Tanpa peringatan apapun, Budi langsung menindih Emily. Membuat gadis itu tak dapat kabur lagi. Jari-jarinya bergerak menuju perut gadis itu dan menari-nari disana. Membuat Emily kegelian hingga tertawa terbahak-bahak.
"Hentikan!" pekik Emily, masih dengan tawanya yang nyaring. Kaos hitam yang dipakainya terbuka, memudahkan Budi untuk terus menggelitikinya.
"Tak akan," sahut Budi dengan tenang, "sampai kau mau memakan kentang ini."
Budi menunjuk sepotong kentang rebus yang masih tersisa di piring. Emily menggelengkan kepala, membuat Budi kembali menggelitiki perutnya.
"Baiklah! Aku menyerah!" pekik Emily, putus asa. Wajahnya sudah memerah karena kelelahan. Budi yang melihatnya justru tersenyum puas. Dia menusuk kentang rebus itu dengan garpu dan menyurungkannya pada Emily yang sudah membuka mulutnya.
Emily menyambut potongan kentang itu, lalu mengunyahnya perlahan. Kemudian dia menelannya dan membuka mata.
"Gimana?" tanya Budi, harap-harap cemas.
Emily menyadari wajah Budi yang terlihat cemas. "Kenapa wajahmu?" tanyanya.
"Bagaimana rasanya? Aku tidak apa-apa." balas Budi, secepat kilat.
Senyum mengembang di wajah Emily. "Enak." ucapnya.
Budi merasa dia akan menjadi manusia pertama yang mendarat di Neptunus setelah mendengar jawaban Emily barusan.
"Memangnya kenapa? Apa kau yang memasaknya?" tanya Emily sambil menunjuk piringnya yang telah kosong.
Budi mengangguk. Wajahnya tak terlihat cemas lagi.
"Lalu kenapa?"
Wajah Budi kontan merona. "Aku ... Lupa memasukkan garam pada kentangnya." jawabnya, malu-malu. Membuat Emily tertawa lagi.
*****
Budi keluar dari kamar, lalu berjalan menuju dapur yang ada di lantai satu. Di bawah, Eko sedang bermain kartu remi dengan Roni sedangkan Ren tengah memandangi sepucuk Spas-12 dengan tatapan seperti seorang remaja yang tengah kasmaran. Terkadang, kecintaannya pada senjata nyaris tak dapat ditoleransi. Dulu, dia pernah meminjam sebuah granat dan keesokan harinya granat itu meledak di laci meja rapat. Dia hanya berkata, astaga ternyata rusak ya?. Kemudian berlalu begitu saja.
Padahal itu meja rapat tempatnya dan dia harusnya sangat bersyukur bahwa anunya tidak hancur karena granat sialan itu.
Sejak saat itu, Budi tak pernah mengizinkan benda apapun yang mudah meledak keluar dari gudang senjata.
Budi menaruh piring bekas makan tadi ke wastafel. Dia mengambil sebuah gelas, mengisinya dengan air dan langsung meminumnya. Dia bahkan belum selesai minum saat Roni masuk ke dapur. Anak itu membawa selembar koran Metro News edisi terbaru.
"Metro News?" ucap Budi, heran. "Biasanya kau beli yang edisi Timeline Of City."
Roni mengibaskan koran itu ke hadapan Budi sambil menghela napas berat. "Mereka berhenti terbit sejak minggu lalu," katanya, "kau tahu? Persaingan antara media cetak dan online semakin sengit akhir-akhir ini."
"Ya, kau benar." sahut Budi, meminum airnya sampai tandas lalu berjalan kembali ke kamar. Holmes sudah menyambutnya di ambang pintu kamar. Kucing itu mengibas-ngibaskan ekornya sambil tersenyum. Budi melongok ke dalam kamar. Emily tengah duduk di pinggir kasur sambil memandangi kalungnya. Sebongkah batu berwarna kuning terang menjadi liontinnya.
"Kalung itu diberi oleh siapa?" tanya Budi, matanya ikut memandangi kalung itu.
Emily mengalungkan liontin itu ke lehernya sembari tersenyum. "Ibuku yang memberikannya." jawabnya. Kemudian dia balik bertanya. "Bukannya aku sudah pernah bilang?"
Budi mengangkat kedua bahu. "Sebenarnya ya," dia tersenyum. "Hanya mengecek saja, kalau kau lupa."
"Aku tak akan pernah melupakannya." balas Emily, sengit. Pupil cokelatnya melebar, membuatnya seperti lubang hitam tak berdasar. Budi menepuk pelan bahu gadis itu.
"Sudahlah, omong-omong aku sudah janji kan?"
Emily menoleh. "Janji akan apa?" tanyanya, bingung.
"Aku akan memperkenalkan semua tentang kami, para Bullet." ucap Budi, dengan senyum misterius.
*****
Budi membawa Emily menuju ruang rapat. Ruangan itu cukup luas dengan empat meja besar dan tujuh buah kursi dari kayu. Keramik lantainya berwarna biru langit dan dindingnya dicat abu-abu. Ke-empat meja itu seolah menyatu menjadi satu meja besar. Budi menunjuk sebuah meja dengan satu bangku sambil tersenyum.
"Itu mejaku," ujarnya, "dan nanti akan ada dua bangku di sana."
Emily membalasnya dengan senyuman yang dibalas dengan tarikan tangan oleh Budi yang bersemangat. Pemuda itu sudah seperti Holmes saja, yang mengeong nyaring begitu mendapat jodohnya.
"Kami membahas banyak hal disini." Budi menjelaskan sambil menunjuk keempat meja.
"Apa saja yang dibahas?" tanya Emily, tangannya menunjuk kain putih yang terpampang di dinding.
Budi menunjuk sebuah alat berbentuk kotak berwarna hitam dengan sebuah lensa di sisinya. "Ini disebut proyektor, gunanya untuk mem-proyeksikan atau lebih tepatnya menampilkan gambar-gambar yang menjelaskan misi untuk kami nantinya. Nah, kain putih yang kau tunjuk tadi adalah tempat dimana nantinya gambar yang keluar dari proyektor akan muncul." jelas Budi, panjang lebar.
Budi menoleh ke samping, menyadari Emily yang sudah menghilang dari ruang rapat. Pintu di ujung ruangan sedikit terbuka, membawa Budi untuk berjalan masuk dan menemukan Emily yang sedang berdiri di tengah ruangan. Ruangan itu adalah gudang arsip. Tempat dimana map dan buku tentang kasus yang pernah ditangani para Bullet diletakkan. Selain sebagai kenangan, juga sebagai pembelajaran.
Budi membetulkan kacamatanya yang bergeser. Dia menepuk bahu Emily, membuat gadis itu menoleh. Lengannya melingkar di pinggang Emily. Wajahnya memerah sempurna saat Emily bergerak gelisah. Gadis itu seolah mencoba membangkitkan singa tidur yang terkurung di tubuh Budi. Membuat lelaki itu tak tahan lagi dan melepaskan semuanya.
*****
Sudah setengah jam Roy meneliti tubuh si mayat. Dari ujung rambut sampai ujung kaki, sudah diperiksa oleh dirinya dan para petugas forensik. Tetapi tak ada yang mencurigakan di sana. Hasilnya nihil.
Dia masih tenggelam dalam pikirannya saat Erick masuk. Dari raut wajah Erick yang muram, sudah bisa diduga bahwa dia juga tak mendapatkan apapun dari berkas forensik.
"Bagaimana?" tanya Erick.
Roy menghela napas, dia menggelengkan kepala.
"Tak ada apapun yang berguna, juga tak ada bekas suntikan dimanapun." jawabnya.
Erick mengambil sarung tangan karet lain yang terletak di atas meja. Dia meyibakkan rambut hitam si mayat sambil memiringkan kepala. Kemudian dia mengambil senter kecil dari saku bajunya, menyalakannya dan menaruhnya di mulut. Dia menekankan jari di berbagai tempat. Paha, perut, bahu, pipi, hingga dahi. Dia kemudian membuka mulut si mayat dan menyorotkan senter ke dalamnya.
"Kau yakin Roy? Sudah diperiksa semuanya?" tanya Erick dengan nada ragu yang kental. Sampai-sampai senter dimulutnya terlepas dan jatuh ke lantai.
Roy mencoba melihat hal yang ditunjukkan Erick. Setelah melihat hal yang dimaksud, mulutnya menganga lebar.
Di langit-langit mulut si mayat, telah diukirkan sebuah gambar berbentuk kepala rubah berwarna hitam.
*****
To be continued...
Haleoo!!
Saya update lagi nih :) mumpung lagi baik, muehehehe XD.
Minta saran dan komentar kalian dong, saya mau pendapat kalian soal cerita ini. Apakah ada kemajuan atau justru kemunduran? Oh iya, votenya juga ya *modus*.
Jumpa lagi di bab selanjutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top