Bab 5

Apa dia bilang?

Iris mata abu-abu Jake menggelap sesaat, menyiratkan sebuah kebingungan atas ucapan Anna yang terdengar bagai lelucon aneh. Si pria punggung? Bukankah terdengar semacam ejekan daripada pujian? Jake bukan pemuja sanjungan, tapi dalam benaknya bertanya-tanya apa perempuan jaman sekarang sangat mudah memberi julukan tertentu pada pria yang baru ditemui. Apakah itu yang namanya adab?

"Maksudmu?" Jake melempar pertanyaan dengan nada kesal, tapi ekspresi wajahnya masih tampak tenang. Tidak mungkin dia menyemburkan umpatan pada gadis yang sudah menyelamatkan nyawa Barbara. Itu tidak sopan bukan?

Anna gelagapan setengah mati sampai rona merah tercetak jelas di pipi tembamnya. Sial sungguh sial, kenapa pula dia harus melontarkan sebutan khusus yang disematkan Shanon tepat di depan Jake. Harusnya Anna menelan bulat-bulat saja keterkejutannya atau pura-pura melupakan gosip-gosip tentang si pemilik Lagom. Sayang, badan bongsor Jake benar-benar cocok dan akurat bila disandingkan sosok JL001. Jadi, apakah Anna masih berada di posisi yang salah?

Mungkin salah waktu lebih tepatnya.

"Ma-maaf. Aku ... hanya ... kamu ..." Seluruh kosakata yang sudah Anna pelajari selama 30 tahun mendadak lenyap tanpa jejak. Dia mengusap wajah merasa bersalah sekaligus salah tingkah mengapa berlagak seperti orang bodoh di depan si sexyback

Tuhan, kenapa lidahku tiba-tiba kaku begini?

"Aku?" tunjuk Jake pada dirinya sendiri makin dibuat tidak mengerti oleh sikap Anna.

"Sorry, sejujurnya aku ... kaget banget kalau ... kamu mirip sama cowok yang ditaksir temenku." Sorot mata bulat Anna memindai Jake dari atas sampai ke bawah. "Kayaknya dia gila deh," sambungnya seraya meringis agar suasana tidak makin canggung sembari memohon ampun dalam hati sudah mengatai Shanon tak waras. "Maaf, kalau udah bikin nggak nyaman lahir batin. Aku ... pamit dulu buat ambil motor."

Sebelum gadis itu berbalik arah, Jake menahan lengan kanan Anna menimbulkan jutaan sengatan listrik yang membekukan otaknya. Dia nyaris sesak napas, merasakan tangan besar Jake mencengkeram pergelangan tangannya begitu erat seperti ingin mematahkan tulang Anna karena berlaku kurang ajar. Dia menelan ludah, tak berani memandang sorot mata abu-abu gelap nan mengintimidasi Jake.

"Aku belum berterima kasih," kata Jake pelan tapi menggaung keras di telinga Anna. "Rasanya nggak sopan kalau belum memberimu imbalan setimpal."

Anna memicingkan mata, mencari-cari apa yang direncanakan lelaki itu padanya. Bukankah ucapan terima kasih saja sudah cukup? Toh Anna juga tidak meminta uang atau upah apa pun. Dia lebih nyaman kalau pertemuan secara tidak sengaja ini berakhir dan melanjutkan urusan masing-masing. Bukan karena takut, melainkan tidak mungkin dia tiba-tiba terlibat dalam secuil kehidupan Jake dan keluarganya yang sialan kaya. Bagaimana jika dia tiba-tiba berbuat kesalahan? Bagaimana jika ... dia seperti Shanon yang menggilai Jake? Dia tidak mungkin menjadi penjilat yang mendadak menjadi penggemar si punggung. Tidak! Itu mustahil!

"Terus?" Anna mulai resah atas spekulasi yang berputar-putar dalam kepala. Dia berharap dalam hati agar Tuhan mau memberikan kekuatan teleportasi agar bisa menghilang dalam hitungan detik. Sayang, itu hanyalah sebatas mimpi konyol di siang hari. Apa perlu dia pura-pura pingsan supaya Jake segera melepaskannya?

"Makan malam denganku, Anna," ajak Jake berhasil meluruhkan jantung Anna ke lantai rumah sakit. 

"Hah?"

"Hanya sebatas makan malam sebagai ucapan terima kasih." Jake mengukir garis senyum tipis yang sangat sayang untuk dilewatkan Anna menilik betapa tampan pria di depannya. Garis bibir yang menunjukkan geligi rapi dan taring atas yang terlihat seksi di mata, mengingatkan dirinya pada Ian Somerhalder ketika memerankan series Vampire Diaries. "Nonna akan melakukan hal yang sama jika dia sudah merasa baikan. Maka dari itu aku mewakilinya. Motormu aman di parkiran, aku bisa menjamin."

Gimana nggak menjamin, orang dia yang punya kebun itu! cibir Anna dalam hati. 

"O-oke." Anna melenggut setuju merasa tidak punya pilihan lain. Haruskah dia melapor pada Shanon kalau saat ini dirinya akan satu meja makan bersama JL001 dengan berbagai macam menu-menu ekslusif dan wine yang menemani? 

"Baiklah. Tunggu di sini sebelum Noah datang, dia akan menunggu Nonna untuk beberapa jam." Jake melepas genggaman tangan pada Anna seraya melirik jarum jam tak sabar.

"Siapa Noah?" tanya Anna penasaran. 

"Pengawal kepercayaan Nonna, dia akan menemui dokter yang menangani Nonna selama di sini dan akan disampaikan kepada dokter kami di Tuscany," kata Jake. "Mungkin Nonna akan pulang dan terbang ke sana jika memungkinkan."

"Tiket pesawat nggak bisa dipesan secara langsung, jadi--"

Jake terkekeh, memamerkan kembali deretan geliginya yang rapi. Lagi-lagi pandangan Anna tertuju pada mulut Jake seperti terhipnotis. Ada sekelebat keinginan bagaimana jika dia merasakan lembutnya bibir itu di bibirnya?

Sialan, gigi itu ...

"Kami punya pesawat sendiri, Anna. Kamu nggak usah khawatir."

Anna menganga untuk ke sekian kali lantas berpaling sambil berbisik pada diri sendiri. "Dasar gila kamu Ann, dia juragan anggur ... nggak mungkin dia beli tiket pesawat kelas ekonomi."

"Aku bisa mendengarmu, Anna," sahut Jake sambil tertawa. 

"Ups!"

###

Lantunan musik jazz klasik memenuhi area restoran berkonsep roaring twenties di mana Anna serasa melintasi lorong waktu. Interior mewah didominasi sentuhan marmer berkilau dan memantulkan cahaya-cahaya kuning lembut nan romantis. Seolah-olah dia bisa bercermin di lantai marmer saking mengilapnya. Langit-langit atap dan jendela kaca tampak tinggi menimbulkan kesan betapa luas restoran kelas sultan ini. Tirai-tirai berbahan beludru yang dililit tali keemasan memamerkan pemandangan laut dan sinar rembulan di luar. Selain itu, ada tangga spiral berpelitur cokelat mengilap yang diberi alas karpet merah serta sofa-sofa berlapis kulit. 

Tanaman hias diletakkan di beberapa sudut, meja-meja bundar ditutupi taplak putih yang sudah dipenuhi berbagai macam hidangan juga gelas-gelas berisi wine maupun champagne. Sementara pelayan-pelayan mengenakan kemeja putih dan rompi hitam juga dasi kupu-kupu, berjalan anggun seraya membawa nampan-nampan milik tamu. Jangan lupakan pula ada pria memainkan saksofon juga perempuan bergaun merah menyala tengah unjuk suara merdu menyanyikan lagu-lagu jazz.

Serius aku di sini?

Anna duduk dalam kebisuan sementara iris matanya mengedar. Dalam hati, ini bukanlah kelas kehidupannya sekali pun ada secuil keinginan untuk bisa merasakan bagaimana menjadi orang bermandikan harta. Tapi, ketika impian itu terkabul, mendadak Anna merasa tak pantas. Jiwanya terlalu barbar dibanding harus menjadi perempuan elegan seperti wanita di seberangnya. 

Kilasan Anna bersama Shanon menari bagai orang gila di No Lights No Lycra dilanjut minum dan makan di pub bersama orang-orang berpakaian santai berputar dalam benak. Benar-benar berbanding terbalik, batinnya. Dia menunduk, memandangi gaya pakaiannya sendiri yang hanya mengenakan crop top putih bermotif nanas dipadu denim dan sepatu senada. Jauh berbeda daripada Jake yang tampak lebih rapi, dewasa, maskulin, dan ... menggiurkan. 

"Silakan pilih makanan yang kamu suka, Anna," kata Jake membuyarkan lamunan gadis itu saat seorang pelayan bertubuh tegap ramping memberikan buku menu. 

Anna gelagapan, melempar senyum simpul dan membaca acak menu dengan harga fantastis. Tidak terkejut pula karena tempat ini memang menawarkan pengalaman berbeda daripada sekadar makan di restoran biasa. 

"New york sirloin to the bone untuk hidangan utama, lainnya berikan aku rekomendasi kalian saja," kata Jake. "Ah, untuk wine bisakah aku meminta white wine Lagom?"

"Siap."

"Kamu?" Jake berpaling kepada Anna yang masih sibuk memilih-milih.

"Aku ikut aja," tandasnya karena tidak ingin dinilai memanfaatkan kesempatan.

"Baik. Kami pesan dua," ucap Jake.

Pelayan tadi mencatat kemudian membawa kembali buku menu seraya meninggalkan Jake dan Anna. Pria itu menangkap gelagat tak nyaman yang sengaja disembunyikan Anna di balik tatapan mata besar yang terlihat manis tersebut. Bahkan dia sengaja menghindari dirinya dengan berpura-pura menyorot perempuan yang masih menyanyikan bait Stuck on you milik Lionel Richie.

"Nggak terlalu berlebihan kan?" tanya Jake. "Kamu kayaknya nggak nyaman."

"Sedikit." Anna berterus terang dan menunjuk bajunya sendiri. "Aku nggak menyangka aja kalau akhirnya terdampar di sini." Dia memelankan suaranya tidak ingin orang mendengar kecuali Jake.

"Nggak perlu pakai pakaian mewah buat bisa masuk ke tempat seperti ini," tukas Jake.

"Sayangnya, orang akan selalu menilaimu dari penampilan, Jake," balas Anna melipat tangan di atas meja. "Cara berpakaian seseorang adalah cerminan siapa dirinya."

"Benar. Tapi, itu nggak penting dibanding perangai mereka," elak Jake menganggap tidak semua yang dikenakan manusia menunjukkan sifat asli. Ada di antara mereka sengaja mengenakan topeng melalui bahan-bahan kain termahal untuk memanipulasi. "Seperti kamu. Orang mungkin nggak tahu kalau Anna adalah perawat hebat."

Anna tergelak sampai memunculkan rona merah. "Aku nggak sehebat itu juga kali. Cuma kebetulan melihat nenek Nonna pingsan dan ... mana mungkin aku pura-pura nggak lihat? Apa nenekmu bernama Nonna?"

Refleks Jake tertawa terbahak-bahak namun anehnya suara tawa lelaki itu masih terlihat elegan. "Astaga, maaf ..."

Aku salah? Apa ada yang lucu? batin Anna makin kikuk. 

"Nenekku bernama Barbara. Kami memanggilnya Nonna, artinya nenek. Bahasa Italia, Anna," jelas Jake membuat Anna tergelak menyadari kebodohannya.

"Ah ... astaga." Anna mengangguk paham. "Pantas wajah kalian nggak benar-benar pribumi. Sudah berapa lama tinggal di sini?"

Jake terdiam beberapa saat lalu berkata, "Kayaknya udah lima tahun ini. Cuma bahasa Indonesia sama bahasa Bali udah diajarin Ibu sejak kecil."

"Oh ... Ibumu asli sini?" tanya Anna baru tahu kalau pemilik Lagom ini ada keturunan Bali.

"Iya. Kamu juga. Wajahmu nggak mirip perempuan lokal," tunjuk Jake dengan dagunya.

"Aku?" tunjuk Anna pada dirinya sendiri. "Betul sih. Soalnya ibuku dulu kerja terus kenalan sama pria Sydney yang sampai sekarang nggak pernah aku tahu siapa dia dan di mana dia. Hahaha ... kalau orang sini nyebutnya ... anak haram."

"Oh, sorry." Ekspresi Jake langsung berubah dalam sekejap.

Anna mengibaskan tangan. "Santai saja. Lagi pula itu sudah lama, kami hanya menjalani hidup dengan bahagia. Anak haram atau nggak, ibu bilang kalau aku ini rejekinya."

"Benar." Jake mengangguk. "Anak memang rejeki, mereka bukan musibah sekali pun banyak yang nggak pengen punya anak."

"Betul. Biasalah, pikiran orang kan juga beda-beda, Jake," ujar Anna. "Yang penting aku bisa bahagian ibu, gitu aja."

"Oh iya, katamu, kamu pernah bekerja di IHC. Memangnya sekarang bekerja di mana?" tanya Jake penasaran.

Obrolan mereka terhenti saat pelayan datang membawa pesanan mereka. Bola mata Anna membulat, menyambut aroma-aroma daging steak kaya rempah terendus di hidung lancipnya, disusul dessert cantik berupa kue brownies disiram cokelat dan dihias cokelat berbentuk bunga mawar merah. Botol red wine bermerek Lagom hadir membuat Anna langsung menatap Jake penuh selidik. 

Apa dia sedang menyamar jadi orang lain atau memang di sini mereka sudah tahu Jake adalah pemilik Lagom?

"Terima kasih," kata Jake seraya tersenyum ramah. 

Setelah kepergian pelayan itu, Jake menuang botol white wine ke dalam gelas tinggi seraya berkata, "Mereka nggak tahu siapa aku. Caramu melihatku semacam pengen mengadu ke mereka, Anna."

"Ya gimana enggak, orang fotomu di Instagram cuma punggung doang, Jake," sembur Anna kemudian terpaku oleh ucapannya sendiri.

Jaga mulutmu, Anna, astaga ... 

Alis Jake naik sebelah. "Oh, jadi sebutan si punggung karena kamu melihat postinganku?" Dia memotong steak-nya dan menyiratkan Anna agar segera menghabiskan makanan. "Aku sempat baca beberapa komentar orang-orang. Aku kira kalau semua itu cuma candaan doang, eh ternyata ..." Jake tertawa lagi, suara yang benar-benar renyah di telinga Anna. 

"Maaf." Anna salah tingkah bukan main, menepuk bibirnya pelan karena tidak bisa menyaring yang seharusnya dikatakan maupun tidak. "Tapi, itu informasi dari temanku."

"Nggak apa-apa kok. Jadi?" Jake masih ingin mengetahui kelanjutan di mana Anna bekerja sehingga gadis itu tampak cekatan saat menangani Barbara di lapangan. Selama ini tidak banyak orang Indonesia yang bisa melakukan pertolongan pertama seperti Anna. Jake sampai hafal kebiasaan warga lokal bila ada kondisi genting selalu menyuruh korban minum dulu atau memberikan bebauan menyengat. "Setelah dari IHC, kamu bekerja di rumah sakit mana?"

"Oh, aku ... travel nurse di bawah agensi AVA Sydney," jawab Anna setelah menelan irisan daging sirloin yang sialan lembut dan enak di lidah. Rasa merica hitam memang dominan disusul gurihnya butter dan bawang putih  sampai-sampai dia berpikiran kalau satu porsi saja mungkin tidak cukup. "Aku nggak suka terikat kontrak terlalu lama. Bikin bosan."

"Aku pernah mendengar istilah itu. Menarik buat kalian yang suka berpetualang," balas Jake meneguk sebentar minumannya. 

"Iya, cuma kontrak tiga bulan, gaji menjanjikan, bisa sekalian liburan. Banyak bertemu orang baru," ujar Anna bersemangat. "Sydney yang paling berkesan bagiku. Mereka ramah dan tempatnya bagus. Makanannya enak."

"Sudah berapa lama kamu jadi travel nurse?"

Anna berpikir sejenak, mengingat-ingat kembali pertama kali menjejakkan kaki di Sydney sebagai tenaga medis bukan gadis kecil yang tidak memiliki ayah dan menjadi hujatan keluarga besar. Sepak terjangnya untuk sampai ke titik ini saja bisa dikatakan berat. Mulai dari menempuh pendidikan ners di Surabaya, ujian kompetensi, mencari pengalaman kerja selama dua tahun dilanjut ujian registered nurse untuk mendapat lisensi yang diakui secara internasional walau sempat gagal dua kali. Belum lagi mencari agensi yang mau menerima dirinya bergabung sebelum benar-benar terjun ke rumah sakit idaman. 

"Kayaknya ini tahun keempatku," kata Anna. "Kalau sudah puas menjelajahi Australia, aku pengen pindah ke negara lain sambil bawa ibuku. Hidup berdua dengan damai tanpa ada ocehan tetangga dan keluarga. Amerika? Eropa? Atau ke Skotlandia dan tinggal di Edinburgh?"

"Tuscany?" sahut Jake memberi ide. "Di sana tempatnya bagus kok. Cuaca, pedesaannya, kebun anggur di mana-mana, jalan setapak, juga sungai-sungai jernih."

"Aku tahu, tapi belajar bahasa Italia itu susah," keluh Anna. "Maaf, tapi itu kenyataannya, Jake. Aku nggak bermaksud menyinggung bahasa nenek moyangmu."

"Aku bisa mengajarimu," tambah Jake mengerlingkan mata tanpa tersinggung sama sekali. "Anggap saja, kebaikan Barbara untukmu belum terbayar tuntas." Tatapannya berkilat mengirimkan sesuatu yang tidak dapat dibaca Anna. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top