Bab 18

Anna : Bersamanya makin membuat kepalaku pusing. 

Shanon : Lol, sepertinya kau perlu sebutir pereda nyeri, Annie. 

Shanon : Tetap bernapas tenang, Mate. Jangan sampai dia tahu kau ada rasa untuknya. 

Anna : Karena cinta bisa merubah sebuah pertemanan kan?

Shanon : Benar. Tetap bernapas, Mate. Tetap bernapas.

Anna menarik oksigen sebanyak mungkin di sekitarnya merasakan makin lama atmosfer bersama Jake makin memanas. Bukan hanya kepiawaian pria maskulin itu menunggangi papan di atas kerasnya ombak, melainkan penampilannya yang benar-benar menggiurkan bagai cokelat leleh. Kulit tan Jake berkilau diterpa bias senja, peluh keringat bercampur air laut berubah wujud menjadi kristal-kristal menempeli tiap lekuk tubuh kekarnya, hingga rambut keritingnya yang basah meneteskan bulir-bulir air ke leher turun ke riak-riak otot perut yang ingin Anna belai dengan jemari. 

Jangan lupakan juga bulu dadanya, Anna! Bulu dada yang menggoda tanganmu untuk menari-nari di sana!

Samar-samar semburat rona merah langsung terbit di kedua pipi tembam Anna. Dia mendelik mengamati perubahan raut wajahnya membayangkan pesona Jake di pantai tadi. Pasti karena terlalu banyak berselancar, sebagian besar kewarasan Anna telah dibawa hanyut oleh arus, pikir gadis itu menepuk-nepuk pipi. Sesuai perkataan Shanon, dia harus tetap bernapas yang artinya Anna wajib menjaga akal sehat untuk tidak melebihi batas yang sudah ditetapkan dirinya sendiri. 

Tapi, kenapa letupan-letupan di jantung Anna seakan-akan enggan untuk berhenti? Kenapa pula suara-suara rendah Jake makin menggema di telinga? Dan ... kenapa perutnya ikut melilit sekaligus menegang dalam waktu bersamaan saat dia duduk berdua bersama Jake di tepi pantai tadi? Kenapa?

"Bersamaku sampai pagi, Anna."

Dering ponsel mengejutkan Anna dan benar saja nama Jake muncul mungkin khawatir karena dirinya tak kunjung keluar dari kamar mandi. Cepat-cepat Anna membereskan pouch make up ke dalam tas berganti mengeluarkan toples berisi kaliadrem sebagai hadiah kecil-kecilan untuk Jake. 

Dia berjalan keluar dan nyaris menjatuhkan barang bawaan mendapati pria itu berdiri mengenakan pakaian santai yang sialnya seksi di mata. Jutaan kupu-kupu yang tadinya sudah mau berkomitmen untuk tidak berputar-putar dalam perut, sekarang terbang tak karuan dan sebentar lagi akan mendesak keluar melalui kerongkongan. 

Celana chino bernuansa netral tampak pantas disanding dengan kaus polo putih melekat erat di bahu bidang Jake. Kancing bajunya sedikit terbuka menampilkan sedikit bulu dada yang mengintip malu-malu. Rambutnya sedikit acak-acakan tertiup angin dan sialnya justru hal tersebut menambah daya pesona Jake di mata wanita. Belum lagi bibirnya mengulum senyum lebar, melambaikan tangan ke arah Anna tanpa memedulikan konsekuensi dari tindakan pria itu sendiri. 

Aku ingin pingsan kayaknya! batin Anna menahan diri untuk tidak melunglai seperti kumpulan sayur yang dibiarkan terkena panas. 

Setiap langkah yang diambil Jake berhasil menghapus jarak yang membentang seirama pula dengan tarikan napas dalam dada Anna. Dia tak mampu berkedip pun tak mampu menggerakkan kaki berbalut gladiator sandal cokelat seolah-olah dataran yang dipijak gadis itu memiliki daya perekat setara magnet bumi. 

"Hei." Suara Jake terdengar sensual, meremangkan semua bulu romanya. 

"H-hei, sorry," Anna gelagapan setengah mati lalu menyerahkan toples kaliadrem kepada lelaki itu. "Buat kamu."

"Grazie, Bella." Jake menerimanya begitu suka cita dan segera membuka. "Ah, grazie artinya makasih, Anna, dan bella..."

"Sayang," sela Anna tersipu dan meremas tangannya agar Jake tidak mendengar betapa kencang dadanya sekarang. 

Jake tergelak, melahap kaliadrem berbentuk segitiga dengan lubang di tengah. "Banyak kata panggilan untuk memanggil orang yang dikasihi untuk menjadikannya makin akrab dan terasa intim."

"Menurutmu?" tanya Anna tak melepas fokus matanya dari bibir Jake yang mengunyah kaliadrem. Dia membayangkan bagaimana kalau dia mencicipi rasa manis jajan tradisional itu dari mulut Jake? Bagaimana jika lidahnya menyatu di dalam mulut Jake?

"Apanya?" Jake menaikkan sebelah alis. 

Menurutmu aku bakal dipanggil apa? Sayang? Ayang?

"Oh, ma-maksudku kaliadremnya, Jake," tandas Anna merutuki diri sendiri akibat terlintas pikiran-pikiran panas di kepala. "E-enak?"

Lelaki itu menyengguk sambil terkekeh begitu manis seperti semangkuk gula Jawa. "Enak karena kamu yang bikin. Aku suka."

Shanon!!!!! 

Ingin rasanya Anna melarikan diri dari hadapan Jake lalu berteriak sekeras mungkin kalau sudah tidak sanggup menerima rayuan lelaki itu. Wanita mana yang bakal tahan jika terus-menerus menerima serangan kalimat-kalimat yang bisa meluluhkan pendirian? 

"Dasar mulut buaya," cibir Anna menutupi ledakan di dadanya. "Jangan kebanyakan ngegombal!"

"Ngapain ngegombal kalau kenyataannya emang gitu?" balas Jake seraya menutup toples dan memasukkannya ke dalam tas ransel. "Ayo, ke Komaneka. Katanya lapar kan?" ajaknya menarik tangan Anna. 

"Nggak!" seru Anna terbahak-bahak. "Udah kenyang sama kata-kata manismu, Jake."

"Come on!

###

Resort Komaneka terletak tidak jauh dari pantai Keramas sehingga Jake dan Anna memutuskan untuk berjalan kaki selagi berbincang-bincang tentang beberapa tempat lain yang dirasa cocok menguji adrenalin. Anna baru tahu kalau Jake menyukai kegiatan-kegiatan alam seperti hiking dan climbing daripada selancar. Dia mencibir saat si juragan anggur yang serba bisa tersebut mengelak kalau semua yang dikuasainya ini sebatas ingin tahu.

"Ingin tahu dan berbakat itu beda tipis, Jake," ledek Anna. "Buktinya aku suka melihat orang berlatih bela diri, tapi saat mencobanya sendiri ... mereka bilang aku nggak mampu."

"Bukan salahmu, Anna, tapi pelatihmu," timpal Jake. "Pelatih yang baik adalah orang yang mau mengajari anaknya sampai bisa. Inget Mrs. Puff di kartun Spongebob? Udah ratusan kali Spongebob gagal tes mengemudi, apa pengajarnya menyuruh berhenti dan mengoloknya nggak bisa?"

"Kayaknya nggak," jawab Anna. "Jadi, kamu pernah gagal?"

"Manusia pasti pernah ngerasain gagal, Anna. Kaki patah karena jatuh dari tebing, cedera kepala, atau gagal karena wine-ku tidak sesuai ekspektasi. Semua sudah pernah kok, tinggal gimana caranya buat bangkit lagi."

"Jadi motivator cocok nih," goda Anna menyenggol bahu kekar Jake. 

Mereka disambut oleh pria berkemeja batik yang rambutnya ditata klimis lalu menyapa Jake seperti sudah mengenal lama. Anna baru ingat kalau tempat ini katanya sering menjadi tempat gathering karyawan Lagom tiap tahun, jadi tidak salah juga kalau sambutan mereka kepada Jake layaknya sahabat. 

"Rahajeng wengi, Pak Jake," sapa pria berkemeja safari. "Punapi gatra, Pak? Udah lama kayaknya saya nggak ketemu sama Pak Jake ini."

(Selamat malam

(Apa kabar?)

"Becik-becik kematen, Bli," jawab Jake. "Ini teman saya, Anna Asmita, Bli."

(Baik-baik saja)

Anna hanya tersenyum simpul saat Jake memperkenalkannya sebagai kenalan yang pernah menyelamatkan neneknya. Ada perasaan bangga bercampur hangat menggelayuti benak Anna kalau Tuhan menggariskan pertemuannya bersama Jake dengan cara itu. Di sisi lain, yang membuat Anna makin menaruh kekaguman pada sosok Jake adalah bagaimana pria di sana melebur bersama warga lokal termasuk perubahan aksen yang baru disadari. 

Dia bisa berubah menjadi bule saat bersama nonna. 

Dia bisa berubah menjadi warga lokal kalau bersama Anna dan orang-orang Bali lainnya. 

Anna menelengkan kepala, bertanya-tanya dalam hati bagaimana Jake memperlakukan kekasihnya itu? Ah, apakah tunangan Jake tidak terbakar cemburu mengetahui prianya bersama perempuan lain walau hanya berteman?

"Ayo," ajak Jake bergegas mendekati lift yang ada di sisi timur lobi. 

Anna mengekori Jake dalam diam, hatinya mendadak tak nyaman apakah pantas berduaan di tempat seperti ini di mana banyak orang yang mengenalnya. Sekelebat bayangan horor menghantui Anna, menciutkan nyalinya untuk meneruskan petualangan mereka. Bagaimana jika seseorang memotret kemudian mengunggah ke internet? Apalagi pria di depan Anna ini bukan pria biasa. Dia adalah pemilik Lagom, turunan langsung keluarga Luciano, perwaris utama bisnis besar itu. 

Sudut mata Jake mencerling ke arah Anna yang mendadak muram seperti memikirkan banyak hal. Sembari masuk ke dalam lift, Jake bertanya, "Ada apa?"

"Nggak apa-apa," jawab Anna menghindari sorot penuh tuntutan yang dilayangkan Jake. 

Pria itu menekan tombol angka lima, lift bergerak perlahan-lahan menyisakan atmosfer yang benar-benar berbeda daripada saat mereka berada di luar. 

"Ada apa?" Jake kembali bertanya, merasa tak puas jika seorang perempuan hanya menjawab tidak ada yang terjadi. "Tadi kamu antusias banget, sekarang malah diem."

"Jake," panggil Anna sedikit menjauhi Jake. "Kamu ... nggak apa-apa?" tanyanya balik membuat kening Jake mengerut dalam. 

"Apanya? Jangan berbelit-belit, Anna. Ini kayak bukan kamu," ketus Jake saat pintu lift terbuka menampilkan dapur Batukaru yang berkonsep Bali modern. Mereka menyediakan tempat indoor dan outdoor yang memiliki suasana romantis dengan lampu-lampu kuning yang bercahaya lembut. Tangannya menunjuk ke arah luar di mana meja-meja bundar beralaskan taplak hijau bermotif batik dan kursi-kursi kayu tersedia di sana. Ada salah satu tempat kosong di ujung area outdoor dan Jake mendahului Anna agar bisa mendengarkan apa yang menjadi keluh kesahnya. 

Sementara itu, pandangan Anna beredar ke sekitar. Andai Jake adalah pria biasa, mungkin dia akan bersukacita bisa diajak ke tempat makan yang luar biasa indah. Apalagi ada pemandangan cantik dari pohon-pohon rimbun dan suara-suara gemerisik daun membentuk harmoni merdu. Ditambah lanskap lembah yang mengarah ke gunung Batukaru, membawa Anna seperti kembali ke masa lalu di mana dunia masih belum dipenuhi gedung-gedung tinggi. 

Dia mendudukkan diri saat Jake menarik satu kursi. "Makasih."

Jake memosisikannya di hadapan Anna lalu kembali memberondong pertanyaan yang sama. "Jadi, ada apa? Kenapa mukamu tiba-tiba kayak gitu? Kalau kamu nggak suka, kita bisa pindah ke tempat yang kamu inginkan, Anna."

"Nggak!" Anna menggeleng cepat. "Aku suka semuanya, Jake!"

"Lalu?" Jake masih tidak mengerti. 

"Maksudku, kamu nggak apa-apa kalau kita jalan berdua di saat kamu udah punya pasangan?" tutur Anna meragu. "Jujur aja. Di sini kan tempat yang sering kamu datangi, otomatis orang bakal hafal siapa pasanganmu dan siapa yang bukan, Jake. Aku takut aja mereka mikirnya yang nggak-nggak."

Cukup lama Jake tertegun sebelum akhirnya tawanya meledak hingga wajahnya memerah. Tentu saja Anna keheranan dan bertanya-tanya dalam hati apakah ucapannya salah?

"Astaga, Anna," kata Jake mengusap wajahnya. "Kamu lucu."

"Aku?" tunjuk Anna pada dirinya sendiri. 

Kok lucu?

"Aku dan Aria bukan tipe pasangan yang seperti kamu bayangkan. Kami sama-sama dewasa, Anna. Terlalu posesif dalam hubungan tidak baik dan bisa mencekik satu sama lain," terang Jake dan ucapannya terhenti saat seorang pelayan datang memberikan menu. "Aku mau menu yang ada ikan pepes sama passion fruit crush."

"Aku sama," tukas Anna tidak ingin ribet. Semua makan bisa masuk di perutnya, lagi pula Anna tidak pernah pilih-pilih sesuatu yang telah diberikan Tuhan melalui orang lain. 

Pelayan tersebut mengangguk lantas pergi kemudian Jake melanjutkan ucapannya lagi seraya menopang dagu. "Kenapa kamu bisa berpikiran kayak gitu tadi?"

"Iya, gimana nggak. Jaman sekarang serem, Jake. Hubungan pertemanan antara pria dan wanita kadang disalah artikan. Aku cuma nggak ingin--"

"Menjadi orang ketiga?" sela Jake menaikkan sebelah alis seperti bisa membaca isi pikiran Anna.

"Benar." Anna menghindari tatapan Jake yang terasa mengintimidasi.

"Andai ada sesuatu yang terjadi di antara kita, bagaimana menurutmu?" tanya Jake penasaran.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top