a bad purpose|| 6
Jalanan pagi itu terasa lebih padat dari biasanya. Mungkin karena sekarang hari senin hingga banyak orang yang memulai aktivitasnya setelah libur akhir pekan. Letta segera turun dari angkutan umum yang ditumpanginya setelah kendaraan itu berhenti di depan sekolahnya. Lima menit lagi bel masuk berbunyi dan Letta bersyukur karena datang tepat waktu. Sebab ini adalah kali pertama Letta datang dijam-jam segini, biasanya Letta selalu datang lebih awal dari pada murid lainnya. Tapi khusus hari ini dia hampir terlambat.
Semua ini karena Letta bangun kesiangan, karena terus-terusan memikirkan kejadian tadi malam, di mana dia mendapatkan pelecehan dari pria asing itu di hari pertamanya bekerja, Letta jadi sulit tidur.
Letta merasa terhina dengan kejadian itu, tapi dia juga tak dapat berbuat apa-apa. Dia merasa kalau harga dirinya dinilai serendah itu oleh lelaki bajingan itu. Sehingga pria itu dengan seenaknya menyentuh dirinya tanpa tahu kalau dia bukanlah gadis murahan. Mungkin pria asing itu menganggap semua wanita sama murahannya.
Sungguh menyebalkan.
Letta berharap semoga saja Tuhan tidak mempertemukannya dengan pria bajingan itu lagi. Pria angkuh yang hanya memandang segalanya dari selangkangan. Letta yakin pria itu tidak pernah diajarkan sopan santun oleh orang tuanya. Sampai berani bertindak tidak sopan seperti itu kepadanya.
Letta berjalan di koridor sekolahnya sambil menundukan kepalanya, sementara pikiran dan hatinya terus merafalkan doa pengharapan, agar dia tidak lagi dipertemukan dengan keburukan setelah ini, Letta hanya ingin hidup tenang tanpa masalah, tetapi yang namanya hidup bukannya selalu ada masalah.
"Heii, Cupu!!"
Ketenangan Letta terusik saat suara perempuan menyebalkan itu terdengar. Baru saja dia berharap ketenangan, Clara tahu-tahu sudah berjalan di belakangnya, Letta berusaha untuk tidak menghiraukan perempuan angkuh itu. Tapi Clara justru semakin kebangetan. Mengejar Letta dengan langkah panjangnya. Sementara wajah gadis yang merasa dirinya paling beken itu sudah memancarkan aura dendam pada Letta. Gadis itu sepertinya masih menyimpan dendam kepada Letta karena kejadian tempo hari. Saat di mana Langit menolongnya, Clara merasa tidak senang. Tahu begini seharusnya dia menolak pertolongan Langit. Kalau sudah seperti ini, Clara akan semakin membully Letta. Bagi Clara Letta hanyalah cewek kampung yang sudah merayu Langit sehingga pria itu mempermalukan dirinya di depan semua murid SMA Garuda.
"Berhenti lo, Cupu!"
Clara geram, dia menarik bahu Letta, memutar tubuh Letta secara paksa dan tangannya lamgsung melayang ke wajah Letta.
Plakkkk..
Letta menyentuh pipinya yang ditampar oleh Clara. "Aku salah apa?" Mata Letta berkaca-kaca. Tamparan Clara menyakitinya. Membuat pipi Letta memerah.
"Masih nanya apa salah lo?" Clara mendorongnya. "Denger ya cewek miskin, sekali lagi gue lihat lo deket-deket sama Ka Langit, habis lo." Clara mengancamnya, perempuan dengan rambut hitam sebahu itu hendak menarik rambut Letta namun urung ketika melihat seorang guru yang hendak melintas ke arah mereka.
"Awas lo macem-macem sama gue." Seusai meninggalkan ancaman terakhirnya Clara berserta kedua temannya meninggalkan Letta.
Letta mengembuskan napasnya. Antara merasa lega dan kesal secara bersamaan. Lama-lama dia merasa lelah sekolah di sini. Tempat yang seharusnya untuk menuntut ilmu malah membuatnya tertertekan. Kalau bukan karena ibu mungkin dia sudah memilih berhenti. Tidak melanjutkan sekolahnya.
Letta meneruskan langkahnya dengan pikiran merana. Rasanya hidupnya jauh dari kata tenang apalagi bahagia, semua yang berada di sekitarnya tidak ada satu pun yang menyukai dirinya. Tidak di rumah, di sekolah atau bahkan di tempat yang baru, tempatnya bekerha. Semua memperlakukan Letta secara buruk. Apa sedikit saja tidak ada kebaikan yang Letta peroleh?
Mungkin beginilah jika hidup di kota metropolitan dengan kemiskinan yang mendera. Yang tidak punya uang akan selalu kalah dengan yang memiliki uang. Uang memang segala-galanya yang utama bagi hidup dan kehidupan.
"Letta..."
Letta membalikan tubuhnya saat sudah di depan pintu kelas dan mendapati seorang pria yang baru saja diperdebatkan oleh Clara tengah berdiri di depan pintu kelasnya. Seperti sengaja menunggunya.
Tiba-tiba saja Letta merasa takut. Dia takut jika Clara melihatnya. Tidak tahu harus bersikap apa? Letta tanpa menatap Langit memilih menundukan kepalanya. Satu sisi Letta merasa malu berinteraksi dengan Langit.
"Ada apa, Ka?"
Langit mendekati Letta, spontan Letta melangkah mundur, merasa gugup berada di dekat kakak kelasnya, apalagi ketika pria itu mengusap wajah bekas tamparan Clara. "Pipi kamu kenapa?" tanya Langit, pandangan pria itu tampak menyelidik.
Letta menjauhkan tangan Langit dari pipinya. Dia takut dipergoki oleh Clara. "Ngg..nggak papa, Ka."
Suara Letta terdengar gugup. Dia mencoba menatap ke sekelilingnya.
Memastikan kalau siswa-siswi di sini tidak memperhatikan ke arah mereka. Bisa menjadi masalah jika Letta dan Langit menjadi bahan tontonan, Clara pasti bisa tahu nantinya.
Langit menghela napasnya dengan ketidakjujuran Letta. "Apa kamu pikir luka bisa datang dengan sendirinya tanpa ada sebab?" Langit menekannya, Langit tahu bagaimana gadis kalem ini mencoba menutupi sesuatu yang ingin diketahuinya.
Letta menunduk dan tidak berani memandang Langit, karena merasa ucapan Langit ada benarnya. "Enggak apa-apa, Ka. Serius!" Letta tidak mungkin mengadu pada Langit kalau Clara yang telah menciptakan warna merah di pipinya.
Langit menghela napas sekali lagi, dia meraih kedua bahu Letta untuk membuat gadia itu mau memandangnya. "Kamu tidak perlu takut, katakan saja yang sebenarnya?" Langit menatap hazel Letta yang membalas tatapannya dengan binar canggung.
Seberapa kekehnya Langit memaksanya, Letta tetap tak mau bicara. Gadis itu menggeleng dan bibirnya tetap bungkam. Jika dia mengadu, Clara dan teman-temannya pasti akan semakin membullynya.
Langit mengembuskan napasnya kasar. Ternyata selain pendiam Letta juga gadis yang keras kepala, dia begitu kukuh pada pendirian untuk tidak mengadu. "Oke, baiklah kamu tidak perlu mengatakan apapun, karena aku sudah tahu jawabannya," jelas Langit, sebenarnya dia hanya ingin Letta jujur dan terbuka padanya. Tapi ternyata Letta tidak bisa seperti itu.
Letta meremas jemarinya, merasa gelisah. "M ... maksud, Kak Langit? Aku enggak mengerti!" Apa Langit tahu kalau yang melakukan ini Clara?
Melihat reaksi Letta, Langit semakin paham. Letta terlihat ketakutan. "Clara. Dia yang sudah melakukan ini sama kamu?" Tebakan Langit memang tepat sasaran.
Langit menanti jawaban Letta, berharap Letta mengatakannya. Tetapi yang terjadi Letta malah menundukan kepalanya kembali. Saat Langit akan kembali bicara bel sekolah pertanda masuk mengintrupai keduanya. Membuat Letta bernapas lega. Langit tidak akan lagi mengintrogasinya.
"Aku harus masuk, Ka."
Sebelum Langit kembali bicara Letta sudah lebih dulu berlalu. Jujur saja berdekatan dengan Langit membuat jantung Letta berdegup cepat. Tidak baik untuk kesehatan jantungnya.
***
Fano membuka pintu mobilnya saat sudah sampai di parkiran kampusnya. Diikuti oleh dua temannya yang juga turun dari dalam mobil Fano.
"Asli males banget gue ngampus hari ini." Temannya menenteng tas dengan malas, Fano dan juga satu temannya melakukan hal yang sama. Mereka bertiga mulai berjalan di area parkiran dan melangkah menuju kelasnya.
Semua mata langsung tertuju kepada mereka bertiga, saat dengan gagah mereka berjalan menyusuri koridor kampus, salah satu universitas ternama yang terdapat di bilang Jakarta Pusat.
"Ganteng banget si Fano!"
"Keren ya mereka...."
Bisikan-bisikan itu terdengar di telinga mereka. Seakan tidak rela jika harus kehilangan kesempatan untuk melihat pemandangan paling indah yang Tuhan ciptakan di muka bumi ini. Melihat Fano dan kedua temannya yang sama kerennya, namum tetap saja Fano yang paling keren. Fano menjadi idola di kampusnya karena tampangnya yang good looking juga keluarganya yang punya nama membuat siapa saja mengenalnya. Temannya ikut famous juga karena mereka berteman dengan Fano. Meski keduanya juga ganteng, tapi yang lebih punya nama di kampus ini hanya Fano seorang.
Tak hanya memiliki wajah tampan, Fano dan kedua teman juga memiliki prestasi yang gemilang hingga membuat seluruh pasang mata penjuru kampus pasti akan mengenal mereka bertiga.
"Lihat tuh senyumannya manis ya? Kayak gula ..."
Rasanya Fano muak mendengar ocehan receh yang membuatnya ingin muntah sekarang juga. Jika dia tidak mampu menahannya sudah Fano sumpal mulut mereka dengan sepatu mahalnya agar mereka tidak lagi mengoceh hal tidak jelas seperti itu. Namun Fano tidak akan melakukan itu semua, sebab sebagai seorang ketua Pres BEM kampus-nya maka namanya akan tercoreng jika dia bertindak buruk seperti itu.
Fano terus melangkah tanpa mengidahkan sikap murahan cewek-cewek di kampusnya, mereka bertiga berjalan di koridor kampus menuju ke kelasnya. Namun setiap Fani dan kedua temannya melangkah cewek-cewek itu pasti akan selalu mengganggunya.
"Fan, nanti malam ngedate yuk sama aku...."
Si perempuan yang Fano kenal sebagai cewek paling famous di kampusnya dengan genit mendatangi Fano yang sedang berjalan. Merangkul tangan Fano dan bersikap murahan seperti biasa. Kalau tidak mengingat sedang di kampus mungkin saja Fano akan mengiyakan permintaan cewek itu dan menarik cewek itu untuk memuaskannya. Tapi sayangnya Fano sedang di kampus dan dia harus tetap staycool.
"Nggak bisa, Dit. Gue ada urusan yang nggak bisa gue tinggal." Fano beralasan, dan mencari cara agar cewek ini lekas menjauh. Tapi bukannya menjauh si Dita malah makin menempel padanya, sengaja menempelkan dadanya yang sebesar buah melon pada lengan Fano. Membuat Fano yang sedang menahan diri merasa kepanasan. Kalau saja tidak sedang menjaga image-nya dia sudah akan menuntaskan rasa inginnya pada apa yang saat ini tengah dibayanginya. Sayang,;di luar ketidak berdayaannya dia tidak bisa melakukan itu.
Fano kembali melanjutkan langkahnya tanpa mempedulikan rengekan manja perempuan cantik yang telah dia tolak itu.
"Fano, woyyy!!" kedua sahabat Fano yang sejak tadi berada di sana segera berlari mengejar Fano yang telah seenaknya sendiri meninggalkan mereka tanpa merasa bersalah. Memasuki kelas mereka dan tidak melirik ke belakang saat mereka memanggilnya.
Begitulah Fano, selalu staycool jika di lingkungan kampus dan tak pernah menunjukan belangnya meski kedua temannya tahu bagaimana Fano. Jadi saat melihat Fano menolak ajakan kencan Dita, mereka tidak merasa heran lagi dengan penolakan pria itu.
Karena sudah terbiasa dan tahu bagaimana Fano yang sebenarnya. Pria yang gila akan nama baik.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top