a bad purpose|| 5
Letta tidak tahu kenapa nasibnya bisa seburuk ini? Ditinggal mati ibu dan memiliki ayah yang tidak bertanggung jawab padanya sehingga Letta harus mencari kerja dan mendapatkan kerja di tempat seperti ini. Kalau saja ayah mau menjadi kepala rumah tangga yang baik untuk ibunya, mungkin saja ibunya masih ada di sampingnya Letta takmerasa kesepian. Dan kalau saja ayahnya mau berperan menjadi ayah yang baik untuk dirinya. Mungkin saja Letta tidak akan tersesat di tempat tidak benar ini dan membuat dirinya menjadi seorang pelayan, sehingga berujung dilecehkan seperti ini.
Rasanya Letta ingin menangis saja saat ini, menyesali segala nasib buruknya dan menjerit pada mereka yang berbuat semena-mena kepada dirinya. Habis dilecehkan oleh pria yang tidak dikenalinya dan sekarang Letta disidang oleh bos barunya.
Melihat pria bertubuh gempal itu, memarahinya dan memandang dirinya dengan raut murka. Letta hanya bisa menunduk pasrah sembari meremas tangannya yang saling memilin seragam kerjanya.
"Kamu tahu siapa laki-laki itu, Letta? Kamu sudah membuat masalah pada pria itu maka kamu akan terima resikonya nanti." Si bos bertubuh gempal itu, menaikan kakinya di atas meja dengan gaya angkuh. Dia mengambil cerutu miliknya lalu menempelkannya pada bibir. "Seharusnya kamu minta maaf! Pergi dan tidak membuat masalah." Menghisap cerutunya panjang-panjang bos memandang Letta yang hanya bisa diam.
Letta tidak tahu mengapa bosnya malah menyalahkan dirinya? Bukankah Letta tidak melakukan apapun? ia sudah mencoba mengalah dengan pria asing itu, tapi pria itu justru yang malah menarik dirinya dan melecehkan Letta. Seharusnya di sini, Letta yang marah bukan pria itu.
Ternyata benar kata pepatah "Orang kaya selalu lebih berkuasa dari pada orang miskin. Yang salah justru akan terlihat benar saja, sementara Letta yang taksalah apapun terlihat salah dan dianggap membuat ulah."
"Tapi--tapi dia yang salah, Pak." Letta mencoba membela dirinya. Ia Mengangkat kepalanya untuk menatap bosnya, dan Letta mulai menahan dirinya untuk tidak berteriak pada pria angkuh itu.
Dasar pria gemuk tidak tahu diri, kalau saja Letta lebih berani? mungkin saja Letta sudah berteriak seperti itu pada bosnya. Seenaknya saja menyalahkan dirinya tanpa tahu permasalahannya.
"Kamu tahu, Letta, salah ataupun tidaknya kamu. Tetap saja kamu yang akan terlihat salah di mata Saya." Tapi rupanya si tubuh gempal itu masih saja menyalahkan Letta. Tidak mau tahu segala hal tentang apa yang seharusnya lebih pantas dia bela.
"Dia pelanggan tetap di club ini, bahkan dia satu-satunya pelanggan istimewa di sini jadi kalau sampai dia menuntut yang tidak-tidak pada club-ku, kamu akan tahu resikonya!" Ancam bosnya, membuat Letta merasa takut dan cemas dengan ancaman bosnya.
Sepertinya pria itu begitu berpengaruh di tempat ini, sampai bosnya sangat tahu tentang pria bajingan itu.
"Ma--maaf, Pak!"
Beginilah menjadi orang lemah, hanya bisa mengalah dan mengalah.
Dia tidak ingin mendapatkan masalah apapun seperti yang bosnya katakan jadi ketika bosnya itu memanggil dirinya tadi, Letta sebenarnya sudah berniat ingin mengundurkan dirinya dari tempat ini. Dia sudah merasa takut dan tidak mau memikirkan apapun lagi selain harus berhenti dan tidak melanjutkan bekerja di tempat ini.
Kalau Letta bertahan di tempat ini, bisa-bisa hilang sudah apa yang Letta jaganya selama ini. Baru pertama bekerja saja Letta sudah mendapatkan perlakuan seburuk itu, bagaimana nanti? Sepertinya Letta memang tidak diperbolehkan bekerja di tempat terkutuk ini.
Mengingat kalau ia baru saja dilecehkan oleh pria tak bermoral itu, rasanya ia begitu jijik dengan dirinya sendiri. Tubuhnya telah disentuh dengan tangan kotor pria itu.
"Saya sudah melakukan seperti yang Bapak katakan bahkan walaupun saya tidak bersalah saya juga telah meminta maaf padanya tapi justru dia yang kurang ajar kepada saya. Jadi di sini saya tidak bersalah dan saya tidak ingin disalahkan," ujar Letta mengeluarkan pembelaannya.
Tapi bosnya merasa tidak paham dengan kalimat Letta. "Jadi maksudmu apa, Letta?"
Dia tahu kalau anak buah yang baru diterimanya bekerja ini sepertinya ingin mengatakan sesuatu.
"Saya...Saya mau berhenti saja, Pak. Saya sudah tidak mau bekerja di tempat seperti ini," ujarnya mengeluarkan segala yang ingin dikatakannya sejak tadi kepada bos, namun bosnya malah sibuk memarahinya.
Mendapati kalimat itu keluar dari mulut gadis di depannya, bos berkepala botak itu tersenyum miring mendengar ucapan anak buahnya yang sudah bisa ia tebak di luar kepalanya, "Mengundurkan diri?" tanya bosnya tersebut, memastikan jika pendengarannya itu tidaklah salah.
Letta dengan mantap mengangguk, tanpa tahu kalau bosnya sudah melempari kalimat mengejek kepadanya.
"Seenaknya saja kamu ingin mengundurkan diri setelah membuat masalah!" dia mematikan cerutunya dan menurunkan kakinya.
Letta menundukan kepalanya meremas jari jemarinya, saat bosnya mengatakan kalimat keberatannya. "Saya bekerja di sini atas kemauan saya jadi saya juga berhak mengundurkan diri dari sini, Pak!"
Bosnya mengangguk. "Yah itu memang hak kamu. Dan keputusan kamu juga jika ingin mengundurkan diri."
Letta merasa lega dengan kalimat bosnya. Namun hanya sesaat saja, karena ketika bosnya ini kembali berkata. "Tapi tidak setelah kamu membuat kekacauan!" tambah bosnya, membuat lutut Letta melemas.
"Apalagi kamu juga telah terikat kontrak dengan saya. Saya bisa saja mengabulkan keinginan kamu asalkan kamu bersedia membayar ganti ruginya sebesar seratus juta!"
"Ser..ratus ju..ta." Letta merasa semakin tersudut dan takbisa berkata apa-apa lagi saat bosnya mengatakan itu.
Bagaimana Letta bisa mengganti rugi sebesar itu, uang saja Letta tak punya. Untuk kebutuhan hidupnya saja Letta masih pontang panting mencari uang ke sana sini.
"Iya, apa kamu tidak baca kontrak yang telah kamu tanda tangani kemarin, Letta?" tanya bosnya mengejek.
Letta menggeleng dan bosnya semakin tersenyum miring. "Jadi Letta lupakan niatmu dan kembali bekerja, jangan sampai kamu membuat masalah baru lagi, kalau tidak gajih pertamu akan saya potong."
Mau tidak mau Letta menganggukan kepalanya pasrah. Beranjak dari duduknya keluar dari ruangan bos besarnya. Menyesali yang sudah terjadi tidak akan ada gunanya apalagi bekerja di sini adalah keputusan yang sudah diambilnya sebelumnya. Nasi sudah menjadi bubur dan Letta tidak bisa mengubahnya menjadi nasi lagi.
Kini hidup Letta ke depannya hanya akan Letta pasrahkan kepada Sang Maha Pencipta apapun yang akan terjadi nanti Letta yakin itu adalah yang terbaik untuknya. Selagi Letta masih bisa menjalaninya dengan ketegaran Letta akan terus bertahan demi janjinya pada sang ibu. Bertahan di sisi ayah meski Letta membenci ayahnya.
****
Fano memakirkan mobil mewahnya di halaman rumah besarnya. Mengusap wajahnya kasar, dia memukul stir mobilnya dengan kesal, saat bayangan gadis mungil yang telah ia lecehkan tadi begitu berputar-putar dikepalanya. Fano tidak pernah separah ini sebelumnya, memaksa menyentuh seorang perempuan disaat perempuan itu justru menolaknya. Semuanya dengan senang hati menyerahkan tubuh mereka kepadanya.
Shittt...
Bayangan akan tangisan perempuan pelayan itu dan raut ketakutannya begitu terekam jelas dalam ingatannya. Takmenduga kalau gadis yang dilecehkannya itu menolak dirinya. Fano berpikir kalau gadis itu hanya akan menolak dirinya di awal saja dan akan menikmati sentuhannya saat gadis itu sudah terbuai dengan sentuhannya.
Tapi rupanya Fano salah. Gadis pelayan itu malah semakin ketakutan terhadap dirinya, dan alih-alih menikmatinya malah menangis. Persis seperti seorang yang hendak dilecehkan. Kalau begini Fano merasa seperti seorang bajingan saja. Tapi bukankah dia memang bajingan. Yah Fano memang bajingan, tapi dia tidak pernah merasa sebajingan ini saat memaksakan kehendaknya terhadap gadis pelayan itu.
Tapi kan Fano tidak sepenuhnya bersalah di sini. Salahkan saja gadis pelayan itu memakai sergam pendek sehingga membuat dirinya bergairah. Sialan, rutuk Fano.
Monyet...
Bangke...
Dia keluar dari dalam mobilnya, menutup pintu mobilnya dengan keras, sembari mengumpat habis-habisan.
"Bangsat ngapain juga gue mikirin pelayan kampungan itu." Fano memasuki rumahnya. Sambil berjalan dan pikirannya selalu berputar-putar pada kejadian tadi.
Helaan napas kasar lagi-lagi berembus dari bibir merahnya yang sedikit menghitam karena kebanyakan minum alkohol dan menghisap rokok. Malam ini Fano menyesal pulang ke rumah yang baginya tidak lebih dari sebuah kuburan, sepi tidak ada kasih sayang seorang ayah atau pun bayangan ibu di rumah besar ini. Hanya ada kesunyian, kesepian yang Fano rasakan setiap kali dia menginjakan kakinya di rumah ini. Tak ada keluarga yang Fano lihat karena hanya Fano dan beberapa pembantu rumahnya saja yang tinggal di sini.
Tapi Fano tidak peduli dengan kata keluarga, dia tak mau memikirkannya, lebih baik dia lupakan saja tentang keluarganya dan kembali pada kehidupannya sendiri.
"Malam Den, Fano." Lamunan Fano tentang keluarganya dan juga tentang si gadis pelayan itu terhenti saat seorang wanita paruh baya datang menghampirinya sembari membawa nampan berisi segelas kopi di tangannya. Kebiasaan Fano saat dia baru datang dan meminta dibuatkan kopi, sudah begitu dihafalnya.
Fano tidak menyahuti sapaan wanita paruh baya itu, dan memilih mengehempaskan dirinya di sofa.
"Tadi Papa aden telpon, dan nanyain aden. Bibi bilang saja aden belum pulang," ujar Bibi memberitahu.
Fano tetap tidak menanggapi ucapan wanita paruh baya itu dan hanya menganggap ucapan Bibi hanya angin lalu karena dia merasa tidak penting untuk mendengarnya. Menelpon? Menanyakan dirinya? Hmm, untuk apa? Memangnya Fano penting bagi papanya.
"Apa aden mau makan malam sekarang? biar Bibi panaskan makananya dulu kalau aden mau makan?" tawar Bibi.
Meski tuannya sering mengabaikan atau bahkan tidak menganggapnya ada tapi Bibi begitu menyayangi tuan mudanya, Fano sudah seperti putranya sendiri. Dia akan memberikan yang terbaik untuk Fano walaupun anak itu selalu mengabaikannya dan terlihat cuek.
"Nanti saja, Bi!" Fano menyeruput kopi yang dibawakan Bibi, "Fano belum lapar, nanti kalau mau makan biar Fano saja yang memanaskannya," ujarnya sambil menaruh gelas kopinya dan menyandarkan tubuhnya pada sofabet yang didudukinya.
"Baik, Den. Kalau gitu Bibi permisi ke belakang dulu mau ngelanjutin pekerjaan Bibi," pamitnya menundukan kepalanya hormat meskipun Fano lebih muda darinya tapi pria itu tetap saja atasannya yang harus ia segani.
Fano menganggukan kepalanya tanpa menatap ke arah wanita itu. Dia lebih memfokuskan dirinya pada layar ponsel miliknya, sibuk membaca sesuatu di sana.
"Gue di depan sama Dimas. Cepat buka pintunya!"
Gerakan tangan Fano yang sedang menari-nari di atas ponsel canggihnya terhenti saat sebuah pesan masuk dan disusul oleh bunyi bel yang di pencet bertubi-tubi.
Melempar bungkusan rokok yang dipegangnya sedari tadi ke atas meja, Fano memilih berdiri dari duduknya dan beranjak dari ruang tamu. Ingin membuka pintu dan melihat orang yang baru saja mengiriminya pesan dan memencet belnya dengan tidak sabarannya.
Helaan napas kesalnya berembus saat Fano sudah membuka pintu dan melihat dua orang pria tampan berdiri di depan rumahnya dengan tampang polos tanpa merasa bersalah sedikit pun karena telah mengganggu ketenangan rumahnya tengah malam begini.
"Ngapain kalian ke rumah gue?" ujar Fano sinis, namun tak ayal ia menyingkir juga dari pintu, membiarkan kedua temannya memasuki rumahnya.
"Mau minta makan gratis dong, Fan." Kelakar temannya.
Salah satu dari mereka menjelajahi rumah Fano dan mulai menyomot sebuah bolu coklat yang berada di atas meja makan saat mereka sudah berada di ruang makan. Melihat beberapa macam menu makanan yang tersaji di atas meja makan mata mereka berbinar cerah. Dan seperti sudah biasa mereka berdua memberantakan makanan itu padahal Fano belum sama sekali menyentuhnya.
Sementara Fano yangmelihat itu hanya memutar bola matanya, jengah. Beginilah kehidupannya, hanyadiisi oleh ia dan ke dua temannya saja yang menyebalkan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top