a bad purpose||4

Suara musik keras yang dimainkan oleh seorang dj laki-laki tampak menghentak dan mengalun kuat memasuki gendang telinga Letta, ketika Letta melangkahkan kakinya mengitari club ini. Bersama seorang pria bertubuh gempal di sampingnya ia mengitari sekitar tempat ini.

"Jadi pekerjaan kamu di sini seperti seorang pelayan pada umumnya. Mengantarkan minuman untuk pelanggan dan melayani mereka dengan sebaik mungkin." Mungkin maksud perkataan bos barunya itu Letta harus melayani pelanggannya ketika pelanggannya meminta minum, tapi pikiran Letta justru sebaliknya.

"Ap .. apa, Pak, me...layani?" pikiran negatif hinggap di kepala Letta. Letta mulai merasa takut kalau apa yang dimaksud dengan kata 'melayani ialah hal buruk yang sedang dipikirkannya.

Si bos yang mengerti arah pikiran Letta lantas terkekeh. "Hahahha maksudku melayani mereka seperti seorang pelayan melayani tuanya, bukan melayani di atas tempat tidur." Bosnya menggeleng, "Kamu ini pikirannya ngeres aja."

Wajah Letta memerah, ia merasa malu karena sudah berpikir yang tidak-tidak. Tapi juga merasa lega karena apa yang dipikirannya tidak seburuk yang ia pikir.

"Baik, Pak!" Letta mulai mengangguk, mengerti. "Jadi saya bisa mulai bekerja kapan, Pak?" Letta bertanya.

Si bosnya yang sedang menghisap cerutu dibibirnya langsung menjawab. "Kamu bisa bekerja mulai hari ini!" katanya menghirup cerutu itu dan memandang penampilan Letta. "Ganti bajumu dan bergabunglah dengan waitres yang lain." Perintahnya, yang Letta angguki setelahnya.

Lalu setelah memberikan arahan pada Letta pria bertubuh gempal itu berlalu ke depan, sementara Letta mulai mengikuti apa yang tadi diperintahkan oleh bosnya. Mengganti pakaiannya terlebih dahulu, barulah Letta bergabung dengan teman-teman sesama waiters-nya di depan sana.

Letta tidak tahu keputusannya bekerja di tempat ini adalah keputusan yang benar atau salah. Seharusnya si Letta masih di rumah, berduka atas kepergian ibu. Tapi Letta pikir lagi, kalau ia larut dalam kesedihan bagaimana ia bisa bekerja dan menutupi segala kebutuhannya. Sekarang takada ibu, itu berarti Letta yang harus bekerja keras untuk menghidupi kebutuhannya sendiri. Sementara ayahnya jangan ditanya orang yang hanya bisa menghabiskan hidupnya dengan berjudi dan minum-minuman keras, mana bisa diandalkan, pikir Letta.

Selama ini saja hidup ayah hanya dapat memberikan kesusahan bagi Letta dan bagi ibu. Tidak pernah memberikan nafkah lahir dan batin pada ibu. Hanya menyusahkan dan meminta uang saja kerjaannya. Bekerja saja ayahnya tidak, apa gunanya laki-laki keparat itu hidup bagi Letta. Dan sekarang Letta begitu muak mengingat kalau hidupnya begitu sial karena memiliki ayah seperti dia.

"Hai, Letta. Selamat bergabung ya, semoga kamu betah bekerja di sini."

Letta sudah dengan pakaian seragamnya. Dan sudah bergabung bersama temannya. Disambut seperti itu oleh teman sesama waiters-nya Letta membalasnya dengan senyum ramah. "Terima kasih, Ka," kata Letta dan Letta langsung mengikuti mereka, membaur bersama untuk saling berbagi tugas. Mengantar minuman untuk para tamu yang malam ini semakin banyak berdatangan. Semoga saja pekerjaannya di tempat ini tidak membawanya pada keburukan, Letta ingin bekerja keras agar bisa melupakan kesedihannya karena ditinggal ibu.

"Antarkan minuman ini ke meja sana ya, Lett." Letta mengangguk dan menerima botol minuman lengkap dengan gelasnya saat teman waiters-nya memintanya untuk mengantarkan minuman itu.

Membawa minuman itu dengan nampan yang dibawanya, Letta berjalan menuju meja yang dituju oleh temannya. Dengan hati-hati agar tak tersenggol oleh tamu-tamu yang sedang berkeliaran di tempat ini, Letta berjalan perlahan.

"Permisi, maaf!" melewati tamu yang menghalangi jalannya Letta berusaha menahan nampannya agar tidak tersenggol oleh tamu. Kalau botol dengan isi minukan beralkohol itu sampai jatuh, bisa-bisa Letta kena marah. Apalagi dihari pertama dirinya bekerja. Bisa-bisa Letta langsung kena pecat kalau ia sampai menjatuhkan minuman yang dibawanya ini.

"Permisi." Letta melangkah secara hati-hati. Tapi sehati-hati apapun Letta, tetap saja seorang tanpa sengaja menyenggol bahunya membuat keseimbangan tubuhnya goyah, Letta tidak bisa menahan gerakan cepat itu katika botol yang dibawanya akhirnya jatuh dan...

Prangggg...

Botol minuman itu pecah. Dimana pecahan beling bercampur air itu tumpah mengenai si penyenggol.

"Shitt....."

Lelaki yang menyenggol Letta mengumpat. Letta tidak memperhatikan orang itu, dia sedang syok botol minum yang dibawanya tumpah, kepanikan mulai Letta rasakan. Ia meratapi nasib botol minuman mahal itu dan matanya sudah berkaca-kaca, hendak menangis.

Bagaimana ini? Di hari pertamanya bekerja Letta malah memecahkan gelas itu. Bos pasti akan marah, pikir Letta. Tanpa memperhatikan orang di depannya.

"Goblok, sialannn. Punya mata nggak lo?"

Letta sampai tidak menghiraukan kemarahan pria yang sudah berbicara kasar itu. Pokus Letta hanya pada pecahan botol itu. Dalam benaknya segala kemarahan bos sudah berputar-putar di kepala Letta. Dan setelah ini mungkin saja Letta akan dipecat. Pecahan dari kaca botol minuman yang sudah tidak berbentuk itu, membuat Letta tidak dapat berpikir apa-apa lagi selain memikirkan nasibnya setelah ini.

"Lo lihat karena kebodohan lo celana gue sampai basah. Mata lo ditaruh di mana, Hah?"

Si pria yang menyenggol Letta, membentak Letta. Padahal sudah jelas-jelas di sini dia yang salah. Letta merasa malu karena teriakan dan insiden pecahnya botol itu, karena itu menjadi tontonan orang-orang yang berada di tempat ini.

"Ma..af aku nggak sengaja." Letta menundukan kepalanya.
Meski tak merasa tidak salah, Letta tetap meminta maaf. Lebih baik iya mengalah saja dari pada mendapatkan masalah lainnya. Apalagi melihat tatapan kemarahan pria di depannya, Letta takut pria itu membuat dirinya makin sulit di hari pertama bekerjanya.

Tapi permintaan maaf Letta rupanya dianggap lelucon bagi pria itu. "Kamu bilang maaf!" dia tertawa sinis, "Lo pikir segampang itu minta maaf?" Orang itu mendekat pada Letta-- menarik pergelangan tangan Letta. Tidak mempedulikan tatapan orang-orang di sana, dia menyeret Letta dan membawanya entah ke mana.

Letta menahan perih dipergelangan tangannya yang dicengram kuat oleh pria itu, sembari mengikuti langkah pria itu Letta teringat saat ayah yang sering memukul dan membentaknya, mata Letra jadi berkaca-kaca. Antara sembari menahan perih di pergelangan tangannya ia malah mengingat kembali kekasaran ayah karena pria ini yang juga kasar terhadapnya.

"Kamu--kamu mau bawa aku ke mana?" saat pria itu membawanya menjauhi kerumunan orang-orang, Letta menatap ke sekeliling tempat ini. Memperhatikan setiap sudut ruangan yag remang-remang ini. Agak gelap dan sekarang Letta merasa takut.

"Kenapa kamu bawa aku ke sini?" tanyanya takut dan gelisah.

Orang itu tersenyum miring, ia menatap wajah ketakutan Letta. "Lo tahu apa yang udah lo perbuat sama gue di depan sana?" mata tajamnya memandang Letta, menyerupai tatapan burung elang, saat mencoba mengintai mangsanya. "Lo udah bikin gue malu dengan menumpahkan minuman itu ke celana gue." Dia mencengkram wajah Letta dengan sedikit memberikan tekanan diseputaran dagu Letta.

Letta meringis, karena tekanan tangan pria itu terasa perih di dagunya. "Ta--tapi, tapi kan kamu yang salah bukan aku, kamu yang nyenggol aku." Mata Letta memerah menahan tangis.

"Lo bilang apa? gue yang salah?" pria itu semakin mencengkram dagu Letta.

Perih itu semakin Letta rasakan di sepanjang garis rahangnya. Letta mengangkat wajahnya--memberanikan dirinya untuk memandang wajah tampan yang sedang menatapnya tajam.

"I..iyaa." Kalimat Letta terdengar gagap. "Kamu ... kamu yang salah, bukan aku." Melihat tatapan tajam pria itu, rasanya jantung Letta seakan ingin merosot dari tempatnya. "Ka..kamu yang sudah menyenggolku kan tadi." Ulangnya, meski jantungnya sudah ingin melompat dari sangkarnya, tetap saja Letta mencoba membela diri, toh dia memang tidak bersalah.

Tapi rupanya pembelannya tidak disukai oleh pria itu. Sehingga pria dengan sikap tempramental itu mulai memojokan Letta di dinding. Dan dalam satu gerakan saja si pria sudah menarik rahang Letta dan mencium bibirnya Letta, kasar.

Letta berontak, menarik wajahnya? Menjauh. "Apa yang kamu lakukan? Ken... kenapa kamu menciumku?" Letta marah, dia tidak terima dan sekuat tenaganya Letta mendorong dada pria itu menjauh darinya. Mengusap bibirnya dengan kasar, Letta mencoba menghapus jejak ciuman pria itu pada bibirnya.

Tapi mendapatkan penolakan seperti itu, bukannya membuat si pria mundur malah dia semakin bergairah, apalagi ketika tatapan pria itu melihat gerakan Letta di depannya--menurutnya itu terlihat sexy dan menggoda.

"Lo nolak gue?" si pria mencemooh Letta. Matanya memandang Letta dengan nakal dan meremehkan. "Nggak pernah ada yang berani nolak gue selama ini. Dan lo pelayan rendahan, berani-beraninya lo nolak gue." Sarkasmenya, membuat hati Letta sakit mendengarnya. Letta bukan perempuan murahan, kenapa pria ini seolah menganggapnya murahan yang dengan seenaknya dapat disentuh.

Letta mengeratkan tangannya di depan dadanya, ia tidak pernah bertemu dengan pria semacam ini sebelumnya. Tatapannya yang tajam mampu membuat tulang-tulang kaki Letta lumer seketika hingga tidak mampu berlari dari sana dan meminta pertolongan.

"A--apa yang kamu mau dari aku? Aku kan sudah meminta maaf padamu jika memang aku yang salah," tanya Letta tergagap berusaha menetralkan detak jantungnya yang terus berdetak lebih cepat dari biasanya.

Si pria dengan senyuman casanova itu memandangnya dengan wajah penuh hasrat. Ingin membanting gadis yang menolaknya ke atas tempat tidurnya. "Puaskan gue," ujarnya, sebari mendekati wajahnya pada leher jenjang Letta yang sejak tadi menggodanya untuk dikecup.

Letta ketakutan, aliran darahnya seakan berhenti mengalir. Membuat genangan air mata menggantung dipelupuk matanya

"Lepaskan aku, berengsek. Bajingan!!" berkali-kali Letta berusaha mendorong bahu pria itu namun usahanya sia-sia sebab kekuatannya tidak sebanding dengan pria kurang ajar yang terus saja mencoba menyentuh bagian tubuhnya.

"Lo nggsk akan bisa lepas dari gue semudah itu!" pria itu semakin lancang, memindahkan tangannya diseputaran tubuh Letta, meremas area sensitif Letta yang membuat Letta semakin ketakutan.

Air mata terus mengalir membasahi wajah cantiknya. Bayangan akan hal-hal buruk terus saja melintas dikepalanya. Letta sungguh takut sesuatu yang tidak diinginkannya akan terjadi saat ini. Tidak. Letta tidak akan membiarkan siapa pun mengambil apa yang seharusnya menjadi hak suaminya.

"Kumohon lepaskan aku." Letta memejamkan matanya dengan tangis yang takhenti mengalir dari permukaan wajahnya. Saat pria itu hendak menyingkap rok mini seragam yang dikenakan Letta.

Melihat tangisan dan ketakutan dari wajah gadis ini. Si pria yang awalnya ingin menggagahi Letta menjadi menghentikan cumbuannya.

Dia tertegun dan terdiam melihat ketakutan Letta. "A..aku--" si pria bingung ingin mengatakan apa. Ingin mengatakan maaf iya tidak bisa, lidahnya mendadak kelu.

Letta mengambil kesempatan dari kebungkaman pria itu dengan--

Plaaaakk..

Melayangkan tamparan ke wajah pria yang telah dengan lancang menyentuh dirinya tanpa izin. Menatapnya nyalang penuh kebencian.

"Kamu mungkin orang kaya. Tapi jangan kamu pikir dengan semua yang kamu punya, kamu berhak ngelakuin apa yang kamu mau." Teriak Letta, marah. Pria yang ditamparnya terdiam. Entah memiliki keberanian dari mana tapi Letta dengan reflek menampar pria itu. Saat ini tidak ada yang Letta pikirkan lagi selain harga dirinya. Masa bodo jika dihari pertamanya bekerja ia akan dipecat.

"Aku mungkin hanya seorang pelayan di sini, perempuan miskin yang tidak memiliki apa-apa tapi bukan berarti kamu bisa menginjak-injak harga diriku." Setelah meluapkan segala kemarahannya sambil menangis Letta berlari dari hadapan pria itu. Meninggalkan si pria yang tampak terdiam.

Kedua mata tajam elangnya menatap punggung Letta yang semakin jauh dari pandangannya dan menghilang. Ketika gadis itu berbelok di tikungan menuju ke bar depan. Kekesalan mulai dirasakan pria itu, saat untuk pertama kalinya ia merasa ada seorang gadis yang berani menolak tidur denganya padahal selama ini semua wanita rela menanggalkan seluruh pakaian mereka untuknya. Namun ada perasaan menyesal di sudut hati kecilnya saat dia melihat luka di mata gadis cantik yang ia lecehkan secara paksa tadi. Perasaan aneh yang baru pertama kali ia rasakan. Benarkah dia kasihan pada gadis itu? Sejak kapan seorang Aliand Zefano Ardolf memiliki rasa kasihan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top